Setelah melakukan
kegiatan rutin di kantor, hari itu, kebetulan aku ingin menilik beberapa rumah
yang kusewakan kepada para pekerja. Hanya pemeriksaan rutin. Jaraknya tidak
jauh, letaknya pas di belakang rumahku; lebih-kurang lima belas menitan jika ditempuh
dengan berjalan kaki. Selesai memeriksa keadaan, aku balik ke rumah.
Sampai.
Laju roda berhenti tepat
di depan halaman. Kunci mobil kuputar ke arah kiri, dan mesin berjenis diesel pun berhenti. Masih di dalam
mobil, kulihat di sebalik kaca, seorang lelaki, muda, sedang duduk di kursi
teras yang berjumlah empat biji yang sama bentuknya. Sekilas, sepertinya aku
mengenal anak muda itu. Dipagari berbagai daun dari jenis bunga-bunga, ia
tampak hening-bersandar sembari tertunduk di sana. Aku keluar, dengan membawa
dua tas yang kuletakkan di jok belakang: satu tas berisi lapatop dan printer portable, tas yang lain berisi
data-data. Aku berjalan menuju ke arahnya, laki-laki itu berdiri menyambut
kedatanganku, mengulurkan tangan.
“Assalamualaikum...”
sapanya.
“Waalaikumsalam... E,
Koy, lawan siapa pian? Seorangan, ja?
“Sorang, Pak Haji.”
“Napa habar, Koy?”
“Waras, Pak Haji.”
“Ayo, silakan duduk.”
Akoy tampak sungkan duduk di hadapanku. “Sudah lawas mahadang?”
“Hanyar ja, Pak Haji.”
Setelah terhidang dua
gelas teh hangat untuk kami berdua, tentu saja aku ingin beramah tamah terlebih
dahulu dengan Akoy, begitu orang menyebut namanya. Sebenarnya, secara personal,
aku tak begitu mengenalnya. Tapi aku tahu jika Akoy bekerja di tempatku selama
ini. Jika tidak salah, awalnya dia dipekerjakan sebagai checker: yaitu orang yang menghitung jumlah dump-truck yang berisi
angkutan—yang keluar-masuk dari tambang dan kemudian melewati jembatan timbang
untuk menuju ke pelabuhan. Itu pekerjaan awalnya. Setelah itu, kerna hasil
beberapa laporan dia adalah anak yang sangat rajin, dan dapat dipercaya, akhirnya
aku meminta dia untuk belajar menjadi master
loading (orang yang mengatur letak muatan ketika dimasukkan ke dalam kapal
tongkang?)—dan seterusnya-dan seterusnya.
Setelah beberapa lama kami
berbincang, Akoy pamit undurdiri. Kulihat angka pada arloji, rupanya memang
sudah larut malam. Aku persilakan ia, dan mengantarnya hingga ke ambang teras. Akoy
berjalan sangat pelan, tak menoleh lagi. Kasihan anaki itu. Obrolan-obrolan
yang berlangsung tadi, saking tersentuhnya, terbersit banyak sekali kata dan
kalimat di kepalaku. Kisahnya, tak sanggup kupendam sendiri.
Begini:
Kekasih,
Seperti katamu, maka
surat ini aku tulis dengan tanganku sendiri agar—ketika kau membacanya, akan
terasa olehmu—betapa penuh lekuk-liku rinduku kepadamu. Maka, kuawali surat ini
ketika genap dua tahun kita tak saling bertemu, saat waktu menunjukkan pada jam
pukul 01.00 Wita. Batulicin menuju Banjarmasin. Berdesak-desak di dalam angkutan
mobil, rupanya di luar hujan. Selintas tadi aku dengar klakson-klakson dari
arah berlawanan lalu sunyi.
Hmmm... lalu sunyi.
Sekian lama hidup di tengah
hutan, di atas tanah berhamparan emas hitam, bagaimana kabar Indonesia? Apa
kabar orang-orang semacam aku ini, kekasih? Di depan sana berisik, di sebelah
pacaran, sedangkan aku memilih ketiduran merindukanmu.
Langit malam sehabis
tangis, hitam seperti masa depan; pantas saja sedaritadi yang tampak hanya
jalanan basah mengilaukan lampu-lampu merkuri, rerimbunan alas di kanan kiri, suara ban mobil pada genangan air. Membayangkan
ketika aku datang ke tempat ini untuk pertamakali: A, waktu itu Dayat, temanku,
menawariku sebuah pekerjaan. Ia mengajakku bekerja—yang katanya dapat merubah
nasib, di luar pulau, mencari penghidupan yang lebih baik di tanah Banua. Sebagai
keseriusannya, Ia mengirimiku sejumlah uang meski hanya cukup untuk perjalanan
dari Pelabuhan Tanjung Emas ke Pelabuhan Trisakti. Tidak lebih. Meskipun
demikian, pikirku lumayan. Sudah baik hati Dayat membantu sebagian bebanku
menuju tanah perjanjian. Walapun aku harus melanjutkan perjalanan melalui jalur
darat sejauh 263 km, lebih kurang 5 jam’an. Lalu dilanjutkan dengan dua kali
naik sepid (baca: speed boat)—tak
mengapa, semoga ini adalah awal yang baik untuk perubahan besar dalam hidupku.
O, ya, kekasih. Aku masih
ingat genangan pada matamu, ketika cerobong asap bertiup, kau melepas jam
tanganmu, pemberian bapakmu. Katamu: “Gunakan, jika kau ingin pulang.”
Aku hanya tersenyum, tak
menjawab, sebab tak terbersit sedikitpun untuk pulang tanpa membawa apa-apa.
Dug.
Sepid berhenti di suatu
tempat yang sangat sunyi. Terkaan demi terkaan mulai hadir di kepala. Dayat menyambutku
dengan lambaian, tapi tanpa selembar senyum pun pada bibirnya. Harapanku
berbalik seratus delapan puluh derajad dengan kenyataan di depan mata. Seperti
perkedel, hatiku ambyar kemana-mana. Sambil memanggul tas, dan menenteng kardus
yang berisi oleh-oleh dari kampungku, kakiku menjejak tanah meninggalkan lantai
sepid dengan suasana hati kecewa—yang segera sadar bahwa sesungguhnya Dayat
sedang mencari kawan untuk masa gelap di tempat seasing ini. Dayat dibuang oleh
karma atas perbuatannya, dan ia mengajakku.
Ketika pertamakali
berniat untuk merantau, yang kupegang adalah janji-janji Dayat tentang sebuah
pekerjaan dengan berbagai fasilitas dan hunian untuk pegawai. Gaji yang besar,
prestise yang akan kusandang, dan berbagai cuilan-cuilan surga yang selalu ia
ceritakan kepadaku. Tapi, kenyataan berbicara lain. Begitu turun dari sepid, di
depan mataku hanyalah belantara gung liwang-liwung, dan berjajar pohon-pohon
liar yang saling membelit dengan perdu dan semak perawan.
Dayat mengulurkan tangan,
“bagaimana perjalananmu?”
Aku menyambut uluran
tangannya dengan senyum yang sedikit kupaksa.
Dengan segenap rasa pegal
di seluruh badanku, Dayat mengajakku berjalan menuju rumahnya, sebuah rumah
sewa, jaraknya cukup jauh dari pelabuhan kecil ini. Akhirnya kami berdua sampai.
Rumah yang dimaksud Dayat adalah rumah panggung yang berbahan kayu, memiliki
hanya satu kamar saja, tanpa tv dan barang elektronik lainnya, juga satu ruang dengan atap terbuka—yang biasa digunakan untuk
mandi dan cuci-cuci. Malam itu, di bawah temaram lampu dan serbuan
nyamuk-nyamuk, aku tidur beralas kecewa.
Dan beberapa bulan pun telah
berlalu.
Hari itu terasa dingin sekali.
Di luar hujan. Sesekali, di tengah tidurku, aku mendengar suara benturan yang
sangat keras. Antara kayu dengan kayu, seperti dibanting. Cepat-cepat aku lari ke
arah muka, ternyata pintu sudah terbuka sebab terdorong oleh angin. Seperti
yang sudah kubilang, di luar sedang hujan. Saat itu aku sadar, di dalam rumah,
sejatinya aku sedang sendirian. Dayat pergi, entah ke mana.
Nasib ini, mana mungkin
dapat kuceritakan kepadamu. Itulah alasan kenapa Tuhan menyematkan gengsi pada
diri laki-laki, mungkin agar aku dapat melupakan tangisku sendiri—agar terus
dapat memelihara harapan yang sudah kadung terbit di rerimbunan angan-anganmu.
Sedari awal kita bertemu,
kita sepakat untuk membangun berlapis-lapis kesadaran bahwa harapan haruslah
besar, tapi hasil tak bisa kita paksakan. Pada titik itulah kita harus
berpasrah, sangat berbeda dengan menyerah.
***
Mobil terus melaju,
ugal-ugalan. Membangunkanku dari tidur atas gambar-gambar wajahmu. Jam tangan
menunjukkan pukul 05.00 Wita. Sama seperti saat itu, pada suatu hari, perutku
ngamuk tak keruan. Wajar saja, seharian ini hanya kuisi dengan beberapa teguk
air. Stok ‘Supermi isi dua’ milikku hanya tinggal satu, rencananya akan kumakan
ketika sarapan pagi sebelum pergi ke pelabuhan untuk mencari pekerjaan (baru).
Dalam keadaan seperti ini, maafkan aku yang telah mendua: selain merindukanmu,
ingatanku diam-diam juga mengenang rasa nasi yang kumakan beberapa hari yang
lalu. Kebetulan tetanggaku sedang ada hajat, memperingati seratus hari
kepergian putranya kerna sakit demam berdarah. Di antara gigil dan haru sahibul hajat, aku menyembunyikan rasa
girang.
Lheg.
Kurasai dingin sekali di
dalam lambung, nikmat. Air liur dalam mulut—aku tekan sedalam-dalamnyanya
perutku—untuk mengingat nasi-slametan
beberapa hari yang lalu. Hmmm... sepertinya rasa dingin itu masih tersisa
hingga tubuhku gemetar. Sebagai penyandang penyakit maag, getar itu adalah tanda bahwa aku sudah sangat kelaparan.
Kulirik arloji pemberianmu, masih pukul 05.00 Wita. Tanpa pikir panjang,
‘Supermi isi dua’ semata-wayang itu—riwayatnya harus kusudahi pada subuh ini,
di atas kompor sumbu milikku. Tak tahan jika aku harus menunggu saat jam
sarapan.
‘Supermi isi dua’ raib
begitu saja.
Tapi, sebelum merebusnya,
kupandangi arlojimu dalam-dalam. Sungguh ini bukan bualan. Tiba-tiba saja,
lewat detakkannya, aku menemukan harapan.
Piring aku cuci, lalu
kujepitkan ia di sela-sela dinding kayu, dalam keadaan berdiri. Rampung, aku
siap-siap berangkat.
Di atas atap-atap jerami
yang basah, langit dikelir biru. Samar-samar jalan-jalan desa sudah mulai
tampak. Semoga saja ‘Supermi isi dua’ ini bisa bertahan seharian. Setelah
membersihkan diri, aku bergegas menuju ke pelabuhan.
Pintu kututup, lalu
berjalan penuh dengan rasa kenyang.
Atas nikmat pagi ini,
pulihnya tenagaku dari rasa lapar, aku ingin berterimakasih kepada pemerintah
yang telah mengimpor biji gandum melalui BULOG, kemudian diolah oleh PT.
Bogasari sebanyak 70%, lalu PT. Bogasari diakuisisi oleh PT. Indofood. Kepada BULOG
dan PT. Indofood aku sangat-sangat berterimakasih, tapi yang utama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebab mereka
hanya perantara.
Sebelum merantau ke pulau
ini, sering aku dengar beberapa orang yang berkampanye: mengajak masyarakat
untuk tidak mengkonsumsi mie instan. Alasannya macam-macam. Dari alasan kesehatan,
sampai kepada isu-isu politik-ekonomi tentang penjajahan pihak luar negeri di
balik impor gandum dan produk mie instan.
Masalah kesehatan, konon,
mengkonsumsi mie instan dapat mengakibatkan mutasi-gen atau transgenesis. Ini
diakibatkan dari bumbu-rasa pada mie instan tersebut. Misalnya rasa ayam
bawang, maka tubuh mempersiapkan dirinya untuk mengolah ayam bawang. Tapi kerna
yang diolah adalah mie, bukan ayam bawang, maka sel mengadaptasi dirinya—bahwa
ayam bawang adalah berbentuk lonjong-panjang. Di dalam DNA manusia terdapat gen
yang memiliki kode-kode genetik tertentu, bentuknya kira-kira seperti anak
tangga. Setiap anak tangga memiliki kode yang berpasang-pasangan: garis anak
tangga atas, misalnya dengan kode A, maka garis anak tangga bawah, harus
berkode B. Maka, jika ketika makanan yang kita makan memberi informasi yang
salah, kode A malah bertemu dengan kode C, akan berakibat pada penurunan
kwalitas gen. Jika diaplikasikan pada proses pembuahan, reproduksi, maka
mengkonsumsi mie instan dapat berakibat gagalnya gen ketika membentuk jaringan, yang puncaknya akan gagal
membentuk organ. Sangat berbahaya untuk regenerasi dan keturunan. Belum
masalah-masalah lain yang ditimbulkan.
Persoalan di level
politik-ekonomi, Indonesia bukan negara penghasil gandum. Harus impor. Maka,
ketergantungan terhadap gandum, dapat berakibat fatal jika suatu saat terjadi
embargo— dari pihak luar—yang menghentikan suplai produknya di tengah
permintaan yang sangat banyak. Akan terjadi inflasi.
Halah... halah... halaaahh...
preketek!!!
Yang memprakarsai
kampanye itu adalah orang kaya, pantas jika mereka tidak doyan makan mie
instan. Aku? Yang miskin ini, mana bisa menghindar? Padahal amanahnya jelas
pada Pasal 34 Ayat 1 UUD 45: fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara. Aku orang miskin, dan ditelantarkan teman di tempat asing ini. Harusnya
negara hadir untuk memeliharaku. Tidak usah muluk-muluk, memelihara di sini
maksudku cukup dengan ongkos pulang ke kampung saja. Atau, jika tidak, berilah
aku pekerjaan.
Tapi, negara memang tidak
akan hadir kecuali mengenai urusan pungutan pajak dan retribusi. Negara tidak
pernah hadir dalam kasus remeh milik orang miskin sepertiku. Padahal, katanya, equality before the law, semua sama di
depan hukum. Iya, di depan hukum memang semua sama. Yang beda itu ketika di
belakang hukum. Tinggal siapa yang mampu dan mau ‘wani piro’—maka kelarlah
urusannya.
Dan, kerna fakir miskin
dan anak terlantar tidak pernah dipelihara oleh negara, maka mereka (baca:
fakir miskin dan anak terlantar) kini dipelihara oleh Indofood.
***
Ketika sampai di
pelabuhan, suasananya masih sepi. Kira-kira masih jam 06.00 Wita. Aku duduk di
tepi dermaga. Mungkin lima atau tujuh menitan aku duduk, sebuah mobil berhenti
pas di depanku. Pintu belakang terbuka, seorang berperawakan kecil dan tambun
keluar dari sana. Rupanya Pak Haji Sabran, pengusaha batubara. Aku berdiri,
menyambutnya.
“Sedang apa kamu di
sini?”
“Cari pekerjaan, Pak
Haji.”
“Bisa baca-tulis?”
“Bisa, Pak Haji.”
“Ajak dia jadi checker,” perintah Pak Haji Sabran
kepada sopirnya. Dan sopirnya pun langsung mengangguk, pelan.
Merasa diterima, aku
langsung meraih tangan Pak Haji Sabran, menciumnya sembari mengucapkan
terimakasih yang tak ada habis-habisnya.
***
Beberapa bulan kemudian,
kekasih, Pak Haji Sabran mempercayaiku menjadi Master Loading. Itu, orang yang berperan dalam pengawasan proses
bongkar-muat—muatan curah untuk memastikan kegiatan tersebut berjalan efisien.
Artinya, seorang master Master Loading harus
mengetahui titik dalam stabilitas kapal: pusat gravitasi, pusat daya apung, dan
mata center; agar ketika proses muat, tongkang tidak patah kerna letak muatan
yang tidak seimbang. Waktu yang digunakan lebih cepat dalam proses bongkar atau
muat, dan yang paling penting—muatan aman selama perjalanan laut.
Pada jabatan baru ini,
akhirnya aku mengenal mekanisme kegiatan bisnis juraganku dan seluk-beluk yang
terjadi di dalamnya.
Pak Haji Sabran adalah
pengusaha batubara yang biasa didatangi oleh utusan perusahaan yang membutuhkan
batubara untuk mesin pabriknya. Majikanku ini punya lahan tambang. Tapi, jika
spesifikasi batubara miliknya tidak sesuai dengan permintaan user, dia bisa mengambil batubara milik
perusahaan besar di sini. Tentu saja secara diam-diam. Caranya cukup mudah:
proses pengangkutan dilakukan malam hari, tentu saja dengan kompensasi ekonomi
untuk orang dalam. Lalu muatan itu di bawa ke pelabuhan dengan sepengetahuan
oknum polsek sekitar. Ya setor sejumlah uang. Tidak cukup di situ, bosku juga
melibatkan oknum-oknum yang lain: perhutani, babinsa, dan polairut. Semua
kecipratan. Yang penting aman. Ini kegiatan gotong-royong, tahu sama tahu.
Rusak memang. Tapi, aku
makan dari kegiatan itu. Setengah dari diriku menikmatinya, setengah lagi
mengutuknya. Setiap hari.
Dan, beberapa bulan
kemudian, entah kerna alasan apa, aparat berdatangan. Menyita semua alat berat
yang sedang bekerja. Termasuk perusahaanku. Seluruh kegiatan berhenti untuk
waktu beberapa lama.
Uangku habis. Sebagian
kukirim ke orang tuaku, sebagian lagi kepadamu untuk ditabung, dan sisanya
kugunakan untuk keperluan sehari-hari. Uang yang kugunakan untuk keperluan
sehari-hari telah habis. Persediaan ‘Supermi isi dua’ kini tinggal beberapa
bungkus saja. Suasana desa kini sepi, tak seperti dulu. Lebih tepatnya mati,
tak ada kegiatan. Tidak ada listrik di siang hari. Mesin genset desa, yang diperkunakan untuk mensuplai listrik ke rumah
warga, hanya dinyalakan pada jam enam sore hingga jam enam pagi. Tak ada radio,
apalagi televisi. Koran pun tak ada. Bagaimana kabar Indonesia, kekasih?
Akhirnya, malam itu aku
memberanikan diri datang ke rumah Pak Haji Sabran, majikanku. Jika berjalan
kaki, rumah Haji Sabran sekitar lima belas menitan dari kontrakanku.
Kontrakanku ya rumah milik Haji Sabran yang disewa-sewakan.
Aku mengetuk pintu, yang
membukakan adalah pembantunya. Dia bilang, “Pak Haji belum datang. Tunggu saja
di depan.”
Aku duduk di teras rumah,
di salah satu kursi. Aku duduk sambil tertunduk, malu, jika kedatanganku kali
ini memang ada maksud yang mendesak, minta tolong.
Tak begitu lama, mobil
Pak Haji Sabran terdengar memasuki halaman. Beliau berjalan ke arahku sambil
menenteng dua tas di bahu kanan dan kirinya. Aku berdiri, kemudian uluk salam.
“Waalaikumsalam... E,
Koy, kamu sama siapa? Sendiri saja?
“Sendiri, Pak Haji.”
“Apa kabar, Koy?”
“Baik, Pak Haji.”
“Ayo, silakan duduk.
Sudah lama menunggu?”
“Baru saja, Pak Haji.”
“Min,” teriak Pak Haji
Sabran. Pembantunya keluar. “Buatkan kami teh hangat.” Pembantu itu mengangguk,
lalu segera masuk ke dalam. Tidak beberapa lama, ia keluar dengan dua cangkir
gelas di atas nampan.
“Ayo, Koy, diminum!”
Aku menyruput teh hangat
itu.
“Ada yang bisa saya
bantu, Koy?”
Aku melepaskan arloji
dari lengan kananku, meletakkannya di atas meja. Arloji pemberian kekasihku.
“Ini, Pak Haji.”
“E, apa ini Koy?”
“Ini adalah jam pemberian
pacar saya, Pak Haji.” Kemudian kuceritakan semua kisahku padanya. Dari Dayat,
kedatanganku ke sini, mendapat kerja dari Pak Haji, hingga hari ini.
“Bukannya benda ini
sangat penting bagimu?”
“Betul, Pak Haji. Saya
datang ke sini untuk meminta bantuan kepada Pak Haji, tapi hidup tidak boleh
gratis. Maka, saya serahkan sebagian hati dan harapan saya untuk di tukar ongkos
pulang. Saya ingin balik ke kampung saja.”
Pak Haji Sabran mengambil
amplop dari tasnya. Tanpa di hitung, beliau langsung menyerahkan kepadaku.
Setelah melanjutkan
obrolan, akhirnya aku pamit. Takut kemalaman, ketinggalan sepid. Pak Haji
melirik angka pada arloji di atas meja. Lalu berdiri, mengulurkan tangan. “ Ya
sudah, selamat jalan. Jangan kecil hati, Koy. Alam ini diciptakan agar kita
mengalami. Hanya mengalami. Tidak lebih. Sejatinya kita tak pernah mendapatkan
apa-apa, dan kehilangan apa-apa. Itulah ongkos kita pulang. ‘Mengalami’
sejatinya adalah penyaksian, syahadat jika dalam term agama.”
“Terimakasih, Pak Haji.”
Aku cium tangan Pak Haji
Sabran, kemudian balik badan, berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Maka,
kuakhiri suratku kali ini kepadamu. Semoga kita segera bertemu.