Selasa, 17 Mei 2016

LEWAT PINTU BELAKANG (Ara, Terataiku... Bag. IV)



Konon, tiga puluh adalah usia rawan bagi kebanyakan laki-laki. Mungkin tidak semua, tapi tidak sedikit yang mendapat kesempatan mengalaminya. Seakan gravitasi menarik kuat-kuat, kepada setiap lelaki yang bertebaran, berterbangan di atas mimpi-mimpinya.

Dug! 

Namaku Jambul, yang kini telah menjadi sampah. Tapi, pusparagam nasib membuatku memiliki citarasa-tua yang begitu arif. Dan engkau boleh memetiknya sesukamu, sepuasmu.

Aku, laki-laki semrawut yang hanya ingin bersembunyi di sebalik lemari, bersama dengan barang-barang usang, karatan, juga debu-debu dan kerikil batu. Diam-diam, agar tak seorangpun menyapa, dan tak seorangpun mengenalnya. Hingga hari-hari akan menjadi kemalasan yang mempunyai alasan.

Nuruti lampahing suku, renteging budi, anut satataning panembah. Ah, itu kan cuma teori. Begitu berat melakoninya. Menjalani kehidupan ini, kadang-kadang terasa seperti sedang menyusuri jalan-makadam di sepanjang perjalanan. Kaki seliat apa, yang kuat terus-terusan merasakan perihnya tanpa alas kaki? Atau, entahlah. Bukan itu saja satu-satunya hal yang membuatku kesepian. Sejenis perasaan tak terjelaskan, semacam kehilangan atau perjalanan jauh yang tak akan sampai.

Hmmm...

Sampai pada akhirnya kamu datang, sebuah jalan aspal dengan tikungan yang sangat lembut untuk menghantarkanku pada suatu pemberhentian yang teduh dan rindang. Sungguh kebahagiaan yang terlambat datangnya.
***

Beberapa bulan ini aku sudah tak berhubungan dengan pacarku, sekadar sms pun—tidak. Belum putus, apa inti persoalannya tidak begitu jelas. Aku belum sepenuhnya mengerti kenapa perempuan yang sudah ku pacari selama dua tahun setengah ini, bisa bersikap demikian kepadaku. Setahuku, kita baik-baik saja, tidak ada peristiwa pertengkarang apapun yang pada akhirnya membuat dia tak ingin aku hubungi.

Perubahan sikapnya selama ini, membuatku ingin mencari tahu—di sela kesempitan kegiatanku.

Selepas menunaikan rutinitas, aku menyempatkan diri—mampir ke sebuah warung depan kantornya. Memesan segelas kopi, sambil diaduk, mataku mulai menyelidik. Memperhatikan satu per-satu orang yang keluar-masuk pintu utama kantor berlantai enam itu.

Tak lama berselang, aku menemukan apa yang kucari. Perempuan padat-semampai, rambut hitam tergerai, masuk sebuah mobil—persis di sebelah sopir laki-laki yang agak setengah baya. 

Sore itu tiba-tiba hangat, sebuah kenyataan pahit—sehitam kopi. Lalu aku menancap gas, mengendarai motorku buru-buru agar sampai rumah dengan segera.

Ya, sore ini rasanya lengket sekali. Penat.

Kira-kira sudah lima menit-an aku duduk di ambang pintu—menikmati barang sebatang-dua batang kretek, sambil mengeringkan badan dari keringat-keringat. Ketika terasa cukup, aku menarik handuk yang tergantung di atas jemuran-kecil berbahan logam yang berada di samping kamar mandiku. Aku putar kran air, dan menyiramkannya dengan tergesa ke seluruh badan.

Semenjak perubahan sikap pacarku, aku jadi punya kebiasaan baru yang telah kujalankan cukup lama. Berdiam diri ketika senja di atap rumah, hingga langit berubah warna. Hal ini yang membantuku dari kebosanan, setidaknya membantuku secara psikologis dari berbagai macam penyesalan. Agar mendapat nuansa spiritual, aku menyebutnya sebagai ritual.

Khawatir tertinggal oleh senja, aku tak ingin berlama-lama berada di kamar mandi. Aku tutup kran, lalu keluar dari tempat basah itu.

Setelah mengeringkan sekujur badan dari air-air, merapikan rambut, dan tentu saja ganti baju—agar terasa sedikit lebih segar. Lalu, menyiapkan tangga bambu untuk naik ke atap rumah.

Di atas sini, bersama jajaran genteng tanah liat berbaris-baris rapi, angin terasa melambat.

Awalnya, sepanjang hamparan langit berlatar jingga, lalu memandangi hari yang sesegera menjadi petang. Suasana menjadi temaram, seakan telah siap menghantarkan harapan-harapan. Warna hitam malam, warna hitam langit, warna hitam pepohonan. Tampak dari sini: lampu-lampu rumah berkedip sebesar kunang-kunang.

Lalu, entahlah... sesuatu yang dingin merambatiku, seperti percikan air yang menempel di setiap jengkal kulit ari. Kemudian disusul kicau burung dengan nada yang menakjubkan riangnya. Rupanya, langit telah berganti sumber cahaya. Aku masih saja diam dalam bujur, sementara pagi terus saja berlalu. Kabut menjauh, pergi pada matahari. Alangkah malunya tertidur dipengetahuan nasib yang sama. Suara kokok ayam makin menerangkan mataku, membangunkanku di sebuah hari yang selalu takut kujumpai.

“Bukankah ini hari minggu?” tanyaku dalam diri. “Berarti tak ada hal yang perlu aku buru-burukan.”

Aku munuruni anak tangga perlahan. Jubin terasa lembab di bawah kulit kakiku, walau sedikit malas, aku mengangkat tangga bambu itu—menyandarkannya di tembok secara vertikal, kembali ke letaknya semula.

Agak sedikit gerah di bawah sini, atau sebab rambutku yang sudah makin memanjang. Aku mengusap-usap bagian atas bibirku yang terasa ditumbuhi rambut yang tak keruan, juga jenggot yang tak seberapa tebalnya.

Lalu, lamat-lamat terdengar suara perempuan dari arah luar: “kulanuwun... kulanuwun... kulanuwun...

Segera aku bergegas menuju pintu depan, membukanya dan mengarahkan pandanganku ke arah pagar yang letaknya sejajar—segaris lurus, denga mataku: rupanya jajaran besi putih rumahku itu, sudah tampak terbuka. Mungkin aku lupa menguncinya, kemarin.

“Mas...” suara perempuan menyapa.

Aku menjadi sibuk mencari asal suara itu di antara kehijauan yang rimbun dan perdu di halaman, hingga akhirnya aku melihat seorang perempuan berbaju putih berdiri, menyembul di tengah-tengah bunga. Sungguh warna yang amat kontras. Apalagi dalam cahaya matahari, warna putih tampak kemilauan. “Perempuanan bercahaya, siapa lagi kalau bukan bidadari?” batinku.

Entah berapa lama aku terpatung, lalu dengan gugup bertanya pada perempuan di hadapanku untuk membuyarkan ke-kikuk-an: “Maaf, anda siapa ya?”

“Saya Ara, tetangga Njenengan. Rumah saya, di pojok sebelah sana”.

“O, saya kira bidadari.”

“Maaf?”

“Sorry... sorry... saya baru saja bangun tidur, jadi agak tidak bener. O, ya. Ada keperluan apa datang kemari?”

“Ini ada nasi kotak buat Njenengan”.

“Lho, ada acara apa ini—kok bagi-bagi nasi kotak segala?”

“Semalam adalah tujuh hari bapak saya, undangan sudah di umumkan melalui pengeras suara mushollah. Tapi saya lihat, semalam Njenengan tidak datang”.

“Maaf, semalam saya ketiduran. Mungkin karena lelah, maaf ya?!”

“Tidak apa-apa, mas. Ya sudah, saya pamit dulu.”

Kami bertatapan, sebentar. Dan pada sepasang mata anggrek bulan dengan taburan alis nanggal sepisan; senyum itu masih tertinggal di sudut mataku. Seolah abadi sebeku lukisan. Ketika pikiran itu terlintas, bersamaan Ara berlalu melewatiku, melewati hamparan hijau.

Tak begitu lama, seorang lelaki yang semerbak kesturi menjemputnya, meraih tangan kirinya dan menatapnya dengan berhiaskan senyuman. Tampak dari tempatku berdiri, mereka bahagia sekali. Sedangkan aku, hanya terdiam: karena hanya kepada perempuan seperti Ara, aku berhak untuk gemetar. Aku masih saja belum percaya, kupukul pipi kanan-kiriku untuk memastikan: hanya bidadarilah yang dengan mudah datang dan menghilang dalam rumput.
***

Aku melajukan motor tuaku, hanya benda ini yang tertinggal setelah perusahaanku bangkrut. Aku buru-buru menuju ke sebuah warung seberang kantor berlantai enam, setelah sampai, aku matikan mesin lalu duduk sambil berucap kepada empunya: “mas, biasa!”

Sambil memperhatikan gerak-gerik manusia di sebuah pintu, suara pemilik warung menghamburkan konsentrasiku: “Pacarnya ya, mas?”

Aku tak menjawab.

“Dia selalu pulang bareng managernya, setiap hari, setiap sore.”

Suara asing yang tak pernah kuharapkan kedatangannya ini, telah berhasil memprovokasiku. Sesaat setelah perempuan yang kumaksud memasuki sebuah mobil dengan sopir setengah bayanya, membuatku tergerak untuk membuntutinya.

Mobil yang sedang menjadi targetku—menghentikan lajunya di sebuah rumah makan. Setelah parkir, kedua orang yang kukenal turun dari situ. Bergandengan tangan menuju sebuah meja dengan kursi untuk dua orang.

Dari parkiran, aku menelepon pacarku: “kamu dimana?”

“Kantorlah!”

“Belum pulang?”

“Ya belumlah. Ngapain sih nanya-nanya? Ga percaya?”

Tut... tut... tut... tut... ia menutup telponnya.

Dengan langkah yang hati-hati, aku menuju tempat duduk dua orang yang sudah ku buntuti sejak tadi. Berdua sedang suap-suapan, hingga tak sadar bahwa aku sudah berada dekat dengan tempat duduknya. 

Tang.

Sebuah garpu jatuh menimpa piring berbahan kaca. Mereka berdua tampak panik dengan keberadaanku.

Aku tersenyum: “Perempuan memang seperti monyet, dia tidak akan melepaskan ranting yang sudah ia genggam, sebelum berhasil menggenggam ranting lain yang ada di depannya.”

Si perempuan diam, menunduk.

Tetapi laki-laki itu, Kus, salah seorang partnerku, mencoba untuk menjelaskan sesuatu: “Mbul, tenang. Kamu jangan salah paham. Maksudku...” sebelum tuantas ia dengan kata-kata, aku memberinya kode: meletakkan telunjuk jariku, tepat di depan bibir. Aku menyuruhnya diam.

“Ssssuuuttt... Ssssuuuttt... Sssuuutttt... Kedatanganku kemari tidak ada kaitannya dengan maksudmu, aku datang ke sini sepenuhnya berdasarkan maksudku.” Sambil menarik kursi, lalu duduk di antara dua pasagan itu.

“Kamu, Kus,” aku melanjutkan. “Aku minta tolong kamu, agar menerima pacarku untuk bekerja di perusahaanmu, bukan malah kamu pacari. Kamu kaya, terhormat, dan keluargamu bahagia. Apa yang ingin kau cari lagi? Sex? Biji pelirmu tidak mengalami perjalanan spiritual? Masih macam anak muda saja, sex bagimu masih dan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan biologis murni. Harusnya untuk orang seusiamu, sex sudah beranjak kepada kebutuhan lanjutan: kebutuhan psikologis. Lima sampai sepuluh tahun kemudian, harusnya sex menjadi kebutuhan spiritual. Ingat, Kus, hanya perempuan nakal yang dapat menyenangkan laki-laki terus-terusan. Perempuan baik-baik, takkan bisa sehebat itu.”

Laki-laki itu hanya menunduk.

“Kamu,” aku mengarahkan pandanganku ke wajah si perempuan, mantan pacarku. “Kini kamu sudah menjadi masa laluku, dan itu akan tetap menjadi milikku. Dan aku, terserah saja, itu sudah menjadi milikmu. Tak usah kita ungkit-ungkit lagi.”

Aku berdiri dari kursi, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
***

Tok... tok... tok...

“Sebentar!” Suara perempuan, bersamaan dengan suara kunci-pintu yang dibuka.

Klek... klek...

“Pacarmu ada di rumahnya?” Kataku, sambil masuk, lalu menutup pintu dengan perlahan dan segera.

“Dia sedang di Jakarta, dalam waktu yang cukup lama! Sudah, tak usah dirisaukan.”

“Sedang bikin apa?”

“Susu, telur, madu, jahe, ditambah dengan tambahan sedikit merica.” Senyumnya sukacita.

“Lho, buat apa?”

“Berlomba, adu napas?!”

“Kamu pikir aku sudah tua, heh?”

Ara tak menjawab, hanya senyum manja yang menantang.

“Percayalah. Tak ada laki-laki yang cukup tua bahkan untuk gadis sekalipun.”

“Sudahlah, kau menurut saja. Aku sudah susah-payah menyiapkan ramuan ini untukmu.”

Dalam setarikan napas, racikan buatan Ara kuteguk sekaligus.

“Kamu laki-laki licik,” katanya, “memanfaatkan mantan pacarmu untuk kau umpankan kepada Kus, rekan bisnismu dulu. Setali tiga uang: hutangmu kepada Kus terpaksa ia lunaskan, kau putus dengan pacarmu untuk mendapatkanku. Bagaimana jika suatu hari mereka tahu?”

“Entahlah, itu nanti saja. Yang jelas, malam ini, dan malam-malam lain, aku ingin bersamamu.”

“Ha-ha-ha...”

“Bolehkah aku mengendap-endap seperti malam ini?”

“Terserah saja, tapi jangan lupa kabari aku dulu. SMS kosong saja. Nanti aku persiapkan, agar kau bisa dengan mudah menemuiku lewat pintu belakang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar