Senin, 18 Juli 2016

“VAKSIN PALSU” KUNTA WIJAYANDHANU

Leng-leng ramya ningkang sasangka kumenar mangrenga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ingkang umah mas lwir murub ring langit...

Hmm...

Syahdan di suatu masa yang tidak menentu: kadang-kadang tenang dan kadang-kadang ribut, lahirlah Jabang Tetuka, buah cinta dari seorang panenggak (Pembareb – Panenggak – Premadi – Wuragil), yakni anak nomor dua dari Pandhu Dewanata yang bernama Bima dengan seorang putri dari Parabu Tremboko yang nomor dua juga—bernama Dewi Arimbi. Jabang Tetuka lahir sebagai raksasa, tubuhnya besar—itu adalah bukti bahwa pemerintahan hari ini memang sangat mensejahterakan rakyatnya. Bersamaan dengan itu, United Nations Children’s Emergency Fund (Unicef) menempatkan Pringgandani pada posisi keenam sebagai negara yang memiliki jumlah terbanyak bayi yang tidak divaksinasi atau belum mendapatkan imunisasi lengkap. Ditambah lagi prediksi dari World Health Organization (WHO) bahwa 1,5 juta nyawa meregang setiap tahun akibat kurangnya vaksinasi. Maka, berdasarkan dari dua keterangan itu, Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Pringgandani (IDP) melakukan upaya pemerataan imunisasi.

Ceprot. Bayi lahir, dan masih mengemban tali pusar yang ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurinda. Tidak mempan diputus dengan senjata apapun. Ya, apapun.

Mendapati persoalan ini, Pandawa-Lima plus Kresna melakunan rembug tuwa. Dan didapatlah kesimpulan bahwa Arjuna yang diutus untuk meminta solusi kepada dewa atas persoalan tali pusar ini. Pilihan itu tidak serta-merta: selain klimis, rapi, bersih, berkulit putih, pokoknya good looking; Arjuna memiliki prejengan layakya seorang dokter. Tak lama dari peristiwa rembugan itu, Premadi berangkat, bertapa di suatu tempat yang mungkin—pada hari ini lokasi itu sudah dijadikan RS. Harapan Bunda. Tapi, pada saat bersamaan, Adipati Karna juga bertapa di tempat yang sama.

Raras kang halenggah neng dampar kencana sumorot prabanya lir Bhatara Endra, gumelar hangebaki kang samya sumewa tinon kadi samodra pasang  kang samya trapsila nganti wijilingkang pangandika sang bupati...

Bhatara Indra akhirnya mengutus Bhatara Narada untuk menemui Arjuna. Karena wajah keduanya bak pinang dibelah dua, yang ditemui Bhatara Narada adalah Adipati Karna.

“Hentikan tapamu, Ngger!”

Karna membuka matanya, meletakkan kedua tangannya di atas lutut—yang sudah beberapa lamanya tertelangkup di dada.

“Ini,” Bhatara Narada menyerahkan Kunta Wajayandhanu kepada Karna, “gunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca.”

Karna menerima pusaka itu dengan kedua tangannya. Tak beberapa lama, karena tugas dari Bhatara Indra selesai, menyerahkan Kunta Wajayandhanu kepada yang berhak, Bhatara Narada melesat ke atas langit. Di tengah lesatnya, Bhatara Narada sempat melihat ke arah bawah—dan melihat ada dua orang yang mirip wajahnya sedang berada pada lokasi yang sama namun berlainan tempat: Pertama, seorang yang sedang berjalan meninggalkan palungguhan diantara semak-belukar dan sedang menenteng Kunta Wajayandhanu. Kedua, pemuda yang sedang duduk bersila di dekat telaga.

Merasa ragu, dan telah melakukan kekeliruan, Bhatara Narada turun (lagi) dan menemui anak muda yang sedang bersila.

“Siapa namamu, Ngger?”

“Sahaya Arjuna.”

Sambil menepok jidatnya, “Masya Allah.”

Lha, ngapa tha deen?

“Aku keliru!”

“Keliru piye, mas?”

“Aku telah salah memberikan Kunta Wajayandhanu kepada yang bukan berhak. Cepat! Kejarlah dia!”

Lha, niki estri napa jaler—kok ber-hak?”

“Bedebah! Aja gojegan, iki lagi serius! Kejar!!!”

Secepat kilat Arjuna beranjak dari tempat duduknya, dan mengejar Karna. Terjadi tertempuran, tapi hasilnya imbang. Arjuna tidak berhasil merebut Kunta Wajayandhanu, melainkan hanya warangkanya saja.

Dan, warangka inilah yang kemudian dijadikan alat untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Berhasil. Selain itu, warangka Kunta Wajayandhanu juga awor ke dalam tubuh balita Gatotkaca menjadi imunisasi bagi dirinya yang kemudian menjelma: kotang antakusuma, caping basunanda, pada kacarma, terompa padakatyarma, taliwanda, surengpati, gelung supit urang, dan lain-lain dan lain-lain. Benda-benda itulah yang membuatnya bisa terbang, otot kawat balung wesi, dan sebagainya—hingga Gatotkaca berusia dewasa.

Tapi itu tampak luar—Gatotkaca ksatria kuat tiada ciri.

Sejatinya, imunisasi vaksin palsu, yakni masuknya warangka Kunta ke dalam tubuh Gatotkaca—bukan Kunta Wajayandhanu itu sendiri, Gatotkaca memiliki kelemahan atau cacat pada dirinya. Itu terbukti pada hari ke-14 perang Baratayuda, Gatotkaca tumbang oleh Kunta Wajayandhanu milik Karna.

Lalu pertanyaan selanjutnya, siapa yang harus dipersalahkan dalam peristiwa imunisasi warangka ini, bukan Kunta Wajayandhanu?

Ya, ndak tau. Coro dikon mikir duwur-duwur isa pecah ndase. Tapi, begini: Jika melihat kencenderungan produk-produk yang beredar pada masyarakat, misalnya, muculnya istilah: KW 1, KW 2, KW 3, dan KW Super—dan itu sudah menjadi kelumrahan publik; maka kasus vaksin palsu ini harusnya tidak perlu dipersoalkan. Ingat istilah: ana rega ana rupa.

Atau

Kita bisa telusuri dari rangkaian mata rantai transaksi ini: bisa saja pihak manajemen kayangan, yang dalam hal ini diwakili oleh Bhatara Narada adalah pihak yang bertanggungjawab karena telah salah memberi wewenang kepada CV. Adipati Karna. Kedua, Arjuna yang wajahnya mirip dokter itu. Dia seharusnya sudah tahu kalau yang masuk ke dalam tubuh Gatotkaca  bukanlah Kunta Wajayandhanu melainkan warangkanya. Terakhir, bisa jadi yang salah adalah Bhatara Indra selaku pihak yang setara Menteri Kesehatan, “kenapa dia tidak turun sendiri—memberikan Kunta Wajayandhanu kepada Arjuna?”.

Ada juga yang berpendapat, bahwa munculnya kasus ini ke permukaan membuka mata semua pihak bahwa memang banyak lubang-lubang dalam pemerintahan. Persoalan ini membuat kita lebih teleiti dan dapat dijadikan sebagai alat untuk memaksa pemerintah agar memberikan yang terbaik terutama dalam hal kesehatan rakyat.

Sik, sorry. Untuk yang terakhir saya tidak sepakat. Persoalan ini, sekalipun ada faktor-faktor obyektif dalam kasus vaksin palsu yang menggerakkan dialektika, proses ini tidak bisa menghilangkan tanggungjawab orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada semacam ketegangan yang selalu timbul antara kekuatan objektif sejarah dan tanggungjawab moral pelakunya. Balita yang menjadi korban, dan sekaligus orang tua, tak pelak lagi, besar manfaatnya untuk bahan koreksi dan perbaikan dalam dunia kesehatan kita. Sekalipun demikian, pelaku kejahatan vaksin palsu tidak dapat mengkalim dirinya atau diklaim sebagai pencipta anititesis yang berguna bagi dunia kesehatan. Pada titik ini, oknum vaksin palsu harus diperlakukan sebagai makhluk moral dan subyek hukum yang wajib memberikan pertanggungjawaban tentang salah-benar perbuatannya, suatu hal yang tidak bisa dilakukan secara dialektis, tetapi hanya dapat diuraikan dan diperiksa secara logis.


Dhog.

Selasa, 12 Juli 2016

OPOR




Tangan kanannya menenteng tas-keranjang berwarna biru, tangan kirinya menggandeng tanganku. Erat. Hingga kesekian langkah kakinya, dan butir-butir keringat di dinding dahinya, akhirnya kami sampai di dapur dan selalu disambut dengan bau khas seperti biasanya: asap kemarin yang tertempel di mana-mana.

Pada keranjang biru itu, ibu mengeluarkan isi belanjaan. Pertama, ayam, lalu dipotong-potong sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Jumlah potongan sudah sesuai, selanjutnya ayam digoreng setengah matang. Satu orang, mendapat jatah satu potong ayam. Kemudian tiba saat memperlakukan bumbu: bawang merah, bawang putih, kemiri, dan kunir—diuleg hingga halus dan lembut. Setelah itu ditumis hingga matang. Ketika menumis bumbu-bumbu, ditengah-tengahnya, ibu memasukkan daun jeruk dan serai. Semerbaklah ia ke seluruh ruang dapur. Selesai. Ibu memasukkan ayam setengah matang tadi ke dalam bumbu, kemudian disusul dengan menuangkan santan cair di dalamnya.

Ah...

Di meja makan, di antara kumandang takbir dan ketupat; kami, sekeluarga, menyantapnya bersama-sama. Aku selalu mendapat bonus tambahan kerna menemani ibu pergi ke pasar: dua potong ceker ayam. Hmmm... opor ayam buatan ibu memang tak ada duanya.
***



Selasa legi. Terang bulan. Lengkung khatulistiwa berbias kesumba di tepian langit, di ujung atas sebelah sana. Belum lagi dikepung kembang api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir yang selalu terdengar amat menyayat—dibanding tangis-sesenggukan mata batin siapapun.

Masih jauh dari pagi. Cuaca berubah. Yang tadinya langit ndadari, kini gelap tanpa sisa di galur dadaku. Katamu deras? Tidak. Malam itu hanya hujan biasa. Hujan yang tak mampu menghapus guratan tangisku. Hujan yang hangat, yang campur dengan air mata. Tirta kaskaya yang lebih kacau dari yang kita rasa. Apa yang diucapkan oleh denyut ubun-ubunmu pada lebaran-ketiga di masa perantauan, di kota orang? Badanku hangat, bukan demam, hanya rasa geram seorang buruh-pabrik menjelang lebaran. Keramaian kota yang berangsur sunyi seperti ini mesti menghadirkan nuansa yang aneh. Yakni sebuah keakraban yang telah beranak-pinak di jantung hati kami, buah yang ditelurkan oleh kota yang selalu tampak sibuk membenahi diri. Ya, hanya dirinya sendiri. Yaitu kota yang selalu membangun jembatan, tapi tak ada air di bawahnya. Itu kenapa setiapkali hujan, kota ini mesti digenangi air. Banjir. Seperti Nabi Nuh, membangun kapal, lalu banjir datang. Jembatan-jembatan itu pun sama. Mereka menamai ‘tol’ pada jembatan-jembatan itu, sungguh nama yang aneh. Maha Besar Allah yang telah menciptakan lupa, sehingga orang kecil sepertiku tak gentar mengulangi kegetiran semacam ini setiap menjelang hari raya, hari kemenangan untuk sebagian orang dan hari keruwetan untuk sebagian lainnya: sibuk beli hp, beli  perhiasan, motor kreditan, carteran mobil dan berbagai kebanggan lain yang dibuat-buat.

Aku tak sanggup berperilaku seperti itu. Jika pun aku pulang, itu hanya ingin bertemu ibu. Beliau sudah sepuh. Selain itu, juga aroma beranda yang entah mesti terasa lembab yang selalu kurindukan. Dan tentu saja opor, racikan sakti tangan ibuku sendiri.

Benar kata orang, hanya makanan yang membuat para perantau merasa pulang. Sudah tiga kali ini aku tak bisa pulang, tapi untung saja ada orang baik yang selalu menyelenggarakan open house setiap hari raya di rumahnya. Kami, buruh pabrik yang mendiami rumah petak-petak di sini selalu diundang. Hidangannya khas: opor dan ketupat. Tidak hanya itu, kami selalu diberi uang setiap acara makan-makan usai. Tapi entah kenapa yang diundang hanya penghuni kos laki-laki saja. Itu yang membuat anggapan miring tentang Ibu Ningsih. Padahal orangnya baik. Bertubuh besar, bongsor, berisi, dan berkulit putih. Rambutnya ikal sebahu. Statusnya janda, cerai mati. Asli Jawa Timur.

Perkenalanku dengan Ibu Ningsih sudah cukup lama, sekira tiga tahun yang lalu. “Ayo, Had, makan-makan.” Kata Andika, teman satu pabrik yang tinggal di sebelah kamarku—ketika kami sama-sama tak pulang lebaran, mengajakku berkunjung ke rumah Ibu Ningsih.

“Ayo lho, mas, jangan sungkan. Nambah yang banyak makannya.”

“Iya, Bu Ningsih.”

“Kok manggil ibu, sih. Memang saya sudah kelihatan tua, ya?”

“Tidak, bu. Justru masih kelihatan seger.” Aku menjawabnya malu-malu.

“Kalau begitu, panggil saja Mbak Ningsih, biar lebih akrab.”

Setelah kunjungan pertamaku di rumah Mbak Ningsih, entah kenapa aku merasa ada yang belum selesai. Kukira hanya aku saja yang merasakannya. Tidak tahu apakah memang kebetulan atau bagaimana, beberapa hari kemudian, Mbak Ningsih mendatangi kamar kos-ku.

Dari luar, terdengar ketukan pintu. Pelan. Sambil menyebut-nyebut namaku.

Kerna sedang libur, aku sengaja menggunakan waktu untuk benar-benar istirahat. Aku tak plesir ke mana-mana. Tidak biasa-biasanya, mendengar ketukan pintu itu, aku kedhandapan membetulkan letak sarung lalu segera menarik slot membukakan pintu.

“Mas Hadi, bisa ke rumah?”

Nggih, mbak. Ada apa ya, kok saya diminta ke rumah Njenengan?”

“Anu, saya minta tolong buat bersih-bersih rumah.”

Aku mengiyakan permintaannya. Bukan kerna apa-apa. Sebagai seorang pensiunan, janda pula, aku tahu Mbak Ningsih tinggal sendiri di rumah. Mungkin untuk menghibur diri, beliau sering menyisakan uangnya untuk membeli ikan di pasar—memberi makan kucing-kucing. Bukan kucing bagus, tapi kucing kampung. Jadi, kebiasaan Mbak Ningsih setelah pergi ke pasar, beliau menyiapkan makanan untuk kucing di depan rumahnya.

Selagi menyiapkan makanan, kucing-kucing berkumpul di depan rumahnya sambil mengeong. Hampir serentak. Suaranya berisik dan terdengar aneh. Begitu Mbak Ningsih keluar menemui mereka, kucing-kucing langsung diam.

“Hush... mbok ya sabar.” Katanya.

Kucing itu seperti mengerti apa yang dikatakan Mbak Ningsih. Jika tak berlebihan, Mbak Ningsih (maaf) seperti mewarisi beberapa sempalan keagungan Nabi Sulaiman dan Nabi Muhammad. Penyayang kucing, dan sekaligus seperti bisa memahami perasaan dan bahasa kucing. Begitu janda kinyis itu keluar dan mengatakan ‘hush’, kucing-kucing kampung itu langsung diam.
***


Tentu saja kedatangan Mbak Ningsih ke kamar kos-ku, membuatku agak kaget. Beberapa hari ini aku memang memikirkannya, tiba-tiba dia datang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Setelah beberapa menit, lebih kurang tiga puluh menitan, setelah membersihkan diri, aku menuju ke rumah Mbak Ningsih. Tidak jauh. Rumahnya ada di ujung jalan utama kampung ini. Rumahnya besar, dua tingkat. Pagarnya tinggi, kokoh dan besar—warna tembaga yang kecoklatan.

Rupanya sahibul bait telah menungguku di luar pagar.

“Maaf Mbak, lama.”

“Tidak apa-apa. Mari, masuk.” Mbak Ningsih membuka pagar, kemudian segera menggemboknya. Kami berjalan beriringan sambil ngobrol tentang apa saja.

Kami tidak masuk rumah utama. Tapi menuju taman bagian belakang, melalui samping—yang tampak didominasi dengan warna hijau. Sungguh rindang dan asri. Di taman belakang, ada dapur yang didesain terbuka: beratap, dan tembok yang hanya setinggi setengah badan manusia. Pas di belakang dapur itu, ada kamar mandi. Kecil.

“Itu,” Mbak Ningsih menunjuk ke arah toilet kecil itu.

“Baik, Mbak.”

“O, ya. Semua peralatan (untuk bersih-bersih) ada di dapur.”

“Siap, Mbak.”

Tuan rumah masuk ke dalam, aku mengambil peralatan, menuju toilet. Ketika kubuka, bau busuk langsung menyusup ke dalam hidungku yang terdalam. Ada bekas seperti makanan yang dimuntahkan. Taik berwarna kocklat kehitaman yang tercecer di mana-mana: di dalam kakus, di lantai, dan tidak sedikit yang ada di dinding. Taik itu tampak sudah kering dengan bentuk yang macam-macam: melingkar, memanjang, dan cair. Mataku dan indera penciumanku juga menangkap genangan cairan yang baunya sangat mencekik tenggorokan. Kepalaku langsung pening, makanan dalam perutku rasanya naik hingga ke bagian dada, aku sungguh ingin muntah.

Dengan menahan napas, aku langsung menarik selang dan memutar kran yang terletak pas di depan toilet jorok itu. Aku semprot semuanya, dengan mata terpejam.

Cukup lama aku menyiramnya, mata kubuka, dan kotoran-kotoran itu sudah tampak memudar. Setelah itu, aku menyiramkan pembersih porslen hampir ke seluruh ruangan. Sudah. Aku gosok hingga bersih, lalu kusiram lagi.

Selesai.

Mbak ningsih keluar, menemuiku tanpa kuberitahu—pekerjaanku telah selasi. Seperti sudah memperkirakan, berapa lama aku akan mengerjakannya.

“Ini,” Mbak Ningsih menyodorkan sejumlah uang.

“Lho, apa ini Mbak?”

“Ini partisipasi atas waktumu, yang kau gunakan untuk membantuku.”

“Membantu kok dibayar, Mbak?! Peristiwa membantunya tidak boleh dibeli, sebab namanya membantu ya membantu. Titik.”

“Sudahlah, terima saja.” Mbak Ningsih memasukkan uang tadi di saku celanaku. Aku rasai sesuatu yang aneh. Tangannya seperti menyentuh sesuatu yang sangat kubanggakan. Ini pengalaman berarti buatku.

“Ayo,” kata sang Tuan Rumah. Sepertinya aku disuruhnya pulang, tak ada pekerjaan lanjutan.

Setelah kejadian itu, aku sering diminta Mbak Ningsih datang ke rumahnya untuk bersih-bersih. Minimal tiga hari sekali, dan paling lama satu minggu sekali. Aku melakukan itu dengan senang hati. Tapi Mbak Ningsih selalu memberiku imbalan. Beliau tidak memanfaatkanku, tidak menggunakan kedekatan kami untuk merugikan satu sama lain. Tentang perasaanku kepadanya, mungkin ini hanya sepihak. Aku merasa Mbak Ningsih agak genit kepadaku. Tapi, setiap kesempatan berkunjung ke rumahnya, untuk bersih-bersih, tidak ada kejadian apapun antara aku dan janda yang pasuryan-nya cemlorot itu.

Hingga menjelang hari raya berikutnya, aku masih juga tak bisa pulang. Gaji bulanan, dan penghasilan tambahan yang kudapat dari Mbak Ningsih habis untuk biaya berobat ibuku dan biaya sekolah adik-adikku. Untung saja Mbak Ningsih selalu menyelenggarakan open house untuk para perantau yang merindukan nuansa hangat sebuah rumah dalam artian yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Setelah Salat Ied, tanpa dikomando terlebih dahulu, kami langsung menuju ke rumah Mbak Ningsih. Di rumahnya, Mbak Ningsih sudah menunggu kami dengan berbagai macam jajanan: pastel abon, lemper isi daging, dan lain-lain. Menu intinya sudah jelas opor.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ibu, dan semoga ini bukanlah sebuah pernyataan yang khianat, bumbu opor masakan Mbak Ningsih benar-benar hmm... Kuahnya gurih dan kental. Ditambah taburan bawang goreng di atasnya, meskipun tak pernah kutemui bekas ayam di sana: paha, swiwi, dan ceker; opor Mbak Ningsih hampir merubah pendirianku bahwa opor ibu tidak ada duanya.

Suasana lebaran di rumah Mbak Ningsih benar-benar pelipur lara untuk para perantau sepertiku. Kehangatannya, obrolan-obrolannya, dan rasa persaudaraannya begitu terasa. Rumah Mbak Ningsih benar-benar menjadi rumah kedua di saat lebaran.
***


Waktu terus berjalan seperti biasanya.

Tapi ada yang aneh, suasana penghuni rumah-sewa di tempatku tidak seperti biasanya. Mereka jadi sering membicarakan Mbak Ningsih. Kami tidak lagi saling akrab. Dan lebih parahnya lagi, ada yang sengaja pindah kos tanpa alasan yang jelas. Aku merasai semua mata tertuju padaku, seperti membicarakanku di belakang.

Tidak hanya itu, selain orang sebaik Mbak Ningsih mulai digunjingkan orang-orang yang dahulunya sering ia tolong, kucing-kucing pun kini sudah mulai tidak ada yang meminta makan kepadanya. Biasanya, setiap pagi, mereka datang, kucing akan bergerombol dan memeong di depan pagar Mbak Ningsih. Tapi sekarang hanya satu-dua, jumlahnya semakin lama semakin sedikit.

Kasihan Mbak Ningsih.

Dalam situasi seperti ini, rasanya aku ingin melindunginya. Sempat aku ingin mengatakan: “Isi jeroan ini, kau pilih saja cara yang bagaimana untuk kunyatakan? Yang busurnya tegak atau yang rebah? Yang kubidik dengan mata atau yang langsung kurentang ke telenging batinmu?” Tapi aku selalu ragu untuk mengatakan, takut bertepuk sebelah tangan.

Berada pada situasi memilih antara setia kawan dan rasa terimakasih, saya ingin menjadi pendamai. kerna khairul umuuri ausatuha, sebaik-baik perbuatan adalah yang tengah-tengah. Aku ingin mengklarifikasi persoalan yang padat ini. Aku ingin melakukan rekonsiliasi. Terlebih dulu aku ingin mengajak bicara Andika, teman sekaligus tetangga kos-ku. Dia yang pertamakali memperkenalkanku kepada Mbak Ningsih, kuharap dia solusi.

Tapi tidak mudah.

Setiap aku datang, menghampiri Andika yang sedang duduk di depan teras kamar kos-nya, dia selalu memasukkan jari tangannya ke dalam mulut agar muntah. Dia seperti itu tidak sekali-dua kali, sering. Kerna aku merasa tidak pernah ia terima untuk berkunjung, akhirnya aku merasa, Andika memang tidak mau menerima kedatanganku. Kepada yang lain pun sama. Ini sangat menghina.

Hingga lebaranku yang ke tiga, keadaan masih sama.

Selepas Salat Ied, aku datang ke rumah Mbak Ningsih, seperti biasanya. Tapi, lebaran kali ini acara open house sepi. Tidak seperti satu atau dua tahun yang lalu.

“Ayo, Had, dimakan opornya.”

“Iya Mbak, termakasih.”

“Yang lain ke mana ya, Had?”

“Mudik, Mbak.”

“Ya sudah kalau begitu. Sini, aku ambilkan opor buatmu.”

“Tidak usah repot-repot, Mbak. Biar saya ambil sendiri opornya.”

“Tidak apa-apa. Kamu mau bagian yang mana?”

“Saya ceker saja, Mbak.”

Mbak Ningsih menatapku sadis dan tersenyum sinis, “kucing mana punya ceker, Had.” Jawabnya singkat.


Aku kaget, langsung ke luar rumah Mbak Ningsih tanpa pamit. Sepanjang perjalanan, kepalaku rasanya pusing. Diantara kembang api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir; aku berusaha memuntahkan isi perutku dengan memasukkan jari tanganku ke dalam mulut. Benar, opor ayam buatan ibu memang tak ada duanya.

Senin, 11 Juli 2016

#POEM (1)

O, cahayu, puan bermata perunggu. Apakah benar itu engkau, yang rambutnya sekar rinonce, yang mesti semerbak--mobat-mabit tak tentu kiblat. Bahwa cinta, bahwa denyut, dan detak dari nadimu berulang kali--yang semayam di antara kecambah dan kolong kenanga ini sudah kadung menjimat di batin dalam pasang sepiku.

Engkaupun syahdu, itu tampak dari kaca di matamu yang gegap walau tetap sahaja.

Bleger-mu tak maujud beberapa hari ini. Maka selama itu, ada yang kembang kempis di jantungku, rindu bertikai tak pernah jerih.

Kemarin, cahayu, sangat rindang rinduku padamu, di senja kenangan jingga langitmu yang lebih gegas ketimbang gema.

Sebelum langit menggulung tikar, namamu menggelayut di ranting hujan. Air berhenti, tapi genangnya terbengkalai di mana-mana adalah terjemahan dari tangismu dulu yang embun di daun kelor.

Hujan. Apakah betul itu adalah saat agar bisa kutuang air mata, yang lebih asin dari lautan yang menggigilkan rindu menggagalkan lupa--lingga ke yoni, langit berbunga di pucuk mahoni.

Apapun itu, yang meleleh di sudut mripatmu akan menjadi sajak seluas senja. Di ujung karna tembang terakhir, aku semakin tak kuasa dibekuk rindu, pada perpisahan kita yang lebih lama.

Sabtu, 09 Juli 2016

SNORKELING



Aku selalu membayangkan jika jeding, bak air kamar mandi adalah satu-satunya tempat rekreasi yang ada di rumahku. Aku berkhayal jika penampung air bertèkel (baca: jubin) biru itu, yang terletak di antara sumur dan kakus di dalam kamar mandi rumahku adalah sebuah kolam renang yang sering kulihat di televisi milik tetanggaku. Jika hari minggu tiba, ketika libur sekolah, aku bangun pagi, membersihkan jeding, lalu mengisinya hingga penuh dengan cara menimba. Entah kekuatan apa yang merasukiku saat itu, bocah SD yang lengan hingga bahunya hanya selingkaran ibu jari dan telunjuk milik anak-anak—kuat mengisi bak air sebesar itu sendirian. Aku lebih suka menyebut peristiwa ini dengan the power of children, kekuatan yang dimiliki anak-anak untuk mewujudkan keinginannya. Sebuah keinginan sederhana.

Satu tèkel pada jeding itu berukuran 20 cm x 20 cm berjajar mendatar sebanyak sepuluh buah, dan bertumpuk ke atas sebanyak lima buah. Jadi, lebar jeding dua meter dan panjang satu meter. Untuk mencapai satu tèkel penuh, aku harus menimba sebanyak dua puuluh lima kali. Untuk bisa membuat penuh satu tèkel, aku bisa menghabiskan sekira tiga puluh menitan. Setiap tiga puluh menit, aku berhenti, menaburi lantai kamar mandi dengan sabun colek, aku gosok seluruh lantai, lalu main prosotan. Dirasa cukup, aku bersihkan buih-buih sabun colek di lantai, lalu menimba lagi hingga penuh.

Lunas pekerjaan mengisi air hingga penuh, aku mengambil dingklik (kursi kecil terbuat dari kayu), menaikinya, lalu masuk ke dalam kolam renangku.

Blung.

Setiap awal memasukinya, aku merasa tenggelam di dalam air. Di dalam, aku seperti sedang berada di alam lain hingga kesadaranku kembali dan napasku terasa hampir habis. Tanganku meraih-raih bibir bak air, dapat, lalu kudorong tubuhku hingga muncul di permukaan.

Aku menghirup napas, lalu menenggelamkan badanku lagi, naik ke atas lagi, dan menenggelamkannya lagi. aku senang. Ada kegirangan, dan keriangan yang kurasa. Dan yang paling penting, aku bisa bercerita kepada teman-temanku bagaimana rasanya mandi di kolam renang. He-he-he.

Hari minggu, tahun 1994, aku mampir ke rumah tetanggaku untuk menonton televisi. Saat itu kulihat, di televisi, ada seorang yang memakai peralatan menyelam, lengkap: mengenakan wet suit, google mask atau kaca google, fins yaitu sepatu yang mirip sirip bebek, BCD (Bouyancy Compensation Device) yaitu jaket yang dapat di aliri udara, tabung scuba di punggungnya, dan snorkel yang menancap di dalam mulutnya. Di sebelah kanan laki-laki penyelam itu ada karang yang berukuran besar, segeromboloan ikan berenang di belakangnya; tak begitu lama ia menyodorkan tangan kanannya lalu mengangkat ibu jarinya—bersamaan dengan nada paduan suara: eR-Ce-Te-Ii okeeeeeee.

Tentu saja aku ingin menyelam seperti orang itu, mungkin anak-anak seusiaku juga. Tapi, untuk yang satu ini, sangat berbeda dengan kolam renang. Menyelam tidak akan dapat di lakukan di jeding rumah.
***


Telepon genggamku berdering. Sebuah nomer yang tak kukenal menghubungiku. Dengan nada malas, aku mengangkatnya: “Halo. Siapa ini?”

“Lho, justru itu saya telpon kamu. Saya ini siapa?”

Aku menarik telpon genggamku dari telinga, kulihat benda yang sedang kugenggam itu. Lalu kutempelkan lagi hp di telinga. Terdengar suara terbahak-bahak di sana. “E, cah bajingan, man robbuka?”

“Ha-ha-ha...”

Dari gaya bicaranya yang semanak, aku tahu dia adalah temanku. Teman SMA-ku dulu di Surabaya. Temanku yang satu ini secara natural telah dianugerahi gaya bicara yang nggatheli dan raut muka yang tak samapta. Tidak bodoh, tapi jauh dari kata pintar. Tapi, dia adalah seorang yang begja. Beruntung. Bisa masuk universitas teknik sipil ternama dan lulus tepat waktu. Dan karena Gusti Owwoh kasihan kepadanya, kini ia menjadi seorang yang kaya raya.

“Su, mbok ya kamu ikut saya. Bulan depan saya mau ke Wakatobi.”

“Tebih men, thel?!”

“Terumbu karangnya masih asli, kehidupan biota lautnya melimpah. Dan yang paling penting, Ndes, airnya Ndes... Airnya...”

“Wegah! Rasudi aku plesir robedebah kaya kowe.”

“Serius tha?!”

“Sik, prejengan semak-belukar kaya raimu iki isa renang, ta? Kamu kan lahir kemis kliwon, tidak cocok di air?!”

“Aku sing mbayar, wis. Tak traktir.”

“Wegah!!”

“Kowe nek  melu aku ning Wakatobi, tak unggahke Kaji.”

“Wegah!!!”

“Ayo tha?!”

“Ya wis, Su, Nek kowe meksa terus. Aku tak kuasa. Ketemu ning ndi?”

“Langsung kepethuk ning kana, ya?”
***


Beberapa minggu kemudian aku berangkat dari Jakarta, sedangkan temanku, blanthik sapi yang mengajakku, berangkat dari Surabaya. Kami janjian ketemu di Bandara Sultan Hasanuddin. Beberapa jam sebelum waktu keberangkatan, aku sudah siap meninggalkan rumah. Mobil yang sudah sedari tadi mesinnya kupanasi, kini siap kubawa menuju bandara Soekarno-Hatta. Mungkin satu minggu kendaraan kuparkir di sana. Semua keperluan sudah kumasukkan ke dalam bagasi, aku tancap gas meninggalkan rumah. Dalam perjalanan, di dalam mobil, aku mengingat keinginanku semasa kecil dulu: ingin mencoba—bagaimana rasanya menyelam. Snorkeling. Setelah kupikir-pikir, walau tidak semua, keinginan dan cita-cita kita pada akhirnya akan tercapai, tapi tidak dalam waktu yang bersamaan. Kita hanya perlu bersabar. Dan terus bergerak.

Mak wès.

Aku sudah di bandara Makassar. Minum kopi di salah satu restoran di dalam bandara. Belum habis batang kedua rokokku, temanku datang menghampiriku. Maka sesuai jadwal penerbangan, kami melanjutkan perjalanan udara menuju Bandara Haluoleo (Bandar Udara Wolter Monginsidi) Kendari. Kemudian lanjut lagi, masih dengan jalur udara, menuju Bandara Matahora di Wangi-wangi. Setelah itu, kami menuju Wanci untuk mencari penginapan yang dekat dengan lokasi Pantai Sousu. Dan di sinilah kejadian itu.

Pagi, kami mengawalinya dengan ngobrol ngalor-ngidul serta ditemani kopi dan beberapa batang kretek. Lalu, tanpa mandi terlebih dahulu, kami berdua menuju lokasi snorkeling. Melakukan gerak-gerak pemanasan, lalu menyewa alat. Kami ditemani instruktur selam, gampangannya pelatih. Rampung sesi pengarahan, aku mengenakan peralatan: pertama, wet suit, baju selam. Dia akan tetap menjaga suhu badanku saat di dalam air. Lalu Bouyancy Compensation Device, semacam jaket yang dapat di aliri udara. Kemudian tabung scuba, berisi oksigen, menyediakan udara untukku bernapas dalam air. Snorkel, alat yang kumasukkan ke dalam mulut dan tersambung ke tabung scuba. Fins, kaki katak. Membantu laju dalam air. Kaca google, melindungi mataku dari iritasi air. Kemudian, kami berempat (aku, temanku, instruktur, dan pengendara speedboat) melaju ke tengah laut menggunakan speeboat. “Lho, kamu ga nyewa alat selam?”. Tanyaku pada teman nggatheli itu.

Dia merespon pertanyaanku hanya dengan mengangkat dagu, dan alis yang dinaik-turunkan. Merasa tidak perlu menanggapi kelakuannya, aku langsung lompat ke laut.

Blung.

Tak beberapa lama, dia menyusul.

Melihat keadaan bawah laut, aku teringat ketika masa kecil dulu, ketika menenggelamkan badanku ke dalam jeding. Ada nuansa yang berbeda. Seperti alam lain. Di sini juga: karang, rumput laut, ikan-ikan, dan binatang air lainnya menambah suasana takjub pada rasaku. Sungguh sangat indah sekali pemandangan bawah air. Aku menyelam, masuk lebih dalam lagi. Aku merasakan kesunyian yang teramat sangat. Pada titik ini, aku paham, bahwa batas mati dan hidup sangat tipis sekali. Hidupku kini bergantung pada scuba pada punggungku. Semakin aku masuk ke dalam laut, kesadaranku melayang-layang: semua di dalam sini tampak bergoyang-goyang, juga ada keindahan yang berbeda dibanding daratan, dan seperti ada manipulasi cahaya di dalam laut. Sangat spirituil dan estetik. Aku masuk lebih dalam lagi, sekira 30 meter, cahaya matahari merayap makin tipis. Dasar laut belum tampak oleh mataku. Di dalam kegelapan, seperti ada suara-suara yang kudengar. Jika tidak salah, ia berasal dari dalam diriku yang kemudian tersentuh oleh cahaya tipis matahari yang berada di antara lendir-lendir tubuh ikan-ikan, mereka tampak saling menjalin dan merajut dan melebar ke seluruh samudera membawa suara yang kudengar tadi.

Dalam haru, aku teringat temanku. Aku berniat, selesai snorkeling kali ini, aku ingin mengucapkan terimakasih atas pengalaman menajubkan ini.

Aku masuk lebih dalam lagi. Tak beberapa lama menikmati trumbu karang dan ikan-ikan, sekelebat aku melihat kawanku menuju ke kedalaman yang kini telah kucapai. Aku nyalakan senter, kutujukan kepadanya. Dia menoleh ke arahku, dan aku meresponnya dengan mengacungkan jempol ke arahnya. Seperti eR-Ce-Te-Ii okeeeeeee.

aku menyusulnya.

 Tapi ada yang aneh. Aku agak heran, teman yang kutahu tidak bisa berenang itu, masih tampak asik di bawah laut. Tidak naik ke permukaan untuk ambil napas. “Kuat sekali napasnya” batinku.

Aku ikuti arah dia menyelam, tampak dia melakukan gaya yang aneh, semacam keranjingan melihat keindahan bawah laut. Aku terus ikuti dia, sambil membatin: “Lama sekali dia menyelam, tanpa tabung scuba? Kuat sekali dia menahan napas?!” Setengah takjub dan setengah rasa khawatir, aku ikuti dia, aku susul dia, lalu menepuk bagian pundaknya. Aku lepas snorkel pada mulutku, lalu mengatakan sesuatu kepadanya: “Sejak kapan kamu bisa menyelam? Kuat sekali napasmu, apa rahasianya?”


Diiringi gelembung-gelembung di sekitar mulutnya, dia mengatakan: “Aku kelelep goblok!!!”

Minggu, 03 Juli 2016

ONGKOS PULANG



Setelah melakukan kegiatan rutin di kantor, hari itu, kebetulan aku ingin menilik beberapa rumah yang kusewakan kepada para pekerja. Hanya pemeriksaan rutin. Jaraknya tidak jauh, letaknya pas di belakang rumahku; lebih-kurang lima belas menitan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Selesai memeriksa keadaan, aku balik ke rumah.

Sampai.

Laju roda berhenti tepat di depan halaman. Kunci mobil kuputar ke arah kiri, dan mesin berjenis diesel pun berhenti. Masih di dalam mobil, kulihat di sebalik kaca, seorang lelaki, muda, sedang duduk di kursi teras yang berjumlah empat biji yang sama bentuknya. Sekilas, sepertinya aku mengenal anak muda itu. Dipagari berbagai daun dari jenis bunga-bunga, ia tampak hening-bersandar sembari tertunduk di sana. Aku keluar, dengan membawa dua tas yang kuletakkan di jok belakang: satu tas berisi lapatop dan printer portable, tas yang lain berisi data-data. Aku berjalan menuju ke arahnya, laki-laki itu berdiri menyambut kedatanganku, mengulurkan tangan.

“Assalamualaikum...” sapanya.

“Waalaikumsalam... E, Koy, lawan siapa pian? Seorangan, ja?

“Sorang, Pak Haji.”

“Napa habar, Koy?”

“Waras, Pak Haji.”

“Ayo, silakan duduk.” Akoy tampak sungkan duduk di hadapanku. “Sudah lawas mahadang?”

“Hanyar ja, Pak Haji.”

Setelah terhidang dua gelas teh hangat untuk kami berdua, tentu saja aku ingin beramah tamah terlebih dahulu dengan Akoy, begitu orang menyebut namanya. Sebenarnya, secara personal, aku tak begitu mengenalnya. Tapi aku tahu jika Akoy bekerja di tempatku selama ini. Jika tidak salah, awalnya dia dipekerjakan sebagai checker: yaitu orang yang menghitung jumlah dump-truck yang berisi angkutan—yang keluar-masuk dari tambang dan kemudian melewati jembatan timbang untuk menuju ke pelabuhan. Itu pekerjaan awalnya. Setelah itu, kerna hasil beberapa laporan dia adalah anak yang sangat rajin, dan dapat dipercaya, akhirnya aku meminta dia untuk belajar menjadi master loading (orang yang mengatur letak muatan ketika dimasukkan ke dalam kapal tongkang?)—dan  seterusnya-dan seterusnya.

Setelah beberapa lama kami berbincang, Akoy pamit undurdiri. Kulihat angka pada arloji, rupanya memang sudah larut malam. Aku persilakan ia, dan mengantarnya hingga ke ambang teras. Akoy berjalan sangat pelan, tak menoleh lagi. Kasihan anaki itu. Obrolan-obrolan yang berlangsung tadi, saking tersentuhnya, terbersit banyak sekali kata dan kalimat di kepalaku. Kisahnya, tak sanggup kupendam sendiri.

Begini:


Kekasih,

Seperti katamu, maka surat ini aku tulis dengan tanganku sendiri agar—ketika kau membacanya, akan terasa olehmu—betapa penuh lekuk-liku rinduku kepadamu. Maka, kuawali surat ini ketika genap dua tahun kita tak saling bertemu, saat waktu menunjukkan pada jam pukul 01.00 Wita. Batulicin menuju Banjarmasin. Berdesak-desak di dalam angkutan mobil, rupanya di luar hujan. Selintas tadi aku dengar klakson-klakson dari arah berlawanan lalu sunyi.

Hmmm... lalu sunyi.

Sekian lama hidup di tengah hutan, di atas tanah berhamparan emas hitam, bagaimana kabar Indonesia? Apa kabar orang-orang semacam aku ini, kekasih? Di depan sana berisik, di sebelah pacaran, sedangkan aku memilih ketiduran merindukanmu.

Langit malam sehabis tangis, hitam seperti masa depan; pantas saja sedaritadi yang tampak hanya jalanan basah mengilaukan lampu-lampu merkuri, rerimbunan alas di kanan kiri, suara ban mobil pada genangan air. Membayangkan ketika aku datang ke tempat ini untuk pertamakali: A, waktu itu Dayat, temanku, menawariku sebuah pekerjaan. Ia mengajakku bekerja—yang katanya dapat merubah nasib, di luar pulau, mencari penghidupan yang lebih baik di tanah Banua. Sebagai keseriusannya, Ia mengirimiku sejumlah uang meski hanya cukup untuk perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Emas ke Pelabuhan Trisakti. Tidak lebih. Meskipun demikian, pikirku lumayan. Sudah baik hati Dayat membantu sebagian bebanku menuju tanah perjanjian. Walapun aku harus melanjutkan perjalanan melalui jalur darat sejauh 263 km, lebih kurang 5 jam’an. Lalu dilanjutkan dengan dua kali naik sepid (baca: speed boat)—tak mengapa, semoga ini adalah awal yang baik untuk perubahan besar dalam hidupku.

O, ya, kekasih. Aku masih ingat genangan pada matamu, ketika cerobong asap bertiup, kau melepas jam tanganmu, pemberian bapakmu. Katamu: “Gunakan, jika kau ingin pulang.”

Aku hanya tersenyum, tak menjawab, sebab tak terbersit sedikitpun untuk pulang tanpa membawa apa-apa.

Dug.

Sepid berhenti di suatu tempat yang sangat sunyi. Terkaan demi terkaan mulai hadir di kepala. Dayat menyambutku dengan lambaian, tapi tanpa selembar senyum pun pada bibirnya. Harapanku berbalik seratus delapan puluh derajad dengan kenyataan di depan mata. Seperti perkedel, hatiku ambyar kemana-mana. Sambil memanggul tas, dan menenteng kardus yang berisi oleh-oleh dari kampungku, kakiku menjejak tanah meninggalkan lantai sepid dengan suasana hati kecewa—yang segera sadar bahwa sesungguhnya Dayat sedang mencari kawan untuk masa gelap di tempat seasing ini. Dayat dibuang oleh karma atas perbuatannya, dan ia mengajakku.

Ketika pertamakali berniat untuk merantau, yang kupegang adalah janji-janji Dayat tentang sebuah pekerjaan dengan berbagai fasilitas dan hunian untuk pegawai. Gaji yang besar, prestise yang akan kusandang, dan berbagai cuilan-cuilan surga yang selalu ia ceritakan kepadaku. Tapi, kenyataan berbicara lain. Begitu turun dari sepid, di depan mataku hanyalah belantara gung liwang-liwung, dan berjajar pohon-pohon liar yang saling membelit dengan perdu dan semak perawan.

Dayat mengulurkan tangan, “bagaimana perjalananmu?”

Aku menyambut uluran tangannya dengan senyum yang sedikit kupaksa.

Dengan segenap rasa pegal di seluruh badanku, Dayat mengajakku berjalan menuju rumahnya, sebuah rumah sewa, jaraknya cukup jauh dari pelabuhan kecil ini. Akhirnya kami berdua sampai. Rumah yang dimaksud Dayat adalah rumah panggung yang berbahan kayu, memiliki hanya satu kamar saja, tanpa tv dan barang elektronik lainnya, juga satu ruang  dengan atap terbuka—yang biasa digunakan untuk mandi dan cuci-cuci. Malam itu, di bawah temaram lampu dan serbuan nyamuk-nyamuk, aku tidur beralas kecewa.

Dan beberapa bulan pun telah berlalu.

Hari itu terasa dingin sekali. Di luar hujan. Sesekali, di tengah tidurku, aku mendengar suara benturan yang sangat keras. Antara kayu dengan kayu, seperti dibanting. Cepat-cepat aku lari ke arah muka, ternyata pintu sudah terbuka sebab terdorong oleh angin. Seperti yang sudah kubilang, di luar sedang hujan. Saat itu aku sadar, di dalam rumah, sejatinya aku sedang sendirian. Dayat pergi, entah ke mana.

Nasib ini, mana mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Itulah alasan kenapa Tuhan menyematkan gengsi pada diri laki-laki, mungkin agar aku dapat melupakan tangisku sendiri—agar terus dapat memelihara harapan yang sudah kadung terbit di rerimbunan angan-anganmu.

Sedari awal kita bertemu, kita sepakat untuk membangun berlapis-lapis kesadaran bahwa harapan haruslah besar, tapi hasil tak bisa kita paksakan. Pada titik itulah kita harus berpasrah, sangat berbeda dengan menyerah.
***

Mobil terus melaju, ugal-ugalan. Membangunkanku dari tidur atas gambar-gambar wajahmu. Jam tangan menunjukkan pukul 05.00 Wita. Sama seperti saat itu, pada suatu hari, perutku ngamuk tak keruan. Wajar saja, seharian ini hanya kuisi dengan beberapa teguk air. Stok ‘Supermi isi dua’ milikku hanya tinggal satu, rencananya akan kumakan ketika sarapan pagi sebelum pergi ke pelabuhan untuk mencari pekerjaan (baru). Dalam keadaan seperti ini, maafkan aku yang telah mendua: selain merindukanmu, ingatanku diam-diam juga mengenang rasa nasi yang kumakan beberapa hari yang lalu. Kebetulan tetanggaku sedang ada hajat, memperingati seratus hari kepergian putranya kerna sakit demam berdarah. Di antara gigil dan haru sahibul hajat, aku menyembunyikan rasa girang.

Lheg.

Kurasai dingin sekali di dalam lambung, nikmat. Air liur dalam mulut—aku tekan sedalam-dalamnyanya perutku—untuk mengingat nasi-slametan beberapa hari yang lalu. Hmmm... sepertinya rasa dingin itu masih tersisa hingga tubuhku gemetar. Sebagai penyandang penyakit maag, getar itu adalah tanda bahwa aku sudah sangat kelaparan. Kulirik arloji pemberianmu, masih pukul 05.00 Wita. Tanpa pikir panjang, ‘Supermi isi dua’ semata-wayang itu—riwayatnya harus kusudahi pada subuh ini, di atas kompor sumbu milikku. Tak tahan jika aku harus menunggu saat jam sarapan.

‘Supermi isi dua’ raib begitu saja.

Tapi, sebelum merebusnya, kupandangi arlojimu dalam-dalam. Sungguh ini bukan bualan. Tiba-tiba saja, lewat detakkannya, aku menemukan harapan.

Piring aku cuci, lalu kujepitkan ia di sela-sela dinding kayu, dalam keadaan berdiri. Rampung, aku siap-siap berangkat.

Di atas atap-atap jerami yang basah, langit dikelir biru. Samar-samar jalan-jalan desa sudah mulai tampak. Semoga saja ‘Supermi isi dua’ ini bisa bertahan seharian. Setelah membersihkan diri, aku bergegas menuju ke pelabuhan.

Pintu kututup, lalu berjalan penuh dengan rasa kenyang.

Atas nikmat pagi ini, pulihnya tenagaku dari rasa lapar, aku ingin berterimakasih kepada pemerintah yang telah mengimpor biji gandum melalui BULOG, kemudian diolah oleh PT. Bogasari sebanyak 70%, lalu PT. Bogasari diakuisisi oleh PT. Indofood. Kepada BULOG dan PT. Indofood aku sangat-sangat berterimakasih, tapi yang utama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebab mereka hanya perantara.

Sebelum merantau ke pulau ini, sering aku dengar beberapa orang yang berkampanye: mengajak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi mie instan. Alasannya macam-macam. Dari alasan kesehatan, sampai kepada isu-isu politik-ekonomi tentang penjajahan pihak luar negeri di balik impor gandum dan produk mie instan.

Masalah kesehatan, konon, mengkonsumsi mie instan dapat mengakibatkan mutasi-gen atau transgenesis. Ini diakibatkan dari bumbu-rasa pada mie instan tersebut. Misalnya rasa ayam bawang, maka tubuh mempersiapkan dirinya untuk mengolah ayam bawang. Tapi kerna yang diolah adalah mie, bukan ayam bawang, maka sel mengadaptasi dirinya—bahwa ayam bawang adalah berbentuk lonjong-panjang. Di dalam DNA manusia terdapat gen yang memiliki kode-kode genetik tertentu, bentuknya kira-kira seperti anak tangga. Setiap anak tangga memiliki kode yang berpasang-pasangan: garis anak tangga atas, misalnya dengan kode A, maka garis anak tangga bawah, harus berkode B. Maka, jika ketika makanan yang kita makan memberi informasi yang salah, kode A malah bertemu dengan kode C, akan berakibat pada penurunan kwalitas gen. Jika diaplikasikan pada proses pembuahan, reproduksi, maka mengkonsumsi mie instan dapat berakibat gagalnya gen ketika  membentuk jaringan, yang puncaknya akan gagal membentuk organ. Sangat berbahaya untuk regenerasi dan keturunan. Belum masalah-masalah lain yang ditimbulkan.

Persoalan di level politik-ekonomi, Indonesia bukan negara penghasil gandum. Harus impor. Maka, ketergantungan terhadap gandum, dapat berakibat fatal jika suatu saat terjadi embargo— dari pihak luar—yang menghentikan suplai produknya di tengah permintaan yang sangat banyak. Akan terjadi inflasi.

Halah... halah... halaaahh... preketek!!!

Yang memprakarsai kampanye itu adalah orang kaya, pantas jika mereka tidak doyan makan mie instan. Aku? Yang miskin ini, mana bisa menghindar? Padahal amanahnya jelas pada Pasal 34 Ayat 1 UUD 45: fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Aku orang miskin, dan ditelantarkan teman di tempat asing ini. Harusnya negara hadir untuk memeliharaku. Tidak usah muluk-muluk, memelihara di sini maksudku cukup dengan ongkos pulang ke kampung saja. Atau, jika tidak, berilah aku pekerjaan.

Tapi, negara memang tidak akan hadir kecuali mengenai urusan pungutan pajak dan retribusi. Negara tidak pernah hadir dalam kasus remeh milik orang miskin sepertiku. Padahal, katanya, equality before the law, semua sama di depan hukum. Iya, di depan hukum memang semua sama. Yang beda itu ketika di belakang hukum. Tinggal siapa yang mampu dan mau ‘wani piro’—maka kelarlah urusannya.

Dan, kerna fakir miskin dan anak terlantar tidak pernah dipelihara oleh negara, maka mereka (baca: fakir miskin dan anak terlantar) kini dipelihara oleh Indofood.
***

Ketika sampai di pelabuhan, suasananya masih sepi. Kira-kira masih jam 06.00 Wita. Aku duduk di tepi dermaga. Mungkin lima atau tujuh menitan aku duduk, sebuah mobil berhenti pas di depanku. Pintu belakang terbuka, seorang berperawakan kecil dan tambun keluar dari sana. Rupanya Pak Haji Sabran, pengusaha batubara. Aku berdiri, menyambutnya.

“Sedang apa kamu di sini?”

“Cari pekerjaan, Pak Haji.”

“Bisa baca-tulis?”

“Bisa, Pak Haji.”

“Ajak dia jadi checker,” perintah Pak Haji Sabran kepada sopirnya. Dan sopirnya pun langsung mengangguk, pelan.

Merasa diterima, aku langsung meraih tangan Pak Haji Sabran, menciumnya sembari mengucapkan terimakasih yang tak ada habis-habisnya.
***

Beberapa bulan kemudian, kekasih, Pak Haji Sabran mempercayaiku menjadi Master Loading. Itu, orang yang berperan dalam pengawasan proses bongkar-muat—muatan curah untuk memastikan kegiatan tersebut berjalan efisien. Artinya, seorang master Master Loading harus mengetahui titik dalam stabilitas kapal: pusat gravitasi, pusat daya apung, dan mata center; agar ketika proses muat, tongkang tidak patah kerna letak muatan yang tidak seimbang. Waktu yang digunakan lebih cepat dalam proses bongkar atau muat, dan yang paling penting—muatan aman selama perjalanan laut.

Pada jabatan baru ini, akhirnya aku mengenal mekanisme kegiatan bisnis juraganku dan seluk-beluk yang terjadi di dalamnya.

Pak Haji Sabran adalah pengusaha batubara yang biasa didatangi oleh utusan perusahaan yang membutuhkan batubara untuk mesin pabriknya. Majikanku ini punya lahan tambang. Tapi, jika spesifikasi batubara miliknya tidak sesuai dengan permintaan user, dia bisa mengambil batubara milik perusahaan besar di sini. Tentu saja secara diam-diam. Caranya cukup mudah: proses pengangkutan dilakukan malam hari, tentu saja dengan kompensasi ekonomi untuk orang dalam. Lalu muatan itu di bawa ke pelabuhan dengan sepengetahuan oknum polsek sekitar. Ya setor sejumlah uang. Tidak cukup di situ, bosku juga melibatkan oknum-oknum yang lain: perhutani, babinsa, dan polairut. Semua kecipratan. Yang penting aman. Ini kegiatan gotong-royong, tahu sama tahu.

Rusak memang. Tapi, aku makan dari kegiatan itu. Setengah dari diriku menikmatinya, setengah lagi mengutuknya. Setiap hari.

Dan, beberapa bulan kemudian, entah kerna alasan apa, aparat berdatangan. Menyita semua alat berat yang sedang bekerja. Termasuk perusahaanku. Seluruh kegiatan berhenti untuk waktu beberapa lama.

Uangku habis. Sebagian kukirim ke orang tuaku, sebagian lagi kepadamu untuk ditabung, dan sisanya kugunakan untuk keperluan sehari-hari. Uang yang kugunakan untuk keperluan sehari-hari telah habis. Persediaan ‘Supermi isi dua’ kini tinggal beberapa bungkus saja. Suasana desa kini sepi, tak seperti dulu. Lebih tepatnya mati, tak ada kegiatan. Tidak ada listrik di siang hari. Mesin genset desa, yang diperkunakan untuk mensuplai listrik ke rumah warga, hanya dinyalakan pada jam enam sore hingga jam enam pagi. Tak ada radio, apalagi televisi. Koran pun tak ada. Bagaimana kabar Indonesia, kekasih?

Akhirnya, malam itu aku memberanikan diri datang ke rumah Pak Haji Sabran, majikanku. Jika berjalan kaki, rumah Haji Sabran sekitar lima belas menitan dari kontrakanku. Kontrakanku ya rumah milik Haji Sabran yang disewa-sewakan.

Aku mengetuk pintu, yang membukakan adalah pembantunya. Dia bilang, “Pak Haji belum datang. Tunggu saja di depan.”

Aku duduk di teras rumah, di salah satu kursi. Aku duduk sambil tertunduk, malu, jika kedatanganku kali ini memang ada maksud yang mendesak, minta tolong.

Tak begitu lama, mobil Pak Haji Sabran terdengar memasuki halaman. Beliau berjalan ke arahku sambil menenteng dua tas di bahu kanan dan kirinya. Aku berdiri, kemudian uluk salam.

“Waalaikumsalam... E, Koy, kamu sama siapa? Sendiri saja?

“Sendiri, Pak Haji.”

“Apa kabar, Koy?”

“Baik, Pak Haji.”

“Ayo, silakan duduk. Sudah lama menunggu?”

“Baru saja, Pak Haji.”

“Min,” teriak Pak Haji Sabran. Pembantunya keluar. “Buatkan kami teh hangat.” Pembantu itu mengangguk, lalu segera masuk ke dalam. Tidak beberapa lama, ia keluar dengan dua cangkir gelas di atas nampan.

“Ayo, Koy, diminum!”

Aku menyruput teh hangat itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Koy?”

Aku melepaskan arloji dari lengan kananku, meletakkannya di atas meja. Arloji pemberian kekasihku. “Ini, Pak Haji.”

“E, apa ini Koy?”

“Ini adalah jam pemberian pacar saya, Pak Haji.” Kemudian kuceritakan semua kisahku padanya. Dari Dayat, kedatanganku ke sini, mendapat kerja dari Pak Haji, hingga hari ini.

“Bukannya benda ini sangat penting bagimu?”

“Betul, Pak Haji. Saya datang ke sini untuk meminta bantuan kepada Pak Haji, tapi hidup tidak boleh gratis. Maka, saya serahkan sebagian hati dan harapan saya untuk di tukar ongkos pulang. Saya ingin balik ke kampung saja.”

Pak Haji Sabran mengambil amplop dari tasnya. Tanpa di hitung, beliau langsung menyerahkan kepadaku.

Setelah melanjutkan obrolan, akhirnya aku pamit. Takut kemalaman, ketinggalan sepid. Pak Haji melirik angka pada arloji di atas meja. Lalu berdiri, mengulurkan tangan. “ Ya sudah, selamat jalan. Jangan kecil hati, Koy. Alam ini diciptakan agar kita mengalami. Hanya mengalami. Tidak lebih. Sejatinya kita tak pernah mendapatkan apa-apa, dan kehilangan apa-apa. Itulah ongkos kita pulang. ‘Mengalami’ sejatinya adalah penyaksian, syahadat jika dalam term agama.”

“Terimakasih, Pak Haji.”

Aku cium tangan Pak Haji Sabran, kemudian balik badan, berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Maka, kuakhiri suratku kali ini kepadamu. Semoga kita segera bertemu.