Kamis, 12 Mei 2016

BUS TUMPUK





Malang City Tour, yang disingkat Macyto, adalah nama bus tumpuk kota Malang yang khusus digunakan sebagai alat transportasi wisata warga sekitar. Berwarna hijau, identik dengan warna partai Sang Walikota. Ya sudah, ndak papa. Kampanye-kampanye sedikit, terserah dia, yang penting rakyat bisa happy.

Begini.

Bus tumpuk ini masih berjumlah dua unit, konon didapat dari salah satu perusahaan yang beroperasi di radius kota Malang. Katanya, jumlahnya akan ditambah sebanyak 50 unit dengan menggunakan anggaran daerah. APBD.

Tapi bukan itu persoalan yang ingin saya ceritakan. Pada 29 Januari 2015 lalu, Macyto di lauching untuk kali pertama. Warga berebut, rela antri berpanjang-panjang demi ingin menikmati kendaraan bertingkat itu. Saya pun ikut dalam antrian.

Di situ muncul persoalan. Lebih tepatnya, sial.

Saya datang agak terlambat. Dapat antrian paling belakang. Kepalang tanggung, sudah terlanjur datang, saya sabar mengikuti giliran.

Waktu berputar.

Jam 8 malam, antrian masih banyak. Jam 9, para pengantri masih tampak antusias. Jam 10, antrian sudah tampak berkurang. Jam 11, saya berada di garis-antrian paling depan. Dan jam 12, saatnya menikmati bus tumpuk itu.

Bus datang, warga berebut masuk. Sedangkan saya memilih pasif dan tak berdesak-desakan. Santai, mengalir saja: tapi tetap berupaya untuk dapat masuk ke dalam bus yang sudah tampak penuh dengan para penumpang. Sampai pada akhirnya, salah seorang petugas memberikan pengumuman: "antrian terakhir... antrian terakhir..."

Reflek, akhirnya saya mendesak agar dapat masuk dengan segera, berebut masuk pintu bus yang tak seberapa lebarnya itu.

Mak bleng. Saya berhasil masuk.

Terlambat. Kursi duduk sudah penuh, dan saya memilih menuju ke atas, tingkat dua, mencari tempat duduk.

Ketika berjalan menuju tangga, entah kenapa badan-bus terasa amat panjang. Dan ketika hendak naik, di kursi paling belakang, saya kaget melihat seorang nenek dengan gaya rambut yang awut-awutan dan berwarna putih kehitaman. Aneh.

Ketika menginjakkan kaki kanan pada anak tangga pertama, wanita tua itu menggelengkan kepala, disertai mata mecicil. Nenek itu seperti melarangku naik ke atas. Karena ragu dan agak sedikit takut, saya mengurungkan niat, putar-balik menuju depan--dekat dengan kursi sopir. Saya berdiri dekat dengan pintu masuk. Tapi, Pak Sopir melarang: "Mas, di atas saja. Jangan di pintu."

Serba salah. Saya balik lagi ke arah belakang menuju loteng. Lagi-lagi, nenek itu melotot ke arah saya. Kali ini dia bersuara: serak dan terdengar mengerikan. Katanya, "jangan naik! Bahaya kamu!"

Mendengar itu, bulu kuduk saya berdiri. Agak setengah berlari, saya lari ke depan lagi. Tapi Pak Sopir yang tampak lelah itu, akhirnya membentak: "Mas, sudah dibilangin. Di sini tidak boleh berdiri. Naik keatas sana!"

Antara tidak enak dan takut, akhirnya saya memberanikan diri, naik ke atas tanpa menggubris nenek seram itu lagi. Begitu sampai di depan tangga, saya lihat wajah dan mata melotot itu sebentar, lalu naik.

Di atas, suasana yang awalnya terbayang seram, malah tidak ada. Justru terasa sangat nyaman. Udara dingin kota Malang, terasa hingga ke sum-sum. Ditambah lagi dengan hiasan lampu-lampu yang tampak seperti kunang-kunang puspawarna, berterbangan di sepanjang mata memandang. Sedikit terbuai dengan nuansa indah malam itu, saya jadi ingat nenek tadi: "kenapa ia melarang saya naik ke atas?" Wong tidak ada apa-apa--begini." Penasaran, saya turun, menemui nenek itu.

Sesaat setelah menuruni anak tangga paling bawah, saya langsung menghadapkan wajah dan badan ke arah nenek itu. Agak setengah jengkel, saya langsung saja: "Nek, kenapa melarang saya naik ke atas? Saya tidak merasakan sesuatu yang ganjil?"

"Bahaya!!!"

"Bahaya kenapa, nek?"

"Di atas tidak ada sopirnya, bahaya!!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar