Aku selalu berdiri di halaman paling muka, tepat di
belakang pagar beton sang pemilik rumah. Aku tinggal di sini sudah cukup lama,
ketika jalan masih berupa batu dan tanah dengan bahu jalan yang masih ditumbuhi
rerumputan dan alang-alang: tanahnya kuning kecoklatan, belum berwarna hitam lapisan
aspal. Tiang-tiang listrik juga belum ada, penerangan hanya berasal dari
lampu-lampu di halaman rumah warga.
Aku masih ingat, lebih-kurang beberapa puluh tahun
yang lalu; jika pagi datang, embun mesti bertebaran di seluruh atap-langit
dusun. Ia seperti mengepung kami dengan butir-butir air; dan setelah itu, tak
lama kemudian, beberapa orang terlihat bermunculan—berjalan kaki dengan cangkul
yang dipanggul pada pundak—yang akan mereka gunakan untuk menggarap sawah dan
ladang masing-masing. Ada juga, satu atau dua yang mengayuh sepeda, dengan
sebilah arit yang diletakkan di boncengan belakang: setelah matahari tampak
sepenggalah, mereka datang dengan setumpuk rumput hijau segar. Jika tidak,
mereka akan membawa sapi atau kambingnya ikut serta. Pagi memang waktu yang
terasa akrab. Jika kebetulan mereka berpapasan, satu sama lain akan bertegur
sapa. Ramah sekali. Bau tanah, aroma kotoran sapi, dan kemrincing kalung kambing adalah bagian yang tak terpisahkan dari tempat
ini.
Itu jika hari masih pagi.
Saat siang, beberapa perempuan keluar-rumah menuju
sawah. Tangannya menenteng tumpukan
rantang yang berisi makanan seadanya, biasanya masak sendiri, untuk suaminya
yang sedang mandi-peluh di tengah lapang. Di sebalik pagar beton ini, aku
selalu suka memandang sepasang suami istri yang bercengkrama di tengah hamparan
kuning dan bongkahan tanah itu. Aku merasai, bahwa surga memang betul—terletak
pada senyum orang yang sedang jatuh cinta.
Matahari bergerak, condong ke arah barat.
Waktu sore belum sempurna, beberapa anak kecil
bermain layang-layang. Sebagian berlarian di tanah jembar, dan yang lain berenang di kali. Jika matahari dirasa bergerak-lagi
menjauhi timur, masing-masing anak itu pulang, lalu kembali lagi membanjiri
jalan-desa dengan mendekap kitab di dadanya, mereka pergi mengaji bersama-sama.
Aku juga suka melihat anak-anak kecil itu. Riang sekali.
Angslup.
Langit hampir petang, para lelaki-sawah
meninggalkan tanah garapannya. Mereka pulang, membersihkan diri, lalu pergi ke
langgar untuk salat maghrib bersama warga dusun lainnya.
Ah...
Pemandangan seperti ini selalu menjadi tontonanku
sehari-hari. Sebuah pemandangan dengan tempo yang amat teratur, manusia-manusianya
bergerak sangat lambat. Aku jadi bisa memperhatikan mereka satu persatu.
Tapi tak bertahan lama.
Pada suatu hari, entah oleh sebab apa—kehidupan di
luar beton pagar ini berangsur-angsur mulai berubah. Gerak mereka mulai cepat;
kendaraan yang tadinya hanya sekali-kali lewat, kini mulai tampak sering dan hampir
memenuhi seluruh badan jalan. Setiap hari. Suaranya berisik sekali. Semenjak
saat itu, tak pernah kulihat orang yang berjalan kaki, mereka tampak selalu
tergesa dan buru-buru—tentang urusan apa saja: ke sawah, mengantar anaknya sekolah,
pergi ke langgar, ke pasar, kemanapun. Mereka tak lagi bertegur sapa. Juga, tak
ada lagi laki-laki sawah—sebab tanahnya kini mulai ditumbuhi bangunan-bangunan
beton nan megah. Anak-anak itu juga tak pernah kulihat lagi. Di siang hari,
mereka lebih memilih tidur. Jika tidak, orang tuanya akan memarahi dan menghukumnya.
Atau memang sudah tak ada tanah lapang untuk tempat bermain? Semuanya sudah berubah.
Tak terkecuali, wajah-wajah asing yang mulai bermunculan, menempati rumah-rumah
di sebelah kanan dan kiriku.
O, ya. Namaku wit
pelam, pohon mangga, warga di desa sini mengenalku dengan sebutan mempelam. Jenisku adalah Manalagi.
Ukuran buahku tergolong sedang, kulitnya berwarna hijau dengan bintik-bintik
putih di sekujur hamparan. Jika telah mengkal, kulit buahku hijau keabu-abuan. Berdaging
tebal, dan berwarna kuning keemasan. Tempat tinggalku terletak di sebuah dusun
perbatasan kabupaten, tepatnya di sebuah halaman depan, rumah nomor 18.
Pemilik rumah ini bernama Pak Buang, seorang pensiunan
Marinir. Pada tahun ’98 lalu, beliau menjual rumahnya kepada seorang laki-laki
yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sering kudengar pemilik baru itu
dipanggil ‘Ayah’ oleh anak-anaknya. Dan oleh sebagian warga dusun ini, beliau dipanggil
‘Abah’.
***
Selepas subuh, daun pintu terbuka lebar. Itulah kali
pertama aku melihat pemilik-baru rumah ini dengan jelas. Tampak dari warna darah pada
wajahnya, jika tak salah tebak, sepertinya ia senang dengan suasana dusun ini.
Hanya mengenakan kain sarung, tanpa baju, lelaki kekar dan berkulit putih itu
menggerak-gerakkan tubuhnya (sepertinya sedang olahraga?).
Ia hanya berjalan mondar-mandir dari depan ke belakang,
lalu balik lagi ke depan, hanya di sekitar halaman rumanya saja. Tidak sampai
keluar dari pagar.
Setelah beberapa butir keringat bermunculan dari
tubuhnya, ia berhenti berjalan, lalu mendekat ke arahku. Tentu saja aku
deg-degan, khawatir, kalau-kalau beliau tahu—daritadi aku sedang
memperhatikannya. Kemudian laki-laki itu meletakkan tangannya di tubuhku: Masya Allah, hangat sekali. Beliau
seperti memperhatikan setiap gerutan pada kulit batang tubuhku. Matanya terus
merambat menyusuri dahan, ranting, hingga daun-daun.
“Pohon mangga jenis apa ini, ya?” tanyanya.
Kepalanya mendongak ke atas, masih asyik melihat
daun-daun dan reranting milikku yang basah oleh embun. “Berbuah yang banyak ya,
mangga?!” Katanya. Kemudian, tangan kanannya meraih selang-air berwarna biru
yang terletak tak jauh dari tempatku, lalu tangan yang lain memutar tuas kran, lalu
menyiramiku.
Air yang beliau siramkan—kurasai lebih segar dari
air biasanya, dan entah kenapa—juga ada sedikit haru yang begitu asing. Memang,
sudah beberapa bulan ini aku tak pernah lagi mendapatkan perlakuan hangat
seorang manusia. Pemilik baru itu juga mau berbicara kepadaku, menganggapku
benar-benar makhluk yang hidup.
Dan, tidak hanya itu. Hari-hari berikutnya, selain
menyiramiku dengan rutin: setiap pagi dan sore, beliau juga memperlakukannku
agak sedikit berbeda dari kebiasaan. Setiapkali hendak menanak nasi, bekas pususan (cucian beras), beliau berikan
kepadaku. Bekas air untuk mencuci ikan, juga disiramkannya untukku. Itulah
sebab, kenapa aku ingin tumbuh dan berbuah—lebih teratur dan lebih lebat dari
biasanya. Buahku juga menjadi lebih manis kernanya.
Rupanya, semesta mendukung.
Angin kerap menghempasku akhir-akhir ini, meniup-niup
jibunan serbuk sari dan menerbangkannya—berkelamin dengan putik.
Serangga-serangga juga berdatangan, mereka membuat sarang di tubuhku, dan juga di
dasar tanah tempat aku berdiri. Kadang-kadang burung juga hinggap di
dedaunanku, menari dan menyanyi di ranting-ranting. Kelelawar juga ikut-ikutan
mampir, jika malam hari, ia seperti nembang kidung
rumeksa ing wengi. Mereka semua turut membantuku dalam proses pembuahan.
Jika sudah demikian, ketika bintik-bintik
kecil—bakal buah—telah terlihat kemrantak
di sekujur dedauan, ada saja orang datang untuk membeli bakal buahku. Biasanya
mereka datang menggunakan sepeda motor lengkap dengan ronjotan (keranjang [kayu] yang disampirkan di belakang jok motor) di kanan dan kirinya.
Sepertinya mereka adalah pedagang buah. Tapi Abah tak pernah menjualku kepada orang-orang
itu.
Kerna peristiwa itu, kekagumanku kepada Abah semakin
hari kian bertambah. Beliau benar-benar menerapkan hukum Ats-Tsamar, jual-beli buah-buahan—bukan dalam arti al-fawakih (buah-buahan), melainkan hamlu asy-syajar (buah hasil tanaman): bahwa
memang benar ada larangan—jika buah belum tusyiqih
(memerah dan/atau hijau sehingga dapat dimakan), ia tidak boleh
diperjual-belikan. Buah pada pohon itu harus benar-benar dalam keadaan hatta yathiba (hingga masak) atau hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan).
Jadi, tidak boleh jual-beli buah—yang
belum dalam keadaan yadbuwa shalahuhu
(mulai tampak kelayakannya).
Ternyata, dugaanku agak meleset tentang Abah.
Beliau tak menjualku kepada pedagang itu—bukan kerna alasan halal-haram, dan
juga bukan sebab—boleh dan tidak boleh. Beliau lebih terlihat gembira jika rasa
manis pada daging-buahku—dapat dimakan oleh anak-anaknya, dibagi-bagikan ke
tetangga, dan diberikan kepada tamu-tamu yang berkunjung di rumahnya.
Dan sebab alasan-alasan itulah, kini aku berbuah
rutin dalam empat musim, setiap tiga bulan sekali, setelah masa panen: pertama
dalam Mangsa Mareng, adalah waktu ketika hujan mulai jarang. Musim ini ada di bulan Apit Kayu, Koso, dan Karo (Mei, Juni, Juli).
Yang kedua adalah Mangsa Ketigo, yaitu musim kemarau. Terjadi di bulan Ketigo, Kapat, dan Kelimo (Agustus, September, Oktober).
Yang ketiga adalah Mangsa Labuh. Yakni
awal masa penghujan. Frekuensi turun hujannya masih sedikit dan jarang. Terjadi
di bulan Kanem, Kapitu, Kawolu (November,
Desember, Januari). Yang keempat adalah Mangsa
Rendheng. Ialah sebutan untuk musim penghujan dengan frekuensi yang banyak.
Terjadi di bulan Kesongo, Kesepuluh, dan
Apit Lemah (Februari, Maret, April).
Walaupun dalam setiap
musimnya—buah yang tumbuh tidak sama banyaknya, aku selalu berupaya membuatnya
semanis mungkin. Dengan cara inilah, aku ingin mengucapkan rasa terimakasihku
kepada Abah. Dan dengan cara seperti itu pula, melalui rasa manis pada buahku,
sejatinya aku hendak mengucapkan: “semoga sampeyan
panjang umur.”
***
Hari ini Abah membeli
seekor kera, namanya Centhini. Rambutnya belah tengah, dan pendiam. Ia juga
akrab denganku, sering menaiki tubuhku jika selesai dimandikan dengan air
selang-biru. Tapi, Centihni tak bertahan lama. Setelah dilatih untuk tetap
jinak, akhirnya dia dihadiahkan kepada tamu Abah yang tingga di Jakarta.
Abah beli lagi, dan
kami juga akrab. Tapi dia juga bernasib sama, dihadiahkan kepada orang. Ketika
Abah membeli seekor kera untuk yang ketiga kalinya, aku sudah mengira dia akan
bernasib sama dengan pendahulunya. Tapi untuk yang satu ini agak berbeda. Dia
liar, galak, dan tidak jinak. Aku tidak suka dengannya.
Dan persis seperti
degaanku.
Suatu hari, ketika Abah
mencoba untuk memeberi makan kera itu, entah kerna Abah sedang lengah atau
bagaimana, kera itu menggigit tangan majikannya. Mancur deras darah dari bekas
gigi taring kera nakal itu. Takut terkena rabies, berbondong-bondong orang
membawa Abah ke rumah sakit.
Sedikit mengejutkan.
Menurut diagnosa
dokter, gigitan kera itu tidak mengandung rabies. Tapi, justru memberi
keterangan lain: bahwa Abah mempunyai penyakit gula, kencing manis. Dan
semenjak saat itu, beliau dianjurkan tarak
(tidak boleh mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula?).
Hancur hatinya. Sering
kulihat beliau termenung di depan beranda. Aku sedih melihatnya, dan merasai
bahwa akulah salah satu penyebab penyakitnya. Jika akan begini kejadiannya, aku
takakan memaksimalkan rasa manis pada buahku.
Aku terus
memperhatikannya. Dan beliau mendekat ke arahku. Rupanya, Abah melihat getah
yang bercucuran pada batangku. “Kamu kenapa menangis?” katanya, “ini semua
bukan salahmu. Tidak ada satu kejadian pun yang terjadi di dunia ini kerna sebab tunggal.”
Beliau membasuh
getah-getahku dengan sarungnya. Kemudian membalik badan, masuk ke rumah.
***
Abah pingsan. Darahnya
bercucuran di seluruh hamparan lantai. Sampurno, anaknya, kebingungan—membawa
Abah ke rumah sakit.
Keesokan harinya, aku
melihat Sampurno menangis di bawah tubuhku. Katanya, sambil berbicara disebalik
telepon genggam dengan seseorang: bahwa Abah harus menginap di rumah sakit.
Kakinya hancur, hingga terlihat daging dan tulangnya.
Rumah berwarna biru itu
kini terlihat muram. Abah adalah seorang yang sangat mereka cintai, tapi kini
tak pernah hadir dalam banyak peristiwa-peristiwa kecil di dalam rumahnya. Aku
juga merindukannya. Tak ada lagi yang mau mengajakku bicara, seperti yang Abah
lakukan kepadaku. Jika aku sejenak saja bisa menjadi manusia, ingin sekali
rasanya menjenguk Abah, membawakan buah-buahan untuknya.
Sayang, aku hanya wit pelam, pohon mangga, hanya bisa
berdo’a: “semoga sampeyan lekas
sembuh.”
***
Mobil mini bus warna
hitam datang, memasuki halaman. Satu persatu mereka turun, membopong Abah,
mendudukkannya di kursi roda. Sejenak, beliau mendongak ke arahku. Beliau
tersenyum sebentar, seraya berkata: “apa kabar?”
“Baik, bah. Sampeyan
bagaimana? Sehat?”
Sambil terus melihat ke
arahku, matanya menangis. Lalu Sampurno mendorongnya, masuk ke dalam rumah.
Kulihat juga dari tempatku berdiri, beliau terlihat lebih tua. Kerutan pada
wajahnya tampak lebih nyata, bidang dadanya juga mulai tak ada, dan kekar
punggungnya—yang selalu kulihat ketika badannya berbalik untuk menuju pintu
rumah, setelah mengajakku berbincang-bincang dan menyirami tubuhku dengan air,
kini juga sudah tak ada.
“Ya Allah, jika kali ini Sampeyan hendak mengambil keindahan-keindahan di dunia ini satu
persatu, biarkan aku ikut serta.”
Dan...
Angin bertiup, serangga, burung, dan kelelawar
berdatangan kembali. Mungkin kali ini Tuhan mendengar do’aku.
Benar saja. Dari hanya di kursi roda, kini Abah
berusaha berjalan dengan tongkat. Pernah kulihat, Abah terjatuh hingga
tersungkur, hidung dan mulutnya berdarah membentur lantai. Beliau memaksa
berjalan tanpa tongkat. Beliau memang pejuang yang tangguh, keras, dan tak
kenal kata kalah, apalagi menyerah. Aku sangat bangga kepadanya.
***
Pagi-pagi sekali, Abah sudah tampak berpakaian
rapi. Tak lama kemudian, Sampurno datang, memarkir sepeda motornya di bawah
tubuhku. Ia mengucapkan salam, mencium tangan. Tampaknya, berdua ingin pergi
untuk waktu yang cukup lama. Sampurno duduk di dekat Abah, tapi beliau malah
bangkit dari tempat duduknya, mendekatiku.
“Pohon mangga jenis apa ini, ya?” ucapnya.
Lho? Kenapa Abah bertanya seperti itu? Apakah Abah
sudah lupa kepadaku? Melupakanku? Ada apa dengan sampeyan, bah?
“Berbuah yang banyak ya, mangga?!” Katanya.
Kemudian, tangan kanannya meraih selang-air berwarna biru, dan tangan yang lain
memutar tuas kran, beliau menyiramiku, seperti dulu. Sama seperti ketika
pertamakali kami bertemu.
***
Setelah sekian minggu Abah pergi ke Jakarta,
akhirnya beliau datang. Wajahnya tampak putih bersih, tak seperti biasanya.
Terlihat lebih muda dari usianya yang kini telah menginjak 63 tahun.
Lebih kurang satu jam beliau berada di dalam rumah,
lamat-lamat aku mendengar suara istrinya menjerit minta tolong. Orang berdatangan,
anak-anaknya menangis. Abah dibopong ke dalam mobil. Di dalam katup matanya
yang rapat, ketika Abah di gotong,
aku melihat mulutnya mengucap lafal: “Asyhadu
an La Ilaha Ilallah... wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah...”
Dan sejak saat itu, rumah menjadi sepi. Sama seperti
saat ketika Pak Buang menjual rumah ini kepada Abah. Kurasai semua menjadi
murung. Ada apa ini?
Kemurungan dan kesedihan itu kurasakan hingga pagi
hari. Pintu pagar dibuka lebar-lebar. Orang-orang berdatangan. Semua sedang
menahan tangis. Sampai saat sebuah mobil-ambulans memasuki halaman, dan
mengeluarkan sesosok orang dari dalam keranda—yang seluruh tubunya ditutup kain
batik bermotif bunga, saat itulah aku mengerti, bahwa sosok disebalik kain
batik itu adalah Abah: Innalillahi wainna
ialahi ra’jiun.
Semua histeris. Aku mendengar di ruang muka, tempat
jasad Abah dibaringkan, tangisan yang sangat menyayat hati. Abah pulang untuk
selama-lamanya. Ke mana perginya beliau? Sebagian orang mengatakan, bahwa Abah
telah mati, dan aku tak pernah sepakat dengan kata mati. Sebab, lawan kata
(antonim) dari ‘lahir’ adalah ‘batin’, bukan mati. Mungkin beliau saat ini
sudah berada di sebuah ‘alam batin’ yang entah apakah namanya itu.
Apapun, tetap saja aku hanyalah wit pelam, pohon mangga yang tak bisa
berbuat apa-apa selain berdiri menyaksikan dari sudut halaman depan ini. Andai
saja aku manusia, akan kucium keningnya sebagai ucapan perpisahan dan
terimakasih kerna telah merawatku selama ini.
Ya, aku hanya wit
pelam, pohon mangga.
Hanya bisa menyaksikan, ketika orang
berbondong-bondong datang hingga halaman serasa tak mampu menampung pelayat
yang datang. Tubuhku yang besar ini, seperti hanya mempersempit ruang. Andai saja
aku tidak berdiri di sini, mungkin pelayat itu tak akan merasakan sesak ketika
hendak memandikan jasad Abah. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa menyaksikan dari
sini, tempatku berdiri.
Gayung pertama disirimkan ke wajah abah, hingga ke
kakinya. Terus terang, ingin rasanya aku mengatakan: kenapa Abah diam
saja—ketika ada orang mengguyur wajah Abah? Apakah Abah tidak merasakan dinginnya
air itu? Kenapa Abah diam saja?
Ya Allah...
Aku terisak, hingga napasku sesak. Beberapa orang
membopong jasad Abah untuk diberi kafan, dan sebagian lagi, kekira ada
sepuluhan orang, mendekat ke arahku dengan membawa kapak, bendo, dan tali tampar. “Pohon ini saja yang kita tebang, untuk
papan-penahan jasad Abah ketika tanah diurug.”
“Alhamdulillah,
akhirnya waktu ini datang juga.”
Tak lama kemudian, tubuhku diikat. Aku tak
menghiraukannya, sebab mataku terus tertuju kepada jenazah Abah yang telah
dimasukkan di dalam keranda—dengan ditutupi kain hijau berhias huruf-huruf
arab. Jenazah itu dibopong oleh beberapa orang, bergantian, sambil mengucapkan
salam perpisahan.
Ikatan tali tampar pada tubuhku semakin erat.
Jenazah digotong ke pemakaman, meninggalkan rumah,
dan mataku masih tertuju kepadanya.
Tak!!!
Sabetan kapak mengenai tubuhku. Sakit, tapi aku
sangat senang sekali. Akhirnya aku bisa menyertai Abah hingga ke kuburnya. Kami
akan dikubur bersama-sama.
Tak!!!
Sebuah golok mengenai punggungku. Terus dan terus,
hingga aku tak sadarkan diri.
***
Kini aku telah menjadi beberapa potongan papan.
Samar-samar kulihat, orang berdiri di dekat liang lahat. Suara kumandang adzan
berlanggam Jawa terdengar lamat-lamat. Kemudian seseorang mengangkatku, lalu
meletakkannya—pas di atas jenazah Abah, (untuk) melindungi jenazahnya dari urugan tanah.
Aku bahagia sekali, bisa menemani Abah hingga waktu
yang sangat lama: diperistirahatannya yang terakhir, entah sampai kapan. Yang
jelas, kini aku dapat memandang wajahnya dari jarak yang dekat, di tidurnya
yang damai.
Ya, namaku wit
pelam, pohon mangga. Di dalam kubur ini, tiada henti aku memandanginya, tetapi
mataku terasa berat dan semakin lama semakin gelap. Sebelum mataku benar-benar
tertutup, aku membisikkan sesuatu di telinga Abah: “selamat jalan, Ayah, sampai
jumpa.”