Senin, 31 Oktober 2016

CINTA DAN 1 ONS TEPUNG



Beberapa jam yang lalu, aku mendarat di bandara Juanda - Surabaya. Tidak langsung pulang, terlebih dahulu aku singgah di depot sekitaran sana. Seorang teman ingin menjumpaiku, rumahnya tak jauh dari kawasan bandara. Jadi aku sengaja menyediakan waktu untuknya.
Mungkin sudah 30 menitan aku duduk dan menyelesaikan makananku. Sebagai ritual lanjutan, aku memesan kopi—yang tak lama waktu berselang, minuman yang kupesan pun datang. Yuono, teman yang kubilang tadi, juga datang tidak lama kemudian. Pundakku disentuhnya sebab tak sadar kerna sedang asik memeriksa beberapa pesan pada gawaiku:
“Mas,” sapanya.
“Eh, No. Ayo, pesen kopi sik.”
“Langsung wae, mas.”
“Wegah, No. Mesti abot ceritamu iki.”
“Iyo-e, mas”. Kemudian ia bercerita:
Nganu, mas. Mohon maaf sebelumnya jika cerita saya kali ini agak personal. Ndak papa tho, mas? Nah, jadi gini. Istri saya sekarang kan usia kandungannya sudah menginjak delapan bulan... Sebentar, mas. Jangan dipotong dulu, selamatnya nanti saja. Sampai mana saya tadi? Ya, delapan bulan. Dan kebetulan bersamaan dengan seret-nya pemasukan saya. Uang sih ada, tapi kalau buat berdua ndak cukup. Jadi saya mengalah. Semua uang—saya suruh bawa istri, soalnya dia kerja.
Kopi pesanan Yuono datang, “mas Fajar, saya njajal rokoknya nggih?”
Jadi, mas, selama berhari-hari saya ndak pegang uang samasekali. Kerna orderan sedang sepi, waktu saya lebih banyak di rumah. Kalau keluar pun, itu hanya sekadar antar-jemput istri ke tempat kerja.
Di sinilah cerita itu bermula, mas.
Di rumah sudah tidak ada persediaan samasekali. Tidak ada persediaan itu artinya: jumlahnya di bawah konsumsi rata-rata—sebab hanya ada beberapa bungkus mie instan dan 1 Ons tepung. Maka tak usah ditanya, beberapa hari kemudian stok mie instan pun habis. Yang tersisa hanya tepung. Saya putar cara, bagaimana agar—bahan itu (baca: tepung) bisa didaya-gunakan: saya olah ia menjadi cilok, semacam pentolan (bakso) yang nir-daging.
Alhamdulillah, mas. Lumayan bisa mengenyangkan. Yang penting istri bisa makan, dan jabang bayi dalam kandungan juga bisa ikut sehat.
Jadi, pentolan tadi saya sajikan dengan bumbu kacang yang pedas. Selain memiliki alasan historis dan kultural, yang paling penting—pedas dapat mengusir  angin dalam perut saya kerna kepanasan. Tepung tadi, saya olah sedemikian rupa—pokoknya harus cukup untuk makan beberapa hari. Dan benar saja, selama berhari-hari tubuh saya mendapt asupan makanan yang malnutrisi ini. Meskipun demikian, saya senang-senang saja. Tidak ada secuil pun perasaan terpaksa, itung-itung tirakat.
Entah sudah hari ke-berapa, di suatu sore, istri minta dijemput seperti biasa. Saya langsung pancal sepeda motor dengam kecepatan sedang. Tapi hari itu memang agak lain, mas. Nuansanya sangat tenang, dan hening sekali. Padahal di jalan banyak kendaraan.
Tepat di lampu merah ke-sekian, saya berhenti—sama seperti pengendara lainnya. Tapi, ada yang berbeda. Tiba-tiba rasa sedih—mendadak di dalam dada saya. Saya menangis sesenggukan tanpa alasan yang jelas. Lalu saya tanya pada diri:
”Kamu kenapa sedih? Bukankah hidup susah sudah bagian sehari-hari?”
“Tidak, saya baik-baik saja.” Jawab saya.
Lalu saya menanyakan sesuatu kepada—entah apa namanya—yakni “sesuatu” yang berada di dalam diri saya. Tapi pertanyaan kali ini saya (sengaja) tujukan ke tempat yang lebih dalam. Mungkin lebih dalam dari sekadar yang saya tahu.
Suasana masih terasa tenang: tak ada suara klakson, knalpot, dan bahkan angin. Kulihat lampu setopan masih menyiratkan warna merah. Dan tiba-tiba ada suara datang, menjawab pertanyaanku tadi: “jika tidak dalam keadaan seperti ini, lalu dalam keadaan seperti apalagi aku dapat menjumpaimu?”
Mendengar jawaban itu, air mata saya ambyar ke mana-mana: baju, aspal, mungkin juga kepada nasib yang terlanjur kutuduh sebagai nasib buruk. Lalu saya membalasnya: “Lho, Ya Allah... Njenengan, tho? Njenengan Ya Allah?!”

***

Malam semakin larut, badanku sudah tak bisa bekerjasama. Aku pamit, izin undur diri. Yuono berdiri, mengulurkan tangannya, menjabat tanganku. Tapi aku langsung menarik tanganya, dan kemudian memeluknya.
Sebelum kami benar-benar berpisah, kuulurkan tanganku lagi sebagai salam perpisahan. Ia menyambutnya segera. Dan aku mencium tangannya, mengucapkan ribuan terimakasih.