Kamis, 28 April 2016

LISA



Dua puluh empat tahun usiamu sudah, semoga Allah memberimu kehidupan selayaknya perempuan pada umumnya.
***

Sepintas, jika tak mengenalnya, ia tampak seperti laki-laki mungil dengan gaya rambut a la tentara. Namanya Lisa, entah siapa nama panjangnya. Aku mengenalnya ketika usiaku tak lebih dari sepuluh tahun, di sebuah perkampungan kumuh khas pesisiran daerah Surabaya Utara. Ia tetanggaku, rumahnya persis di sebelah rumahku, itu kenapa aku sangat mengenalnya, kecuali nama panjangnya.

Lisa. Jika menyebut nama itu, aku jadi ingat peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Di suatu sore, ketika pulang dari pesantren untuk menikmati liburan, itulah awal mula dari cerita ini. Waktu itu Lisa masih kecil, aku masih bisa mengingat dengan baikbagaimana mimik wajahnya. Ia sedang duduk, menangis—memanggil ibunya yang sedang berjibaku dengan dagangan-jajan pasardan tampak keponthal-ponthal melayani pembelinya.

Dari kejauhan aku memandanganya. Cukup lama aku amati, struktur tubuhnya tampak tidak wajar. Aku mendekatinya. Selain ingin menggendongnya agar reda tangisannya, aku juga ingin memastikanpandanganku pada bagian punggungnya. Setelah jarakku kian mendekat, akhirnya lunas rasa penasaranku: Ya, ternyata ia bungkuk (Humpback Whales).

Cerita punya cerita, konon, Lisa lahir normal. Keadaan orang tuanya yang saat itu sukses menjadi pedangang, membuat para tetangga mencari simpati agar memiliki kedekatan emosional dengan keluarga itu. Tidak jarang, banyak yang menawarkan dirimengasuh Lisa tanpa minta imbalan.

Lisa pada masa itu layaknya Piala Tarkam: berada digendongan satu ke-gendongan tetangga lainnya. Ia menjadi makhluk mungil yang diperhatikan hampir semua tetangga kanan-kirinya, kelahirannya di kampung itu seperti diinginkan oleh semua orang.

Waktu terus saja berlalu.

Kini usianya sudah menginjak lima tahunan, di suatu malam ia menangis tiada henti. Badannya panas, sudah beberapa hari membuat panik ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya sudah berupaya, membawanya dari rumah sakit satu ke-rumah sakit lain. Tapi, jawabannya sama: Lisa tak terditeksi penyakit apapun. Diantara keputus-asaan, yang bisa dilakukan orang tuanya hanya ‘ngudang’—menggodanya untuk mengalihkan rasa sakityang hanya Lisa sampaikan dengan tangis dan jeritan.

Beberapa bulan telah berlalu, Lisa sudah tampak sembuh, setidaknya sudah tidak menangis lagi. Tapi dari peristiwa itu, Lisa menjadi balita yang pendiam. Ganjal memang, tapi kata dokter, katanya sekali lagi: tidak ada apa-apa.

Tapi, yang katanya tidak apa-apa itu, semakin lama punggungnya tampak ber-punuk. Dia tumbuh menjadi anak bungkuk. Mungkin di antara tetangganya, yang dulu (pernah) menggendongnya, tidak melaporkan jika Lisa pernah terjatuh dari pelukannya. Mungkin si tetangga takut melaporkan ke orang tua Lisa, dan jadilah Lisa seperti sekarang ini.
***


Dan Waktu pun berlalu.

Lisa kini telah menginjak jenjang pendidikan SMP, ia tumbuh menjadi gadis yang keras kepala. Mungkin dalam hatinya berontak: kenapa ia dilahirkan berbeda? Karena perbedaan jasmaniah itu, sebagian temannya mengoloknya, sebagian lagi mengucilkannya, dan sisanya mungkin ada yang kasihan dengannya. Perlakuan orang lain terhadapnya, tak bisa ia terima seutuhnya. Ia ingin dianggap sama, ia tak ingin dianggap berbeda.

Mungkin dari perlakuan demi perlakuan yang diterimanya, ia ingin membuktikan diri: sering mengikuti kegiatan olahragajenis olah-fisik yang tak digemari perempuan: sepakbola. Tak jarang ia pingsan karena terhantam bola di bagian dadanya yang berakibat sesak napasnya dan tersengal sengal. Hal itu sering mebuat geger seluruh warga sekolah: dari guru, para siswa, satpam, hingga tukang kebun. Tak hanya itu, ia juga mencukur cepak rambutnyahanya agar mendapat legitimasi: bahwa dirinya kuat dan tangguh, tak kalah sekalipun dengan lelaki.
***

Suatu hari, kekira tahun 2007, ada nomer tak bernama mengirim pesan ke ponselku:

“Apa kabar, mas?”

“Baik. Ini siapa?”

Ènces”

Dari jawaban pesan singkat terakhirnya, aku langsung mengingat nama Lisa. ‘Ènces’ adalah nama pemberianku, nama kesayangan, nama keakraban di antara kami berdua. Lalu aku menanyakan, di mana kini ia tinggal. Ia menjawab, tinggal disebuah daerah perbatasan kota Surabaya dan Kabupaten Gresik.

Ya, keluarganya memang pindah sekitar tahun ’98, dan semenjak itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Entah apa yang membuatnya menghubungiku kembali, aku pun tak sempat menanyakan: darimana ia mendapatkan nomer ponselku. Dalam saling sapa di telpon genggam itu, puncaknya ia memintaku untuk mengunjunginya. Entah itu sebuah tawaran untuk sekadar menjahit keakraban di antara kami, atau bagaimana, yang jelas aku meng-iya-kan tawarannya. 

Setelah beberapa jam perbincangan di telepon itu, sore yang ramai Jakarta, membuatku bertekad memesan tiket—terbang ke Surabaya. Sesampainya di Bandara Juanda, aku langsung memesan taksi menuju rumahnya, berbekal petunjuk alamat yang diberikannya.

Taksi pun melaju.

Kekira satu jam sudah aku tertidur di dalam taksi berwarna biru. Struktur jalan yang tidak rata (makadam), membuatku terbangun karena guncangannya. Pak sopir memperlambat laju kendaraan, dan ketika itulah dari kejauhan, samar-samar aku melihat Lisa sedang me-lap-lap kaca beranda rumahnya. Model rambutnya cepak, kaos tangan buntung, dan celana pendeklayaknya anak laki-laki. Aku menyuruh berhenti pak sopir taksi, melihat disebalik kaca mobil—hanya ingin memastikan: apakah anak itu benar-benar Lisa.

Aku turun dari taksi, menyelesaikan transaksi—yang tak begitu lama taksi pun berlalu, motor-motor pun berlalu.

Setelah memastikan, bahwa yang kulihat adalah Lisa, aku meneriaki namanya dari seberang jalan rumahnya:

"(Èn) Ceeeess..." teriakku dengan setengah tenaga.


Ia menengok, berjalan pelan ke arahku sambil menggosok-gosok matanya dengan setengah mengernyitkan dahi. Tak lama berselang, ia histeris.

“Mas Pupuuuuuuuutttt....”

Sambil berteriak memanggil namaku, ia berlari, kemudian memelukku erat. Tubuhnya yang pendek, membuatnya hanya mampu memeluk tubuhku hanya sampai batas perut. Aku tak tahu apakah ia menangis, tapi dari suaranya, ia terisak hingga tak ada lagi suara.

Ya, aku memang sangat merindukannya, tapi mungkin, rindunya melebihi rinduku terhadapnya. Sewaktu kecil, setelah musibah fisik menimpanya, tak ada satu orang pun mau menggendongnya (lagi). Hanya aku, di antara banyak tetangga di kampungku.

Setelah kami meluapkan kerinduan layaknya kakak yang bertemu adiknya, aku dipersilahkan duduk di teras rumahnya. Kulitnya tampak mengkilat, berkeringat kerna sedang melakukan banyak pekerjaan rumah.

“Sedang apa kamu, Lis” Tanyaku.

“Anu, mas. Biasa, bersih-bersih rumah”

“Kamu ngerjain sendirian?”

“Biasanya kalau sabtu-minggu dibantu adik, hari biasa mereka sekolah”

“Lho, sekolahmu sudah selesai, tho?”

“Ijazahku cuma sampai SMP, mas. Dulu aku pernah sekolah SMA, tapi tidak sampai selesai”

“Lho, kenapa?”

“Gedung sekolah SMA-ku berlantai tiga, sedangkan kelas-ku ada di lantai paling atas. Dada-ku sering sesak karena kerap naik-turun, akhirnya aku keluar dari sekolah, mas”

Aku diam, lebih tepatnya terdiam. Tak sampai hati aku melontarkan pertanyaan lagi, ia mengajakku bicara sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya. Aku memperhatikannya dengan sangat cermat. Tubuh bagian punggungnya besar, sedangkan kakinya kurus-kecil. Tak jarang aku melihatnya berhenti, nafasnya tampak tersengal-sengal.

“Istirahat, Lis, kalau capek”

“Ndak papa, Mas. Sudah biasa.”

Aku terdiam lagi.

“Aku mau sekolah lagi, mas. Ambil program Kejar Paket C.” Lisa memecah kebekuan.

“Kapan daftar?”

“Belum tahu, mas. Nunggu punya uang. Ya, walaupun tidak akan terpakai, minimal aku punya ijazah SMA”

“Ya sudah, kamu daftar saja. Nanti aku yang bayar semuanya.”

Dia menghentikan geraknya, diam, dari arah wajahnya aku melihat air matanya menetes ke lantai. Melihatnya menangis, aku pun terbawa situasi. Malam itu menjadi malam yang begitu haru. Tak banyak yang bisa aku perbuat, selain melihat pemandangan yang begitu kelabu.

“Beberapa bulan lagi, kakakku menikah mas”. Kata LIsa, lagi.

Kalimatnya kali ini, sungguh meng-ambyarkan dadaku, sebuah kalimat yang ia ucapkan dengan wajah yang bergetar. Wajah yang ia paksa untuk tetap mengembangkan senyumnya, tapi aku tahu ia sedang sedih. Tentu saja ia sangat bahagia dengan pernikahan kakaknya, tapi ada hal yang tak terkatakan di sebalik kalimat terakhirnya itu. Aku tahu apa maksudnya, sambil bergetar, aku langsung berpamitan pulang.

“Aku besok kembali lagi. Malam ini aku ada janji sama teman." Aku mengucapkannya sambil berlalu begitu saja, tanpa menjabat tangannya.

Daerah rumahnya yang nuansanya begitu sepi, membuatku ingin berjalan, melepaskan semua tangisku. Tanpa taksi, atau kendaraan apa saja. Masih terus melangkah, aku menangis sepanjang jalan. Sambil mengingat, semua kata-katanya yang penuh dengan getaran. Aku tahu dalam hatinya ingin berkata: Akankah aku memiliki kesempatan yang sama, menjalin hubungan, kemudian diakhiri dengan peristiwa pernikahan?, Adakah pria yang mau melihatku sebagai perempuan?, Adakah pria yang mau menerimaku dengan segala keadaan?

Entahlah

Yang jelas, Lisa malam itu memenuhi seluruh dinding hatiku. Makhluk yang tak tahu apa-apa, kenapa tubuhnya tumbuh seperti itu—meruntuhkan segala teori tentang: apa itu sabar, apa itu adil, dan apa itu cinta. Keinginannya sangat sederhana, mungkin sama sederhanya dengan kita yang ingin memiliki kehidupan normal. Lisa pun demikian, sama dengan kita.

Aku masih terus berjalan, dan tentu saja menangis. Dalam hati aku berdo'a: Lisa... semoga Allah senantiasa melindungimu.