Minggu, 08 Mei 2016

INGIN BERTEMU TUHAN




Surabaya, bulan Dulkijah 1928. Hari sudah malam, angin laut berbondong-bondong ke daratan. Rasanya dingin sekali, sangat berbeda dengan siang hari yang terlampau panas. Di bawah temaram sentir, aku menulis ini dalam suasana duka. Tentang seorang sepuh, sahabatku. Engkau boleh memanggilnya Cak Dul, nama panjangnya Abdullah. Tubuhnya tinggi, dagingnya kurus, giginya tanggal hampir seluruhnya. Ia sumeh, murah senyum di mulutnya yang ompong. Seorang yang taat, lugu, lagi penyabar.


O, ya. Namaku Saipul, biasa dipanggil Ipul. Aku tinggal di salahsatu kota yang terkenal dengan triparit(nya), yakni kota yang memiliki nuansa tiga unsur: pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Dan ketiga untur tersebut, juga dapat dibedakan menurut daerahnya. Pertama, unsur Barat. Dengan benteng-benteng megah serta rumah kolonial. Terletak disekitar Jembatan Merah dan Simpang, pusat kegiatan perdagangan dan ekonomi kota. Lokasi ini mulai tumbuh akibat dari politik pintu terbuka yang mengizinkan orang-orang Eropa datang dan menetap. Kelas menengah itu kemudian membangun tempat tinggalnya: berbagai fasilitas dan bentuk bangunan yang mirip dengan tempat asalnya di Eropa. Dan terciptalah lokasi ini dengan jalan aspal, lampu, air yang bersih, kendaraan, trem listrik, barak militer, rumah toko, tempat ibadah, dan kantor karesidenan. Pokoknya lengkap sekali.

Kedua, unsur Cina dan Timur Asing. Lokasi ini terletak di seberang Sungai Kalimas, sebelah timur kawasan Jembatan Merah. Chinezenwijk dan Chinezenkamp berada di kawasan Kembang Jepun, Kapasan, dan Pasar Atom. Biasanya bangunan di kawasan ini berupa rumah toko, rumah plesir (pelacuran), klenteng; semuanya didominasi warna merah dan semerbak wewangian dupa. Chinezenwijk dan Chinezenkamp dipimpin oleh seorang kepala yang disebut kapiten der Chinezen. Sedangkan Arabischenkamp dan Malaisenkamp, lain lagi. Terletak di sekitar Masjid Ampel. Nuansa agamis dan perdagangan, sangat terasa di tempat ini. Kedua lokasi itu (baca: Chinezenkamp dan Arabischenkamp) keadaannya memang tak sebaik milik Eropa, tapi masih bisa dikatakan layak.

Ketiga, yang terakhir, adalah penduduk pribumi, Inlander. Tinggal di tanah-tanah sisa, atau bermukim disebalik tembok gedung-gedung Eropa. Biasanya tempat ini adalah kampung-kampung kumuh, dan rumah yang dibangun seadanya. Ketiga unsur tersebut membentuk sebuah konfigurasi yang tidak seimbang secara sosial dan ekonomi, yakni sistem sosial yang sengaja diciptakan melalui ras sebagai bentuk ekspresi-spasial dengan sistem wilayah tinggal yang terpisah—semacam garis batas posisi ekonomi dan hubungan politis secara sosial. Diatur oleh perangkat kekuasaan yang dimiliki Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yaitu perangkat represif-administratif yang bernama: Exhorbinate rechten, dengan alasan untuk menghindari konflik akibat heterogenitas suku, golongan, dan entis di Hindia.

O, ya...

Rumahku terletak tidak jauh di radius Masjid Ampel, kebetulan kakekku, Mbah Ta’i, adalah seorang pegawai karesidenan yang bergelar Kyai Nganten. Sebagai pribumi berdarah Jawa, nasibku boleh dikatakan sedikit lebih baik dengan tinggal di perkampungan orang-orang Arab dan Melayu. Artinya, keluargaku dikelompokkan sebagai golongan kedua, stratifikasi sosial setelah Eropa. Suasana kampungku memang agak sedikit ramai dengan rumah yang berdempet-dempetan, tapi tidak kumuh. Di pimpin seorang kapiten, Tuan Hasan, seorang yang budiman dan saudagar yang kayaraya.

Ya, nasibku memang sedikit beruntung.

Rumah keluargaku lumayan besar, cukup untuk menampung keluarga kecil kami: Kakekku (nenek sudah meninggal empat tahun yang lalu), Ayah, ibu, dan aku—seorang anak sematawayang.

Selain memiliki rumah yang cukup baik, kami juga memiliki pekerjaan yang baik pula.

Bapak dan ibuku seorang pedagang, memang tidak besar, tapi lebih dari cukup. Sedangkan aku, seorang pekerja di pelabuhan tanjung perak. Jabatanku lumayan, bukan pekerja kasar. Dan, jika membicarakan pekerjaan, aku jadi teringat seseorang. Orang yang sedari tadi ingin aku ceritakan,  ia salah seorang pekerja kasar di pelabuhan.

Ialah Abdulah, Cak Dul, seorang duda yang hidup sendirian di sebelah utara kota. Tekanan yang terus meningkat pada lahan di seluruh wilayah pedesaan Madura, tempat ia berasal, adalah alasan Cak Dul merantau ke Surabaya.

Awalnya ia tak tinggal permanen, hanya beberapa bulan saja untuk bekerja (di pelabuhan), khusus pada bulan-bulan sebelum panen tahunan di desanya. Cak Dul meninggalkan desanya dan hanya kembali pada hari-hari libur yang sangat jarang, yaitu untuk membantu panen, atau ketika sudah memiliki cukup uang dan hasilnya cukup untuk hidup di desa beberapa bulan. Tapi, setelah istrinya meninggal, ia memutuskan untuk tinggal di Surabaya, di gubuk barak milik mandornya—dekat pelabuhan. Berukuran empat kali delapan meter, dengan tinggi atapnya sekitar tujuh meter. Ditinggali sekitar dua puluh orang, atau tiga sampai empat puluh orang, termasuk Cak Dul. Aku berkenalan dengannya dalam sebuah peristiwa yang haru, satu tahun yang lalu.

Kekira bulan Dulkangidah 1927, ketika itu musim haji akan segera datang. Menurut kabar, negeri Hejaz dan Nejad yang dipimpin oleh Syarief Husin, baru saja jatuh ke tangan Ibnu Saud—dan kini berganti nama menjadi: Saudi Arabiyah. Tahun lalu, Tuan Tjokroaminoto dan Kyai Mas Mansur telah lebih dahulu melakukan Rihlah Hijaziyyah (perjalanan [di] tanah Hijaz). Sekembalinya dua tokoh besar itu, maka tersiarlah berita baik: bahwa negeri Hejaz aman untuk para pilgrims (jamaah haji) yang ingin menyempurnakan keislamannya. Dan jumlah pilgrims tahun ini, akibat berita dari dua tokoh itu, jadi meningkat drastis.

Ya, musim haji menjadikan kondisi pelabuhan berada pada puncak keramaiannya. Kongsi Tiga (Nederlandsch Stoomvart Maatschapij, Rotterdamche Lloyd, dan Ocen) atau yang dikenal sebagai Kapal Dines—merapat ke pelabuhan, menurunkan jangkar, menyiapkan diri. Sedangkan hari telah terik di atas ubun-ubun, aku menuju langgar untuk salat lohor. Tempat itu terletak di dekat kantor Syah Bandar, di tepi laut. Ketika hendak berwudhu, aku berpapasan dengan seorang sepuh yang tampak—barusaja menyumpal mocong-gentong air sesuci dengan tutupnya. 

Ia selesai, kini giliranku.

Setelah rampung membasuh seluruh wajah, tangan, rambut, telinga, dan kaki dengan air, aku menuju langgar. Ternyata lelaki tua itu sedang menungguku di dalam. Ia hanya seorang diri. Denganku, kini berdua.

“Silakan,” lelaki sepuh itu sambil mengarahkan ibujarinya ke arah depan, pengimaman. Beliau menawariku untuk menjadi imam.

“Tidak, silakan.” Aku menyentuh pundaknya, “bapak saja!” Kuucapkan—bersamaan dengan tanganku mempersilahkan kepadanya. Ia tersenyum ke arahku, lalu lelaki berdastar hitam itu menuju pengimaman.

Selesai. Empat rakaat mengalir begitu saja, syahdu sekali.

Setelah mengucapkan dua salam terakhir, beliau mengarahkan tangannya ke arahku. Kami bersalaman. Lalu ia membalikkan badannya lagi, wirid, kemudian menutupnya dengan do’a bersama. Aku masih setia mengikutinya, hingga selesai. Selepas do’a itu, aku mendengar lirih talbiah dari mulutnya: “labbaikallahumma labbaik, labbaika laa sayarikalaka labbaik... nyanyian cinta, syair-syair rindu ini kulantunkan lagi, Ya Allah. Bolehkah kiranya, aku yang melarat ini, pergi ke rumahmu, menemuimu, Ya Allah.”

Aku bergetar mendengar suara-samar dari mulut tua itu, walalupun kecil dan hampir tak terdengar, do'a yang ia panjatkan, menggema di dalam sanubariku. Ya, baru kali ini kurasakan cinta yang begitu agung, rindu yang dalam dan tak dibuat-buat. Ia sesenggukan, dan aku tak tega melihatnya. Aku keluar, menantinya di beranda.

“Maafkan saya, tuan. Telah mengganggu ibadah tuan.”

“O, sudah selesai bapak rupanya.”

“Nama saya Abdullah, sambil mengulurkan tangannya. ”Panggil saja, Dul.”

“Saya Saipul, panggil saja Ipul.”

Dan semenjak saat itu, kami jadi sering bertemu, setidaknya dua kali dalam sehari: lohor dan asar, di tempat yang sama. Hingga hampir genap satu windu kami beramah-tamah, aku sudah mula akrab dengannya:

“Cak, ada slametan di kampungku, walimatus-safar.”

“Alhamdulillah. Siapa yang hendak ke Makkah, Pul?”

“Tuan Hasan, saudagar kain.”

“Kapan acaranya, Pul?”

“Besok sore. Datanglah ke rumahku, nanti kita sama-sama ke sana.”

“Aku pasti datang, Pul. Insya Allah.”
***

“Kemarin kok tidak datang, Cak Dul?”

“Maklumlah, Pul, kuli tua sepertiku memang sering kedatangan penyakit encok mendadak. Ya, kadang lapar itu sangat perlu bagi mereka yang terlalu kekenyangan. Sakit juga begitu kan, Pul? O, ya. Tuan Hasan berangkat hari ini, kan?”

“Ini saya mau ke sana. Mau ikut?”

Cak Dul menagngguk, dan kami berjalan beriringan. Tak begitu lama, sampailah kami di rumah Tuan Hasan.

Pagi itu, langit tampak lebih terbuka dari biasanya. Warnanya biru, dan banyak sekali orang berkumpul di rumah Tuan Hasan. Rumahnya besar, satu pintu terletak di tengah yang berbahan jati. Kanan dan kirinya adalah jendela berjeruji besi. Berandanya juga besar, bertiang empat, berjubin bunga-bunga, dan ada meja bundar dan empat kursi di sebelah kiri. Halamanya cukup luas, mampu menampung kami yang tak begitu banyak jumlahnya. Sekitar tiga sampai empat puluh orang: laki-laki, perempuan, remaja dan anak-anak.

Cukup lama kami menanti, akhirnya Tuan Hasan keluar dari pintu—melewati beranda menuju halaman, kereta telah menunggu di depan. “Eh, itu sudah keluar,” kata salah seorang, dan seluruh kepala tertuju pada arah yang sama. Yang tadinya duduk, serentak berdiri, lalu mendekat mengerumini Tuan Hasan. Dari arah belakang, istri dan ketiga orang anaknya mengiringi dengan tangis sesenggukan—seperti tak rela melepaskan kepala keluarganya pergi. Ya, Pilgrimage (menunaikan ibadah haji) adalah perjalanan penuh dengan tantangan dan marabahaya. Sangat kecil kemungungkinan, dapat bertemu lagi. Banyak yang pergi, tapi hanya sedikit yang kembali. Begitu yang sudah-sudah.

Tuan Hasan menaiki kereta kudanya.

“Tuan... Tuan Hasan,” Cak Dul lari, muncul di antara kerumunan. Saat itu Tuan Hasan sedang sibuk—menanggapi para warga yang ingin bersalaman dengannya. “Tuan,” Cak Dul memperbaiki napasnya. “Nama saya, Dul. Apakah betul, jika do’a di Makkah, pasti terkabul?” Cak Dul masih ngos-ngosan.

“Insya Allah, Dul.” Jawab Tuan berkumis dan berjambang lebat itu, berwibawa.

“Bersediakah Tuan membawa do’aku serta?”

“Apa yang kau ingini, Dul?”

“Jika Tuan telah berhasil menyentuh kiswah, kain hitam penutup ka'bah itu, do’akanlah aku: agar dapat berkunjung ke rumahnya, dan bertemu denganNya. Bersediakah, Tuan?”

“Insya Allah, Dul. Kusertakan do’amu di sana.”

Belum lagi sempat ia ucapkan terimakasih, kusir menghentakkan pedati. Kuda bergerak, roda berputar, dan kereta itu menjauhi kerumunan. Tuan Hasan melambaikan tangan ke segala arah, kereta-kereta lain juga bergerak membuntuti di belakangnya. Satu persatu orang membubarkan diri, kecuali Cak Dul yang mematung dengan mata kekaca, rembes di seluruh hamparan matanya. A, terik matahari terasa dikepung mendung.

“Mari, Cak Dul.” kataku.

Lalu kami meninggalkan rumah Tuan Hasan yang sudah tampak sepi. Kami berdua menuju ke rumahku, kebetulan Cak Dul sedang libur, tak ada kerja.

Sampai.

“Mari, silakan duduk Cak Dul. Biar aku siapkan minuman dulu.”

Lalu, aku masuk ke dalam rumah, membuatkan minuman untuk kawanku yang berusia baya itu. Minuman yang sedang kubuat adalah ‘kobuk’, khas kampung sini. Bahannya dari serai, jahe, daun pandan, dan gula merah. Setelah sempurna bercampur dengan air, kuberi kerokan kelapa yang agak tua. Siap, aku membawa dua gelas minuman itu dengan beralas talenan berbahan logam. Kobuk, kini telah tersaji di atas meja tamu. Satu untukku, dan satu untuk Cak Dul.

“Silakan di minum, Cak Dul.”

Lelaki sepuh itu tak begitu memperhatikan seruanku. Cak Dul masih asyik—memperhatikan keadaan sekitar. “Enak ya, suasana di sini. Dekat dengan Masjid Ampel pula.” 

“Di sini banyak haji, Cak.”

“O, ya?”

“Iya. Dari dulu, orang sini banyak yang pergi ke Makkah. Apalagi sekarang, jumlahnya tambah banyak. Haji dulu lebih susah dari sekarang. Bisa memakan waktu tiga sampai empat tahun.”

“A, lama sekali, Pul? Sejauh itukah Makkah?”

“Begini, Cak. Pelayaran normal dari sini ke sana, seharusnya memakan waktu: lima hingga enam bulan saja. Itu dikarenakan, tidak ada kapal yang mengantar calon haji ke Makkah, yang berangkat dari Hindia Timur menuju tanah suci. Maka calon jemaah haji harus ke Singapura terlebih dahulu. Itu pertama. Kedua, tidak semua caloh jemaah haji memiliki bekal yang cukup untuk pergi ke tanah suci. Sebagian dari mereka yang tak berbekal cukup, bekerja di perkebunan terlebih dahulu, sebagai buruh perkebunan, di Singapura atau Penang. Itulah yang membuat lama.”

“O, begitu. Ya... ya... ya...”

“Tapi ada cerita lucu, Cak.”

“Apa itu?”

“Tidak semua orang yang bekerja di Singapura dan Penang itu, melanjutkan perjalanannya ke tanah suci. Ada juga di anatara mereka yang pulang ke Hindia Timur, lalu mendaku sudah pergi ke Makkah dan menyandangi dirinya gelar haji. Lebih baik Cak Dul begitu saja. Bekerja di Penang atau Singapura, pulang-pulang sudah bergelar haji.”

Dia beranjak dari duduknya, sambil menunjuk ke arah wajahku. “Pul, kamu bercanda? Agama jangan dibuat candaan.”

Baru saja ia duduk, langsung kusambut dengan jawaban.

“Cak, perlu sampeyan tahu, gelar haji yang sedang mereka kejar sesungguhnya berawal dari persaingan kerajaan-kerajaan di Nuantara yang mengirim utusan kerajaan ke Makkah untuk mencari pengakuan dan meminta gelar sultan dari tanah Arab. Sebab mereka menganggap, gelar yang dieroleh dari Makkah akan memberi dukungan secara spiritual terhadap kekuasaan kerajaan mereka. Baru pada tahun 1674, seorang pangeran Jawa pergi ke Makkah, dan sepulangnya berjuluk Sultan Haji. Ialah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Qohar. Itu cikal-bakal, kenapa orang bangga disebut haji. Tak ada hubungannya dengan agama, murni karena staus sosial.

“Ah, aku pusing dengan penjelasanmu. Aku tak mengerti tentang semua itu. Intinya, aku hanya ingin bertemu dengan Tuhan di Baitullah, tidak ada niat lain. Titik.”

Diskusi semakin memanas.

“Hey Cak Abdullah, pernahkah kau mendengar hadist yang mengatakan: Al hajju Arafah, bahwa haji itu adalah wukuf di Arafah?”

“Tapi tetap saja, kan aku harus ke sana. Ke padang Arafah?”

“Kamu tahu, Cak Dul, ada hadis qudsy yang mengatakan: man arafa nafsahu faqod arafa robbahu? Sesiapa yang mengenal dirinya, niscaya akan mengenal Tuhan. Itu kan yang kamu cari? Tuhan, kan? Wukuf itu sama seperti samadhi: njerum, masuk ke dalam diri. Bukannya malah ke situ.”

“Itu kan hadist qudsy, bukan hadist sahih.”

“Ah, bagaimana orang tua ini. Kamu tahu, apa perbedaan hadist qudsy dan Al-qur’an? Kebenaran mereka itu hampir sama, hanya saja—hadis qudsy redaksinya berasal dari Nabi, sedangkan Al-qur’an langsung dari Tuhan.”

“Itu kan katamu, Pul, Saipul!”

“Lah, Abudullah. Bukan aku saja yang beranggapan semacam itu. Di daerah Kuningan, sebagian orang percaya: jika naik-turun sebanyak tigakali Gunung Ciremai, dianggap sama pahalanya dengan naik haji. Di Madura, tempat asalmu, sebagian orang percaya: jika ziarah ke Batu Ampar, itu pahalanya sama dengan yang ke tanah suci. Di Sulawesi Selatan, ada sebagian yang beranggapan: naik gunung Bawa Karaeng pada hari raya Idul Adha, itu sama dengan ibadah haji ke Makkah. Ngapain mereka di gunung? Tapa! Samadhi!”

“Pul,” lelaki tua itu berdiri, tapi kali ini dengan nada suara yang tidak tinggi. “Umurku sudah hampir habis, tak ada waktu untuk berpikir sepertimu. Begini yang diajarkan orangtuaku dan guru-guruku, aku tidak peduli itu benar atau salah. Kewajibanku hanya patuh kepadanya. Aku pernah muda sepertimu, sedangkan kamu belum pernah menjadi tua sepertiku. Aku datang ke sini, agar bisa menabung untuk perjalananku ke tanah suci. Menyempurnakan agamaku selagi aku masih hidup, dan mendoakan istriku yang telah tiada. Di umurku yang setua ini, apalagi yang hendak kucari?”

Setelah kalimat terakhirnya, dia pergi dengan menepuk pundakku. Lalu hilang di balik tembok-tembok rumah tetanggaku.
***

“Pada tahun 1869, terusan Suez dibuka. Dan ketika teknologi dan industri kapal uap sudah memasuki negeri Hinda, perjalanan ke Makkah sudah bisa ditempuh selama empatbelas hari saja, atau paling lama—tigapuluh hari, tergantung cuaca.”

“Eh, kamu, Pul. Sudah berapa lama kita tidak ketemu, Pul?”

“Lima bulan, Cak Dul.”

“Lama sekali Pul, heh?”

“Maafkan kejadian waktu itu, Cak. Maafkan aku yang masih muda ini, yang hanya tahu manis, kurang asam-garam.”

“Pul, cara memperbarui hubungan itu—ya dengan cara berselisih dan bertengkar. Kemudian, dua-duanya harus sama-sama melaluinya. Dengan cara itu, sebuah hubungan diperbarui.”

Kami berbicara menghadap pantai, tak saling bertatapan.

“O, ya, Pul. Teruskan cerita-ceritamu tantang haji.”

“Cak Dul masih ingat ceritaku tentang orang yang pergi ke Singapura untuk berkerja di perkebunan, tapi tidak melakukan perjalanan lajutan ke tanah suci—dan pulang ke Hindia Timur, memakai gelar haji?”

“Ya, ya... aku masih ingat. Bagaimana itu ceritanya?”

“Begini. Ada banyak sekali persoalan muncul selain yang kusebutkan tadi, antara lain: Satu, jumlah haji yang pulang lebih sedikit dibandingkan yang berangkat. Kedua, beredarnya sebuah faham politik-keagamaan: pan-islamisme, yang dikembangkan oleh para pemimpin muslim pada masa kerajaan Turki Usmani. Karena beberapa alasan itu, setiap haji yang pergi dan datang, dikenakan wajib-lapor kepada pemerintah setempat.”

“Jika ketahuan tidak pernah pergi haji, bagaimana, Pul?”

“Dikenakan denada, dan dilarang menyadang gelar haji.”

“Wah, banyak sekali masalahnya, Pul?”

“Iya. Karena persoalan-persoalan itulah, akhirnya pihak pemerintah memberikan kepercayaan kepada Kongsi Tiga atau Kapal Dines sebagai kepanjangantangan pemerintah untuk transportasi perjalanan haji. Tapi, keputusan itu berakibat pada biaya dan aturan yang semakin ketat: pemerintah tidak akan memberikan pas (pasport) jika menolak membayar f.110 untuk tiap pas. Dan mewajibkan para pilgrims—membawa bekal (uang) sedikitnya f.400 sampai f.500 untuk hidup selama di sana, untuk setiap orang.”

“Banyak sekali, Pul?”

“Iya, Cak. Sebab pilgrims tidak boleh membawa bekal sendiri: ikan asin, terasi, dan lain-lain. Makanan disediakan oleh Kapal Dines.”

“Ah, kenapa, Pul?”

“Makanan-makan itu, katanya, membawa wabah penyakit. Itu kenapa banyak haji yang meninggal dunia, dan sedikit yang  kembali.”

Cak Dul sepertinya agak bingung dengan penjelasan-penjelasanku. Ia tampak sedang menghitung sesuatu dengan jari-jari tangannya. Ia membuka ibujarinya dari kepalan, dengan pandangan mata yang kosong ke awang-awang—dan mulut yang tampak mengucapkan sesuatu namun tak bersuara. Lalu jari telunjuknya ia buka, jari tengah, jari manis, kelingking, lalu ibujari tangan sebelah kirinya, “Ah, cukup tidak ya umurku untuk menabung uang sebanyak itu, Pul?”

Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Aku hanya memandang lelaki yang sedang menghadap ke laut itu, memandang dengan pandangan haru.

“Ya sudahlah,” ia mendekat ke arahku, lalu merangkul pundakku. “haji kan hanya bagi mereka yang mampu.”

“Aku bisa melatih Cak Dul berenang, kalau mau.”

“Buat apa, Pul?”

“Berenang ke Makkah, Cak.”

“Pul, jika umurku tidak cukup buat pergi ke sana, Allah pasti tahu, hatiku sudah lama sampai di situ. Sudah lama. Sangat lama.”

Dan itu adalah hempasan dari Cak Dul yang kesekiankalinya kepada hatiku. Aku dibikiannya diam, tak ada kata. Deburan ombak terasa sunyi, tak lagi terdengar suara apa-apa. Seakan hanya ada Cak Dul seorang di tempat sebegini luasnya. Kami berdiri, mematung, hingga senja berakhir dengan gelap. Sebelum akhirnya undur diri, aku menyampaikan kabar: Tuan Hasan telah pulang dari tanah suci. Aku mengundangnya, untuk menemui Tuan Hasan.
***

Hari berkunjung ke rumah Tuang Hasan, Cak Dul tidak datang. Entah, mungkin Cak Dul lelah—setelah seharian bekerja. Dan semenjak saatu itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Ramadhan telah tiba. Empat bulan Cak Dul tak tampak di langgar pelabuhan. Menurut kabar, dia sedang sakit. Maka selepas bekerja, aku mengunjunginya di barak milik mandor tempat ia bekerja.

Aku sampai di sana, pas adzan maghrib. Kami berbuka bersama, teh manis hangat yang diseduh oleh tangan Cak Dul dan qurma yang kubawa dari rumah.

“Cak, kenapa tidak pulang saja ke Madura?”

“Keadaanku ini hanya akan merepotkan anak-anakku, Pul. O, ya. Maukah kamu mengantarkanku ke rumah Tuan Hasan?”

“Ada keperluan apa, Cak?”

“Nanti saja kuceritakan.”
***

Ba’da salat tarawih, keesokan harinya, Cak Dul mengunjungiku. Sudah tampak sehat, walau agak pucat. Sesuai rencana, kami menuju ke rumah Tuan Hasan.

“Mari... mari... silahkan duduk,” sambut Tuan Hasan, ramah.

Kami duduk.

“Ada keperluan apa, Pul?”

“Ini, Tuan. Saya mengantarkan teman saya. Katanya, ada keperluan dengan Tuan.” Aku sambil melihat ke arah Cak Dul, dan dia menganggukan kepala ke arah Tuan Hasan.

“O, begitu. Tuan siapa? Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?”

Ia terkejut, darah pada wajahnya menunjukkan kekecewaan. Dengan nada yang sangat lemas, ia menjawab pertanyaan Tuan Hasan: “pernah, Tuan. Waktu itu Tuan hendak berangkat ke tanah suci. Sebelum kereta Tuan berangkat, saya orang yang memperkenalkan diri kepada Tuan—dan meminta agar dido’akan jika Tuan sudah sampai di Makkah.”

“O, ya. Saya ingat sekarang.”

Raut wajah Cak Dul tampak berubah, sumringah.

“Ada keperluan apa datang kemari, Dul?”

“Saya ingin bertanya, apakah Tuan sudah menyampaikan do’a saya di sana?”

“Astaghfirullah...”

Suasana tampak hening, dan penuh dengan penasaran juga kekecewaan. Aku dan Cak Dul saling memandang, Tuan Hasan menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya, kami ingin pulang saja. Terutama Cak Dul.

“Begini saja,” kata Tuan Hasan. “Janji adalah janji.” Nada Tuan Hasan terdengar menyesal. “Dul...”

“Saya, Tuan.”

“Betul kamu ingin ke tanah suci?”

“Sampai tulang sumsum-ku, Tuan.”

“Kau sudah siap, lahir dan batin?”

“Saya, Tuan.”

“Baiklah. Kalau begitu, kau berangkatlah. Semua biaya biar aku yang tanggung.”

“Betul, Tuan?.

Tuan Hasan mengangguk.

“Allahu Akbar!” Cak Dul beranjak dari duduknya, mencium tanah. “Labbaikallahumma labbaik, labbaika laa sayarikalaka labbaik,” gugunya begitu nyeri, “Ya Allah, akhirnya aku datang kepadamu. Inna al-hamda wa-an ni’mata laka wa-al mulk la syarika laka.”

Ia bangkit, mencium tangan Tuan Hasan. Lalu menyalamiku, menjabat dengan kedua tangannya. Setelah uluk salam, ia pamit undur diri. Berlari sambil berteriak: Labbaikallahumma labbaik, berulang-ulang. Aku sangat bahagia.

Waktu terus berjalan.

Satu setengah bulan kemudian, hari keberangkatan telah ditentukan. Cak Dul sudah sepenuhnya siap dengan pelbagai perlenglapan. Kapal itu mengangkut 140 penumpang, walau secara peraturan hanya untuk 100 orang. Tapi semua itu tak jadi soal, hari itu semua orang tampak bahagia, termasuk Cak Dul. Ia yang telah berada di atas kapal, melambai-lambaikan tangannya ke kepadaku. Peluit cerbong menyuling, raga Cak Dul menjauh, menyebrangi samudra.

Dan...

Beberapa hari setelah keberangkatan kapal Cak Dul, terdengar kabar bahwa kapal itu tenggelam. Semua penumpang kapal dinyatakan hilang.
***

Berita siang tadi, membuatku tak dapat tidur. Masih saja terkenang wajahnya, sahabatku, Cak Dul. Maka di bawah temaram sentir ini, aku menulis dalam suasana hati yang dikepung duka. Abdullah, menyeberangi samudera yang beribu-ribu mil jauhnya, hanya ingin menemuimu. Sampaikah ia kepadamu, Tuhan? Bukankah dalam hidup ini, tidak akan ada satu hal pun yang bakal hilang? Bukankah semua ini berasal darimu, dan akan kembali kepadamu? Sampaikah ia kepadamu, Tuhan? Sudah sampaikah ia kepadamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar