Selasa, 10 Mei 2016

PURNAMA

Pada purnama esok hari, musim layang-layang segera tiba. Rasanya hari itu baru kemarin, ketika pekarangan ditaburi guguran kenanga dan cempaka. Masih bening dalam kenangan, dan bersih dalam ingatan—hamparan warna kuning dan putih di seluruh permukaan tanah. Entah sudah berapa lama aku telah melewati musim ini, pohon-pohon pepaya sudah tampak berbunga menyadari ketuaan usiaku, dan putusnya hubunganku dengan masa lalu.

Ya, kini malam menjelang, suara-suara binatang tanah terdengar, juga ragam warna lampu merkuri pedusunan yang menyala bagai ratna mutu manikam. Dan kepada cahaya itu aku tersenyum, bersamaan burung-burung peking yang bubar ke angkasa: membayangkan gurit alismu, mempertanyakan hatimu yang sangit dan hangus, serta mulutmu yang penuh dengan salju. Keheningan, cahayu, meskipun dengan amsal dari berbagai negeri dan zaman, ia tetaplah siksaan. Trembesi ini yang jadi saksinya: bagaimana lelaki tak setertib diriku, dapat mencintaimu sepanjang malam.

A, apa kerna di dalam gelap, apapun yang kau sentuh berubah menjadi cahaya?

Mana rembulan dari sela-sela cengkeh, kapulaga, dan kayu manis ini sejatinya tak paham apa itu kenangan. Seperti halnya diriku yang butuh kau usik, semacam tidakboleh-sirnanya kerupuk dalam setiap menu yang hendak kusantap.

Pada beranda, dan ruang taman yang ada di depannya, adalah bagian muka rumahku yang paling segar. Di tengahnya, sebuah simpang perempatan jalan paving-blok yang membelah taman bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)—ada sebuah bulatan beton, tempat jajaran pancuran-air dengan hamparan teratai di permukaannya yang laksana bukit dengan seribu mata air di mana jentik-jentik dalam air menjelma nyamuk dan kini bermatian menjemput babak-babak terakhirnya kerna tak lagi sempat mendarat di kulitmu yang langsat.

Ya, rasanya hari itu baru kemarin.

Sekapur sirih di ruang tamu rumahmu waktu itu, muasal terbangunnya kesengsaraan ini. Ketika kau lintingkan aku satu ler tembakau campuran: srinthil, mbako Temanggung asal desa Legoksari, Madura, Bojonegoro, dan taburan renik-renik cengkeh dari Ternate; kuhisap hingga merasuk ke lorong sukmaku. Rasanya masam, dan sedikit bercampur manis; mungkin sebab kau sedang dudukpas di depan kursi kayu. Hmmm... gimana, ya? Kalau boleh jujur, kemben terusan yang kau kenakan hari itu, yang berwarna hijau itu, agak mlorot. Mendatangkan rejeki-tipis untuk mata keranjang seperti diriku.  Dibantu temaram lampu uplik, tampak jelas sleret kecoklatan di sana.

He-he-he...

Sangat cantik kamu dalam muka gemas, tatkala kau pergoki mataku yang sudah tak berada di junggring saloka.

“Kemana saja mata kamu, Danang?” tegurmu, tatkala mataku yang masih asyik-masyuk dengan slempitan sleret coklat milikmu.

“Surga.”

“Memangnya kelihatan, ya?”

“Sedikit. Tapi, lumayan-lah buat seminggu.”

“Kamu nakal, ya?!“ Sambil terkekeh, jasmanimu menyala, semacam kebahagiaan dan juga kegelian tertentu yang susah diterjemahkan. Aku panik dengan reaksimu, walau darah pada wajahmu tak menunjukkan sikap marah, tapi di puncak tawamu—peluh di kelopak matamu—airnya teramat bening, seakan jiwamu barusaja menghembuskan napas yang berdesakan melalui hidungmu yang mancung.

“Ah, Lestari, cantikku...” Aku menjentikkan ibujari di hidungku, seperti Bruce Lee tatkala berhasil menumpas lawan-lawannya. Jika jurus kali ini tak mempan, akan kugempur engkau dengan rayuan, atau kukepung setiap jengkal jubin rumahmu dengan puisi. Jika masih tak mempan juga, terpaksa kugunakan japa-mantra: niat ingsun amatek aji-ku si jaran goyang. Siapa tahu, kitab seharga lima ribu perak yang kuperoleh dari penjaja kakilima itu—ampuh. Manjur. Siapa tahu, heh? Kitab penuh mantra ini juga mengajarkan bagaimana cara ngeraga sukma dan memunculkan daya sakti lembu sekilan dalam tubuhku—yang dapat meremukkan tulang musuh—sejengkal jari sebelum menyentuh badan jasmaninya.

Hmmm...

Ya, malam berjalan begitu cepat. Kumandang shalawat Tarhim bertebaran di udara. Puisi karya Syech Mahmud Al-Khusairi itu selalu menjadi tanda akhir perjumpaanku dengannya.

“Danang, hari mejelang pagi. Pulanglah!”

“Apakah besok kita bertemu lagi?”

“Ya, tentu saja.”

“Aku selalu takut jika ini hanyalah mimpi, Lestari.” Ia hanya tersenyum, dan kudekatkan bibirku pada keningnya. Aku menciumnya, masih dengan bibir yang tertempel pada kulitnya: “Lestari, akankah kita besok akan bertemu lagi?”

Ia mengangguk.

Lalu aku pamit undurdiri. Lestari mengantarku hingga ambang pintu, aku menoleh ke arahnya sebelum benar-benar meninggalkannya. Perempuan berkain hijau itu melambaikan tangannya kepadaku. Suara gemercik sungai mengiringi langkahku mendaki tanah-tanah terjal. Rumah gadis itu berada pas di belakang rumahku.

Selasai.

Aku memperbaiki napasku, sebelum akhirnya kumasuki pekarangan belakang rumah, terlebih dahulu kupastikan keadaan sekitar. Pesan Lestari, gadis yang kini menjadi kekasihku itu, tidak ada boleh yang tahu tentang pertemuan kami berdua.

Sepi.

Aku buka pintu belakang rumah, lalu menuju kamar yang terletak tak begitu jauh jaraknya dari pintu belakang. Suara pintu kamar kakakku terdengar, mungkin ia sudah bangun, hendak salat subuh. Segera aku masuk kamar, kemudian tidur.
***


Aku terjingkat. Seperti ada yang melempar batu pada jendela kamarku. Dengan agak malas, aku membukanya. “Lestari?”

“Dasar kamu pemalas,” ia sambil tersenyum. Setiap kata-katanya terasa penuh dengan bunga. Seperti bukan mulut dan tenggorokan, ia sering justru menaburi seperti gerimis.

“Kamu dari mana, Lestari? Macam putri keraton saja?”

“Kita ke rumahku, yuk? Nanti kuceritakan semua, ada berita baik dari ibu buat kita.”

Hanya dengan mengenakan sarung, dan kaos seadanya, aku menyusulnya—menuruni jalan landai menuju sungai. Rumah Lestari ada di sana. “Bajumu sangat tradisional sekali?” Tanyaku, membuka obrolan.

“O, ini pemberian ibuku.”

“Ibumu mana? Aku tidak pernah melihatnya?”

“Beliau sedang pergi ke selatan.”

“Sayang, aku tak pernah sempat bertemu dengannya.”

“Ibu sudah tahu hubungan kita.”

“Lalu?”

“Ini tak baik untuk kita, katanya.”

“Segalanya baik jika mendatangkan kebahagiaan, Lestari. Dan baik adalah baik, apapun anggapan orang.”

“Kecuali...”

“Kecuali apa, Lestari? Katakanlah!”

“Kecuali kita menikah, dan kau bersedia ikut denganku.”

Aku sejenak diam. Bukan tak mau, hanya terlalu cepat memutuskan menikah, di umurku yang masih terhitung remaja ini.

“Kau ragu, Danang?”

“Tidak, Lestari. Hanya saja, aku harus meminta izin, juga restu kepada kakakku. Ia satu-satunya yang tersisa di dunia ini. Aku yatim-piatu, dia selama ini yang merawat dan membesarkanku. Membiayai semua keperluanku di pesantren.”

“Baiklah kalau begitu. Pikirlah terlebih dahulu. Hingga purnama depan, sebelum hari menjadi pagi, aku akan menunggumu di sini. Kita sama-sama pergi menghadap ibuku.”

“Berarti, selama satu bulan kita tidak akan bertemu, Lestari?”

Shalawat Tarhim sayup-sayup terdengar.

“Pulanglah, Danang. Langit akan segera menjadi terang.”
***


“Nang, Danang!”

“Masuklah, Mbak. Pintu tidak dikunci.”

Pintu terbuka. “Tak baik di rumah terus, Nang. Bergaullah dengan teman seuisiamu. Di langgar, di masjid, di karangtaruna. Jangan menyendiri terus di dalam kamar.”

Aku tak menjawabnya. Aku masih asyik melukis wajah Lestari di buku gambar. Sudah tiga minggu ini aku tak bertemu dengannya. Maka gambar ini, satu-satunya yang bisa mengobati rinduku padanya.

“Siapa yang kau gambar, Nang? Cantik sekali!” Tanya Mbak Wati.

“Namanya Lestari, Mbak. Dia pacarku.”

“Ah, pacar darimana, Nang? Memangnya kamu kenal dia di mana?”

“Masih baru, sih. Kira-kira dua bulan yang lalu. Ketika itu aku pergi ke sungai belakang rumah untuk ambil air wudhu, saat itu aku bertemu dengannya.”

“Anak mana dia, Nang?”

“Mbak Wati masa tidak kenal dia? Itu, rumahnya yang ada di belakang rumah kita. Dekat kali di bawah sana.”

“Astagfirullah... Nang?!”

“Minggu depan aku mau menikah dengannya, Mbak.”

“Istighfar, Nang. Di kampung sini, tidak ada perempuan yang bernama Lestari. Dan juga, tidak ada rumah di belakang rumah kita. Itu kali, Nang, kali! Makanya, tidak usah kamu membaca buku-buku ndak berner kayak gini!” Mbak Wati mengambil bukuku yang terletak di meja.
***


Purnama hampir bulat sempurna, Danang menikmati hari terakhinya di beranda. Mengenang bagaimana ia bertemu dengan gadis yang selalu ia temui saat malam hari itu, gadis misterius. Danang juga mengingat kata-kata, kakaknya, Mbak Wati.

Tiba-tiba, perasaan pahit sebentar lewat, dan Danang merasa sendiri: “Bisakah orang begitu bercahaya matanya?” ia tanyakan persoalan itu berkali-kali kepada dirinya sendiri. “Ada,” jawab dadanya. “Yaitu mata orang yang sedang jatuh cinta, Danang.”

Di lindungi alam dan hamparan di sekitarnya, sekalipun ia rasa sangat jauh dengan orang-orang yang di cintainya: Lestari, Mbak Wati; ia merasakan sesuatu yang baru, menyenangkan.

Angin berhembus pelan, membuai semua yang ada di halaman dan beranda: kursi, meja, pot-pot bunga, dan Danang. Angin itu membuat ia mengantuk.

Danang berdiri dari kursinya, lalu pergi ke kamarnya.
***

Entah sudah berapa lama Danang berada di dalam kamar, jendelanya seperti ada yang mengetuk. Setiap ketukan di jendela, selalu mendebarkannya. Tapi ia tetap membukanya. Tak ada siapa-siapa. Di luar, pucuk-pucuk pepohonan, rembulan, dan suara gemercik sungai terdengar kencang di kepalanya: mengabarkan bahwa hari sudah malam. Di luar dirinya; di langgar, di pos-pos karangtaruna; dunia dan kehidupan berlangsung begitu saja. Ia, dengan sia-sia, menyaksikannya dan terasa olehnya hidupnya yang sendiri, dan ia merasa rumah ini bukan lagi tempatnya tinggal.

Ya, hanya Lestari satu-satunya kebahagiaan miliknya. Satu-satunya hal yang membuat ia menjadi berarti. Sesuatu yang belum dipikirkannya ialah jenis kebahagiaan macam mana yang sekarang di jalaninya. “Tapi, bagaimana Mbak Wati? Ia akan hidup sendiri tanpaku?” Tanyanya dalam hati. Ah, setiap orang urusannya sendiri. Danang tak mau terlibat dalam persoalan di luar dirinya. Ia segera pergi ke kamar mandi, memperisapkan diri.

Badannya terasa sega.

Setengah badannya masih berbuntal handuk. Dada dan punggungnya masih ditempeli butir-butir air. Tak lama, air-air itu ia sapu dengan handuknya hingga terasa kering di badannya.

Danang tuntas dengan air di kulit tubuhnya.

Ia mengenakan baju terbaiknya, dan wewangian yang selalu ia simpan di lemari. Dipandangnya dirinya sebentar di dalam cermin, “ngganteng juga aku, heh?” Lalu ia meninggalkan kamarnya, menuju ke kamar Mbak Wati.

Di depan pintu, ia mengetuk pintu kakaknya dengan lembut. “Mbak... mbak... mbak Wati.”

“Jadi kau pergi, Nang?”

“Iya, mbak.”

“Kasihan kamu, Nang. Sepi hidupmu.” Tangan kanan Mbak Wati menyapu kening danang. “Ya, pergilah. Mungkin di sana kamu tidak kesepian seperti di sini.”

“Apakah Mbak Wati membenciku kerna memilih meninggalkanmu sendiri?”

“Cuma kamu yang aku punya dalam hidup ini. Begini caraku berterimakasih kepada bapak dan ibu. Tapi, jika kau memiliki jalan yang lain, apa boleh buat, Nang?!”

Danang lalu mencium tangan kakaknya, kemudian pergi melewati dinding-dinding. Di ujung pintu, Danang menolehkan wajahnya sebentar, lalu tersenyum, dan melambaikan tangannya.

Kakaknya membalas, dengan tangis yang haru.

Keesokan harinya, seluruh warga kampung geger. Danang ditemukan hanyut di kali, jasadnya tersangkut di batu-batu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar