Beberapa jam yang lalu, aku
mendarat di bandara Juanda - Surabaya. Tidak langsung pulang, terlebih dahulu
aku singgah di depot sekitaran sana. Seorang teman ingin menjumpaiku, rumahnya
tak jauh dari kawasan bandara. Jadi aku sengaja menyediakan waktu untuknya.
Mungkin sudah 30 menitan aku
duduk dan menyelesaikan makananku. Sebagai ritual lanjutan, aku memesan kopi—yang tak lama waktu berselang, minuman yang kupesan pun datang. Yuono, teman yang
kubilang tadi, juga datang tidak lama kemudian. Pundakku disentuhnya sebab tak sadar
kerna sedang asik memeriksa beberapa pesan pada gawaiku:
“Mas,” sapanya.
“Eh, No. Ayo, pesen kopi sik.”
“Langsung wae, mas.”
“Wegah, No. Mesti abot ceritamu
iki.”
“Iyo-e, mas”. Kemudian ia
bercerita:
Nganu, mas. Mohon maaf sebelumnya
jika cerita saya kali ini agak personal. Ndak
papa tho, mas? Nah, jadi gini. Istri saya sekarang kan usia kandungannya sudah
menginjak delapan bulan... Sebentar, mas. Jangan dipotong dulu, selamatnya
nanti saja. Sampai mana saya tadi? Ya, delapan bulan. Dan kebetulan bersamaan
dengan seret-nya pemasukan saya. Uang sih ada, tapi kalau buat berdua ndak cukup. Jadi saya mengalah. Semua
uang—saya suruh bawa istri, soalnya dia kerja.
Kopi pesanan Yuono datang, “mas
Fajar, saya njajal rokoknya nggih?”
Jadi, mas, selama berhari-hari
saya ndak pegang uang samasekali.
Kerna orderan sedang sepi, waktu saya lebih banyak di rumah. Kalau keluar pun,
itu hanya sekadar antar-jemput istri ke tempat kerja.
Di sinilah cerita itu bermula,
mas.
Di rumah sudah tidak ada
persediaan samasekali. Tidak ada persediaan itu artinya: jumlahnya di bawah
konsumsi rata-rata—sebab hanya ada beberapa bungkus mie instan dan 1 Ons
tepung. Maka tak usah ditanya, beberapa hari kemudian stok mie instan pun
habis. Yang tersisa hanya tepung. Saya putar cara, bagaimana agar—bahan itu
(baca: tepung) bisa didaya-gunakan: saya olah ia menjadi cilok, semacam
pentolan (bakso) yang nir-daging.
Alhamdulillah, mas. Lumayan bisa
mengenyangkan. Yang penting istri bisa makan, dan jabang bayi dalam kandungan
juga bisa ikut sehat.
Jadi, pentolan tadi saya sajikan
dengan bumbu kacang yang pedas. Selain memiliki alasan historis dan kultural,
yang paling penting—pedas dapat mengusir
angin dalam perut saya kerna kepanasan. Tepung tadi, saya olah
sedemikian rupa—pokoknya harus cukup untuk makan beberapa hari. Dan benar saja,
selama berhari-hari tubuh saya mendapt asupan makanan yang malnutrisi ini.
Meskipun demikian, saya senang-senang saja. Tidak ada secuil pun perasaan
terpaksa, itung-itung tirakat.
Entah sudah hari ke-berapa, di
suatu sore, istri minta dijemput seperti biasa. Saya langsung pancal sepeda
motor dengam kecepatan sedang. Tapi hari itu memang agak lain, mas. Nuansanya
sangat tenang, dan hening sekali. Padahal di jalan banyak kendaraan.
Tepat di lampu merah ke-sekian,
saya berhenti—sama seperti pengendara lainnya. Tapi, ada yang berbeda. Tiba-tiba rasa
sedih—mendadak di dalam dada saya. Saya menangis sesenggukan tanpa alasan yang
jelas. Lalu saya tanya pada diri:
”Kamu kenapa sedih? Bukankah
hidup susah sudah bagian sehari-hari?”
“Tidak, saya baik-baik saja.”
Jawab saya.
Lalu saya menanyakan sesuatu kepada—entah
apa namanya—yakni “sesuatu” yang berada di dalam diri saya. Tapi pertanyaan
kali ini saya (sengaja) tujukan ke tempat yang lebih dalam. Mungkin lebih dalam
dari sekadar yang saya tahu.
Suasana masih terasa tenang: tak
ada suara klakson, knalpot, dan bahkan angin. Kulihat lampu setopan masih
menyiratkan warna merah. Dan tiba-tiba ada suara datang, menjawab pertanyaanku
tadi: “jika tidak dalam keadaan seperti ini, lalu dalam keadaan seperti apalagi
aku dapat menjumpaimu?”
Mendengar jawaban itu, air mata
saya ambyar ke mana-mana: baju, aspal, mungkin juga kepada nasib yang terlanjur
kutuduh sebagai nasib buruk. Lalu saya membalasnya: “Lho, Ya Allah... Njenengan,
tho? Njenengan Ya Allah?!”
***
Malam semakin larut, badanku
sudah tak bisa bekerjasama. Aku pamit, izin undur diri. Yuono berdiri,
mengulurkan tangannya, menjabat tanganku. Tapi aku langsung menarik tanganya,
dan kemudian memeluknya.
Sebelum kami benar-benar
berpisah, kuulurkan tanganku lagi sebagai salam perpisahan. Ia menyambutnya
segera. Dan aku mencium tangannya, mengucapkan ribuan terimakasih.