Jumat, 27 Mei 2016

POHON MANGGA NO. 18


Aku selalu berdiri di halaman paling muka, tepat di belakang pagar beton sang pemilik rumah. Aku tinggal di sini sudah cukup lama, ketika jalan masih berupa batu dan tanah dengan bahu jalan yang masih ditumbuhi rerumputan dan alang-alang: tanahnya kuning kecoklatan, belum berwarna hitam lapisan aspal. Tiang-tiang listrik juga belum ada, penerangan hanya berasal dari lampu-lampu di halaman rumah warga.

Aku masih ingat, lebih-kurang beberapa puluh tahun yang lalu; jika pagi datang, embun mesti bertebaran di seluruh atap-langit dusun. Ia seperti mengepung kami dengan butir-butir air; dan setelah itu, tak lama kemudian, beberapa orang terlihat bermunculan—berjalan kaki dengan cangkul yang dipanggul pada pundak—yang akan mereka gunakan untuk menggarap sawah dan ladang masing-masing. Ada juga, satu atau dua yang mengayuh sepeda, dengan sebilah arit yang diletakkan di boncengan belakang: setelah matahari tampak sepenggalah, mereka datang dengan setumpuk rumput hijau segar. Jika tidak, mereka akan membawa sapi atau kambingnya ikut serta. Pagi memang waktu yang terasa akrab. Jika kebetulan mereka berpapasan, satu sama lain akan bertegur sapa. Ramah sekali. Bau tanah, aroma kotoran sapi, dan kemrincing kalung kambing adalah bagian yang tak terpisahkan dari tempat ini.

Itu jika hari masih pagi.

Saat siang, beberapa perempuan keluar-rumah menuju sawah. Tangannya menenteng tumpukan rantang yang berisi makanan seadanya, biasanya masak sendiri, untuk suaminya yang sedang mandi-peluh di tengah lapang. Di sebalik pagar beton ini, aku selalu suka memandang sepasang suami istri yang bercengkrama di tengah hamparan kuning dan bongkahan tanah itu. Aku merasai, bahwa surga memang betul—terletak pada senyum orang yang sedang jatuh cinta.

Matahari bergerak, condong ke arah barat.

Waktu sore belum sempurna, beberapa anak kecil bermain layang-layang. Sebagian berlarian di tanah jembar, dan yang lain berenang di kali. Jika matahari dirasa bergerak-lagi menjauhi timur, masing-masing anak itu pulang, lalu kembali lagi membanjiri jalan-desa dengan mendekap kitab di dadanya, mereka pergi mengaji bersama-sama. Aku juga suka melihat anak-anak kecil itu. Riang sekali.

Angslup.

Langit hampir petang, para lelaki-sawah meninggalkan tanah garapannya. Mereka pulang, membersihkan diri, lalu pergi ke langgar untuk salat maghrib bersama warga dusun lainnya.

Ah...

Pemandangan seperti ini selalu menjadi tontonanku sehari-hari. Sebuah pemandangan dengan tempo yang amat teratur, manusia-manusianya bergerak sangat lambat. Aku jadi bisa memperhatikan mereka satu persatu.

Tapi tak bertahan lama.

Pada suatu hari, entah oleh sebab apa—kehidupan di luar beton pagar ini berangsur-angsur mulai berubah. Gerak mereka mulai cepat; kendaraan yang tadinya hanya sekali-kali lewat, kini mulai tampak sering dan hampir memenuhi seluruh badan jalan. Setiap hari. Suaranya berisik sekali. Semenjak saat itu, tak pernah kulihat orang yang berjalan kaki, mereka tampak selalu tergesa dan buru-buru—tentang urusan apa saja: ke sawah, mengantar anaknya sekolah, pergi ke langgar, ke pasar, kemanapun. Mereka tak lagi bertegur sapa. Juga, tak ada lagi laki-laki sawah—sebab tanahnya kini mulai ditumbuhi bangunan-bangunan beton nan megah. Anak-anak itu juga tak pernah kulihat lagi. Di siang hari, mereka lebih memilih tidur. Jika tidak, orang tuanya akan memarahi dan menghukumnya. Atau memang sudah tak ada tanah lapang untuk tempat bermain? Semuanya sudah berubah. Tak terkecuali, wajah-wajah asing yang mulai bermunculan, menempati rumah-rumah di sebelah kanan dan kiriku.

O, ya. Namaku wit pelam, pohon mangga, warga di desa sini mengenalku dengan sebutan mempelam. Jenisku adalah Manalagi. Ukuran buahku tergolong sedang, kulitnya berwarna hijau dengan bintik-bintik putih di sekujur hamparan. Jika telah mengkal, kulit buahku hijau keabu-abuan. Berdaging tebal, dan berwarna kuning keemasan. Tempat tinggalku terletak di sebuah dusun perbatasan kabupaten, tepatnya di sebuah halaman depan, rumah nomor 18.

Pemilik rumah ini bernama Pak Buang, seorang pensiunan Marinir. Pada tahun ’98 lalu, beliau menjual rumahnya kepada seorang laki-laki yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sering kudengar pemilik baru itu dipanggil ‘Ayah’ oleh anak-anaknya. Dan oleh sebagian warga dusun ini, beliau dipanggil ‘Abah’.
***


Selepas subuh, daun pintu terbuka lebar. Itulah kali pertama aku melihat pemilik-baru rumah ini  dengan jelas. Tampak dari warna darah pada wajahnya, jika tak salah tebak, sepertinya ia senang dengan suasana dusun ini. Hanya mengenakan kain sarung, tanpa baju, lelaki kekar dan berkulit putih itu menggerak-gerakkan tubuhnya (sepertinya sedang olahraga?).

Ia hanya berjalan mondar-mandir dari depan ke belakang, lalu balik lagi ke depan, hanya di sekitar halaman rumanya saja. Tidak sampai keluar dari pagar.

Setelah beberapa butir keringat bermunculan dari tubuhnya, ia berhenti berjalan, lalu mendekat ke arahku. Tentu saja aku deg-degan, khawatir, kalau-kalau beliau tahu—daritadi aku sedang memperhatikannya. Kemudian laki-laki itu meletakkan tangannya di tubuhku: Masya Allah, hangat sekali. Beliau seperti memperhatikan setiap gerutan pada kulit batang tubuhku. Matanya terus merambat menyusuri dahan, ranting, hingga daun-daun.

“Pohon mangga jenis apa ini, ya?” tanyanya.

Kepalanya mendongak ke atas, masih asyik melihat daun-daun dan reranting milikku yang basah oleh embun. “Berbuah yang banyak ya, mangga?!” Katanya. Kemudian, tangan kanannya meraih selang-air berwarna biru yang terletak tak jauh dari tempatku, lalu tangan yang lain memutar tuas kran, lalu menyiramiku.

Air yang beliau siramkan—kurasai lebih segar dari air biasanya, dan entah kenapa—juga ada sedikit haru yang begitu asing. Memang, sudah beberapa bulan ini aku tak pernah lagi mendapatkan perlakuan hangat seorang manusia. Pemilik baru itu juga mau berbicara kepadaku, menganggapku benar-benar makhluk yang hidup.

Dan, tidak hanya itu. Hari-hari berikutnya, selain menyiramiku dengan rutin: setiap pagi dan sore, beliau juga memperlakukannku agak sedikit berbeda dari kebiasaan. Setiapkali hendak menanak nasi, bekas pususan (cucian beras), beliau berikan kepadaku. Bekas air untuk mencuci ikan, juga disiramkannya untukku. Itulah sebab, kenapa aku ingin tumbuh dan berbuah—lebih teratur dan lebih lebat dari biasanya. Buahku juga menjadi lebih manis kernanya.

Rupanya, semesta mendukung.

Angin kerap menghempasku akhir-akhir ini, meniup-niup jibunan serbuk sari dan menerbangkannya—berkelamin dengan putik. Serangga-serangga juga berdatangan, mereka membuat sarang di tubuhku, dan juga di dasar tanah tempat aku berdiri. Kadang-kadang burung juga hinggap di dedaunanku, menari dan menyanyi di ranting-ranting. Kelelawar juga ikut-ikutan mampir, jika malam hari, ia seperti nembang kidung rumeksa ing wengi. Mereka semua turut membantuku dalam proses pembuahan.

Jika sudah demikian, ketika bintik-bintik kecil—bakal buah—telah terlihat kemrantak di sekujur dedauan, ada saja orang datang untuk membeli bakal buahku. Biasanya mereka datang menggunakan sepeda motor lengkap dengan ronjotan (keranjang [kayu] yang disampirkan di belakang jok motor) di kanan dan kirinya. Sepertinya mereka adalah pedagang buah. Tapi Abah tak pernah menjualku kepada orang-orang itu.

Kerna peristiwa itu, kekagumanku kepada Abah semakin hari kian bertambah. Beliau benar-benar menerapkan hukum Ats-Tsamar, jual-beli buah-buahan—bukan dalam arti al-fawakih (buah-buahan), melainkan hamlu asy-syajar (buah hasil tanaman): bahwa memang benar ada larangan—jika buah belum tusyiqih (memerah dan/atau hijau sehingga dapat dimakan), ia tidak boleh diperjual-belikan. Buah pada pohon itu harus benar-benar dalam keadaan hatta yathiba (hingga masak) atau hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan). Jadi,  tidak boleh jual-beli buah—yang belum dalam keadaan yadbuwa shalahuhu (mulai tampak kelayakannya).

Ternyata, dugaanku agak meleset tentang Abah. Beliau tak menjualku kepada pedagang itu—bukan kerna alasan halal-haram, dan juga bukan sebab—boleh dan tidak boleh. Beliau lebih terlihat gembira jika rasa manis pada daging-buahku—dapat dimakan oleh anak-anaknya, dibagi-bagikan ke tetangga, dan diberikan kepada tamu-tamu yang berkunjung di rumahnya.

Dan sebab alasan-alasan itulah, kini aku berbuah rutin dalam empat musim, setiap tiga bulan sekali, setelah masa panen: pertama dalam Mangsa Mareng, adalah waktu ketika hujan mulai jarang. Musim ini ada di bulan Apit Kayu, Koso, dan Karo (Mei, Juni, Juli). Yang kedua adalah Mangsa Ketigo, yaitu musim kemarau. Terjadi di bulan Ketigo, Kapat, dan Kelimo (Agustus, September, Oktober). Yang ketiga adalah Mangsa Labuh. Yakni awal masa penghujan. Frekuensi turun hujannya masih sedikit dan jarang. Terjadi di bulan Kanem, Kapitu, Kawolu (November, Desember, Januari). Yang keempat adalah Mangsa Rendheng. Ialah sebutan untuk musim penghujan dengan frekuensi yang banyak. Terjadi di bulan Kesongo, Kesepuluh, dan Apit Lemah (Februari, Maret, April).

Walaupun dalam setiap musimnya—buah yang tumbuh tidak sama banyaknya, aku selalu berupaya membuatnya semanis mungkin. Dengan cara inilah, aku ingin mengucapkan rasa terimakasihku kepada Abah. Dan dengan cara seperti itu pula, melalui rasa manis pada buahku, sejatinya aku hendak mengucapkan: “semoga sampeyan panjang umur.”
***


Hari ini Abah membeli seekor kera, namanya Centhini. Rambutnya belah tengah, dan pendiam. Ia juga akrab denganku, sering menaiki tubuhku jika selesai dimandikan dengan air selang-biru. Tapi, Centihni tak bertahan lama. Setelah dilatih untuk tetap jinak, akhirnya dia dihadiahkan kepada tamu Abah yang tingga di Jakarta.

Abah beli lagi, dan kami juga akrab. Tapi dia juga bernasib sama, dihadiahkan kepada orang. Ketika Abah membeli seekor kera untuk yang ketiga kalinya, aku sudah mengira dia akan bernasib sama dengan pendahulunya. Tapi untuk yang satu ini agak berbeda. Dia liar, galak, dan tidak jinak. Aku tidak suka dengannya.

Dan persis seperti degaanku.

Suatu hari, ketika Abah mencoba untuk memeberi makan kera itu, entah kerna Abah sedang lengah atau bagaimana, kera itu menggigit tangan majikannya. Mancur deras darah dari bekas gigi taring kera nakal itu. Takut terkena rabies, berbondong-bondong orang membawa Abah ke rumah sakit.

Sedikit mengejutkan.

Menurut diagnosa dokter, gigitan kera itu tidak mengandung rabies. Tapi, justru memberi keterangan lain: bahwa Abah mempunyai penyakit gula, kencing manis. Dan semenjak saat itu, beliau dianjurkan tarak (tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula?).

Hancur hatinya. Sering kulihat beliau termenung di depan beranda. Aku sedih melihatnya, dan merasai bahwa akulah salah satu penyebab penyakitnya. Jika akan begini kejadiannya, aku takakan memaksimalkan rasa manis pada buahku.

Aku terus memperhatikannya. Dan beliau mendekat ke arahku. Rupanya, Abah melihat getah yang bercucuran pada batangku. “Kamu kenapa menangis?” katanya, “ini semua bukan salahmu. Tidak ada satu kejadian pun yang terjadi di dunia ini kerna sebab tunggal.”

Beliau membasuh getah-getahku dengan sarungnya. Kemudian membalik badan, masuk ke rumah.
***

Abah pingsan. Darahnya bercucuran di seluruh hamparan lantai. Sampurno, anaknya, kebingungan—membawa Abah ke rumah sakit.

Keesokan harinya, aku melihat Sampurno menangis di bawah tubuhku. Katanya, sambil berbicara disebalik telepon genggam dengan seseorang: bahwa Abah harus menginap di rumah sakit. Kakinya hancur, hingga terlihat daging dan tulangnya.

Rumah berwarna biru itu kini terlihat muram. Abah adalah seorang yang sangat mereka cintai, tapi kini tak pernah hadir dalam banyak peristiwa-peristiwa kecil di dalam rumahnya. Aku juga merindukannya. Tak ada lagi yang mau mengajakku bicara, seperti yang Abah lakukan kepadaku. Jika aku sejenak saja bisa menjadi manusia, ingin sekali rasanya menjenguk Abah, membawakan buah-buahan untuknya.

Sayang, aku hanya wit pelam, pohon mangga, hanya bisa berdo’a: “semoga sampeyan lekas sembuh.”
***

Mobil mini bus warna hitam datang, memasuki halaman. Satu persatu mereka turun, membopong Abah, mendudukkannya di kursi roda. Sejenak, beliau mendongak ke arahku. Beliau tersenyum sebentar, seraya berkata: “apa kabar?”

“Baik, bah. Sampeyan bagaimana? Sehat?”

Sambil terus melihat ke arahku, matanya menangis. Lalu Sampurno mendorongnya, masuk ke dalam rumah. Kulihat juga dari tempatku berdiri, beliau terlihat lebih tua. Kerutan pada wajahnya tampak lebih nyata, bidang dadanya juga mulai tak ada, dan kekar punggungnya—yang selalu kulihat ketika badannya berbalik untuk menuju pintu rumah, setelah mengajakku berbincang-bincang dan menyirami tubuhku dengan air, kini juga sudah tak ada.

“Ya Allah, jika kali ini Sampeyan hendak mengambil keindahan-keindahan di dunia ini satu persatu, biarkan aku ikut serta.”

Dan...

Angin bertiup, serangga, burung, dan kelelawar berdatangan kembali. Mungkin kali ini Tuhan mendengar do’aku.

Benar saja. Dari hanya di kursi roda, kini Abah berusaha berjalan dengan tongkat. Pernah kulihat, Abah terjatuh hingga tersungkur, hidung dan mulutnya berdarah membentur lantai. Beliau memaksa berjalan tanpa tongkat. Beliau memang pejuang yang tangguh, keras, dan tak kenal kata kalah, apalagi menyerah. Aku sangat bangga kepadanya.
***

Pagi-pagi sekali, Abah sudah tampak berpakaian rapi. Tak lama kemudian, Sampurno datang, memarkir sepeda motornya di bawah tubuhku. Ia mengucapkan salam, mencium tangan. Tampaknya, berdua ingin pergi untuk waktu yang cukup lama. Sampurno duduk di dekat Abah, tapi beliau malah bangkit dari tempat duduknya, mendekatiku.

“Pohon mangga jenis apa ini, ya?” ucapnya.

Lho? Kenapa Abah bertanya seperti itu? Apakah Abah sudah lupa kepadaku? Melupakanku? Ada apa dengan sampeyan, bah?

“Berbuah yang banyak ya, mangga?!” Katanya. Kemudian, tangan kanannya meraih selang-air berwarna biru, dan tangan yang lain memutar tuas kran, beliau menyiramiku, seperti dulu. Sama seperti ketika pertamakali kami bertemu.
***

Setelah sekian minggu Abah pergi ke Jakarta, akhirnya beliau datang. Wajahnya tampak putih bersih, tak seperti biasanya. Terlihat lebih muda dari usianya yang kini telah menginjak 63 tahun.

Lebih kurang satu jam beliau berada di dalam rumah, lamat-lamat aku mendengar suara istrinya menjerit minta tolong. Orang berdatangan, anak-anaknya menangis. Abah dibopong ke dalam mobil. Di dalam katup matanya yang rapat, ketika Abah di gotong, aku melihat mulutnya mengucap lafal: “Asyhadu an La Ilaha Ilallah... wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah...

Dan sejak saat itu, rumah menjadi sepi. Sama seperti saat ketika Pak Buang menjual rumah ini kepada Abah. Kurasai semua menjadi murung. Ada apa ini?

Kemurungan dan kesedihan itu kurasakan hingga pagi hari. Pintu pagar dibuka lebar-lebar. Orang-orang berdatangan. Semua sedang menahan tangis. Sampai saat sebuah mobil-ambulans memasuki halaman, dan mengeluarkan sesosok orang dari dalam keranda—yang seluruh tubunya ditutup kain batik bermotif bunga, saat itulah aku mengerti, bahwa sosok disebalik kain batik itu adalah Abah: Innalillahi wainna ialahi ra’jiun.

Semua histeris. Aku mendengar di ruang muka, tempat jasad Abah dibaringkan, tangisan yang sangat menyayat hati. Abah pulang untuk selama-lamanya. Ke mana perginya beliau? Sebagian orang mengatakan, bahwa Abah telah mati, dan aku tak pernah sepakat dengan kata mati. Sebab, lawan kata (antonim) dari ‘lahir’ adalah ‘batin’, bukan mati. Mungkin beliau saat ini sudah berada di sebuah ‘alam batin’ yang entah apakah namanya itu.

Apapun, tetap saja aku hanyalah wit pelam, pohon mangga yang tak bisa berbuat apa-apa selain berdiri menyaksikan dari sudut halaman depan ini. Andai saja aku manusia, akan kucium keningnya sebagai ucapan perpisahan dan terimakasih kerna telah merawatku selama ini.

Ya, aku hanya wit pelam, pohon mangga.

Hanya bisa menyaksikan, ketika orang berbondong-bondong datang hingga halaman serasa tak mampu menampung pelayat yang datang. Tubuhku yang besar ini, seperti hanya mempersempit ruang. Andai saja aku tidak berdiri di sini, mungkin pelayat itu tak akan merasakan sesak ketika hendak memandikan jasad Abah. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa menyaksikan dari sini, tempatku berdiri.

Gayung pertama disirimkan ke wajah abah, hingga ke kakinya. Terus terang, ingin rasanya aku mengatakan: kenapa Abah diam saja—ketika ada orang mengguyur wajah Abah? Apakah Abah tidak merasakan dinginnya air itu? Kenapa Abah diam saja?

Ya Allah...

Aku terisak, hingga napasku sesak. Beberapa orang membopong jasad Abah untuk diberi kafan, dan sebagian lagi, kekira ada sepuluhan orang, mendekat ke arahku dengan membawa kapak, bendo, dan tali tampar. “Pohon ini saja yang kita tebang, untuk papan-penahan jasad Abah ketika tanah diurug.”

Alhamdulillah, akhirnya waktu ini datang juga.”

Tak lama kemudian, tubuhku diikat. Aku tak menghiraukannya, sebab mataku terus tertuju kepada jenazah Abah yang telah dimasukkan di dalam keranda—dengan ditutupi kain hijau berhias huruf-huruf arab. Jenazah itu dibopong oleh beberapa orang, bergantian, sambil mengucapkan salam perpisahan.

Ikatan tali tampar pada tubuhku semakin erat.

Jenazah digotong ke pemakaman, meninggalkan rumah, dan mataku masih tertuju kepadanya.

Tak!!!

Sabetan kapak mengenai tubuhku. Sakit, tapi aku sangat senang sekali. Akhirnya aku bisa menyertai Abah hingga ke kuburnya. Kami akan dikubur bersama-sama.

Tak!!!

Sebuah golok mengenai punggungku. Terus dan terus, hingga aku tak sadarkan diri.
***

Kini aku telah menjadi beberapa potongan papan. Samar-samar kulihat, orang berdiri di dekat liang lahat. Suara kumandang adzan berlanggam Jawa terdengar lamat-lamat. Kemudian seseorang mengangkatku, lalu meletakkannya—pas di atas jenazah Abah, (untuk) melindungi jenazahnya dari urugan tanah.

Aku bahagia sekali, bisa menemani Abah hingga waktu yang sangat lama: diperistirahatannya yang terakhir, entah sampai kapan. Yang jelas, kini aku dapat memandang wajahnya dari jarak yang dekat, di tidurnya yang damai.

Ya, namaku wit pelam, pohon mangga. Di dalam kubur ini, tiada henti aku memandanginya, tetapi mataku terasa berat dan semakin lama semakin gelap. Sebelum mataku benar-benar tertutup, aku membisikkan sesuatu di telinga Abah: “selamat jalan, Ayah, sampai jumpa.”

Rabu, 25 Mei 2016

DENGKUL




...
Bruce: What do you want me to do?

God: I want you to pray, son. Go ahead. Use them.

Bruce: Lord, feed the hungry and bring peace to all of mankind. How’s that?

God: Great, if you wanna be Miss America. Now, come on. What do you really care about?

Bruce: Grace.

God: Grace. You want her back?

Bruce: No. I want her be happy, no matter what that means. I want her find someone who will treat her with all the love she deserved from me. I want her meet someone who see her always as I do now, through Your eyes.

God : Now, that’s a prayer.

Bruce : Yeah?

God : Yeah...
...

  Bruce Nolan and God - Bruce Almighty 2003
***

Aku menutup pintu mobil, melangkah ke arah rumah-berpagar-putih sambil menekan tombol alarm dari jarak yang tak begitu jauh. Kedatanganku dibarengi lari-lari kecil Mbak Jum, yang tampak tergesa membukakan gembok pagar.

"Isih gendheng bocahe, Mbak?" Aku menyapa perempuan tua yang setia kepada majikannya itu. Sambil berdiri di luar pagar, aku melihat taman yang dijibuni pusparagam menara bunga sepatu yang kini kering-layu.

"Mas Putra mabuk terus, mas. Ndak mau ngomong, ndak mau makan." Kata Mbak Jum, setelah membukakakan pagar.

"Ya wis, ben tak uruse mbak."

Sambil terus mendengarkan keluhan Mbak Jum, aku arahkan langkahku menuju beranda yang terus diikuti wanita tua itu beserta segudang rasa cemasnya. Aku duduk, kemudian melepas sepatu—masih terus menatap wajahnya—sebagai tanda bahwa aku sedang mendengar semua yang ia katakan.

Selesai melepas sepatu, aku berdiri ke arah pintu.

Aku tarik hendel, satu persatu. Sampai ketika tiba pada pintu kamar utama, milik sahabatku, aku gerakkan tuas besi itu ke arah bawah dengan perlahan, aku dorong pintunya sangat pelan, kubuka sedikit, dan tampak siluet tubuh lelaki tambun dari arah belakang: sorotan cahaya televisi menerangkan ruang di sekitarnya. Ia duduk di lantai, merapatkan lulutnya ke dada.

"Ah, film itu lagi." Batinku. Setiap hari, selama dua bulan, hanya film itu saja yang ia tonton. Berulang-ulang: Bruce Almighty. Film bergenre drama komedi, memang adalah favoritnya. Ditambah—diperankan oleh bintang-bintang idolanya: Jim Carrey, Morgan Freeman, dan Jennifer Anitson.

Memang, bukan karena dua hal itu (genre dan pemeran), yang membuatnya—menonton film yang sama, selama dua bulan, berulang-ulang. Tapi ia merasa, Bruce Nolan (Jim Carrey) dalam cerita itu, mewakili riwayat percintaan hidupnya: Ya, dimana pun lelaki semua sama, ingin menunjuk-nunjukkan diri di depan perempuan. Bruce Nolan tak puas dengan posisinya saat ini, yang menurutnya—hanya sebagai pembawa acara yang tak cukup memiliki prestise. Didampingi perempuan bersenyum manis, Grace (Jennifer Anitson), akhirnya Bruce Nolan bisa mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini: menjadi pembaca berita.

Bruce senang bukan kepalang, ia ingin merayakan keberhasilannya kali ini dengan membuat rencana kejutan: mengajak kekasihnya makan malam, di sebuah restoran yang penuh dengan suasana romantis.

Kerna tidak biasa-biasanya Bruce mengajaknya makan malam, Grace mengira acara makan malam yang direncanakan Bruce adalah acara untuk melamar dirinya.
***

Restoran mahal pun disiapkan. Berdua, kini pasangan muda itu telah duduk dalam satu meja. Grace ndredeg, ketika Bruce ingin mengatakan kejutan itu: ternyata, Bruce hanya ingin menceritakan bahwa dirinya naik pangkat, diangkat menjadi pembawa berita, seperti keinginannya.

Grace kecewa. Ia pulang, meninggalkan Bruce sendirian di restoran.

Bruce tak pernah sadar, bahwa sematre-matrenya perempuan, ia lebih suka dengan kepastian. Bruce tak pernah mengerti, bahwa ambisi terbesar seorang perempuan adalah menikah.

Mungkin Bruce tak pernah tahu, bahwa perempuan adalah pemuja keabadian: sekali kau memujinya, seluruh hidupmu, kau akan dituntut untuk tetap memujinya. Tapi, Bruce hanya membicarakan tentang pekerjaannya saja. Memuji apa-apa saja yang telah ia capai. Sering cinta terjerembab dalam sebuah cita-cita dan gagasan: bahwa apa yang aku lakukan sekarang, adalah untuk membahagiakanmu, membuatmu bangga. Padahal, cintanya sedang menyamar. Sesungguhnya ia sedang mencintai dirinya sendiri, tapi dengan alasan orang lain.
***

Aku terus memandangi sahabatku disebalik pintu kamarnya, hingga tiba pada satu adegan di mana Grace sudah bosan dengan perilaku Bruce Nolan. Ia ingin berpisah, dan menyuruh sahabatnya untuk mengemasi barang-barang yang masih ada di apartemen Bruce. Setelah Debbie, sahabat Grace, menunaikan tugasnya dengan baik: mengemasi barang-barang, sebelum benar-benar meninggalkan apartemen, Debbie berbicara kepada Bruce sebagai pesan terakhir: "You know, what I do every night before I go bed?"

Bruce menggelengkan kepala.

"I tuck my kids in, maybe have a scoop of ice cream and watch Conan."

Bruce tersenyum lebar, hambar.

"You know what Grace does?"

Bruce menggelengkan kepala lagi.

"She prays. Most of the time for you."

Bruce terjingkat dengan pernyataan Debbie. Ia merasa, Grace masih mencintainya. Maka segera, dengan kekuatan yang ia miliki dari Morgan Freeman (God), ia mendatangi kamar Grace, mencari tahu—apa yang sedang Grace lakukan. Rupanya, Grace sedang berdo’a, persis seperti kata Debbie. Lalu Bruce ingin melihatnya lebih dekat, do’a apa yang sedang Grace minta.

Dalam tangis dan do'anya, Grace berkata: "Please, God. Please, I still love him. But i dont wanna love him anymore. I don’t wanna hurt anymore. Please. Help me forget. Please help me let him go."

Pecah, kini deras air matanya. Sahabatku, menangis entah sudah keberapa kalinya. Ia meletakkan kepalanya di atas dengkulnya, sambil terisak.

Remang-remang, aku melihat ia menciumi bekas luka di atas dengkulnya itu. Seingatku,  adalah luka ketika ia terjatuh saat ingin pergi apel kepada perempuan yang membuatnya menangis seperti sekarang ini. Menggunung cintanya, menggenang kini air matanya sederas hujan. Kemudian, aku lihat bekas luka itu berdiri dari dengkulnya, lalu melompat lewat jendela, berlari ke halte-halte bus yang pernah mereka teduhi berdua—ketika hujan. Sayang, ia tak sebruntung Bruce. Ia tak pernah bertemu Tuhan—yang kemudian menawarinya—agar perempuan yang dicintainya itu kembali.

"Jar, dari tadi?" kata Putra, sahabatku.

"Wah, ketahuan. Aku di sini sudah dua bulan yang lalu, lama sekali kau patah hatinya?"

Ia tak menjawab.

"Eh, lagi nonton film apa?" tanyaku lagi.

"Biasa."

"Kenapa ndak nonton G30S PKI saja? Film paling bagus itu!"

"Kok bisa?"

"Bruce Almighty, film karya Tom Shadyc itu, hanya berhasil mempengaruhimu selama dua bulan saja. Film PKI, berhasil membohongi 200 juta manusia Indonesia, selama 32 tahun."

"Serius, tho!"

"Loh, aku serius iki."

"Aku kepingin bunuh diri, Jar."

" Astagfirullah hal adzim. Istigfar, Putra. Iling. Sudah ada talinya?" 

Dia menangis lagi, tentu saja aku jadi kebingungan. Juga merasa bersalah, kerna tak menanggapi omongannya dengan serius. Lalu, setelah menunggu beberapa saat, mungkin lebih tepatnya menunggu tangisnya berhenti, aku mulai mendekat, menyentuh kepalanya: 

"Putra, kamu tidak wajib sakit hati, meskipun berhak memilih sakit hati. Sepanjang kesakit-hatian itu merupakan fasilitas yang tepat bagimu untuk mengkondisikan kedekatanmu dengan Tuhan. Kamu juga tidak dilarang menangis, sepanjang tangisanmu membuat setia dan cinta kepadaNya. Tuhan memposisikan diriNya pada manusia yang sedang hancur sepertimu. Suatu saat, kamu akan berterimakasih kerna diberi kesempatan majnun seperti sekarang ini. Dengan seperti itu, suatu hari nanti kamu akan tahu bagaimana rasanya beragama yang bener, dan bertuhan yang pener. Sebab, orang yang tak pernah jatuh cinta dan kemudian sakit hati, ia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mencintai Tuhan."

Dia membalik badannya, melihat kearahku dengan mata berkaca-kaca.

"Setiap orang ingin menemukan dirinya," aku melanjutkan, "kerna—ketika seseorang beranjak dewasa, yang hilang dari manusia adalah dirinya. Maka kalau kau ingin tetap menjaga kesadaranmu untuk menemukan dimensi metafisika di antara fisika-fisika, bersikaplah seperti bayi: kalau mau nangis, nangislah, di mana saja, kapan saja, sebagaimana bayi. Untuk kembali seperti bayi, kita tidak memerlukan perjuangan apa-apa."

Dengan tatapan yang sangat tajam, sebuah tatapan takjub, Putra memegang kepalaku, menariknya hingga dekat dengan mulutnya. Kemudian ia berbisik: "ojok kakean omong, aku kebelet ngising."

Senin, 23 Mei 2016

HARI PERTAMA



Kebetulan hari itu adalah minggu, car free day. Saatnya menggerakkan badan, plesir, sudah seminggu ini aku di rumah saja, sibuk memperbaiki atap rumah yang penuh dengan lubang. Ya, udaranya masih dingin pagi itu, segar, walau matahari telah naik sepenggalah. Tapi entah kenapa, mendung malah tampak di arak-arakan mega. Apakah hari ini akan hujan? Entahlah.

Setelah melakukan sedikit pemanasan, dan memeriksa persediaan makanan juga minuman Diego, anjing kesayanganku, aku bersiap keluar dengan pakaian seadanya.

Kubuka pintu pagar, dan segera menuju jalan aspal yang sudah tampak seperti permadani dengan segala bau basah yang khas.

Suasanya tidak seperti biasa, agak sepi, kerna sedang musim penghujan. Mungkin orang-orang sedang sibuk—mempersiapkan datangnya banjir di rumahnya masing-masing.

Suasana jalan terasa lengang, dan langit bertambah gelap. Setelah acara jalan-sehat kurasa cukup, aku membeli beberapa keperluan, lalu berniat balik lagi ke rumah.

Persis seperti dugaanku.

Barusaja berjalan beberapa depa, rinai air sebiji wijen berjatuhan di atas ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, entah apa yang sedang terjadi, perempuan bersanggul manikam tengah tersedu sendirian di antara gerimis lampu stopan. Dengkulnya berdarah, apakah luh atau air hujan yang sedang berkelamin purba di hamparan kulit arinya.

Di tengah jalur ketapang dan pohon asam, dari balik daun-daun akasia; suara prenjak yang bertengger di pucuk ranting-kenari yang kuyub itu, tampak seperti kelopak padma yang beratap rumbia. Sayang, ia harus pecah oleh suara rintih-kesakitan seorang perempuan yang seperti menyanyi dan penuh dengan irama itu: “Aduh... aduh...,” keluhnya. Kebetulan aku sedang berjalan di sekitar situ, menenteng nasi bungkus, koran, dan air mineral.

Aku menengok ke arahnya.

“Hei kamu. Ya kamu. Halah, malah nengak-nengok. Ya kamu itu. Oke...”

Aku mendekat, “kamu kenapa?”

“Kepleset,” jawabnya singkat, sembari lentik jemarinya memencet-mencet pinggir lukanya.

Gerimis yang tadinya rintik, lambat-laun menjelma menjadi hujan dan kini mengguyur bangjo, aspal, trotoar, juga kami berdua—tiada ampun. Modarlah saya! Langit pecah di penghujung waktu sebagai pamungkas, airnya semakin memperjelas bentang layar antara dua gunungan dan rerumputan pada tubuhnya. Ada getaran khusus, dan urub di sukmaku. Perempuan itu sadar, aku tak sedang memperhatikan dukacita di lututnya. Ia mengangkat kaosnya sedikit. Dan aku merasai sedang di posisi yang sangat ruwet: antara ingin menolongnya segera, atau membiarkan dulu barang satu dua jenak.

“Sudah?” suara perempuan itu.

“Apanya?”

“Lihat-lihatnya, sudah?”

“Sedikit lagi!”

“ Buruan tolongin, kek?!”

Dihinggapi perasaan nanggung dan semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hati, akhirnya aku membantunya berdiri, membopongnya ke pinggir jalan, masuk ke dalam halte bus dalam kota. Untung saja perempuan ini agak lain, memandang kenakalanku dengan rasa maaf, dan dapat menyulap pertemuan tak sengaja ini menjadi surga.

Dia masih merintih kesakitan. Sambil meniup-niup lukanya, aku mengalihkan perhatiannya: “Bapakmu sunat di mana?”

“Maksudnya?”

“Kamu cantik.”

“Sudah berapa banyak rayuanmu mendarat di telinga perempuan?”

“Sudah berapa banyak pria yang kau tolak dengan cara seperti ini?”

Dia tertawa. Tampak matanya mengkilat kaca, lehernya cukup, giginya putih rata, dan lensung pipit yang membuat degub jantungku sebentar berhenti. Ya, perempuan ini memang lain. Ramah, manja, dan cemekel. Sikapnya yang semanak, ada terpikir memeluknya, tapi itu—kan napsu namanya. Saya istighfar,ini tidak boleh, dengkul sakit bukan peluk obatnya. Segera pikiran yang tidak-tidak itukutindas, sebab ini semacam ngeres yang tersembunyi.

Air mineral yang kubawa tadi, kutuang di atas lukanya. “Aku bersihkan dulu lukamu, biar tidak infeksi.”

“Iya, terimakasih.”

“Cuma terimakasih? Tidak dicium?”

Perempuan itu merebut koran-basah dari tanganku, “jangan bercanda dong, sakit nih!” Dia memukulkannya ke arah tanganku. Dan aku hanya tertawa, tak menghindari serangannya.

“Jangan lupa, kasih obat-merah sesampaimu di rumah.”

“Iya.”

“Rumah kamu jauh? Biar aku antar?!”

“Tidak usah, hanya dua blok dari sini. Nomer 68.”

“Kok ngasih alamatnya lengkap ? Nyuruh aku apel?”

“Terserah kamu.”

Aku pura-pura tak mendengar jawabannya. “Sudah,” aku membuang botol air mineral ke tempat sampah. “Lebih baik kamu segera pulang, tidak baik lama-lama di tengah hujan.”

“Iya,” dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuanku, terpincang-pincang.

Aku segera meninggalkan halte bus itu, dan melupakan kejadian konyol tadi. Rupanya nasi bungkusku juga terendam air hujan di dalam kantong plastik hitam. Sambil terus berjalan, aku mencari tong sampah untuk membuangnya.

Blung!

Nasi pecel seharga lima belas ribu itu langsung raib. Dan aku meneruskan perjalananku ke rumah. Tapi koran yang terlanjur basah itu tetap kugenggam, aku tak berniat membuangnya, ada bekas-tangannya pada koran itu. Sayang jika harus dibuang.

Hujan masih belum reda. Kepalang kuyub, aku terus jalan tergesa. Dengan langkah cepat, aku merasai ada sesuatu dalam tubuhku, entah kerna belum sarapan, atau sedang masuk angin: rasanya memang aneh. Tubuhku agak sedikit ringan, seperti ada yang kurang, atau bahkan hilang. Atau kerna sebagian dari diriku, ada yang tertinggal di halte bus kota itu?
***

Baru saja tangan kananku membuka pintu pagar, kerinduan sudah tandas sampai ke tulang. Sebagian lagi sudah kadung menyebar ke seluruh sum-sum. Di manis gula, di harum mayang, mata rembang dan rindu yang ungu: tapal batas antara hujan yang bertujuan menyirami pohon, tanah, serta bunga-bunga di pekarangan rumah—dengan hujan yang hanya ingin menyirami segenap mahoni, kanigara, dan kenanga di halaman batinku—sangatlah tipis bedanya. "Masya Allah, hujan jangan marah, semoga hari ini langit berbunga kupu-kupu."

Selesai dengan gembok pagar, aku terus melangkah, melewati halaman dan pekarangan.

Beriringan dengan derap langkah, wajah gadis itu masih melayang-layang di udara, memantul di segenap sudut lipatan dan ingatan. Panji-panji hitam di bantaran genangan air di taman bunga, pohon selasih semakin rindang dan semakin besar rimpangnya bagai ketela mukibat. Rasanya, hari ini terasa melankolis, daun-daun tampak lebih lebat dari biasanya, dan aku mencoba tidak menggubrisnya.

Aku terus berjalan menembus taman, menuju pintu utama. Kumasukkan kunci, dan memegang handle pintu.

Masih separoh tuas itu aku tarik, air rembas, bermancuran di bawah daun pintu: "Ada apa ini?Aduh, banjir. Pasti atapnya bocor lagi.” Penasaran, pintu makin kubuka sedikit.

Benar saja, air bah langsung menghantamku, membanjiri seluruh ruang pekarangan—hingga airnya meluap, menjulang ke atas langit. Aku terjungkal, tenggelam, bersama dengansemua perabotan rumah yang juga tampak tenggelam di dalam air, semua berhamburan keluar, semua.

Di dalam bingung yang amat puncak, satu-satunya yang kuingat hanyalah wajah gadis di halte bus itu. Aku ingin meminta tolong kepadanya. Tapi bagaimana caranya?

Aku makin panik, takut kehabisan oksigen, aku berupaya untuk tetap bernapas. Lho? Aneh! Kenapa aku masih bisa bernapas? Di dalam air? Seperti ikan? Aku tambah keheranan.

Masih dengan keheranan tadi, bersamaan itu ada rasa hangat sekaligus geli di ujung jari kakiku. O, rupanya Diego, anjing piaraanku, ia sedang menjilat-jilat kakiku. Kepalanya keluar, menyembul ke pintu, sedangkan tubuhnya masih berada di dalam rumah. Ternyata aku belum sempurna membuka pintu, ia membangunkanku dari lamunan. Dan air bah tadi, yang menenggelamkanku dan barang seisi rumah, ternyata tidak pernah ada, hanya khayalan saja.

Aku masuk.

Diego menggonggong, suaranya melengking ke seluruh dinding. Aku membiarkannya. Aku betul-betul ingin ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari air hujan, agar tidak sakit. Baru beberapa langkah memasuki ruang muka; meja, kursi, bupet, semuanya—berterbangan ke udara, membentur langit-langit dan atap rumah. Tak hanya itu, tiba-tiba tubuhku juga melayang, seperti kunang-kunang, tak ada gravitasi. “Ada apa ini?” Tapi segera kutampar-tampar pipiku, sebab aku yakin ini hanya halusinasi.

Sadar.

Sambil terus melangkah menuju kamar mandi, aku bertanya-tanya: “Ada apa dengan diriku? Apakah aku sedang jatuh cinta? Ini baru hari pertama, apakah besok akan berbeda?”

Sabtu, 21 Mei 2016

GHOSOB



Entah berapa lama aku berada di rumah Ustadz Khoiruddin, terasa begitu panjang berada di dalam: sampai-sampai susah bernapas, dan tak nyaman. Ketidaknyamanan itu bukan disebabkan oleh hal-hal yang tidak baik, tapi bercengkrama dengan orang yang tak seimbang, yaitu keluarga yang begitu aku hormati: Ustadz, Nyai, dan kedua anaknya, Gus Amin dan Ning Izzah.

Ingin rasanya aku duduk di bawah, tapi dilarang. Keluarga guruku itu bersikeras, mempersilahkanku duduk di atas kursi ruang tamu. Aku dianggapnya seperti keluarga sendiri. Mereka sangat ramah.

Ini bermula ba’da isya’ tadi, Ustadz memanggilku untuk datang ke Ndalem. “E, kamu,” sambil menunjukk ke arahku dari tempat pengimaman, tempat Ustadz duduk, selepas menunaikan salat bersama.

“Kula, Ustadz.” Aku maju ke hadapan beliau.

“Siapa nama kamu?”

“Jamaluddin, Usatadz.”

“Ya, ya... Jamaluddin.”

Saya masih dengan wajah tertunduk di hadapan Ustadz Khoiruddin.

“Setelah ini, kamu ke rumah, ya? Tidak ada acara, kan?”

“Sendika dawuh, Ustadz.”

Dan berada di sinilah aku sekarang. Di depan pintu Ndalem Ustadz Khoiruddin. Barusaja handle pintu itu terlepas dari tangan, barusaja kututup pintu itu secara hati-hati dan perlahan, angin malam dan gerombolan debu-debu menghempas gamis putihku, surban dengan renik benang hitam yang tersampir di pundakku, juga kopyah-bulat pelapis rambut panjangku. Memang, pondok pesantrenku tergolong luas dengan beberapa bangunan beton dari depan hingga ke belakangjika menurut urutan: pos penjagaan, kantin, asrama, tempat wudhu, gedung sekolah, kamar mandi, dan dapur; semua terbuat dari beton. Sedangkan sisanya, adalah tanah lapang dan jalan yang masih belum mendapat perlakuan dari teknik sipil. Secara geografis terletak di antara bukit kapur, dan tergolong daerah pesisir; tanah-tanah di pondok pesantrenku tak pernah terlihat basah. Setiap angin berhembus, maka debu berterbangan di udara. Kecuali tempat jemuran yang selalu basah, mungkin lebih tepatnya becek.

Aku masih berdiri, menutup wajahku dengan surban, menunggu debu-debu itu reda.

Selesai.

Lalu aku berjalan meninggalkan Ndalem dengan cara membungkuk dan menjatuhkan tangan-kananku ke tanah, seakan sang guru sedang berada di hadapan. Ini adalah etika yang diajarkan pesantren kepada kami semua. Jika setiap ada guru, istri guru, anak guru—lewat di hadapan, kami semua harus berdiri mematung, memberi beliau jalan—sebagai bentuk rasa hormat. Begitu juga dengan rumahnya, kami juga harus tetap hormat. Dan itu pun, tidak boleh berjalan terlalu dekat dengan bangunan, harus dengan jarak.

Beberapa langkah setelah melewati Ndalem dengan membungkuk, aku mulai jalan tegak, menuju asrama.

Asrama di sini, ada dua: satu untuk asrama MAK, kepanjangan dari Madrasah Aliyah Keagamaan. Ada tiga tingkat, khusus untuk santri-santri berbakat. Yang kedua, MAU, Madrasah Aliyah Umum. Yaitu untuk santri yang berkeinginan bersekolah—seperti layaknya sekolah di luar pesantren. Bedanya, pelajaran agamanya lebih banyak. Asrama MAU ada lima tingkat. Tingkat satu, untuk asatid, pengajar. Lantai dua, kelas tiga. Lantai tiga, untuk kelas dua. Lantai empat, untuk kelas satu. Dan lantai paling atas, difungsikan sebagai mushallah. Aku santri MAU, dan asramaku berada di lantai tiga.

Assalamualaikum...” aku masuk ke kamar yang berukuran empat kali empat meter itu. Semua ukuran di setiap lantai, sama. Ada kamar berjajar lima belas jumlahnya untuk setiap lantai. Setiap kamar dipenuhi dengan lemari kayu dengan tinggi satu setengah meter, dan lebar satu meter. Lemari-lemari itu berdempet rapi yang terletak di sebelah kanan dan kiri. Tengah kosong, untuk santri beristirahat. Di ujung tembok paling belakang, untuk sampiran baju. Dan di belakang pintu, terletak rak sepatu yang juga terbuat dari kayu.

Walaikum salam...” jawab Bahrul.

“Kok sepi? Yang lain kemana, Rul?”

“Mungkin di atas.”

“Kamu mau ke mana?” tampak Bahrul hanya mengenakan kain sarung dan tanpa baju. Di samping tempat ia berdiri, ada ember dan tumpukan baju.

“Mau cuci baju. Malam ini, air sedang banyak-banyaknya.”

“O, iya, Rul. Aku boleh pinjam gamis?”

Bahrul hanya diam, tidak menjawab. Atau lebih tepatnya sedang berpikir keras.

Dugaanku, ia sedang mengenang perlakuanku kepadanya. Seperti beberapa tahun lalu, ketika masih sama-sama santri baru. Di antara kami semua, teman sekamar, dialah satu-satunya yang tergolong santri berada: uang saku lebih banyak, baju-baju lebih bagus, dan dalam satu bulan ia bisa dijenguk oleh orang tuanya sebanyak dua sampai tiga kali. Kami? Satu bulan hanya sekali, kadang sampai dua bulan. Dia santri yang tak pernah mengalami bagaimana rasanya kekurangan.

Walaupun demikian, tidak membuat ia menjadi seorang yang murah hati dan dermawan. Dia pelit. Maka dari situlah, Bahrul, yang namanya bentuk jamak dari kata Bahr yang berarti laut, diubah oleh kami-kami dengan sebutan bakhiil yang artinya pelit.

Sebutan itu kami sematkan padanya, bukan tanpa alasan. Pernah suatukali Bahrul disambang (baca: dijenguk) oleh orang tuanya, seperti biasa, ia mendapat makanan macam-macam. Aneka rupa juga warna. Tapi tak seiris pun kami dibagi. Dan itu kejadian tidak hanya sekali. Begitu orang tuanya pulang, ia langsung meletakkan makanan-makanan itu dalam lemari. Dan tidak jarang, karena saking banyaknya, makanan itu kerap tidak termakanhingga membusuk atau berjamur. Jika sudah demikian, dengan entengnya Bahrul membuangnya ke tempat sampah. Dan kami menyaksikan itu dengan jengkel dan haru. Iya sih, itu memang hak dia. Tapi kalau ujung-ujungnya dibuang, kenapa tidak dikasih ke temannya saja? Memang tidak ada aturan memberi jatah sambang ke teman, tapi—kan sayang kalau akhirnya dibuang? Sedangkan, kami-kami yang kekurangan ini, selalu membagi-bagi jatah makanan ke teman-teman yang lain. Termasuk Bahrul. Tapi tak pernah berbalas.

Puncak kekesalanku dan tentu santri yang lain, akhirnya terbentuk kesepakatan untuk mengerjainya. Dua kali. Pertama, aku pernah menggoyang-goyangkan lemari Bahrul yang sedang terkunci: menjungkir-balikkan, atas ke bawah, ke samping, sampai kuputar-putar. Alhasil, makanan yang ada di dalam—bercampur jadi satu dengan sabun mandi, sabun cuci, dan baju. Dia marah, tapi tidak tahu kepada siapa.

Kedua, aku pernah membobol kunci gemboknya dan mengambil uang Bahrul. Uang itu tak kunikamti sendiri, aku mengajak semua teman sekamar untuk makan-makan, termasuk Bahrul. “Tenang, aku yang bayar. Khusus untuk Bahrul, boleh tambah. Yang lain—jangan.” Kataku. Aku mengatakan itu ketika kami sudah berada di warung. Bahrul girang, dan tentu saja nambah, tandhuk.

Selesai, aku bayar makanannya. Kembalian uang dari resepsi makan-makan gelap itu, aku serahkan kepada Bahrul: “Lho, kok dikasih ke saya, Din?” tanyanya, agak sedikit bingung di antara perutnya yang kenyang.

“Itu uangmu, Rul. Tadi aku ambil di lemarimu. Terimakasih ya, Rul?!” Wajahnya merah. Aku memijit-mijit pundaknya, lalu disusul dengan ucapan terimakasih dari yang lain. Bahrul bersendawa.

Meskipun pernah dikerjai teman-temannya, Bahrul tak kunjung berubah. Seperti kata pepatah: watuk masih bisa diobati, tapi watak cuma sembuh dengan suntik mati. Maka selama dua tahun ini, dari kelas satu hingga kelas dua, dia menjadi korban ghosob (ghosoba – yahshobu), yaitu istilah untuk meminjam barang tapi tanpa seizin pemiliknya. Itu sebab kelakuannya sendiri. Dari sampo, sabun cair, sendal, dan lain-lain.
***

Bahrul masih diam, mematung.

“Rul, boleh tidak aku pinjam gamismu?”

“Memangnya mau buat apa?”

“Besok sore, aku disuruh ngajar ke Pesantren Putri sama Ustadz Khoiruddin: menggantikan Ustadz Qosim yang sedang izin sakit. Ini kesempatanku untuk mejeng di sana. Gamisku sudah kuning begini, tak elok buat kesempatan pertama yang begitu menggoda. Heh? Heh? Heh?” aku menaik-turunkan alisku. Semoga ia tahu, aku sedang mengancam.

“Begini, Din. Ini gamis, sejarahnya panjang. Intinya, aku dibelikan oleh bapakku ketika beliau pergi ke tanah suci. Aku akan meminjamkan kepadamu, dengan satu syarat?”

“Apa itu, Rul?”

“Kamu boleh pinjam hanya sehari. Setelah itu, kamu harus mencucinya ke binatu (baca: laundry). Gimana?”

“Mufakat!”

Kami bersalaman, lalu Bahrul pergi dengan menenteng ember bajunya.

“E, Rul. Kamu tidak bawa kastok (hanger)?”

“Ghosob saja di tempat jemuran.” Ia pergi, lalu hilang ketika menuruni anak tangga.

Ya, ghosob adalah tradisi khusus a la pesantren yang terkontruksi melalui proses sosial-kolektif para santri dari nilai-nilai kekeluargaan yang terbentuk secara alamiah karena beberapa persamaan: belajar besama, mengalami hal yang sama, tidur di tempat yang sama, mandi dengan keadaan air yang sama, makan dengan menu yang sama, dan lain-lain. Perasaan sama-rasa ini—kemudian mencapai klimas keintesifannya dengan terbentuknya rasa saling memiliki di kalangan para santri—yang didasari oleh implus social genetics yang mengakar sebab perasaan rama rasa tadi. Nilai keintiman inilah yang membuat tradisi ghosob rantai berantai. Alasannya macam-macam: karena pernah menjadi korban ghosob dan ingin melakukan hal yang sama, ada juga yang beralasan sebab kenal dengan si pemilik-barangjadi tak perlu izin, atau mengira itu adalah barang miliknya yang kemudian ia main pakai saja; pokoknya banyak sekali alasannya. Dari perilaku senior, diwariskan ke junior, lau diwariskan lagi ke generasi di bawahnya, dan terus dan terus. Maka jadilah tradisi ghosob yang berantai.

Walaupun demikian, ghosob adalah hal yang wajar dan lumrah. Memang agak menjengkelkan, tapi bagi santri, ghosob adalah fenomena wajar-alamiah yang tidak pernah kami interupsi secara terbuka. Ya, paling cuma ndermimil di batin saja.

Hmmm...

Hari semakin larut, aku mencoba melupakan Bahrul dan gamisnya, materi pelajaran dan para santri-santri putri, mataku sudah mengantuk dan ingin sekali tidur.
***

Salat asar telah usai. Dari mushallah, aku turun menuju kamar: mempersiapkan kitab-kitab, dan tentu saja gamis putih milik Bahrul—yang dibeli bapaknya di tanah suci. Kain secemerlang itu, ditambah matahari yang kemuning, membuat ia menyorotkan warna keemasan. Wajahku yang tak seberapai ini pasti akan tampak lebih bersinar.

Sebagai santri normal, tentu saja penampilan sangatlah penting. Kemampuan, tak usah dibahas. Buktinya aku diamanahi menjadi guru pengganti. Intinya, hari ini adalah momentum terbar pesona. Ditambah satu persoalan lagi, kesempatan ini kujadikan-alasan untuk ketemu Ning Nur, putri Kyai. Kebetulan hari ini ia juga mengajar di sebelah kelasku. Aku bisa menatap wajahnya lebih lama, jika nasib lagi mujur, bisa berbincang dengannya.

Hingga sore menjadi petang, tugasku selesai. Semua rencana lancar, santri putri kubuat tercengang. Mereka senang aku mengajar di kelasnya, mereka antusias dengan melemparkan banyak pertanyaan. Dan terutama, misi rahasiaku juga lancar: bertemu Ning Nur, memegang tangannya, dan membuat janji—bertemu keesokan harinya, di tempat yang sama.

Keluar dari kelas, aku menuju asrama. Pesanten putri, ada di seberang jalan. Di luar kawasan pesantren putra.

“Gimana? Berhasil?” selidik Bahrul.

“Ya, begitulah Rul. Namanya saja mengajar, buat amal di akhirat nanti.” Dia tidak boleh tahu, bagaimana suasana hatiku saat ini. Seperti seluruh hamparan tanah pesantren ini, ditaburi bunga-bunga.

“Jangan lupa, Din, bersihkan gamis itu ke binatu. Jangan dicuci sendiri. Tidak bersih.”

“Hmmm...” jawabku malas. Memakai jasa binatu itu perlu uang, Rul, dan sekarang adalah tengah bulan. Uangku menipis, tak mungkin menuruti permintaanmu. Aku akan cuci sendiri gamis itu.
***

Hari sudah malam, selepas mengajar, aku langsung beraktifitas seperti biasa: membaca kitab, mengaji, salat jamaah, dan sebagainya. Mataku terasa lelah, selepas subuh tadi, aku belum tidur lagi. Mau mandi, menghilangkan keringat di badan, tapi air sudah mati. Air habis, digunakan santri yang jumlahnya ratusan itu. Memang tidak habis sih, sisa sedikit, tapi sudah berwarna putih. Mungkin tercampur dengan sisa sabun para santri yang ratusan itu. Jika aku nekat mandi, air itu akan menyebabkan masalah kulit, dan tentu saja gatal gatal. Tapi untung saja tadi pagi, air sedang banyak-banyaknya. Mencuci gamis milik Bahrul perlu perlakuan khusus, ia harus dibilas dengan air yang banyak. Dengan langkah gontai, badan lengket, dan sedikit malas, aku menuju asrama.

Assalamualaikum...

Bahrul tidak menjawab. Mukanya sedih, menabrak-nabarak lemarinya dengan tubuh bagian belakang. Ia tampak kesal.

“Ada apa, Rul?”

Dia tetap diam, terpancar aura kekesalannya, dan menabrak-nabarak lemari dengan bagian belakang tubuhnya. Kali ini tampak lebih keras.

Perasaanku jadi tak enak.

O, mungkin ini perkara gamis. Aku baru ingat, belum mengambilnya di jemuran. Mungkin dia sudah tahu aku tidak mencucinya di binatu. Mak sranthal aku lari, menuruni anak tangga. Lari lagi melewati kamar mandi, menuju tempat jemuran yang terletak di bagian paling belakang bangunan asrama.

Sampai, aku menuju tempat gamis itu kuletakkan. Tidak ada. Agak setengah panik, aku periksa satu per-satu seluruh pakaian yang bertengger di tali. Tidak ada juga. Aku makin panik. Mungkin ini yang menyebabkan Bahrul marah kepadaku. Maka aku cari lagi gamis yang berasal dari tanah suci itu. Tapi, walau semua bagian sudah kuperikasa, tetap tidak ada.

Celaka!!!

Aku setengah putus asa, kusandarkan tubuhku di tiang jemuran—sambil mata yang terus menggerayangi keadaan sekitar. A, celaka duabelas. Aku akan kena marah Bahrul. Kalau begini jadinya, lebih baik kubawa gamis itu ke binatu. Berapa uang untuk bisa mengganti gamis dari tanah suci itu? Gamis milikku yang berwarna kekuningan ini, tidak akan mampu mengganti walau berjumlah sepuluh lembaruntuk ditukar dengan milik Bahrul. Selain mahal, mungkin gamis itu juga penuh dengan kenangan. Aku masih ingat kata-katanya: “Din, ini gamis sejarahnya panjang. Intinya, aku dibelikan oleh bapakku ketika beliau pergi ke tanah suci.”

Aduh, celaka!

Aku sudah putus asa, betul-betul putus asa. Dengan bantuan lampu, kini mataku mencari sesuatu di bawah, di tanah. Saat itulah aku mendapati sebuah kain putih yang bercampur dengan lumpur. Aku buru-buru mendekatinya.

Persis!

Itu adalah sebuah gamis. Lalu aku memeriksanya dengan seksama, di setiap bagian kain. Ketemu. Di leher bagian dalam, tertulis sebuah nama: Bahrul, dalam bahasa Arab.

A, celaka!!! Celaka!!!

Kenapa gamis ini bisa terjatuh? Padahal aku menjemurnya dengan hanger? Di mana hanger-nya? Pasti ada yang ghosob. Ya, pasti ada yang ghosob! Tapi, apa mau Bahrul menerima alasanku, dengan mengkambing hitamkan si tukang ghosob yang tak tahu siapa itu? A, pasti Bahrul tidak akan menerima alasanku. Sebab akulah yang meminjamnya. Dan akulah yang harus bertanggung jawab atas nasib gamis itu.

Dengan gemrutus keringat dingin, aku bawa gamis itu ke kamar mandi. Aku mencucinya lagi. Sial, air sedang tidak ada. Jumlah air hanya sedikit. Lalu aku menuju kantin, membeli sabun cuci: dua diterjen, dan pemutih. Lunas transaksiku di kantin, aku menuju ke kamar mandi lagi. mencuci gamis itu dengan air seadanya.

Lebih-kurang satu jam aku mencuci dan merendamnya, gamis itu tetap tidak putih sempurna. Aku peras gamis itu dengan perasaan kecewa, lalu membawanya ke tiang jemuran. Aku masih kesal, lalu kuambil semua baju yang bertengger di tali jemuran itu. Aku ambil hanger-nya, lalu aku patahkan semua. Baju-baju itu aku buang ke tanah, lalu aku injak hingga kotor semua. Semuanya!

Memang, membuang semua baju-baju tak bersalah itu—ke tanah, tidak akan dapat mengganti kerugianku. Bahrul tidak hanya marah, dia pasti akan memintaiku sejumlah uang. Itupun kalau dia mau. Tapi kalau meminta lebih? Darimana aku dapat menggantinya?

Dengan perasaan berat, dan marah, aku menuju kamar. Aku sudah siap dimarahi Bahrul. Nasibku sekarang ada di tangannya.

Aku masuk ke kamar, tampak Bahrul masih terlihat geram: kali ini menggoyang-goyang lemari semakin keras, masih dengan tubuh bagian belakangnya.

“Rul...”

Dia tetap tidak menjawab.

“Rul, kamu kenapa?”


“Ini, Din, pantatku gatal.”