Sabtu, 11 Februari 2017

TUKANG PARKIR DI ATM




Oleh: Fajar Saputro


“Uang bulanan sudah dikirim, hemat-hematlah.” Bunyi SMS dari ibu. Bagai diguyur hujan di musim kemarau, hatiku gemebayar tak keruan. Dengan motor pinjaman, aku menuju ATM yang terletak di seberang ujung jalan. Sudah hampir satu minggu ini aku kehabisan uang, hutang sudah menumpuk di kantin-kampus dan beberapa teman. Begitu cek saldo, yang tadinya kukira hujan lebat, ternyata hanya gerimis kecil-kecil. Jatah bulanan tidak bertambah, keluh kesahku tentang naiknya harga-harga tak memberikan hasil dengan tambahan jatah bulanan. Kutarik selembar, pecahan lima puluh ribu. Kemudian aku keluar dengan perasaan kecewa. Ketika hendak menghidupkan motor, seorang laki-laki tua mendekatiku. Memakai baju serba oranye, ia menyorongkan tangan dipenuhi uang koin yang  digerak-gerakkan: “crik-crik-crik,” bunyinya.


“Berapa, pak?”
Lelaki tua itu hanya mengangkat jari tengah dan telunjuknya, tak sepatah kata pun ia lontarkan. Mungkin maksudnya adalah dua ribu rupiah. Dengan terpaksa kuambil satu-satunya uang yang masih hangat dari dalam dompet, kuserahkan dengan perasaan tak rela. Kuharap ia tak ada kembalian.
Ternyata tidak. Lelaki tua itu tetap mengambil uang yang kusodorkan kepadanya dengan tangan yang bergetar-getar. Aku terus memandangi tangannya yang telah dipenuhi kerutan usia itu, dan sedang mengapit uang berwarna biru milikku. Dengan gerakan mendur dan sangat pelan, ia memasukkan uang jatah bulananku ke dalam tas pinggangnya. Rupanya, tas pinggang yang tampak tebal itu dipenuhi dengan jibunan uang kertas. Ia tampak lebih sejahtera dibandingkan diriku. Pak Tua mengambil selembar demi selemabar, menghitungnya, kemudian menyerahkannya kepadaku.  “Sebentar, nak, masih kurang tujuh ribu. Receh tidak apa-apa?” Tanpa menunggu jawabanku, ia menghitung uang koin yang ada di tangan kanannya. “Pas,” katanya, sembari menyerahkan uang logamnya kepadaku.
Terpaksa kuterima uang itu dengan kedongkolan yang berlipat-lipat. “Dia pikir aku mesin ding-dong?” Bibirku menggerutu. Lalu kutancap gas, menuju warung langgananku.
“Mau pesan apa?” tanya pemilik warung.
“Ayam goreng,” masih dengan muka tertekuk.
“Kamu kenapa? Kalau belum punya uang, hutang dulu juga tidak apa-apa.”
“Ada kok, bu, baru dapat kiriman dari orang tua.”
“Lalu kenapa mukamu cemberut begitu?”
“Itu lho, bu, tukang parkir yang ada di ujung jalan sana. Jaga parkir kok di ATM. Memangnya itu ATM miliknya? Setiap orang masuk, dan mengambil uang, alih-alih menjaga kendaraan, selalu dimintai uang parkir.”
“O, itu Mbah Wi. Kamu belum tahu ceritanya?”
Aku menggelengkan kepala.
***

Kau boleh mendengar cerita ini sambil menikmati makananmu. O, ya, aku sampai lupa. Kau mau minum apa? Air putih? Sebentar, biar aku ambil minuman untukmu.
Ya, jadi begini. Dulu sekali, mungkin jauh sebelum kau lahir, ada cerita di tempat ini. Sebuah cerita yang mungkin hampir dialami semua tempat. Desa ini dulunya belum seramai sekarang, masih berupa perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga saja. Salah satunya Mbah Wi, nama panjangnya Nyuwito. Dia seumuran dengan bapakku.
Nyuwito adalah laki-laki biasa, hampir tidak ada yang istimewa dari hidupnya. Sehari-hari pekerjaannya hanya pergi ke sawah dan ke ladang. Dari situ, sebagian hasilnya ia konsumsi sendiri, sedangkan sisanya ia jajakan ke pasar. Secara ekonomi boleh dikatakan pas-pasan: tidak lebih, juga tidak kurang. Memiliki seorang istri yang berasal dari desa tetangga, dan kini sudah dikaruniai dua orang putera. Tentu kehidupan Nyuwito tidak melulu tentang pekerjaan dan urusan rumah tangga saja, sesekali ia juga mencari hiburan laiknya orang pada umumnya.
Sebagai orang kecil yang hidup di desa, hiburan yang ada ketika itu—jika tidak ketoprak ya wayang—, atau sekadar nonton klonengan di pendopo desa. Hanya hiburan rakyat semacam itu yang dapat ia nikmati setelah seharian mandi peluh di sawah atau ladang yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Waktu berjalan, hari pun berganti. Ia merasakan situasi yang kian berubah. Pertunjukan ketoprak mulai mementaskan cerita yang asing bagi dirinya: dari ‘Romeo Juliet’ hingga Pilistine dan Nazareth’. Wayang pun demikian. Sering ia mendapati lakon yang diberi judul: Patine Gusti Alah—yaitu cerita tentang perjudian antara Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan penelanjangan Drupadi oleh Dursasana. Di tengah tubuhnya yang tanpa busana, suara Drupadi gemetar dengan kepala yang ia tengadahkan ke atas langit: “Gusti Alah wis mati!”. Protes Drupadi kepada Dewa kerna telah membiarkan dirinya dipermalukan sedemikian hinanya di depan banyak laki-laki. Dan celakanya, suaminya sendirilah yang menjadikan dirinya sebagai barang taruhan. Lakon itu biasanya dikenal dengan nama: Pandawa Dadu, tapi entah kenapa akhir-akhir ini mulai diubah.
Klonengan juga tidak jauh berbeda. Nyuwito sering mendengar gamelan dimainkan untuk mengiringi beberapa orang yang menyanyikan Sholawat Badar: Sholatullah Salamullah ‘Alaa Thoha Rosulillah—yang liriknya diganti solat oleh ora solat oleh... solat oleh ora solat oleh....
Perubahan situasi yang dimaksud Nyuwito adalah keadaan yang mulai memanas. Di lain tempat, ia sering mendapati kelompok yang bersebrangan juga melakukan ejekan yang sama melalui seni pertunjukan. Maka ia memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan, perasaannya tak enak.  Ia tak ingin terlibat, atau terseret-arus yang tak sepenuhnya ia mengerti. Nyuwito lebih memilih menghabiskan waktu di ladang dan sawah pada siang hari, dan berkumpul bersama keluarga di malam hari.
Keputusannya kali ini benar. Pada tahun ’65, peristiwa berdarah terjadi di mana-mana, termasuk di desa tempat ia tinggal. Tidak sedikit orang yang dibunuh dengan terang-terangan oleh sekumpulan orang entah dengan alasan apa. Korbannya banyak dari kalangan seniman desa. Mereka diseret dari rumahnya, kemudian disiksa secara beramai-ramai di tengah lapangan. Setelah dinyatakan mati, mayatnya dikubur dalam satu liang bersama korban lainnya. Ada juga yang dibuang ke sumur. Nyuwito  adalah salah satu di antara sedikit orang  yang selamat, sebab ia dianggap tidak terlibat gerakan apapun. Atau setidaknya, dianggap orang yang tak pernah memiliki masalah apapun baik dengan kelompok tertentu ataupun personal yang membuat dirinya dapat dituduh sebagai bagian dari golongan yang sedang berselisih.
Beberapa tahun kemudian siatuasi berangsur surut, namun masih dengan ketegangan yang sama: mencekam, ruang gerak terbatas kerna merasa diawasi, dan tak berani bicara sembarangan sekalipun di dalam rumahnya sendiri. Tapi Nyuwito tetap melakukan pekerjaan seperti biasanya: ke sawah, ke ladang, dan ke pasar.
Hingga suatu hari, ketika suara jengkerik dan katak meramaikan suasana malam di sekitar tempat tinggalnya, pintu rumahnya diketuk agak sedikit kasar. Nyuwito tergopoh-gopoh menuju pintu sambil membetulkan letak sarung yang sedang ia kenakan.
“Pak Kepala Desa?”
“Hmmm...,” laki-laki berbadan tambun masuk dengan memonyongkan bibirnya, “kamu Nyuwito?” Lanjutnya.
“Saya, pak. Mari, pak, silakan duduk.” Nyuwito kebingungan kerna kedatangan pejabat desa di rumahnya, tak biasa-biasanya. “Mau minum apa, pak? Biar istri saya buatkan.”
“Tidak usah repot-repot,” Kepala Desa masih berdiri, memperhatikan keadaan rumah Nyuwito yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, atapnya rumbia, dan lantainya masih berupa tanah. Mata Pak Kepala Desa menyisir setiap jengkal dinding bambu, kepalanya bergerak dari kanan ke kiri dan ke kanan lagi. “Aku tidak lama, Wi.”
“Sepertinya ada yang penting, sehingga harus datang selarut ini.”
“Betul. Bahkan lebih penting daripada kepala kita, Wi.”
“Maksud Pak Kades?”
“Ini soal pembangunan,” yang tadinya Pak Kepala Desa menghadap dinding bambu, kini ia membalikkan bandan dan menatap mata Nyuwito. Tatapan yang mengancam, dengan tambahan kata ‘pembangunan’ yang telah menjadi momok setiap orang.
“Saya kurang mengerti, tolong bapak jelaskan.”
“Tanah milikmu dibutuhkan negara, untuk pembangunan Wi.”
“Saya nanti kerja apa, pak?”
“Nasib buruk bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada orang baik. Pikirlah masak-masak.”
Merasa telah menyampaikan maksud dan tujuannya, Pak Kades keluar dari rumah Nyuwito. Sedangkan lelaki bertubuh kurus itu mengiringi tamu agungnya hingga keluar halaman rumah dan kemudian menghilang di kegelapan malam.
Beberapa minggu berselang setelah kedatangan Pak Kades di rumahnya, ketiaka ia sedang menggarap sawah, beberapa orang mendatangi tanah garapannya. Salah seorang berpakaian safari sedang menaikkan kaki kanannya pada gundukan tanah pematang, matanya yang dilindungi kacamata rayben seperti sedang menyisir seluruh hamparan tanah milik Nyuwito. Sedangkan yang lain, berkumpul di belakang lelaki bersafari sambil berbicang-bincang. Pak Kades salah satu di antaranya. Keberadaan Nyuwito seperti tak diperhitungkan. Sekitar sepuluh atau dua puluh menit kemudian, rombongan itu pergi  dengan mobil yang mereka bawa. Kecuali Pak Kades. Segera Nyuwito mendekat, memanggil-manggil pejabat desa itu.
“Pak... Pak... Ini ada apa, ya?”
“Bukankah aku sudah menyampaikannya kepadamu?”
“Tapi bukan berarti saya setuju.”
“Ingat, Wi, ini untuk pembangunan. Jangan kau mempersulit dirimu sendiri. Jangan sampai namamu masuk dalam daftar Benang Merah[1].”
Nyuwito terdiam sejenak, ia tampak tak berdaya. “Tanah saya mau dibeli berapa,” suaranya terdengar rendah. Kepalanya tertunduk.
“Seribu rupiah per meter, Wi.”
“Murah sekali, pak?! Lantas bagaimana dengan nasib saya selanjutnya?”
“Wi, aku cuma kepala desa. Tak bisa memikirkan nasib orang per orang.”
“Ini namanya pemaksaan!” Nyuwito membanting lumpur yang tertempel di tangannya.
“Kau yang menentukan nasibmu sendiri, Wi. Aku sudah berusaha mencarikan jalan tengah untukmu. Terimalah keadaan ini sebagai kenyataan.”
***

Pintu rumah nyuwito digedor. Ia terbangun dari tidurnya, membukakan pintu. Belum habis kegundahan hatinya akan nasib tanah leluhurnya—sekarang ia dikagetkan oleh suara gedoran pintu di malam yang pekat. Ketika pintu dibuka, beberapa orang asing tengah berdiri di beranda rumahnya. Ada tiga orang: bersepatu lars panjang, badannya tinggi besar, dan rambut yang dicukur cepak. “Kamu Nyuwito,” tanya salah satu tamunya. Belum sempat ia menjawab, ketiga orang asing itu pergi meninggalkannya yang tengah gemetar di ambang pintu. Setelah kejadian itu, hari-harinya terasa tak nyaman. Nyiwito merasa sedang diikuti ke mana pun ia pergi: sawah, ladang, bahkan ketika berjualan di pasar. Sering ia melihat laki-laki dengan model rambut cepak mondar-mandir di pematang sawahnya, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan yang paling sering ia alami adalah ketukan pintu di malam hari yang hanya sekadar bertanya namanya—lalu pergi. Keteguhan hatinya untuk mempertahankan tanah warisan, membuat ia harus menerima perlakuan fisik. Pernah suatu hari, ketika Nyuwito sedang tekun-tekunnya mencangkul tanahnya di ladang, beberapa orang mendatanginya dan menodongkan bedil di kepala. Pertanyaan mereka masih sama: “kamu Nyuwito?” lalu mereka pergi seperti yang sudah-sudah. Gertakan itu tak membuat Nyuwito surut. Dan  puncaknya, Nyuwito dihajar hingga babak-belur. Hidungnya berdarah, telinganya, juga matanya. Kejadian itu membuat penglihatannya mulai mengabur.
“Sudahlah, pak, jual saja. Jangan mempersulit diri. Kasihan anak-anakmu.”
“Hanya tanah ini yang masih menghubungkanku dengan leluhurku, bu.”
“Pak, kau tahu, kenapa Sengkuni diperkenalkan sebagai tokoh yang licik? Kerna yang menang adalah pihak Pandawa. Sudahlah!”
Nyuwito pun akhirnya menyerah. Di suatu sore yang rembang, ia mendatangi rumah Pak Kades membawa map yang berisi surat-surat tanah dan rumahnya.
“Akhirnya kau datangan juga, Wi. Dengan sukarela.”
“Iya Pak,” sambil meletakkan map yang ia bawa di atas meja.”
“Jadi kau sepakat dengan harga yang kutawarkan?”
“Berilah saya harga yang pantas.”
Pak Kades masuk ke dalam kamar, lalu kembali membawa amplop. “Ini,” diserahkannya amplop itu kepada Nyuwito. “Hitunglah!”
Nyuwito menerima amplop dari tangan Pak Kades, ia mulai menghitung. “Lho, pak, kalau cuma segini berarti tanah saya hanya dihargai seribu rupiah per meternya?!”
“Baik, ini penawaran terakhir. Tanah dan rumahmu akan dihargai tiga ribu rupiah per meter. Tandatangani surat ini dulu,” Pak Kades menyorongkan secarik kertas kepada Nyuwito. “Sisanya,” lanjut Pak Kades, “akan kuserahkan sendiri ke rumahmu. Tunggulah!”
Nyuwito pulang ke rumahnya ketika langit sudah gelap sempurna. Dan semenjak saat itu Nyuwito menunggu kedatangan Pak Kades di rumahnya. Pagi, ia sudah duduk di teras rumahnya yang hanya dihiasi bangku panjang yang terbuat dari bambu. Pak Kades belum datang. Ia berdiri, masuk ke dalam rumah, mempersiapkan dua gelas kopi. Di bangku bambu itu, kopi telah menjadi dingin. Tamu yang ia tunggu-tunggu masih belum datang juga. Sedangkan langit sudah sore, “mungkin Pak Kades datang nanti malam,” pikirnya. Lalu Nyuwito bangkit dadi duduknya, membawa dua gelas kopi yang telah ia persiapkan sedari pagi tadi.
Keesokan harinya pun masih sama, hingga tak terasa presiden telah ganti sebanyak empat kali. Dan Pak Kades yang pernah berjanji akan datang itu sudah lama tak menjabat sebagai Kepala Desa di kampung itu. Malah menurut kabar yang beredar, beberapa bulan yang lalu, mantan kepala desa itu telah meninggal dunia.
Pada suatu hari yang tak disangka-sangka, beberapa orang mendatangi rumahya. Mereka memperkenalkan diri sebagi pegawai yang diutus oleh perusahaan Perumahan Nasional dan meminta Nyuwito beserta keluarga untuk segera mengosongkan tempat—sebab rumah yang ia tinggali, kata pegawai itu, berdiri di atas tanah milik negara.
Pindahlah Nyuwito dan istrinya ke desa sebelah. ia menyaksikan bagaimana rumahnya dirobohkan oleh buldozer, lalu diurug dengan tanah-tanah baru. Lalu lalang truk pengangkut urugan tanah dan bahan-bahan bangunan, menyulap rumah dan tanah milik leluhurnya menjadi sebuah perumahan baru. Tapi, ia tetap berdiri di atas tanah bekas rumahnya. Di ujung jalan, tempat di mana ATM itu kini berdiri, di situlah dulu Mbah Wi tinggal bersama keluarganya. Seperti yang sudah kau tahu, sampai sekarang ia tetap menunggu.
Beberapa minggu yang lalu istrinya meninggal, dan anak-anaknya telah merantau di lain kota. Pernah dia dibujuk oleh salah seorang anaknya untuk tinggal bersama, tapi Mbah Wi menolak: “Biarkan akan menyelesaikan urusan ini hingga tuntas. Terserah siapa yang nanti akan selesai duluan: umurku, atau hutang Pak Kades.”
***

Pada sendok terakhir, di penghujung makan malamku, cerita itu selesai. Sesekali kudengar mesin kendaraan masuk ke dalam warung, menemaniku menikmati cerita yang tak mungkin kudapatkan di manapun tempat. Sendok terakhir kuangkat, mulutku sudah terbuka, bersiap-siap untuk melahapnya.
“Sudah habis makananmu?”
“Ini, tinggal sesendok lagi.”
“Kamu dengarkan semua ceritaku tadi?”
“Dengar, bu.”
“Pesanku, jika suatu hari nanti kamu bertemu dengan Mbah Wi, atau Mbah Wi-Mbah Wi yang lain di ATM manapun, usulku, tak usah kau membahas tentang retribusi. Dua ribu rupiah tak akan membuatmu menjadi miskin, dan dua ribu rupiah tak akan membuatnya menjadi kaya. Jika kau ingin memberi, berilah. Terserah kau artikan pemberian itu sebagai amal kebaikanmu, atau kewajibanmu atas jasa keamanan kendaraanmu. Terserah. Setiap orang memiliki cerita, itu akan menjadi alasan masing-masing orang—kenapa melakukan sesuatu: entah kau pandang rendah sebagai standart hidup, atau apapun nama yang kau berikan untuknya. Satu pesanku kepadamu: jika kau ingin menerima, maka satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah memberi.”
Mak deg!
Aku langsung meletakkan sendok yang hendak kumasukkan ke dalam mulut, tak jadi kumemakannya. Entah kenapa tiba-tiba rasa kenyang menyelinap ke dalam perutku. Benar juga nasihat ibu pemilik warung itu. Kata-katanya membuatku teringat pada jumlah saldo di rekeningku dan hutang-hutang yang telah menumpuk di kantin kampus. Ya... ya... ya... memang benar kata ibu pemilik warung itu. Seharusnya, aku jalan kaki saja ke ATM tadi.



[1] Istilah untuk orang yang masih ada kaitan atau masih termasuk keluarga PKI