Sabtu, 21 Mei 2016

GHOSOB



Entah berapa lama aku berada di rumah Ustadz Khoiruddin, terasa begitu panjang berada di dalam: sampai-sampai susah bernapas, dan tak nyaman. Ketidaknyamanan itu bukan disebabkan oleh hal-hal yang tidak baik, tapi bercengkrama dengan orang yang tak seimbang, yaitu keluarga yang begitu aku hormati: Ustadz, Nyai, dan kedua anaknya, Gus Amin dan Ning Izzah.

Ingin rasanya aku duduk di bawah, tapi dilarang. Keluarga guruku itu bersikeras, mempersilahkanku duduk di atas kursi ruang tamu. Aku dianggapnya seperti keluarga sendiri. Mereka sangat ramah.

Ini bermula ba’da isya’ tadi, Ustadz memanggilku untuk datang ke Ndalem. “E, kamu,” sambil menunjukk ke arahku dari tempat pengimaman, tempat Ustadz duduk, selepas menunaikan salat bersama.

“Kula, Ustadz.” Aku maju ke hadapan beliau.

“Siapa nama kamu?”

“Jamaluddin, Usatadz.”

“Ya, ya... Jamaluddin.”

Saya masih dengan wajah tertunduk di hadapan Ustadz Khoiruddin.

“Setelah ini, kamu ke rumah, ya? Tidak ada acara, kan?”

“Sendika dawuh, Ustadz.”

Dan berada di sinilah aku sekarang. Di depan pintu Ndalem Ustadz Khoiruddin. Barusaja handle pintu itu terlepas dari tangan, barusaja kututup pintu itu secara hati-hati dan perlahan, angin malam dan gerombolan debu-debu menghempas gamis putihku, surban dengan renik benang hitam yang tersampir di pundakku, juga kopyah-bulat pelapis rambut panjangku. Memang, pondok pesantrenku tergolong luas dengan beberapa bangunan beton dari depan hingga ke belakangjika menurut urutan: pos penjagaan, kantin, asrama, tempat wudhu, gedung sekolah, kamar mandi, dan dapur; semua terbuat dari beton. Sedangkan sisanya, adalah tanah lapang dan jalan yang masih belum mendapat perlakuan dari teknik sipil. Secara geografis terletak di antara bukit kapur, dan tergolong daerah pesisir; tanah-tanah di pondok pesantrenku tak pernah terlihat basah. Setiap angin berhembus, maka debu berterbangan di udara. Kecuali tempat jemuran yang selalu basah, mungkin lebih tepatnya becek.

Aku masih berdiri, menutup wajahku dengan surban, menunggu debu-debu itu reda.

Selesai.

Lalu aku berjalan meninggalkan Ndalem dengan cara membungkuk dan menjatuhkan tangan-kananku ke tanah, seakan sang guru sedang berada di hadapan. Ini adalah etika yang diajarkan pesantren kepada kami semua. Jika setiap ada guru, istri guru, anak guru—lewat di hadapan, kami semua harus berdiri mematung, memberi beliau jalan—sebagai bentuk rasa hormat. Begitu juga dengan rumahnya, kami juga harus tetap hormat. Dan itu pun, tidak boleh berjalan terlalu dekat dengan bangunan, harus dengan jarak.

Beberapa langkah setelah melewati Ndalem dengan membungkuk, aku mulai jalan tegak, menuju asrama.

Asrama di sini, ada dua: satu untuk asrama MAK, kepanjangan dari Madrasah Aliyah Keagamaan. Ada tiga tingkat, khusus untuk santri-santri berbakat. Yang kedua, MAU, Madrasah Aliyah Umum. Yaitu untuk santri yang berkeinginan bersekolah—seperti layaknya sekolah di luar pesantren. Bedanya, pelajaran agamanya lebih banyak. Asrama MAU ada lima tingkat. Tingkat satu, untuk asatid, pengajar. Lantai dua, kelas tiga. Lantai tiga, untuk kelas dua. Lantai empat, untuk kelas satu. Dan lantai paling atas, difungsikan sebagai mushallah. Aku santri MAU, dan asramaku berada di lantai tiga.

Assalamualaikum...” aku masuk ke kamar yang berukuran empat kali empat meter itu. Semua ukuran di setiap lantai, sama. Ada kamar berjajar lima belas jumlahnya untuk setiap lantai. Setiap kamar dipenuhi dengan lemari kayu dengan tinggi satu setengah meter, dan lebar satu meter. Lemari-lemari itu berdempet rapi yang terletak di sebelah kanan dan kiri. Tengah kosong, untuk santri beristirahat. Di ujung tembok paling belakang, untuk sampiran baju. Dan di belakang pintu, terletak rak sepatu yang juga terbuat dari kayu.

Walaikum salam...” jawab Bahrul.

“Kok sepi? Yang lain kemana, Rul?”

“Mungkin di atas.”

“Kamu mau ke mana?” tampak Bahrul hanya mengenakan kain sarung dan tanpa baju. Di samping tempat ia berdiri, ada ember dan tumpukan baju.

“Mau cuci baju. Malam ini, air sedang banyak-banyaknya.”

“O, iya, Rul. Aku boleh pinjam gamis?”

Bahrul hanya diam, tidak menjawab. Atau lebih tepatnya sedang berpikir keras.

Dugaanku, ia sedang mengenang perlakuanku kepadanya. Seperti beberapa tahun lalu, ketika masih sama-sama santri baru. Di antara kami semua, teman sekamar, dialah satu-satunya yang tergolong santri berada: uang saku lebih banyak, baju-baju lebih bagus, dan dalam satu bulan ia bisa dijenguk oleh orang tuanya sebanyak dua sampai tiga kali. Kami? Satu bulan hanya sekali, kadang sampai dua bulan. Dia santri yang tak pernah mengalami bagaimana rasanya kekurangan.

Walaupun demikian, tidak membuat ia menjadi seorang yang murah hati dan dermawan. Dia pelit. Maka dari situlah, Bahrul, yang namanya bentuk jamak dari kata Bahr yang berarti laut, diubah oleh kami-kami dengan sebutan bakhiil yang artinya pelit.

Sebutan itu kami sematkan padanya, bukan tanpa alasan. Pernah suatukali Bahrul disambang (baca: dijenguk) oleh orang tuanya, seperti biasa, ia mendapat makanan macam-macam. Aneka rupa juga warna. Tapi tak seiris pun kami dibagi. Dan itu kejadian tidak hanya sekali. Begitu orang tuanya pulang, ia langsung meletakkan makanan-makanan itu dalam lemari. Dan tidak jarang, karena saking banyaknya, makanan itu kerap tidak termakanhingga membusuk atau berjamur. Jika sudah demikian, dengan entengnya Bahrul membuangnya ke tempat sampah. Dan kami menyaksikan itu dengan jengkel dan haru. Iya sih, itu memang hak dia. Tapi kalau ujung-ujungnya dibuang, kenapa tidak dikasih ke temannya saja? Memang tidak ada aturan memberi jatah sambang ke teman, tapi—kan sayang kalau akhirnya dibuang? Sedangkan, kami-kami yang kekurangan ini, selalu membagi-bagi jatah makanan ke teman-teman yang lain. Termasuk Bahrul. Tapi tak pernah berbalas.

Puncak kekesalanku dan tentu santri yang lain, akhirnya terbentuk kesepakatan untuk mengerjainya. Dua kali. Pertama, aku pernah menggoyang-goyangkan lemari Bahrul yang sedang terkunci: menjungkir-balikkan, atas ke bawah, ke samping, sampai kuputar-putar. Alhasil, makanan yang ada di dalam—bercampur jadi satu dengan sabun mandi, sabun cuci, dan baju. Dia marah, tapi tidak tahu kepada siapa.

Kedua, aku pernah membobol kunci gemboknya dan mengambil uang Bahrul. Uang itu tak kunikamti sendiri, aku mengajak semua teman sekamar untuk makan-makan, termasuk Bahrul. “Tenang, aku yang bayar. Khusus untuk Bahrul, boleh tambah. Yang lain—jangan.” Kataku. Aku mengatakan itu ketika kami sudah berada di warung. Bahrul girang, dan tentu saja nambah, tandhuk.

Selesai, aku bayar makanannya. Kembalian uang dari resepsi makan-makan gelap itu, aku serahkan kepada Bahrul: “Lho, kok dikasih ke saya, Din?” tanyanya, agak sedikit bingung di antara perutnya yang kenyang.

“Itu uangmu, Rul. Tadi aku ambil di lemarimu. Terimakasih ya, Rul?!” Wajahnya merah. Aku memijit-mijit pundaknya, lalu disusul dengan ucapan terimakasih dari yang lain. Bahrul bersendawa.

Meskipun pernah dikerjai teman-temannya, Bahrul tak kunjung berubah. Seperti kata pepatah: watuk masih bisa diobati, tapi watak cuma sembuh dengan suntik mati. Maka selama dua tahun ini, dari kelas satu hingga kelas dua, dia menjadi korban ghosob (ghosoba – yahshobu), yaitu istilah untuk meminjam barang tapi tanpa seizin pemiliknya. Itu sebab kelakuannya sendiri. Dari sampo, sabun cair, sendal, dan lain-lain.
***

Bahrul masih diam, mematung.

“Rul, boleh tidak aku pinjam gamismu?”

“Memangnya mau buat apa?”

“Besok sore, aku disuruh ngajar ke Pesantren Putri sama Ustadz Khoiruddin: menggantikan Ustadz Qosim yang sedang izin sakit. Ini kesempatanku untuk mejeng di sana. Gamisku sudah kuning begini, tak elok buat kesempatan pertama yang begitu menggoda. Heh? Heh? Heh?” aku menaik-turunkan alisku. Semoga ia tahu, aku sedang mengancam.

“Begini, Din. Ini gamis, sejarahnya panjang. Intinya, aku dibelikan oleh bapakku ketika beliau pergi ke tanah suci. Aku akan meminjamkan kepadamu, dengan satu syarat?”

“Apa itu, Rul?”

“Kamu boleh pinjam hanya sehari. Setelah itu, kamu harus mencucinya ke binatu (baca: laundry). Gimana?”

“Mufakat!”

Kami bersalaman, lalu Bahrul pergi dengan menenteng ember bajunya.

“E, Rul. Kamu tidak bawa kastok (hanger)?”

“Ghosob saja di tempat jemuran.” Ia pergi, lalu hilang ketika menuruni anak tangga.

Ya, ghosob adalah tradisi khusus a la pesantren yang terkontruksi melalui proses sosial-kolektif para santri dari nilai-nilai kekeluargaan yang terbentuk secara alamiah karena beberapa persamaan: belajar besama, mengalami hal yang sama, tidur di tempat yang sama, mandi dengan keadaan air yang sama, makan dengan menu yang sama, dan lain-lain. Perasaan sama-rasa ini—kemudian mencapai klimas keintesifannya dengan terbentuknya rasa saling memiliki di kalangan para santri—yang didasari oleh implus social genetics yang mengakar sebab perasaan rama rasa tadi. Nilai keintiman inilah yang membuat tradisi ghosob rantai berantai. Alasannya macam-macam: karena pernah menjadi korban ghosob dan ingin melakukan hal yang sama, ada juga yang beralasan sebab kenal dengan si pemilik-barangjadi tak perlu izin, atau mengira itu adalah barang miliknya yang kemudian ia main pakai saja; pokoknya banyak sekali alasannya. Dari perilaku senior, diwariskan ke junior, lau diwariskan lagi ke generasi di bawahnya, dan terus dan terus. Maka jadilah tradisi ghosob yang berantai.

Walaupun demikian, ghosob adalah hal yang wajar dan lumrah. Memang agak menjengkelkan, tapi bagi santri, ghosob adalah fenomena wajar-alamiah yang tidak pernah kami interupsi secara terbuka. Ya, paling cuma ndermimil di batin saja.

Hmmm...

Hari semakin larut, aku mencoba melupakan Bahrul dan gamisnya, materi pelajaran dan para santri-santri putri, mataku sudah mengantuk dan ingin sekali tidur.
***

Salat asar telah usai. Dari mushallah, aku turun menuju kamar: mempersiapkan kitab-kitab, dan tentu saja gamis putih milik Bahrul—yang dibeli bapaknya di tanah suci. Kain secemerlang itu, ditambah matahari yang kemuning, membuat ia menyorotkan warna keemasan. Wajahku yang tak seberapai ini pasti akan tampak lebih bersinar.

Sebagai santri normal, tentu saja penampilan sangatlah penting. Kemampuan, tak usah dibahas. Buktinya aku diamanahi menjadi guru pengganti. Intinya, hari ini adalah momentum terbar pesona. Ditambah satu persoalan lagi, kesempatan ini kujadikan-alasan untuk ketemu Ning Nur, putri Kyai. Kebetulan hari ini ia juga mengajar di sebelah kelasku. Aku bisa menatap wajahnya lebih lama, jika nasib lagi mujur, bisa berbincang dengannya.

Hingga sore menjadi petang, tugasku selesai. Semua rencana lancar, santri putri kubuat tercengang. Mereka senang aku mengajar di kelasnya, mereka antusias dengan melemparkan banyak pertanyaan. Dan terutama, misi rahasiaku juga lancar: bertemu Ning Nur, memegang tangannya, dan membuat janji—bertemu keesokan harinya, di tempat yang sama.

Keluar dari kelas, aku menuju asrama. Pesanten putri, ada di seberang jalan. Di luar kawasan pesantren putra.

“Gimana? Berhasil?” selidik Bahrul.

“Ya, begitulah Rul. Namanya saja mengajar, buat amal di akhirat nanti.” Dia tidak boleh tahu, bagaimana suasana hatiku saat ini. Seperti seluruh hamparan tanah pesantren ini, ditaburi bunga-bunga.

“Jangan lupa, Din, bersihkan gamis itu ke binatu. Jangan dicuci sendiri. Tidak bersih.”

“Hmmm...” jawabku malas. Memakai jasa binatu itu perlu uang, Rul, dan sekarang adalah tengah bulan. Uangku menipis, tak mungkin menuruti permintaanmu. Aku akan cuci sendiri gamis itu.
***

Hari sudah malam, selepas mengajar, aku langsung beraktifitas seperti biasa: membaca kitab, mengaji, salat jamaah, dan sebagainya. Mataku terasa lelah, selepas subuh tadi, aku belum tidur lagi. Mau mandi, menghilangkan keringat di badan, tapi air sudah mati. Air habis, digunakan santri yang jumlahnya ratusan itu. Memang tidak habis sih, sisa sedikit, tapi sudah berwarna putih. Mungkin tercampur dengan sisa sabun para santri yang ratusan itu. Jika aku nekat mandi, air itu akan menyebabkan masalah kulit, dan tentu saja gatal gatal. Tapi untung saja tadi pagi, air sedang banyak-banyaknya. Mencuci gamis milik Bahrul perlu perlakuan khusus, ia harus dibilas dengan air yang banyak. Dengan langkah gontai, badan lengket, dan sedikit malas, aku menuju asrama.

Assalamualaikum...

Bahrul tidak menjawab. Mukanya sedih, menabrak-nabarak lemarinya dengan tubuh bagian belakang. Ia tampak kesal.

“Ada apa, Rul?”

Dia tetap diam, terpancar aura kekesalannya, dan menabrak-nabarak lemari dengan bagian belakang tubuhnya. Kali ini tampak lebih keras.

Perasaanku jadi tak enak.

O, mungkin ini perkara gamis. Aku baru ingat, belum mengambilnya di jemuran. Mungkin dia sudah tahu aku tidak mencucinya di binatu. Mak sranthal aku lari, menuruni anak tangga. Lari lagi melewati kamar mandi, menuju tempat jemuran yang terletak di bagian paling belakang bangunan asrama.

Sampai, aku menuju tempat gamis itu kuletakkan. Tidak ada. Agak setengah panik, aku periksa satu per-satu seluruh pakaian yang bertengger di tali. Tidak ada juga. Aku makin panik. Mungkin ini yang menyebabkan Bahrul marah kepadaku. Maka aku cari lagi gamis yang berasal dari tanah suci itu. Tapi, walau semua bagian sudah kuperikasa, tetap tidak ada.

Celaka!!!

Aku setengah putus asa, kusandarkan tubuhku di tiang jemuran—sambil mata yang terus menggerayangi keadaan sekitar. A, celaka duabelas. Aku akan kena marah Bahrul. Kalau begini jadinya, lebih baik kubawa gamis itu ke binatu. Berapa uang untuk bisa mengganti gamis dari tanah suci itu? Gamis milikku yang berwarna kekuningan ini, tidak akan mampu mengganti walau berjumlah sepuluh lembaruntuk ditukar dengan milik Bahrul. Selain mahal, mungkin gamis itu juga penuh dengan kenangan. Aku masih ingat kata-katanya: “Din, ini gamis sejarahnya panjang. Intinya, aku dibelikan oleh bapakku ketika beliau pergi ke tanah suci.”

Aduh, celaka!

Aku sudah putus asa, betul-betul putus asa. Dengan bantuan lampu, kini mataku mencari sesuatu di bawah, di tanah. Saat itulah aku mendapati sebuah kain putih yang bercampur dengan lumpur. Aku buru-buru mendekatinya.

Persis!

Itu adalah sebuah gamis. Lalu aku memeriksanya dengan seksama, di setiap bagian kain. Ketemu. Di leher bagian dalam, tertulis sebuah nama: Bahrul, dalam bahasa Arab.

A, celaka!!! Celaka!!!

Kenapa gamis ini bisa terjatuh? Padahal aku menjemurnya dengan hanger? Di mana hanger-nya? Pasti ada yang ghosob. Ya, pasti ada yang ghosob! Tapi, apa mau Bahrul menerima alasanku, dengan mengkambing hitamkan si tukang ghosob yang tak tahu siapa itu? A, pasti Bahrul tidak akan menerima alasanku. Sebab akulah yang meminjamnya. Dan akulah yang harus bertanggung jawab atas nasib gamis itu.

Dengan gemrutus keringat dingin, aku bawa gamis itu ke kamar mandi. Aku mencucinya lagi. Sial, air sedang tidak ada. Jumlah air hanya sedikit. Lalu aku menuju kantin, membeli sabun cuci: dua diterjen, dan pemutih. Lunas transaksiku di kantin, aku menuju ke kamar mandi lagi. mencuci gamis itu dengan air seadanya.

Lebih-kurang satu jam aku mencuci dan merendamnya, gamis itu tetap tidak putih sempurna. Aku peras gamis itu dengan perasaan kecewa, lalu membawanya ke tiang jemuran. Aku masih kesal, lalu kuambil semua baju yang bertengger di tali jemuran itu. Aku ambil hanger-nya, lalu aku patahkan semua. Baju-baju itu aku buang ke tanah, lalu aku injak hingga kotor semua. Semuanya!

Memang, membuang semua baju-baju tak bersalah itu—ke tanah, tidak akan dapat mengganti kerugianku. Bahrul tidak hanya marah, dia pasti akan memintaiku sejumlah uang. Itupun kalau dia mau. Tapi kalau meminta lebih? Darimana aku dapat menggantinya?

Dengan perasaan berat, dan marah, aku menuju kamar. Aku sudah siap dimarahi Bahrul. Nasibku sekarang ada di tangannya.

Aku masuk ke kamar, tampak Bahrul masih terlihat geram: kali ini menggoyang-goyang lemari semakin keras, masih dengan tubuh bagian belakangnya.

“Rul...”

Dia tetap tidak menjawab.

“Rul, kamu kenapa?”


“Ini, Din, pantatku gatal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar