Sabtu, 14 Mei 2016

ARA, TERATAIKU... (Bag I)

Pagi pertama setelah senja, sore itu adalah damai yang langsat tanpa tangisan. Seperti biasa, aku sedang di karangkitri bersama kopi, tatkala hujan rinai dan langit pun berwarna kesumba.

Padi yang mulai tinggi dan hijau, terperciki cahaya jingga pada senja itu, ia pun tampak menguning di antara kaki bangau dan bongkahan tanah. Lebih dari separoh kenanganku terendam genangan sawah, siluet bayanganmu bersembunyi di sebalik nyiur-nyiur pada pangkal pematang, satu-persatu menyatu dengan ingatan.

Di seberang petak pematang ini, ada semacam gardu berwarna kelabu--yang dari kejauhan, tampak seperti jamur raksasa di seluas sawah. Sekali lagi, ia ada di pangkal batas ujung kampung sebelah sana.


Hmmm...

Apalagi terang wajahmu dilatari lelumut yang diayaun-ayun oleh air hujan di atap jerami. Semakin lama, gambarmu semakin menghasut. Kecantikanmu yang tanpa umpama, adalah Pasuryaning Gusti Allah.

Kita sudah berjanji, bahwa perselingkuhan ini hanya sebatas daun seledri di antara genangan kuah soto-dog di ujung perempatan lampu-merah Jalan Gajayana. Setelah itu, adalah baratayuda tangis lembutmu dan keringatku di sebuah hotel-termewah di mana aku membaringkanmu dengan desah yang syahdu.

Ah, marimba... rumpun bambu berdaun salju. Kau adalah hangat yang mendinginkan rindu di antara kangenku seluas semesta. Nikmat macam apa yang sanggup kita dustakan, di banding kelezatan yang basah dan lentik-menggelinjang tubuhmu seindah puisi? Ini bukan senggama ndakik-ndakik a la Jean-Paul Sartre, atau Goenawan Muhammad, dan Djenar Maesayu yang dihalal-benarkan dengan bahasa dan sastra. Ini lebih majnun dari kisah-kasih anak seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab: Qais, yang tergila-gila pada Laila. Lebih menderita di banding romantisme-picisan karya William Shakespeare: Romeo and Juliet. Ini lebih dari itu semua, tak sanggup kuceritakan.

Aku hanya ingin memasukimu, mencari tahu: apakah “di sana” ada Nur Allah? apakah benar “ruanganmu” adalah tempat perjumpaan sekaligus perpisahan, antara Nur Allah dan Nur Muhammad? Bagaimana aku bisa tahu, jika tak membacamu dari dalam hingga tuntas dan lunas? Sedangkan keberadaanmu adalah kegelisahan seumur hidup dari pencarian.

Aku tak punya urusan dengan rumbai-rumbai syar’i dan dosa, aku pun tak takut neraka. Yang kukhawatirkan, jika sepanjang usia ini tak mampu menjumpai-Mu, kekasih...

Jika semuanya tak sanggaup aku raih, maka tebarkanlah: mawar, melati, kembang gambir, dan kenanga di pungkasan usiaku nanti. Disaksikan arak-arakan kabut, lalu api-kanlah tubuhku. Maka, kau akan tahu, jika tak akan ada yang mampu membakarku kecuali cinta.
***

Tiga hari sebelum lebaran, Yuda mudik ke kampung halaman menuju sebuah desa hijau bernama Karang Kedempel. Ini adalah kedatangan setelah delapan tahun masa perantauannya di Jakarta. Melewati jalur Utara, berjibaku dengan ribuan kendaraan, berdua dengan istrinya, Endang Bagnawati, Yuda mengendarai mobil VW kuning tahun ’62 miliknya. Ngawi, Nganjuk, Madiun, Jombang; kemudian melewati Selorejo dan Pujon yang sangat indah dengan pemandangan gunung, ketinggian, hijau, dan aliran sungai yang deras menyegarkan. Sampai pada daerah Batu (Malang), turun terus hingga menjumpai pertigaan Pendem, lalu belok kiri hingga ‘dug’ kemudian belok kanan. Beberapa gapura besar, enam atau lima gerbang desa setelah belokan, di situlah pintu masuk desa Yuda—di mana ia pernah tinggal.

Ya, desa yang ia tuju masih di sebelah sana, harus terlebih dahulu melewati tetangganya: desa Pecak Pecukilan. Beberapa rumah sebelum perbatasan, matanya melirik ke arah gardu yang dulu ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya: Semito dan Hendro. Bangunan itu hampir tampak sama, seperti delapan tahun yangn lalu.

Kemudian, tak lama berselang, sampailah ia di rumah sepuh yang penuh kenangan itu. 
***

Dua hari sudah ia tinggal, ibu dan bapaknya yang sudah mulai renta tak banyak bicara walau rindunya meninggi, menunggu anak semata wayangnya pulang. Hari-hari Yuda di rumah nostalgia—sepi, tak berbeda jauh dengan nuansa puasa di Jakarta: berbuka dan sahur di meja makan, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut istrinya yang masih menyimpan rasa dongkol mengetahui perselingkuhan Yuda,

Kedatangan Yuda dan Endang Bagnawati kali ini, sebenarnya ingin memperbaiki hubungan rumah tangganya. Berniat meminta nasehat atau bahkan ampun dari orang tuanya, mereka berharap dapat mempertahankan mahligai pernikahnya yang sudah menginjak usia tahun ke-5. 

Dari gelagat kedatangan anak dan menantunya kali ini, mungkin Hasan (bapak) dan Sri (ibu) sudah tahu. Namun, rindunya yang bercampur dengan bahagia—tersumpal oleh siratan energi kemarahan menantunya yang dulu ia restui untuk mengarungi hubungan bersama putranya.

Maka, sunyi-lah hari-hari itu, hingga menginjak di puncak bulan-puasa yang sebentar lagi lebaran. Yuda mungkin sudah tak kuat, ia pergi keluar menuju gardu diperbatasan jalan.
***

Sepersekian-detik ia duduk di gardu beratap jerami, tak lama kemudian rindu kepada dua sahabat karibnya menyergap dari belakang. Bangunan bambu tempat ia duduk dan bersandar ini, adalah saksi dimana ia banyak menghabiskan cerita. Kali ini, ia pun ingin menuangkan cerita kepada keduanya. Yuda berdiri, merogoh kantong sebelah kiri, mengambil hp mengirim pesan kepada dua sahabatnya dengan harapan, keduanya dapat menyusul dirinya ke "markas".

“Eh, konon, gardu serapan dari Bahasa Prancis: garde, artinya rumah jaga”. bunyi sms-nya.

Tapi tak ada balasan, hp-nya sepi. Gema takbir, suara petasan yang mengepung, seakan hanya terdengar lamat-lamat di telinga lelaki dalam gardu itu.

Dor...

Suara petasan membuat Yuda terkesikap. Sejenak rasa kaget membuyarkan lamunannya, tak lama ia melajukan lagi angan-angannya, membayangkan: serakan kertas petasan itu, lambat laun bergerak, berjalan mundur—menyatukan diri menjadi petasan utuh seperti bentuk sebelum ia meledak (Reverse Theory). 

Reverse Theory itu kemudian teraplikasi di dalam kenangannya, hamburan gerak-gerak menggelinjang, keringat yang basah, rintihan, desah, dan nafas yang tersengal-sengal—mewujud dalam satu bentuk untuh perempuan: Dewi Sariwati, teman selingkuhannya.

Karena merasa diacuhkan, Yuda menulis SMS yang lebih panjang kepada kedua temannya:

“Sebelum kedatangan kolonialisme Eropa, Jawa (memang) tidak memiliki konsep batas-batas teritorial, sebab belum ada pembagian yang jelas antara ranah-ranah di luar istana raja dan ruang-ruang fisik. Para tokoh lokal memiliki kecenderungan melibatkan diri dalam kompetisi untuk memikat hati para pemegang otoritas agar derajad instabilitas (baca: keadaan tidak stabil) dapat ia raih di dalam naik-turunnya tawaran dan keuntungan yang diberikan oleh aristokrat. Barulah setelah kedatangan Kolonial Belanda, di bawah Gubernur Jendral “Napoleonis” Daendles, makna ruang mengalami pergeseran. Dialah yang melembagakan ide tentang batas wilayah sebagai strategi menguasai Jawa dengan membagi ruang-ruang yang terdemarkasi (baca: terpisah) dalam karesidenan yang merentang dari pantai Barat Anyer hingga pantai Timur Banyuwangi. Kemudian Daendles hubungkan dengan sebuah jalan raya yang di sebut Jalan Pos Besar (Groote Postweg).”

Treng teng teng teng teng teng...

Dari kejauhan, suara Vespa milik Semito memecah keheningan. Yuda sangat mengenali suara mesin berisik itu, Vespa warna putih tulang tahun ’62. Sedangkan Hendro, duduk di jok belakang dengan gaya nyengklang.

“Songkrong ingkrung?” Hendro menyapa teman lamanya, sambil melompat dari jok tempat duduknya.

“Angkrung!” jawab Yuda.

“Laongkrong?” Semito, sambil njagang motor sepuh-nya.

“Ongkrong-ongkrong.” jawab Yuda, lagi.

O, iya. Saya hampir saja lupa. Yuda, Hendro, dan Semito semacam memiliki kata-sandi setiap bertemu di gardu perbatasan kampung itu. Jika dari kejauhan tampak ada seseorang duduk di gardu, yang datang menghampiri selalu berteriak: “songkrong ingkrung” artinya “sopo iku” (siapa itu) untuk memastikan yang sedang duduk di gardu adalah temannya. Karena gardu mereka sebut sebagai “angkringan” maka pertanyaan yang diluncurkan akan ditambah “kr-ng” (sopo iku = songkrong ingkrung; aku = angkrung; laopo (ngapain) = laongkrong; ongko-ongko (kongkow atau nongkrong) = ongkrong-ongkrong).

Mereka mengawali pertemuan itu dengan salaman.

Tidak cukup puas, bertiga, mereka berangkulan. Sudah delapan tahun ketiganya tak bertemu, salaman mereka sangat kuat, pelukan mereka sangat erat, sebagian mata mereka tampak berkaca-kaca.

“Awalnya aku ragu baca sms-mu, karena hp-ku sudah ganti beberapa kali. Banyak contact yang hilang, termasuk nomermu. Tapi ketika kamu sms untuk kedua-kalinya, aku tahu itu kau kutip dari: Oliver Wolter, Benedict Anderson, dan Soemarsaid Moertno; lalu aku telpon Semito untuk menjemputku.” kata Hendro, sambil melepas pelukan.

“Sebelum aku ke rumah Hendro,” kata Semito, "terlebih dahulu aku mampir kerumah bapakmu, Yud. Disana, aku ketemu Endang Bagnawati, istrimu.”

Kemudian, pasca ritus kultural itu, ketiganya mengmbil posisinya sendiri-sendiri. Yuda memperhatikan tingkah dua lelaki yang sedang berada dalam satu atap-jerami dengannya: diam, sejenak dingin tak sekedar menjadi rumbai-rumbai di antara karib kental itu. Memang ada semacam kekakuan semenjak Yuda memutuskan untuk mempersuntung gadis yang ia menangkan dari persaingan diantara Ce-eS’an itu. Hendro berbaring diam di sebelah—di mana ia duduk, sedangkan Semito sibuk dengan gadget-nya sambil bersandar di tiang gardu.

“Heh, Sem. Sama barang macam itu saja (baca: gadget) kau sampai menundukkan kepalamu, dasar generasi merunduk! Ini kita kesini buat ngobrol.”

“El-loh, dengan benda semacm ini, dunia seakan ada di genggaman. Kamu saja yang tidak responsif terhadap teknolgi. Barangkali, solusi yang di cari Yuda ada di google?!”

“Perlu kau tau, Sem. Nawaitu-nya si Martin Cooper, Nathan Stubblefield, Mike Lazaridis, Andy Rubin, dan Steve Jobs menciptakan benda semacam itu agar Connetcting People. Gara-gara orang semacam kamu ini, yang tidak bijak menggunakan benda itu, akhirnya gadget menjadi benda yang Unconnecting People.

“Nganu...” Yuda bersuara, menyela perdebatan kedua temannya.

Keduanya berhenti, melihat kearah Yuda.

“Aku selingkkuh. Istriku tahu, dia mendiamkanku satu bulan ini. Dia kelihatan kurus, tak doyan makan.” sambung Yuda.

Alhamdulillah... barakallah...” canda Semito.

“Hush!!!”

Yuda tampak diam saja, entah apa yang sedang ia pikirkan. Tatapan matanya kosong, jauh.

“Lho, ini serius, tho?” Tanya Semito, bingung.

Yuda dan Hendro diam, sesekali Hendro melihat kearah Yuda yang tampak mematung, dan Semito masih mengira ini adalah masalah cenge-ngesan.

“Ooo... aku ngerti sekarang!!!” Sambung Semito.

“Ngerti apa?” Tanya Hendro. Dan wajah Yuda pun menengok ke arah Semito.

“Jadi, selama ini badan bongsor istrimu itu gemuknya gemuk air: karena sering menahan air mata.”

“Kau ingin menikah lagi?” tanya Hendro lagi.

“Bukan, bukan begitu. Yang ini sungguh sangat berbeda. Ara, wanita yang sedang menjalin hubungan denganku, sangat berbeda. Aku biasanya tak suka wanita menatap mataku, wanita ini malah sering melakukannya. Tapi aku tak tahu alasannya: saat dia menatap mataku, aku tak keberatan. Aku balas menatapnya, dan dengan segera aku ingin menggelar asmaragama dengannya. Walau itu tak pernah terucap, seakan ia tahu apa yang sedang aku pikirkan ketika menatap matanya. Atau, aku (juga) tahu apa yang dia pikirkan. Atau... Entahlah, hasrat ini seakan mengalir dua arah. Aku sangat menikmatinya, mungkin juga aku sedang jatuh cinta. Maksud cinta bagiku, bukan aku mencintainya dan ingin menikahinya. Tentu saja tak sampai sejauh itu. Mungkin begitu juga dengan Ara. Mungkin lebih tepatnya, cinta kami seperti saat kami bercinta. Saat kami bercinta, semua masalah memudar. Hanya ada aku dan dia di ranjang peraduan. Saat-saat seperti itu, aku seakan hilang di dalam dirinya. Dan juga dapat kupastikan, dia juga kehilangan dirinya di dalam diriku. Dan kami saling hilang kendali bersama.”

Alhamdulillah... barakallah...”

“Apakah aku salah?” Tanya Yuda.

“Tentu saja salah!!!” Bentak Hendro.

“Jika memang cinta ini terlarang, mengapa Tuhan bangun megah perasaan ini dalam sukmaku?”

“Aku sedang berbicara denganmu, bukan dengan cintamu. Cinta memang tak pernah salah, aku tahu itu. Untuk dalam kasus ini kamu salah, moralmu bejad. Selingkuh itu bukan hanya menyakitkan, tapi juga menghina!” bentak Hendro.

Yuda terdiam. Tak lama berselang, hujan pun rinai. Langit gelap, yang sesekali diwarnai kembang api dari gardu, tempat duduk ketiga orang itu: angkasa samar-samar tampak berwarna kesumba. Apapun yang sedang mereka bicarakan, bahasa memang tidak pernah mampu membahas realitas di luar jangkauan konsep dan akal. Karena ini tentang rasa. Rasa.

“Maaf, Yud, kalau ucapanku terlalu kasar. Aku disini untuk mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Tidak semua hal dapat kau gebayah-uyah seperti itu. Dalam lingkungan apapun, harus ada nilai-nilai yang mesti kita tegakkan. Kau sedang tak jernih, semua argumentasimu bernada pembenaran. Tentang perasaanmu yang kau ceritakan tadi, memang tak bisa di-report, diinformasikan, diartikulir, dan diterjemahkan dalam bahasa apapun. Itu hanya milikmu, indah—tapi istrimu orang baik. Malam ini, dari ceritamu, aku percaya: bahwa apapun bisa terjadi, termasuk kepada orang baik.”

“Lalu, aku harus bagaimana?”

“Gini, mbok-nom-kan saja dia. Daripada perselingkuhanmu selalu dihantui rasa bersalah. Toh, pada Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan: asal disetujui mbok-wo, berarti masalah selesai. Dan Pengadilan memberi izin, sesuai amanat UU Perkawinan pada Pasal 3 ayat (1)”. Kata Semito serius.

“Sem,” jawab Hendro, “cinta dan pernikahan itu dua hal yang berbeda. Kamu tidak punya parameter berfikir yang benar, mangkane ojo dulinan HP wae. Jangan bertindak bodoh dengan menyerahkan segala urusan kepada KUA dan lembaga agama. Baik-buruk dan cinta, bukan urusan hukum. Hukum itu tidak bisa mengurusi kebaikan, keburukan, apalagi cinta sampai tingkat yang diperlukan manusia. Hukum hanya mengerti satu level kecil. Karena level hukum itu rendah, di atas hukum ada akhlak, di atasnya lagi ada taqwa, kemudian kemuliaan dan seterusnya.”

Semito diam.

“Kamu, Yud,” sambung Hendro, “apakah yang sedang kamu jalani itu cinta atau bukan, aku tidak tahu. Kamu juga harus ngobrol dengan dirimu untuk memastikan, apakah itu: rasa jasmani atau rasa rohani. Cinta memang tidak bisa kita jelaskan, tapi cinta itu seluruh di dalam dirinya adalah kepentingan rindu dan Allah, hampir tidak ada kepentingan ragawi.”

“Ah... yo kudune ono. Minimal ding-ding lah... utowo nut-nut lah... nek ora, yo ono iklik-iklik sithik lah.”

“Jangkrik! Iki masalah serius, Sem!”

Lha, njuk kudu piye eneh, jal?

“Haembuh, Sem. Tekono mbok-mu!”. Jawab Hendro dan Yuda hampir bersamaan, sambil pergi meninggalkan Semito sendirian di gardu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar