Rabu, 18 Mei 2016

WAKTU ITU (Ara, Terataiku... Bag. V)




Aku memesan tiket pesawat pada jadwal jam keberangkatan paling akhir, dari Tenggarong menuju Balikpapan membutuhkan waktu hampir setengah hari. Sedangkan aku harus mampir Samarinda terlebih dahulu, mengikuti serangkaian jam makan siang dengan beberapa Anggota Dewan, Asosiasi Kontraktor dan utusan dari Kepala Dinas. Hari ini aku harus kembali ke Jakarta.


Semua barang sudah masuk ke dalam tas. Aku membawa dua: satu untuk laptop, dua untuk baju-baju. Dan semua sudah siap untuk diangkut. Aku telah menunggu taksi di lobi hotel. Taksi plat hitam, mobil pribadi yang digunakan untuk usaha angkutan. Tak lama aku menikmati suasana tenang pagi hari—dengan lantunan musik yang begitu lambat, telponku berbunyi: “Piyan yang mesan taksikah? Ulun sudah di depan.” 

“Baik, tunggu sebentar.”

Aku berjalan dengan tas di punggung, dan lainnya aku tarik dengan langkah yang begitu malas menuju pintu kaca yang bisa terbuka dan tertutup sendiri.

Blek.

Kemudian, mobil melaju dengan kecepatan penuh melewati Jembatan Mahakam—yang tampak di sebelah kiriku: sebuah patung makhluk mitologis yang sedang ndemprok di atas bangunan beton berbentuk persegi panjang. Makhluk itu di kenal dengan nama 'Lembuswana'. Aku melihat matanya—seperti memandang ke arahku dengan penuh rasa curiga: “apa yang hendak kau perbuat kepadaku di Samarinda?” Kemudian makhluk itu hilang di antara atap-atap jerami.
***

Suasana klise siang itu bertabur kata: ding-sanak, dinda, dan kanda, sebuah kata untuk menunjukkan sikap persaudaraan. Tapi ia berubah menjadi tegas dan orang lain, ketika pembicaraan memasuki pembahasan angka dalam bentuk persen.

“Oke,” saya menyela, “begini saja. Kita lanjutkan pembahasan ini di Jakarta”. Aku menutup pembicaraan, kemudian pamit undur-diri sebab khawatir ketinggalan pesawat.
***

Bandara Sepinggan penuh sesak. Hatiku masih saja resah memikirkan Ara, dan pesan singkatnya: “Kamu tidak mencintaiku. Kamu mencintai pekerjaanmu. Kita akhiri saja hubungan kita. Aku sudah bersama orang lain, Jambul, tetanggaku. Kamu pernah bertemu dengannya, kan?”

“Ara, hanya aku rasa sangat mencintaimu saat ini.”

“Ya, aku tahu itu.”

“Tidak, kamu tidak tahu betapanya.”

“Oh, mawarku, sudahlah...”

Ketika deru mesin pesawat menyala, dan pramugari-pramugari berseragam merah itu memeragakan bagaimana cara memasang sabuk pengaman, kantuk telah membawaku tidur, membawa pada istirahat yang lelap.

Sampai pada akhrinya...

Guncangan terasa mengaduk-aduk kepalaku. Lampu menyala, dan lamat-lamat pengeras suara menerangkan bahwa kami telah mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Mesin belum sempurna berhenti, para penumpang berdiri, berebut menuju pintu keluar. Aku diam, tetap duduk di kursi paling depan. Hingga tak terasa ruang-pesawat telah hening, dan aku masih sepi memandang foto-foto dalam ponselku. Lalu suara lembut menyadarkanku:

“Pak, sudah sampai.”

“Oh, maaf. Sudah sampai, ya?

“Iya, Pak.”

“Kamu mau mengantarkan saya pulang? Saya takut pulang sendiri malam hari begini.”

Dia kaget, namun tetap tenang di wajahnya yang memerah: “Bapak mungkin sedang marah?”

“Marah? Tidak, biasa saja.” Aku mengambil kartu namuku dari dompet—yang aku selipkan di saku celana sebelah kiri, lalu menyerahkannya: “Ini, barangkali kamu ingin tahu—saya sedang marah atau tidak.”

Pramugari cantik itu celingak-celinguk, lalu mengambil kertas yang aku sodorkan ke arahnya.
***

Awalnya, aku berencana naik bus-Damri untuk menuju Baranangsiang. Tapi jam segini, bus-bus sudah pulang ke kandangnya masing-masing. Aku memesan taksi berwarna biru, menuju Bogor.

“Selamat malam, pak. Mau kemana?”

“Baranangsiang.”

“Baik, Pak.”

Badanku berlalu, menjauh dari lengangnya bandara. Diiringi laju angka-angka digital yang menyala merah, yang terus bergerak setiap aku melewati pohon-pohon, tiang-tiang listrik yang menyiratkan cahaya kuning di sepanjang jalan.

Sepinya ruang aspal dari Jakarta menuju Bogor, tak begitu lama telah sampai taksi mengantarku di tempat tujuan. Taksi meninggalkanku tak beberapa lama. Aku berjalan, menuju pakiran mobil yang telah kutitipkan satu minggu lebih lamanya. Sambil menyalakan rokok yang tinggal beberapa batang saja, aku memanaskan mobil sambil menyalakan lagu: Father and son, dinyanyikan oleh Yusuf Islam (Cat Steven) dan Ronan Keating.

Gitar melantun, aku menikmati dengan memejam dan menggoyang-goyang kepala. Dan tentu ingin menyanyikannya.

It’s not time to make a change
Just relax, take it easy
You’re still young that’s your fault
There’s so much you have to know
Find a girl, settle down
If you want, you can marry
Look at me, I am old but I’m happy
...

Aku majukan porsneleng gigi satu, menekan tombol pada handrem—lalu menginjak gas perlahan hingga sampai jalan besar. Ban mobilku menginjak aspal, aku menancap gas kencang.

Bogor sudah malam.

Suasana seperti ini, aku tak ingin langsung pulang. Lagu ini, mengingatkanku pada suatu tempat: Pondok Nirwana, sebuah restoran. Ada karaoke room, billiard, pub, dan di belakang halamannya terdapat hotel-hotel melati. Terletak di Jalan Baru, sampingnya—bertetangga dengan Yogya Supermarket.

Hingga di tempat parkir, aku di sapa oleh laki-laki yang wajahnya sudah tak asing olehku.

“Bos, lama ga kelihatan?”

“Iya, baru pulang.”

“Cewek, bos?”

“Tidak, minum saja.”

Setelah aku tutup pintu mobil dan menguncinya, laki-laki itu memanduku ke tempat yang aku maksudkan. Kunci mobil aku letakkan di atas meja, lalu kuangkat tangankuku dan kunyalakan korek api: “Mas, Jack Daniels.”

Satu gelas cairan itu telah mendarat di tenggorokan, beberapa tetesnya, merasuk di batinku. Yang kedua. Yang ketiga.

“Mau di temani?” suara seorang perempuan yang tak begitu jelas wajahnya, sepertinya berusia setengah baya. Mataku sudah begitu kabur melihat benda-benda di sekitar.

“Tidak usah, terimakasih.” Aku menolaknya dengan kalimat sekenanya. “Mas, tolong kasih Mbak ini Tequila”. Dan aku tak memperhatikan perempuan itu lagi.

Pada gelas yang kelima.

Rasanya sudah sangat pusing, mual. Aku membayar sejumlah uang kepada bartender. Lalu memintanya memanggil laki-laki yang ada di parkiran tadi untuk memesankanku taksi. Tak begitu lama, laki-laki yang kumaksud setengah membopongku ke dalam taksi. Lalu, aku sudah tak tahu apa yang terjadi. Hanya ketika mobil terguncang-guncang karena struktur jalan yang buruk, aku setengah terbangun dan merasa mual dan pusing.

Taksi berhenti, dan sang sopir membantuku membukakan pintu pagar. Lalu ia pamit, kemudian pergi.

Dalam keadaan setengah sadar, antara pagar dan beranda, harusnya hanya berjarak tiga meter saja. Tapi, rasanya sangat jauh aku menuju ke sana. Sambil melangkah, aku mencoba mengingat-ingat letak kunci pintu utama—kusimpan. Tidak ketemu. Setengah putus asa, aku raih handel pintu ke atas dan ke bawah. Tentu saja terkunci. Putus asa, kuintip ke dalam rumah melalui kaca jendela. Dihalangi gordyn berumbai renda-renda, sekilas aku melihat laki-laki tidur di kursi ruang tamuku. Merasa ada orang asing masuk ke dalam rumah, aku gedor kaca jendela:

“He, siapa itu? Buka pintunya, buka!”

Tiba-tiba pintu terbuka, dengan sempoyongan aku menuju letak orang asing yang sedang rebahan di dalam rumahku. Dan anehnya, tidak ada siapa-siapa.

Mungkin aku sedang berhalusinasi, efek minuman. Karena mata terasa berat, aku merebahkan tubuh di kursi—tepat di mana—aku melihat laki-laki tadi. Rasanya baru sak ler aku memejamkan mata, kemudian aku terkejut melihat sesosok laki-laki yang sedang mengintip-intip ke dalam rumahku dari kaca jendela. Siluet bentuk kepalanya, seperti aku mengenalnya. Dan hatiku berdegub keras, ketika laki-laki asing yang ada di sebalik kaca jendela itu menggedor-gedor kaca jendela—ingin memaksa masuk: “He, siapa itu? Buka pintunya, buka!” Katanya.

Dalam keadaan seperti ini, tentu saja aku tak akan berdaya melawannya. Tiba-tiba, entah kenapa pintu itu terbuka. Lalu laki-laki itu masuk, semakin dekat dan aku seperti mengenalnya. Ketika tangan yang ia arahkan ke wajahku semakin dekat, pemilik tangan itu memiliki wajah sepertiku. Semua sama, sampai ke baju-bajunya. Dalam suasana ketakutan, aku tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika tangannya berhasil menyentuh pipiku, semuanya menjadi gelap.

“Bang, bangun, bang. Bangun...” Suara perempuan menampar-nampar pipiku, halus.

Setengah sadar, aku membuka mata yang masih tampak begitu samar. Aku melihatnya, tak begitu jelas, rasa-rasanya seperti perempuan yang aku temui di bar tadi. Lalu ia membopongku dari beranda, menuju kamar tidur.

Ia merebahkanku di kasur. Melucuti satu persatu bajuku. Terdengar napasnya berdesakan berebut keluar, lewat hidungnya, dan sedang menindihku. Aku mencoba dengan keras menolak, dan memperhatikan wajahnya, tapi gagal. Yang kuingat hanya tubuhnya yang putih, mulus dan padat. Rambutnya yang hitam, tergerai acak-acakan. Ia mengerang-erang. Bergerak-gerak di atas tubuhku dengan tak beraturan. Hingga ia berteriak, bersamaan dengan sesuatu yang megah yang kurasakan.
***

Waktu itu hari minggu. Aku sedang memandikan mobilku di depan garasi. Tiba-tiba, seorang perempuan menelponku, sebuat saja dia pacarku—yang kukenal hanya beberapa minggu yang lalu. Ia seorang pramugari.

Dengan sesenggukan ia mengabarkan, bahwa bapak tercinta telah meninggal dunia. Ia memintaku untuk datang ke rumahnya. Setelah menyiram seluruh tubuh mobil, merontokkan buih-buih sabun, aku mandi dan menancap gas ke rumah pacarku.

Hanya berjarak tiga puluh menit dari tempat tinggalku, aku telah sampai di rumah yang sedang di rundung duka itu. Seluruh manusia tampak menunduk dan diam dengan baju yang hampir seluruhnya sama: hitam. Di antara kerumunan, aku mencari-cari wajah yang aku kenal. Ketemu. Dia sedang membaca doa, di dekat jasad yang telah terbujur kaku.

Aku mendekatinya, menyentuh pundaknya, lalu kuusap kepala berkerudung hitam itu: “Yang sabar, ya?!”

Ia menoleh, memelukku dan histeris. “Sudah, sabar... biar bapakmu tenang di sana. Do’akan beliau. Kalau tangismu kau rasa cukup, do’akan beliau.”

Dia bangkit dari dadaku, lalu mengusap matanya. Melihat ke arah mataku: “Tolong tenangkan ibu, beliau sepertinya sangat terpukul. Daritadi tidak berhenti menangis.”

“Ibu di mana?”

“Di belakang, di pendopo.”

Untuk meringankan beban, tanpa berpikir panjang, aku langsung menuju ke belakang. Menemuinya, lalu mencium tangannya.

“Bu, saya ikut berbelasungkawa.”

“Terimakasih ya, nak.” Sambil terus menangis.

Aku meraih tangannya, kuletakkan di lututku yang duduk berdekatan dengan ibu kekasihku. “Ibu, sudah ya? Kasihan bapak. Biarkan beliau istirahat, tenang. Kasihan juga putri ibu, Natasya, kebingunagn melihat ibu seperti ini.”

“Ibu telah berdosa kepada bapak, nak.”

Aku hanya diam, menatap lantai dan meja.

“Anak janji, ya—tidak akan cerita kepada siapapun? Karena ini beban-berat buat ibu!”

“Kalau ibu percaya kepada saya, saya akan memegang itu, bu.”

“Dosa itu adalah... Ketika suatu hari, suamiku bertugas di luar pulau, dan sudah beberapa bulan tidak pulang. Aku manusia normal, yang bingung mau kemana dan berbuat apa. Lalu aku pergi ke suatu bar yang ada di Jalan Baru. Pondok Nirwana. Di situ aku berniat mabuk, menghilangkan stres. Tapi, seorang muda mentraktirku dengan minuman. Pemuda itu tak begitu memperhatikanku, lalu pergi dalam keadaan mabuk. Tapi ia telah meninggalkan kunci mobilnya di meja. Aku mengejarnya, dengan mobilnya. Sesampainya di sana, kudapati pemuda itu tertidur di teras rumahnya sendiri. Kuangkat dia, masuk ke kamar tidurnya. Entah apa yang merasukiku waktu itu. Aku sangat mabuk, dan melucuti seluruh pakaiannya. Aku gemetar dan rasa hangat yang menggelisahkan menyergapku. Sebagai sebuah dendam yang ingin dibalaskan. Aku bingung, berdiri di muka pintu, dan ingin meninggalkannya. Tapi, aku malah ragu-ragu ingin membuka pintu kamarnya untuk keluar. Darahku memukul-mukul dan menggoda bagian bawah badanku. Pemuda itu menggeliat. Karena debaran jantungkah, atau napasku, pemuda itu sangat gelisah. Ia mencoba melawan, dan membuatku ragu setiap kali membukakan pintuku. Tiba-tiba seakan kekuatan datang dalam tubuhku. Laki-laki itu aku tatap, bau parfum yang gairah, dan aku menjatuhkan tubuhku pada lelaki itu.”

“Ha? Berarti waktu itu?” Reflek mulutku mengeluarkan kata-kata itu, untunglah hanya pelan, dan mungkin cuma aku yang mendengarnya.

“Tolong ya, nak. Jangan cerita siapa-siapa?” Kepalanya menunduk, melihat lantai.

“Iya, bu. Saya tidak akan cerita pada siapapun. Mudah-mudahan ibu sudah agak tenang. Mari ke depan, temui tamu-tamu yang datang.”

Beliau beranjak, aku tuntun hingga di depan jasad suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar