Senin, 02 Mei 2016

BANDUNG BONDOWOSO



Roro Jonggrang sesenggukan di samping jasad ayahnya. Gadis itu menangis tiada henti, air matanya meleleh di pinggir hidungnya yang mbangir, lalu ke dagu, kemudian menetesmembasahi rumput melubangi batu.


Dia masih menangis. Air matanya deras, keluar dari hidungnya, telinganya, mulutnya, pori-pori di sekujur tubuh putihnya; hingga membasuh genangan darah yang membercaki tanah-lapang gelanggang perang.



Dia masih saja menangis. Mengacuhkan ribuan pasukan yang sibuk menyingkirkan jasad para kawan, atau bahkan mungkin musuh Ayahnyayang tertusuk, tertombak, teriris dan terpanah di sekujur tubuh-tubuh kaku tak bernyawa.


Dia belum bisa berhenti menangis. Air matanya deras, keluar dari hidungnya, telinganya, mulutnya, pori-pori di sekujur tubuh putihnya; hingga menggenang sampai batas mata kakinya. Lalu lutut, bahu, hingga banjir dan tenggelam—ia dalam kenangan semasa ayahnya masih hidup dan mengudangnya.


Sampai pada akhirnya, tangisnya terhenti tatkala sebuah tangan menyentuh pundaknya. Dialah Bandung, cintanya sebesar gunung.


“Cahayu," kata Bandung,  "masuklah. Hari sudah larut.”




Tanpa sepatah kata, Jonggrang berdiri, bergegas yang disusul oleh sadarnya: bahwa jasad ayahnya sudah tidak ada. Hanya saja dari kejauhan, samar-samar ia melihat tumpukan manusia yang segera menyala oleh sebab api. Seluruh wilayah Boko dikepung oleh asap hitam dan aroma daging yang terbakar—diiringi isak tangis perempuan-perempuan dan anak-anak yang menyaksikan suami atau bahkan bapakknya—dikremasi dengan cara masal dari jarak pandang yang cukup dekat.
***


Hari yang berjenazah itu telah lewat beberapa hari yang lalu. Tapi, masih saja Jonggrang mendengar—gelegar tawa ayahnya yang membentur dinding-dinding kamarnya, dan tak lama bunyi itu menjelma menjadi bercak-bercak darah yang memudar di setiap sudut tembok istana.


Seperti yang sudah-sudah, Jonggrang hanya termenung di sebalik jendela: tak menghiraukan Bandung yang berbaik hati—datang membawakan sarapan untuknya. Menjelang senja, Bandung datang lagi, membawakan makan malam untuk Jonggrang. Begitu seterusnya. Tapi, tak pernah sekalipun Bandung dihiraukan. Walaupun demikian, lelaki samapta itu tak pernah ambil pusing. Sebab ia memiliki pengikut yang setia: Jin-jin yang berasal dari hutan, yang ia taklukkan—kemudian bersumpah untuk mengabdi kepadanya. Jin-jin itu pulalah yang membantunya—memenangkan pertarungan melawan Prabu Boko yang seorang raksasa.


Hingga pada sebuah titik.


Telah berhari-hari Bandung mengatasi sepi hatinya, tapi senja itu adalah puncaknya. Akhinya, Bandung membemberanikan dirimengetuk pintu kamar Jonggrang.


Tok... tok... tok...


Suara pintu terdengar pelan.


“Ya, ada apa Prabu Bandung?”


“Saat menjelang gelap seperti ini, ada cita rasa pulang yang mengalir dalam udara pelan, Jonggrang”.


“Bukankah setelah kau mengalahkan ayahku, Prabu Boko, istana ini telah menjadi milikmu? Kau hendak pulang ke mana?”.


“Tentu ke dalam dirimu!”


“Kau ingin memasukiku, di atas semua puing dan kerusakan ini?”


“Air mata lebih kuat dari tawa, Jonggrang. Cinta yang sewajarnya, menghedaki kita yang setegar-tegarnya”.


“Bukankah kau bisa melakukan apappun dengan kekuatanmu, tanpa harus meminta izinku terlebih dahulu?"


“Aku tidak akan menyentuhmu, sebelum kau jatuh cinta!”


“Tapi kau telah membunuh ayahku?!”


“Maafkan aku, jika pualam yang terbit di keningmu masih sedingin nisan. Seorang ksatria memiliki jalan hidupnya sendiri. Begitulah cara kami menghormati lawan, yakni dengan cara bertanding di gelanggang.”


“Kalau begitu, kau harus menunggu dengan waktu yang cukup lama. Setidaknya, sampai hujan menjadi kering di telaga kelopak mataku”.


Please... aku telah menunggu lama untuk saat seperti ini”


“Sejak kapan?”.


“Semenjak namamu tersiar, bertebaran di udara.”


Hheh...” Jonggrang nyingkur, membalik badan—membelakangi Bandung Bondowoso.


“Aku merindukanmu hingga puncak ‘alamul amri. Lebih tinggi dari sidrat al-muntahā.


“Kau memang pintar bicara. Memangnya, apa rindu itu? Dasar perayu!”


“Rindu itu ‘Ra’ diwulu, 'Na', pasangan ‘Dha’ disuku. Wulu itu rambut, suku itu kaki. Berdua adalah pasangan ganjil yang saling menggenapkan. Seperti kita, Jonggrang”.


“Baik. Tapi ada syaratnya, wahai pria kencana...”


“Kau ingin menakar cintaku?”


“Buatkan aku seribu candi!”


“Jika itu permintaanmu.”


“Dalam satu malam, Bandung.”
***


Setelah matahari tenggelam sempurna, dan cahaya setiap ruang digantikan oleh obor-obor, Bandung Bondowoso menuju sanggar pamujan. Bersemedi, menggambar (site plan) bangunan yang akan ia dirikan untuk pujaan hatinya. Setelah selesai, ia membuka mata—dan seluruh jin-jin sudah siap di hadapannya.


“Buatkan aku seribu candi," perintah Bandung, "yang setiap keping batunya tertulis namanya. Buatkan aku seribu candi, dalam waktu satu malam.”


Dalam sekejap, jin-jin itu menjelma menjadi lesatan cahaya puspawarna. Ada merah, biru, kuning, hijau, dan banyak lagi. Sungguh pemandangan yang begitu indah. Sedangkan disebalik jendela, mata Jonggrang mengintip. Ia tersenyum, sembari menggigit bibirnya. Tentu saja Jonggrang merasa tersanjung. Perempuan mana yang tak berbahagia, jika namanya diabadikan di atas benda seabadi batu?


Cahaya itu terus berlesatan.


Dan, jauh sebelum pagi, seribu candi hampir rampung. Seribu kurang satu. Satu bangunan itu sebenarnya sudah sempat selesai, tapi Bandung memerintahkan pasukan lelmbutnya untuk membongkarnya. Jadi, bongkar. Jadi lagi, bongkar lagi. Merasa akan berhasil, Jonggrang mempersiapkan dirinya untuk dipinang Bandung. Ia menuju pemandian yang telah ditaburi seribu bunga. Ia perintahkan seluruh pelayan, mempersiapkan baju yang paling megah untuk ia kenakan.


“Bongkaaaaarrr”


“Mohon ampun sinuwun. Sebaiknya, Gusti Bandung yang membuat bangunan itu sendiri. Ini sudah ke seratus kalinya kami membangun, lalu dibongkar lagi, dan lagi.”


“Baik. Kalian semuanya berhenti!”


Cahaya warna-warni yang berlesatan di udara itu berangsur redup. Kini mereka berdiri melingkar—mengitari candi yang akan di bangun oleh Bandung dengan tangannya sendiri. Mereka masih dengan warna yang beragam.


Disebalik tanah lapang, seluruh penduduk menanti. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan, janda-janda yang ditinggal mati suaminya—yang kalah melawan Kerajaan Pengging yang dipimpin Bandung Bondowoso. Entah siapa yang memulainya, satu per-satu wanita-wanita itu memukul alu, dan sebagian membakar jerami. Langit memerah, ayam-ayam jantan gelisah. Kemudian, kokok itu mulai bersahut-sahutan. Mendengar suara kluruk, dan langit yang tampak bercahaya, jin-jin itu tunggang langgang. Kecuali satu.


“Pergilah! Kini kau telah aku bebaskan. Ini sudah menjadi urusanku.” kata Bandung kepada Jin Merah.


“Tapi, Gusti...”


“Sudahlah, pergilah...”. Bandung sambil penepuk-nepuk bahu Jin yang setia itu.


Melihat sorot mata Bandung, Jin Merah akhirnya mengalah. Ia merapatkan telapak tangan di depan wajahnya, tanda sembah terakhirnya. Seper-sekian detik Jin Merah menundukkan badan, tiba-tiba ia menghilang bersama udara. Sedangkan Bandung, melanjutkan tugasnya. Cukup lama, yang kemudian disusul oleh langit yang berangur-angsur terang sempurna. Tapi, candi itu masih belum sempurna.


Bandung terus mengangkat, dan  menumpuk batu-batu. Tak peduli langit telah biru, dan terang.


Di tengah kesibukan Bandung, dari arah belakang, Jonggrang datang, lengkap dengan baju kebesaran. Wangi bunga setaman yang menempel di tubuh Jonggrang, tertiup angin—lalu sampai ke hidung Bandung. Lelaki itu berhenti.


“Kau gagal, Bandung.” Suaranya Jonggrang bergetar, dengan mata yang berkaca-kaca.


Bandung hanya tersenyum.


“Bandung, kau gagal...” mata Jonggrang menangis.


“Jonggrang, Bapakku, Prabu Damar Moyo, selalu berpesan kepadaku: Laki-laki ialah yang selalu menepati janjinya dan menyelesaikan apa yang telah ia awali. Tentu aku tak bisa berhenti sebelum lunas janjiku kepadamu.”


“Maka lakukanlah, Bandung, lakukan.” Jonggrang tersenyum, diiringi hujan di setiap sudut matanya.


Setelah kalimat terakhir Jonggrang, angin bertiup kencang. Langit tiba-tiba mendung, dan sesekali kilat bersambaran. Debu-debu berterbangan, daun-daun kering melayang-layang.


“Jonggrang, biarlah cintaku sebagai genapnya. Kucandikan kau, cintaku sekekal batu!”


Tak lama, setelah sabda mendarat di kulit semesta, kaki Jonggrang dikerubungi pasir dan debu-debu. Ia terus naik hingga menutupi seluruh tubuh Jonggang. Lalu, debu dan pasir itu menebal, mengeras, dan membatukan Jonggrang. Disusul dengan bumi yang bergoyang-boyang, batu-batu candi bermunculan dari tanah. Terus dan terus, hingga membentuk sebuah candi yang amat megah dan indahatas nama cinta.
***


Setelah kejadian itu, tidak ada yang tahu Joko Bandung atau Bandung Bondowosoberada di mana. Ada yang bilang, Bandung pergi ke sebuah negeri yang sangat jauh. Ada yang Bilang, Bandung bertapa hingga moksa. Ada juga yang bilang, Bandung kembali ke Pengging dan menjadi raja tanpa seorang permaisuri.


Dan...


Tidak sedit yang bilang, Bandung sering terlihatdatang ke candi itu dengan membawa dupa dan juga bunga. Saksi itu bilang, ia datang sendirian di malam hari, bahkan hampir setiap malamdan setiap kedatangan Bandung—seakan langit sedang purnama. Katanya lagi, setiap kali Bandung datang, Ia selalu mengawalinya dengan menyalakan dupa, lalu untuk beberapa waktu yang cukup lama—ia bersemedi, dan diakhiri dengan menaburkan bunga di kaki patung Roro Jonggrang. Itu terjadi hingga bertahun-tahun lamanya.


Sampai pada suatu malam yang gerimis, salah seorang warga melihat sesosok lelaki tertunduk di depan pintu gerbang candi. Seperti yang sudah-sudah, ia bersujud untuk waktu yang cukup lama, dan terdengar isak yang teramat rindu dan perih. Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa Bandung Bondowoso telah tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar