Selasa, 17 Mei 2016

SUDAH TIDAK ADA (Ara, Terataiku... Bag. III)




Pada sebuah malam yang rindang, enam tahun yang lalu. Aku sedang berada di sebuah ketinggian lantai dua puluh satu, menghadap jendela lembab—tembus dengan suasana dinihari Jakarta. Rasanya, aku ingin berendam dengan air hangat dan sekaleng bir di tangan kanan.

Aku mencoba mengingat-ingat lagi, ketika senyummu terurai-mengharumi udara: peringai yang lembut namun berubah perkasa ketika hujan-legam memaksa nasibmu mencicipi separuh maja.

Ya, ketika itu...

Ketika suatu malam dan langit bertaburan tirta kaskaya di sepanjang angkasa, saat hendak menutup jendela ruang kerja, di sebalik jendela rumah, aku melihat sekelebat jasadmu yang kuyub—mendekat. Tampak tergesa, dan raut yang sedang terbebani banyak peristiwa yang tak keruan. Titik-titik air membasahi kulit wajahmu, kala itu.

“Ara, ada apa?” tanyaku, “kok hujan-hujan malam-malam begini?” Wajah kami berhadapan. Sembari melebarkan daun jendela, aku memintanya menuju beranda. Lalu, aku berlari menuju pintu utama.

Setelah membukakan pintu, kupegang pundaknya, agak menariknya lembut: “Ayo, masuk!”

“Ah, di sini saja, mas”. Dia menjawab, dan menarik tubuhnya mundur, dengan agak memaksa melebarkan senyumnya. Dan hujan kian deras di luar sana.

Segera aku meraih bahunya, lagi. Mengajak untuk tidak sungkan menginjakkan kakinya di teras. Tapi, Ara tetap menolak dengan menggerakkan tubuhnya ke belakang. Dengan senyum kecil, ia melihat ke arah atas kepalanya yang dihujani air bertubi-tubi.

“Mas, bisa datang kerumah saya? Sekarang?" Katanya, sambil menggigil, menyilangkan kedua tangan menutupi dadanya.

Mak tratap. Ini tidak biasanya. Jarum jam dinding—telah menunjuk pukul setengah satu.

“Ada apa, Ara? Apa ada yang bisa saya bantu, tanpa harus ke rumahmu? Ini sudah malam.” Aku memang baru saja tiba di rumah, baru beberapa jam yang lalu, kondisi tubuhku agak sedikit lelah.

“Tapi saya butuhnya Njenengan datang ke rumah. Benar, ini mendesak. Saya minta bantuan—mengurus jenazah bapak.”

Hening.

Aku terkejut, dan tak tahu harus bicara apa. Sekian detik, kami hanya saling tatap dan tanpa suara. Kalimat terakhir gadis itu sungguh di luar semua dugaan. Dalam ketakterdugaan itu, aku bergegas tanpa harus banyak bicara. Mengunci pintu rumah dengan cepat, lantas menggandeng gadis itu menuju rumahnya.

Dingin.

Layaknya air langit yang jatuh bertubi-tubi malam itu, begitulah gambaran dalam kepalaku. Seorang bapak meninggal, dan anaknya dengan sikap yang adem, keliling menghubungi tetangga untuk meminta bantuan. Sungguh luar biasa. Dari ketenangan yang ditunjukkan Ara, ketika menghampiriku di rumah tadi, sudah menggambarkan betapa tegarnya ia menghadapi drama kematian bapaknya. 

Kabar mengenai bapaknya yang sakit, memang bukan berita baru .Sudah beberapa bulan ini, bapaknya terserang kelumpuhan tubuh. Hanya mampu bersuara, itu pun dengan intonasi yang tidak begitu jelas. Hidup bapaknya bertumpu pada pelayanan keseharian istrinya, dan tentu saja Ara: mulai dari buang air, makan, hingga ganti pakaian. Hampir seluruhnya pasrah. Sudah berbagai jenis pengobatan dijalani, tapi tidak menghasilkan kesembuhan yang diharapkan. Bapaknya mesti rela terbaring di ranjang kayu, beralas tikar anyaman bambu.

Tapi siapa nyana, malam itu adalah waktu terakhirnya di dunia. Dan aku adalah orang ketiga yang memegang jenazah lelaki sepuh itu, mungkin setelah ibunya dan Ara.

Selembar kain coklat bermotif burung menutupi tubuh lelaki berperawakan tambun itu. Empat batang lilin menyala mengelilingi tubuh kaku itu. Ara yang menyiapkannya sebelum mendatangi rumahku tadi. Aku tak kuasa membayangkan secara rinci, tentang adegan itu. Begitu kokohnya pertahanan akan kesedihan, pada seorang anak yang merawat bapaknya hingga menjemput ajal. Ketegaran yang langka, dari seorang gadis muda yang hidupnya biasa-biasa saja.

Tetangga lain mulai berdatangan.

Dalam perjalanan menuju rumah duka, aku sengaja mampir—mengetuk pintu beberapa rumah. Mengabarkan adanya warga yang meninggal, dan mengajak untuk turut membantu di sana. Beruntung, respon yang di dapat—cepat. Hingga tak lama setelah aku dan Ara tiba, mereka menyusul satu per-satu.

Ya.

Kematian adalah peristiwa misterius, orang Jawa menyebutnya layu: tubuh kaku, hanya terlentang, tak lebih dari tulang yang dibalut daging. Dayanya lepas, hingga segala perangkat lunak yang bermukim di dalamnya tidak aktif lagi. Seperti perangkat elektronik yang tidak teraliri listrik. Diam, tanpa hasrat. Kemana perginya pemicu kehidupan itu? Orang menyebutnya nyawa, jiwa atau ruh. Apapun itu, aku membungkusnya dalam kotak pengertian yang sama. Entitas sumber hidup. Tak ada yang pernah tahu. Pemahaman agama memberikan keterangan yang berujung pada kepercayaan final. Kembali kepada Tuhan, bermukim di tempat-tempat yang hanya bisa dikenal lewat perspektif iman. Dalam ranah mitologi, pola penceritaan tentang teka-teki kematian, memiliki bentuk yang mirip: ruh berpisah dari badan, untuk menunggu keputusan rute perjalanan selanjutnya. Apakah dia akan menepi ke alam atas, sebutlah itu swargaloka, atau dunia bawah, namakan saja naraka. Tapi itu hanyalah pengistilahan untuk memudahkan menerka teka-teki. Pada kenyataannya, tidak ada yang mampu memastikan, di mana sebenarnya ruh itu berada. Kategorisasi alam atas dan bawah adalah cara manusia membangun deskripsi tentang sisi-sisi kehidupan yang tidak bisa tertangkap secara visual kasar. Yang pasti, kematian itu terjadi—dan sang daya hidup yang tercerabut dari tubuh—melanglang pada lapis kehidupan yang lain. Dia ada, dan tidak punah.

Kembali pada bangku kayu reyot, aku tertegun. Masih menggantung rasa penasaran yang berat—tentang reaksi Ara yang tenang, ketika mendapati bapaknya meninggal. Ilustrasi yang bergerak dalam benakku seakan kaku dan tidak mampu menganggap adegan itu wajar. Bagaimana tidak? Seorang kepala keluarga yang telah merawatnya hingga usia dewasa, dijemput maut di depan mata. Lalu dengan perasaan yang teraduk-aduk, dirinya membersihkan mayat bapaknya, menutupi dengan kain, barangkali juga sempat menciumnya—sebelum akhirnya berjalan menuju rumahku tadi.

Sungguh, ini bukan peristiwa yang gampang dilakoni. Mungkin saja, Ara memang setegar karang. Kuat melewati adegan yang pilu. Kesengsaraan dan penderitaan hidup telah menempanya untuk siap kehilangan apapun yang dimiliki. Perjalanan panjang selama menjalani hidup yang pahit, melatih giat, pemaknaan tentang apa itu kepergian juga konsep mengenai pulang. Sebagai orang Jawa yang masih menjalankan ritual-ritual kejawen—warisan leluhurnya, aku yakin, Ara mempunyai berlapis-lapis kesadaran yang kentara tentang arti kematian. Bahwa yang remuk dan lapuk hanyalah tubuh. Tapi isinya, aktivatornya, tetap hidup, dan bergegas nyawiji dengan penciptaNya. Maka tak heran, jika akhirnya gadis belia itu tidak hanyut dalam duka-duka yang haru-biru. Dia tidak kehilangan sang bapak. Sebab baginya, ketulusan cintanya telah menempel, menyatu pada ruh yang tercabut itu. Kasih sayangnya menyublim pada bentuk-bentuk yang lebih merdeka, tidak terikat badan material. Ara agaknya sudah bersiap dengan kemungkinan kematian yang merenggut orangtua laki-lakinya. Sejak kelumpuhan itu mendera, dia membekali diri dengan tameng-tameng ketangguhan. Mengakrabi wacana kematian, dan tidak membencinya.

Pikiranku terus merayu untuk menduga-duga di sebalik sikap-tenang Ara. Menebak setebal apa ketabahan yang ia miliki. Menerka, sehebat apa pelajaran yang direguknya dari setiap jengkal langkah kehidupan. Sayangnya, mataku terlalu berat. Bahkan terhadap kantuk pun—aku bertekuk lutut, apalagi dengan serangan kesedihan akan kematian. Mungkin yang kuingat-ingat hanyalah kenikmatan-kenikamatan, hingga enggan berpisah dengannya. Padahal, mati adalah pedang-tajam yang merajam segala kenikmatan itu. Tidak seperti Ara, ia sangat hafal dan memahami penderitaan, juga segala hal yang dianggap tidak enak. Saking akrabnya, dia tidak mudah sedih lagi—jika kesengsaraan datang. Sudah menjadi sahabat, pun dengan kematian. Barangkali begitu. Kalaupun terkaanku meleset, tentang Ara, paling tidak aku sudah menyaksikan ketegarannya dengan alasan apapun yang belum terjelaskan. Satu yang patut dicatat: Ara adalah manusia kokoh nan langka. Seperti namanya, Ara, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘cemara’. Gadis itu lebat kesabarannya, tinggi kepasrahannya, kuat terhadap suka-duka.
***

Bir di tangan kananku sudah habis. Entah kenapa, malam ini aku ingin menghubungi Ara. Sehatkah ia? Ibunya?: “Halo.”

“Ya, mas.”

“Bagaimana kabar kamu, Ara?”

“Baik, mas.”

“Ibu, sehat?”

“Ibu... sudah tidak ada, mas.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar