Rabu, 25 Mei 2016

DENGKUL




...
Bruce: What do you want me to do?

God: I want you to pray, son. Go ahead. Use them.

Bruce: Lord, feed the hungry and bring peace to all of mankind. How’s that?

God: Great, if you wanna be Miss America. Now, come on. What do you really care about?

Bruce: Grace.

God: Grace. You want her back?

Bruce: No. I want her be happy, no matter what that means. I want her find someone who will treat her with all the love she deserved from me. I want her meet someone who see her always as I do now, through Your eyes.

God : Now, that’s a prayer.

Bruce : Yeah?

God : Yeah...
...

  Bruce Nolan and God - Bruce Almighty 2003
***

Aku menutup pintu mobil, melangkah ke arah rumah-berpagar-putih sambil menekan tombol alarm dari jarak yang tak begitu jauh. Kedatanganku dibarengi lari-lari kecil Mbak Jum, yang tampak tergesa membukakan gembok pagar.

"Isih gendheng bocahe, Mbak?" Aku menyapa perempuan tua yang setia kepada majikannya itu. Sambil berdiri di luar pagar, aku melihat taman yang dijibuni pusparagam menara bunga sepatu yang kini kering-layu.

"Mas Putra mabuk terus, mas. Ndak mau ngomong, ndak mau makan." Kata Mbak Jum, setelah membukakakan pagar.

"Ya wis, ben tak uruse mbak."

Sambil terus mendengarkan keluhan Mbak Jum, aku arahkan langkahku menuju beranda yang terus diikuti wanita tua itu beserta segudang rasa cemasnya. Aku duduk, kemudian melepas sepatu—masih terus menatap wajahnya—sebagai tanda bahwa aku sedang mendengar semua yang ia katakan.

Selesai melepas sepatu, aku berdiri ke arah pintu.

Aku tarik hendel, satu persatu. Sampai ketika tiba pada pintu kamar utama, milik sahabatku, aku gerakkan tuas besi itu ke arah bawah dengan perlahan, aku dorong pintunya sangat pelan, kubuka sedikit, dan tampak siluet tubuh lelaki tambun dari arah belakang: sorotan cahaya televisi menerangkan ruang di sekitarnya. Ia duduk di lantai, merapatkan lulutnya ke dada.

"Ah, film itu lagi." Batinku. Setiap hari, selama dua bulan, hanya film itu saja yang ia tonton. Berulang-ulang: Bruce Almighty. Film bergenre drama komedi, memang adalah favoritnya. Ditambah—diperankan oleh bintang-bintang idolanya: Jim Carrey, Morgan Freeman, dan Jennifer Anitson.

Memang, bukan karena dua hal itu (genre dan pemeran), yang membuatnya—menonton film yang sama, selama dua bulan, berulang-ulang. Tapi ia merasa, Bruce Nolan (Jim Carrey) dalam cerita itu, mewakili riwayat percintaan hidupnya: Ya, dimana pun lelaki semua sama, ingin menunjuk-nunjukkan diri di depan perempuan. Bruce Nolan tak puas dengan posisinya saat ini, yang menurutnya—hanya sebagai pembawa acara yang tak cukup memiliki prestise. Didampingi perempuan bersenyum manis, Grace (Jennifer Anitson), akhirnya Bruce Nolan bisa mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini: menjadi pembaca berita.

Bruce senang bukan kepalang, ia ingin merayakan keberhasilannya kali ini dengan membuat rencana kejutan: mengajak kekasihnya makan malam, di sebuah restoran yang penuh dengan suasana romantis.

Kerna tidak biasa-biasanya Bruce mengajaknya makan malam, Grace mengira acara makan malam yang direncanakan Bruce adalah acara untuk melamar dirinya.
***

Restoran mahal pun disiapkan. Berdua, kini pasangan muda itu telah duduk dalam satu meja. Grace ndredeg, ketika Bruce ingin mengatakan kejutan itu: ternyata, Bruce hanya ingin menceritakan bahwa dirinya naik pangkat, diangkat menjadi pembawa berita, seperti keinginannya.

Grace kecewa. Ia pulang, meninggalkan Bruce sendirian di restoran.

Bruce tak pernah sadar, bahwa sematre-matrenya perempuan, ia lebih suka dengan kepastian. Bruce tak pernah mengerti, bahwa ambisi terbesar seorang perempuan adalah menikah.

Mungkin Bruce tak pernah tahu, bahwa perempuan adalah pemuja keabadian: sekali kau memujinya, seluruh hidupmu, kau akan dituntut untuk tetap memujinya. Tapi, Bruce hanya membicarakan tentang pekerjaannya saja. Memuji apa-apa saja yang telah ia capai. Sering cinta terjerembab dalam sebuah cita-cita dan gagasan: bahwa apa yang aku lakukan sekarang, adalah untuk membahagiakanmu, membuatmu bangga. Padahal, cintanya sedang menyamar. Sesungguhnya ia sedang mencintai dirinya sendiri, tapi dengan alasan orang lain.
***

Aku terus memandangi sahabatku disebalik pintu kamarnya, hingga tiba pada satu adegan di mana Grace sudah bosan dengan perilaku Bruce Nolan. Ia ingin berpisah, dan menyuruh sahabatnya untuk mengemasi barang-barang yang masih ada di apartemen Bruce. Setelah Debbie, sahabat Grace, menunaikan tugasnya dengan baik: mengemasi barang-barang, sebelum benar-benar meninggalkan apartemen, Debbie berbicara kepada Bruce sebagai pesan terakhir: "You know, what I do every night before I go bed?"

Bruce menggelengkan kepala.

"I tuck my kids in, maybe have a scoop of ice cream and watch Conan."

Bruce tersenyum lebar, hambar.

"You know what Grace does?"

Bruce menggelengkan kepala lagi.

"She prays. Most of the time for you."

Bruce terjingkat dengan pernyataan Debbie. Ia merasa, Grace masih mencintainya. Maka segera, dengan kekuatan yang ia miliki dari Morgan Freeman (God), ia mendatangi kamar Grace, mencari tahu—apa yang sedang Grace lakukan. Rupanya, Grace sedang berdo’a, persis seperti kata Debbie. Lalu Bruce ingin melihatnya lebih dekat, do’a apa yang sedang Grace minta.

Dalam tangis dan do'anya, Grace berkata: "Please, God. Please, I still love him. But i dont wanna love him anymore. I don’t wanna hurt anymore. Please. Help me forget. Please help me let him go."

Pecah, kini deras air matanya. Sahabatku, menangis entah sudah keberapa kalinya. Ia meletakkan kepalanya di atas dengkulnya, sambil terisak.

Remang-remang, aku melihat ia menciumi bekas luka di atas dengkulnya itu. Seingatku,  adalah luka ketika ia terjatuh saat ingin pergi apel kepada perempuan yang membuatnya menangis seperti sekarang ini. Menggunung cintanya, menggenang kini air matanya sederas hujan. Kemudian, aku lihat bekas luka itu berdiri dari dengkulnya, lalu melompat lewat jendela, berlari ke halte-halte bus yang pernah mereka teduhi berdua—ketika hujan. Sayang, ia tak sebruntung Bruce. Ia tak pernah bertemu Tuhan—yang kemudian menawarinya—agar perempuan yang dicintainya itu kembali.

"Jar, dari tadi?" kata Putra, sahabatku.

"Wah, ketahuan. Aku di sini sudah dua bulan yang lalu, lama sekali kau patah hatinya?"

Ia tak menjawab.

"Eh, lagi nonton film apa?" tanyaku lagi.

"Biasa."

"Kenapa ndak nonton G30S PKI saja? Film paling bagus itu!"

"Kok bisa?"

"Bruce Almighty, film karya Tom Shadyc itu, hanya berhasil mempengaruhimu selama dua bulan saja. Film PKI, berhasil membohongi 200 juta manusia Indonesia, selama 32 tahun."

"Serius, tho!"

"Loh, aku serius iki."

"Aku kepingin bunuh diri, Jar."

" Astagfirullah hal adzim. Istigfar, Putra. Iling. Sudah ada talinya?" 

Dia menangis lagi, tentu saja aku jadi kebingungan. Juga merasa bersalah, kerna tak menanggapi omongannya dengan serius. Lalu, setelah menunggu beberapa saat, mungkin lebih tepatnya menunggu tangisnya berhenti, aku mulai mendekat, menyentuh kepalanya: 

"Putra, kamu tidak wajib sakit hati, meskipun berhak memilih sakit hati. Sepanjang kesakit-hatian itu merupakan fasilitas yang tepat bagimu untuk mengkondisikan kedekatanmu dengan Tuhan. Kamu juga tidak dilarang menangis, sepanjang tangisanmu membuat setia dan cinta kepadaNya. Tuhan memposisikan diriNya pada manusia yang sedang hancur sepertimu. Suatu saat, kamu akan berterimakasih kerna diberi kesempatan majnun seperti sekarang ini. Dengan seperti itu, suatu hari nanti kamu akan tahu bagaimana rasanya beragama yang bener, dan bertuhan yang pener. Sebab, orang yang tak pernah jatuh cinta dan kemudian sakit hati, ia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mencintai Tuhan."

Dia membalik badannya, melihat kearahku dengan mata berkaca-kaca.

"Setiap orang ingin menemukan dirinya," aku melanjutkan, "kerna—ketika seseorang beranjak dewasa, yang hilang dari manusia adalah dirinya. Maka kalau kau ingin tetap menjaga kesadaranmu untuk menemukan dimensi metafisika di antara fisika-fisika, bersikaplah seperti bayi: kalau mau nangis, nangislah, di mana saja, kapan saja, sebagaimana bayi. Untuk kembali seperti bayi, kita tidak memerlukan perjuangan apa-apa."

Dengan tatapan yang sangat tajam, sebuah tatapan takjub, Putra memegang kepalaku, menariknya hingga dekat dengan mulutnya. Kemudian ia berbisik: "ojok kakean omong, aku kebelet ngising."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar