Oleh:
Fajar Saputro
Aceh pernah melahirkan
perempuan-perempuan perkasa pada setiap masanya, sebut saja: Ratu Nahrasiyah,
Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam
Naqiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah, Keumalahayati, Cut Nyak Dien,
Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan dan masih banyak lagi yang lain.
Kisah-kisah heroisme dan juga semangat baja mereka—bisa kita jumpai pada
hikayat-hikayat atau buku-buku di perpustakaan. Meskipun demikian, rengginas
dan kekuatan mereka—ia hanya ada di suatu masa yang telah jauh, sulit sekali
kita menyusuri jejak-jejaknya dengan data dan catatan-catatan yang akurat.
Untuk itu, mari kubagikan segelaran
cerita. Tentang seorang perempuan, namanya Cut. Lahir di Simeulue, 5 Mei 1980.
Awalnya ia hanya seorang perempuan biasa, seperti kita semua pada mulanya.
Mengutip dari seorang penulis asal Amerika, Georgoe R.R Martin, suatu hari ia
pernah berkata: we’re all the heroes of
our own stories. Maka Cut bisa jadi aku, atau kamu, mungkin juga mereka,
bahkan Cut bisa jadi adalah kita semua yang mengalami nasib sama. Dan yang
paling penting, hari ini Cut hidup di tengah-tengah kita semua.
Ya, namanya Cut. Perempuan dari
pulau kecil di seberang daratan Aceh. Berprofesi sebagai rescuer, yakni satu-satunya perempuan yang bergabung dengan Tim SAR
Banda Aceh. Laut ia selami, sungai ia susuri, gunung ia jelajahi, dan hutan ia
masuki untuk menolong dan mencari korban-korban yang hilang kerna sebuah
musibah. Setiap operasi yang dijalaninya, ia lakukan dengan semangat baja.
Menjadi tim penyelamat, sudah menjadi alur di aliran darahnya. Itulah yang
membuatnya sangat istimewa.
Istimewa yang kumaksud adalah
tentang ketahanan fisiknya sebagai seorang perempuan yang harus melewati banyak
sekali medan dengan kesulitan yang bermacam-macam bentuknya. Juga kekuatan
mentalnya, sebab terlebih dahulu ia harus menaklukkan ketakutan-ketakutan di
dalam dirinya sendiri ketika dihadapkan dengan keadaan yang buruk saat
menjalani sebuah operasi-operasi penyelamatan.
Dengan risiko yang sebesar itu, apa
sesunggunya yang sedang Cut cari?
Tapi, setangguh apapun Cut saat
mengenakan seragam, ia tetaplah manusia yang juga menjalani mekanisme semesta,
mengalami dinamika kehidupan: ada jatuh, lalu mungkin ia bangun, juga rindu,
dendam, cinta, dan bisa jadi ada sakit hati yang teramat perih. Siapa tahu?
Yang jelas, keberadaannya mendekatkan kita kepada sesuatu yang jauh; yaitu
tentang begitu perkasanya Keumalahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut
Baren, Pocut Meurah Intan dan
lain-lain—yang bisa kita lihat pada diri perempuan yang satu ini.
Tidak berlebihan rasanya bila
kukatakan, bahawa Cut adalah perempuan perkasa yang dilahirkan negeri Aceh pada
masa sekarang. Perempuan hebat yang bisa kita saksikan dari jarak yang sangat
dekat.
Maka kepada perempuan-perempuan
hebat itu, dan juga Cut, mungkin diantara kita ada yang ingin bertanya: apakah
gerangan yang mebuat kalian sekuat itu menjalani persoalan hidup yang rumit
ini? Kekuatan apakah yang ada di balik semua ini yang membuat kalian berubah menjadi
perempuan perkasa dan tangguh menghadapi banyak sekali masalah dan juga
kesulitan-kesulitan?
Jika boleh kuajukan pertanyaan yang
sedikit lancang, dan semoga saja tidak keliru: apakah bernar semua ini ada
hubungannya denga persoalan cinta?
Apakah mungkin sesederhana itu?
Atau ada kemungkinan lain?
Atau malah
justru aku yang sedang menyederhanakan masalah?
Entahlah!
***
“Cut,” salah seorang kawan menghampiriku
selepas apel pagi. “Pak Kepala mencarimu, kau disuruh menghadap di ruangannya.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Oke, terima kasih.”
Aku langsung bergegas menuju kantor Pak
Kepala. Di depan pintu aku berhenti sebentar, tak langsung masuk. Beberapa
detik, aku mengetuk pintu.
“Yak, masuk.”
“Selamat pagi, pak. Bapak panggil saya?”
“ Ini,” sepucuk surat disodorkan
kepadaku. “Ada undangan untukmu, dari Jakarta.”
“Siapa, pak?”
“Buatmu. Bacalah dulu!”
Aku merobek amplop putih berlogo, lalu
membacanya.
“Duduklah, Cut!”
“Siap!” Aku duduk, dan masih terus
membacanya.
“Apa katanya, Cut?”
“Saya diundang sebagai salah satu
narasumber utama, pak.”
“Ya sudah, kamu berangkat.”
“Diizinkan, pak?”
Pak Kepala mengangguk, itu berarti
setuju. Lantas aku berdiri, meberi hormat kepadanya: “terima kasih, pak.” Beliau
berdiri, mengulurkan tangan. Kusambut jabatan tangannya penuh dengan perasaan bangga.
“Ya sudah kalau begitu,” Pak Kepala menutup perbincangan kami. Aku pamit meninggalkan
kantor Pak Kepala, bergabung kembali bersama yang lain.
Satu jam, dua jam... tak terasa waktu
berjalan begitu saja, berputar dengan cepat. Sore pun tiba. Aku hendak pulang
menuju asrama. Tapi kupikir lebih baik mampir dulu sebentar, duduk-duduk di pinggir
pantai menikmati senja dan hidayah yang berwarna jingga. Hingga beberapa hari
setelah menerima surat itu, aku makin sering berkunjung ke pantai untuk
menikmati hal yang sama indahnya. Telepon genggamku berbunyi: “Halo?! Ya, selamat sore. Betul, saya
sendiri?!. O, sudah... sudah...” Di sebalik telepon, seorang perempuan
memperkenalkan diri sebagai tim kreatif kepadaku. Ia mengatakan tentang hal yang
kurang-lebih hampir sama dengan isi surat yang kuterima beberapa hari yang
lalu. Perempuan itu ingin memastikan ketersediaanku atas undangan tersebut. Aku
menyanggupinya. Lalu ia mengatakan beberapa hal teknis, aku hanya
mendengarkannya dan hanya sesekali saja menjawab. Sampai suara di sebalik
telepon itu berhenti, aku melanjutkan rutinitasku.
Hmmm...
Andai engkau dapat melihat apa yang sedang kunikmati hari ini, tatkala waktu
lunas di puncak sore. Dengan latar remang, juga warna kuning dan merah yang
saling isi, saling memasuki; sungguh nyata kusaksikan bahwa rindu takkan pernah
kemarau. Tak pernah, kekasih. Kenangan itu masih kerasan di pucuk kening. Angan
yang terlanjur menyemak, membelukar diembus-embus angin, ditiup-tiup asmara
juga amarah. Aku suka mencium wangi-aroma laut, juga anginnya, suara air yang
naik ke pantai kemudian mundur ke samudera. Atau sekadar ingin mendengar bunyi perickan
yang pecah sebab menabrak-nabrak bebatuan. Ya, cinta bisa sama besarnya dengan
keyakinan. Mata bisa saja ditipu, maka jangan hanya melihat.
Sampai pada suatu hari, 21 Oktober 2016.
Pagi. Bahkan masih pagi sekali. Aku sudah siap, duduk di beranda-asrama dengan segala
perlengkapan: satu stel pakaian rapi yang kukenakan, dan satu tas ransel
bawaanku yang isinya macam-macam. Sesuai undangan, dan informasi melalui telepon
tempo hari, hari ini aku akan dijemput seseorang yang diutus untuk mengantarku
ke Bandara Sultan Iskandar Muda dengan tujuan-akhir Bandara Soekarno-Hatta. Lokasi
undangannya di Kebun Jeruk – Jakarta Barat; di salah satu studio—stasiun
televisi milik swasta yang terletak di lantai 6. Peristiwa ini adalah
pengalaman pertamaku, tentu saja aku gugup. Aku belum bisa membayangkan
bagaimana nanti suasananya.
Aku masih di sini.
Duduk dengan kepungan butir-butir kabut,
dan cuit burung yang bertengger di hamparan kabel-kabel lampu jalan raya yang
tampak masih menyala. Tidak begitu lama, burung-burung itu bubar ke angkasa. Disusul
kokok ayam jago yang suaranya panjang, dan terdengar gagah sekali.
Ya, ya... pagi itu kurasa memang agak
sedikit dingin. Suasana serba putih di sekelilingku lambat-laun terang, kabut sirna
disapu oleh sinar matahari. Dan aku pun masih duduk sendiri. Di kursi,
merebahkan seluruh beban punggungku di sandaran. Meletakkan semua tanganku, dan
seluruh persoalan yang diembannya. Aku tahu, suasana seperti ini kerap mengantarku
kepada masa lalu yang telah jauh; sebuah masa yang sangat ingin kupendam
dalam-dalam. Tapi, diam-diam ia selalu kugali, kemudian kupeluk-peluk lagi.
Kubuang, lalu kupungut dan kusayang-sayang lagi. Seperih apapun sakit hati,
sudah kodrat manusia sebagai ahsani
taqwim; ia adalah sebaik-baik makhluk ciptaan. Ia lebih kuat dari
penderitaan yang ditakdirkan untuk dirinya, ia lebih perkasa dari persoalan hidupnya
sendiri. Sadar atau tidak dengan potensi ini, semacam ada kecenderungan-psikologis
pada diri manusia untuk memelihara kesakitan-kesakitan sebagai kenikmatan
personal yang melankolik. Sebuah kenikmatan yang hanya ia sendiri yang dapat
merasakannya: di dalam kamar, gelap, bantal yang basah, iringan lagu-lagu
kenangan yang dapat mendukung suasana. Sepi selalu saja istimewa, yaitu
kerelaan untuk kadang-kadang ditinggalkan.
Seperti pagi ini.
Beberapa lama kurasakan hening itu telah
berada di titik beku, dan selalu kusaksikan persoalan-persoalan pergi
meninggalkanku sendirian. Setelah rinduku lunglai, rasa geram menyelinap tanpa
bau dan juga suara. Menyusup dengan pelan. Tahu-tahu kuremas kursi kayu pada
bagian sandaran tangan, kuat-kuat. Kuremas ia, seakan-akan kami saling
berhadapan: “Kenapa kamu tega meninggalkanku, heh? Kenapa?!” Napasku memburu,
seperti ada rasa hangat yang menyebar disekujur tubuhku sehitungan jemari
tangan kanan. Berpindahnya marah, kemudian senang, tiba-tiba sedih, dan tahu-tahu
rindu yang teramat sangat membuatku tersiksa. Hampir 12 tahun lamanya ia
membekapku dari dalam, tentu saja ini di luar kendali. Untung saja lima atau
sepuluh menit berlalu, sebuah mobil masuk ke halaman: jenis minibus. Ia
berhenti pas di depan asramaku. Seorang laki-laki turun dari mobil, menghampiriku.
“Dengan ibu Cut?!”
“Ya, saya sendiri?!”
“Mari, silakan masuk. Ibu akan berangkat
pada jadwal penerbangan pertama.”
Laki-laki itu membimbingku menuju ke
dalam mobil, membukakan pintu, dan mempersilakanku masuk. Dan kami pun
berangkat. Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku hanya diam, merasakan
sesuatu di dalam diri seperti ada yang bergetar, getir ini akan kuceritakan
semua. Semuanya. Dan semoga engkau—, yang entah ada di mana, melihatnya.
***
Aku sudah berada di Bandara Sultan
Iskandar Muda. Sedangkan laki-laki itu masih mengiringiku hingga ke loket untuk
counter chek in. Setelah semua urusan
keberangkatan selesai, ia pamit undur diri. Aku mengucapkan terima kasih,
kemudian ia berlalu.
Kulangkahkan kakiku perlahan, menuju
terminal pesawatku. Tapi jadwal penerbanganku delay. Aku duduk di ruang tunggu bersama penumpang lain. Ada yang
gelisah, ia terus memandangi arlojinya. Ada yang tampak marah, memprotes petugas
jaga. Tapi ada juga yang acuh, ia asik dengan ponselnya. Gerak-gerik manusia,
suara-suara, menemaniku sepanjang dudukku—hingga pada saat giliranku untuk berangkat,
pesawat terbang mengantarku pergi ke Jakarta.
Kurang-lebih 3 jam lamanya, aku sampai di bandara Soekarno-Hatta. Seorang sopir menjemputku. Dari Cengkareng,
kami menuju ke arah timur melewati jalan Daan Mogot hingga sampai di daerah
Kebon Jeruk 30 menit kemudian. Sampai di studio, aku dipertemukan oleh sopir tadi
dengan tim kreatif yang meneleponku beberapa waktu yang lalu. Setelah bertemu,
aku disuruhnya duduk di ruang tunggu. Di sana sudah ada seorang wanita
separuh-baya yang model rambutnya di cukur pendek. Kami saling melempar senyum,
saling menundukkan kepala. Tidak lama waktu berselang, seorang perempuan muda
datang. Tubuhnya mungil, mungkin masih umur dua puluh tahunan. Dia memakai
kerudung, tampak cantik sekali. Tidak lama dari kedatangan perempuan muda tadi,
seorang perempuan lagi datang. Tinggi, kurus. Juga masih muda, dan berjilbab.
Ia juga menebarkan pesona yang menawan.
Tim kreatif datang. Satu persatu kami
dibimbing menuju ruang make-up. Aku
dan perempuan yang datang terakhir, mendapat giliran berikutnya. Mungkin ada
sekitar 1 jam, kini giliranku dipanggil, berdua dengan peremupuan tadi. Di
sana, di ruang make-up, ada 3 kursi
rias yang dilengkapi dengan cermin setinggi 2 meter panjangnya. Dua perempuan
yang masuk di awal tadi, masing-masing sudah mengenakan seragamnya.
Aku dirias, tapi tidak banyak.
Setelah selesai, kini ada empat perempuan
dengan seragam masing-masing. Kami berpindah ke ruang lain. Di sana, kami sudah
ditunggu oleh pembawa acara dan dua orang laki-laki: yang satu tua, yang satu
lagi masih terlihat sangat muda. Bertujuh, ditambah dengan tim teknis, kami
duduk bersama. Melingkar. Ini adalah sesi breafing
sebelum perekaman. Dari sini aku tahu bahwa dua laki-laki itu adalah narasumber
yang duduk di bangku penonton. Sesi ini merupakan upaya untuk mengatur konten
acara, termasuk hal-hal apasaja yang akan ditanyakan kepada narasumber; juga joke yang akan dilemparkan saat
perekaman.
Beberapa lama berada dalam sesi breafing, aku jadi tahu bahwa beliau,
perempuan berambut pendek, adalah seorang test
pilot, atau pilot uji coba yang bekerja untuk PT. Dirgantara Indonesia.
Dengan seragam coverall berwarna
coklat muda, atau wearpack, perempuan
itu terlihat gagah sekali. Dia mendapat giliran perekaman pada segmen 1 dan 2.
Perempuan muda bertubuh mungil, yang mengenakan PDL berwarna merah, adalah
anggota Manggala Agni untuk wilayah Damkar Palembang – Sumatra Selatan. Mendapat
giliran perekeman pada segmen ke-3. Kemudian, perempuan ketiga yang memiliki
tubuh tinggi dan berperawakan kurus, ia memakai seragam PDH berwarna coklat
tua. Dia adalah anggota Satuan Brimob wilayah Yogyakarta. Berpangkat Brigadir
Satu, dan seorang penembak jitu. Mendapat giliran perekeman pada segmen ke-4.
Sedangkan aku, mendapat giliran terakhir, segmen 5 dan 6.
Selesai. Kami berempat diarahkan duduk
di belakang studio berdasarkan urutan. Musik pengiring mengalun, tepuk tangan para
penenton bergemuruh.
“Kisah tentang perempuan-perempuan yang
memilih profesi yang biasa digeluti oleh para kaum pria,” kata pembawa acara,
“selalu menarik untuk diceritakan. Kali ini, saya hendak bercerita tentang
perempuan-perempuan yang sengaja memilih profesi yang selama ini identik dengan
kaum pria. Bahkan dengan risiko yang cukup tinggi. Siapa mereka? Kita mulai
dari...” nama narasumber pertama disebutkan. Perempuan berambut cepak
meninggalkan kursi tempat duduknya, terdengar penonton tepuk tangan. Kami
bergeser tempat duduk. Kini hanya tinggal tiga orang. Lalu narasumber kedua
dipanggil namanya. Kemudian yang ketiga. Tinggalah aku sendiri di balik ruang
pertunjukan.
Seorang tim teknis mendekatiku,
menyuruhku bersiap-siap. Beberapa lama lagi akan tiba giliranku. Aku berdebar. Musik
mengalun, tepuk tangan terdengar bergemuruh.
“Tamu kita berikutnya, dulu seorang atlet karate. Tapi
sekarang, dia adalah tim penyelamat manusia. Kita sambut, Cut...”
Pundakku ditepuknya, sontak aku berdiri,
kemudian berjalan menuju studio perekaman. Host menyambutku, kami bersalaman,
dan kemudian tangannya memberi isyarat
untuk mempersilahkanku duduk. Di bawah sorotan kamera, lampu-lampu, dan
mata para pemirsa; aku duduk di sofa-panjang berwarna putih—lengkap dengan
bantal merah yang ada dua jumlahnya. Kurasai dadaku deg-degan—berhadapan dengan
sang pembawa acara.
Penonton tepuk tangan.
“Terimakasih. Perkenalkan, nama saya
Cut. Perempuan biasa kelahiran Simeulue,
5 Mei 1980.”
“Yak. Kalau dari seragamnya sudah
tertulis dengan jelas: B-A-S-A-R-N-A-S. Singkatan dari?” Pembawa acara
bertanya.
“Badan SAR Nasional,” aku menjawab.
“Operasi
apa yang pertamakali Anda ikuti?”
“Saya sedikit lupa tahun kejadiannya,
tapi lokasinya saya ingat: di kolam Mata Ie, Desa Lue Ue – Kecamatan Imarah –
Kabupaten Aceh Besar. Bersebelahan dengan komplek Resimen Induk Daerah Militer
(Rindam) Iskandar Muda, yaitu sekolah militer tingkat tamtama. Hari biasa,
kolam Mata Ie digunakan untuk latihan para tentara dan calon tentara. Jika hari
libur, kolam Mata Ie difungsikan sebagai tempat rekreasi. Pada suatu waktu,
ketika musim penghujan, air kolam berubah warna menjadi coklat. Biasanya memang
seperti itu. Seorang pengunjung berenang, tapi hingga sore, jam tutup kolam, seseorang melaporkan bahwa salah satu anggota keluarganya ada yang hilang.
Lalu tim SAR ditugaskan ke sana, saya satu-satunya anggota yang masih berstatus
Potensi SAR. Pencarian dibagi di dua lokasi: titik yang diperkirakan tempat hilangnya
korban, dan tepian kolam. Saya ditugaskan untuk mencari di lokasi yang pertama.
Air yang keruh, sempat membuat saya pesimis. Jarak pandang pasti sangat
terbatas. Tim lain sudah mulai terjun, menyisir setiap tepian kolam. Saya masih
melihat keadaan. Beberapa orang terlihat menangis memandangi kolam, dan memeluk
baju laki-laki ukuran anak-anak. Lalu baju itu dilempar ke tengah kolam,
sembari menyebut-nyebut sebuah nama.”
“Buat apa melemparkan baju korban ke
dalam kolam?”
“Saya kurang tahu apa alasannya. Tapi,
memang ada sebuah kepercayaan sebagian masyarakat: jika ingin “memanggil”
korban yang tenggelam, dengan cara melempar baju korban ke dalam air sembari
menyebutkan namanya.”
“Lalu?”
“Setelah baju dilemparkan, bersamaan
dengan saya terjun ke kolam. Keadaannya seperti yang sudah saya duga
sebelumnya: keruh, dan jarak pandang terbatas. Persoalannya hari mulai gelap,
saya harus buru-buru menemukannya. Tapi sampai setengah jam berlalu, hasilnya
masih nihil. Saya meneruskan pencarian. Hingga satu jam saya berada di dalam
air, tidak ketemu juga. Nasib tim yang lain juga sama. Lalu ada instruksi untuk
melanjutkan pencarian besok pagi, kerna hari sudah mulai gelap. Ketika saya
hendak naik, lutut saya seperti menabrak sesuatu. Saya periksa, ternyata sebuah
tangan. Kemudian saya tarik ke atas dan kemudian meminta bantuan tim lain.
Korban berhasil ditemukan. Itu adalah pengalaman pertama saya melihat mayat.”
“Bagaimana perasaan Anda ketika itu?”
“Tentu saja takut, campur aduk rasanya.”
“Apa yang membuat Anda tetap ingin
menjadi tim SAR, padahal Anda merasa takut melihat mayat korban?”
“Saya melihat mata keluarga korban,
sebelum dan sesudah mayat ditemukan. Dari situ saya jadi tahu, kenapa saya
harus tetap di sini.”
“Baik, pertanyaan berikutnya.”
“Silakan.”
“Katanya Cut pernah mengambil risiko;
setelah menyelam sekian lama, kemudian ada salah satu keluarga dari korban yang
masih ingin jenazah atau mayat keluarganya ditemukan. Lalu Cut menyelam kembali,
dengan risiko terkena dekompresi. Itu peristiwanya di mana?”
“ Di Kota Takengon, Kabupaten Aceh
Tengah. Tepatnya di Danau Laut Tawar, peristiwanya tahun 2012. Memang di Danau
Laut Tawar setiap akhir hingga awal tahun, kerna tempatnya terletak
diketinggian, kerap diterpa angin kencang dan danau menimbulkan ombak yang
cukup besar. Sebuah kapal pariwisata terbalik, yang sedang mengangkut 40
wisatawan: orang tua, dewasa, remaja, dan anak-anak. 4 orang dinyatakan hilang,
sedangkan yang lain selamat. Kebetulan waktu itu saya belum jadi instruktur, sertifikat
saya masih dive master. Sedangkan
anggota yang saya bawa statusnya masih A-1 atau penyelam pemula semua.”
“Bisa diceritakan bagaimana
kronologinya?”
“Jadi, ketika kami datang di lokasi,
semua orang mengerubung. Warga Takengon sudah berkumpul di Danau Laut Tawar. Sepertinya
kedatangan kami memang sangat ditunggu-tunggu. Barusaja saya dan tim mengijakkan
kaki di tanah, sesaat turun dari mobil, seorang perempuan mendatangi saya:
Tolong selamatkan anak saya, katanya. Tak ingin membuang waktu, saya dan 3
anggota lainnya langsung turun ke danau—kira-kira hingga mencapai 45 meter
kedalamannya. Untung saja masih ada matahari, kulit korban yang tenggelam—tersinari
cahaya dan menatulkan kilat-kilatan yang pada akhirnya tertangkap oleh mata
kami. Penyelaman pertama, kami mendapatkan dua korban. Mereka sudah meninggal
dunia. Begitu sampai sampai di permukaan seusai menyelam, masing-masing jenazah
kami gotong 2 orang. Lalu kudengar sekumpulan orang histeris. Dalam situasi
biru seperti itu, dimana tangisan mewarnai hampir seluruh tempat dan ruang,
saya memilih untuk menghindar. Tak tega melihatnya.”
“Kemudian?”
“Setelah penyelaman pertama, kami
istirahat selama satu jam. Seperti biasa, selain waktu untuk mengisi perut,
kami juga berdiskusi: memperkirakan kontur permukaan danau, mempelajari arus
danau, dan memperkiraan jasad korban terseret di mana—dimulai dari titik
tenggelam. Sedang serius-seriusnya membahas misi evakuasi, segerombolan orang menghampiri saya lagi, dan salahsatu diantara
mereka berbicara: Nak, tolong temukan anak saya. Saya tahu dia sudah tiada. Tapi,
setidaknya, jika mayatnya ditemukan, kami bisa menguburkannya dengan layak.
Saya hanya menagguk, menenangkan suasana. Rencana awal, setelah penyelaman
pertama—kami rolling, tapi kerna tim yang saya bawa bukan kategori penyelam
dalam, saya khawatir jenazah tidak dapat ditemukan. Akhirnya saya memutuskan
untuk melakukan misi penyelaman lagi—beserta tim yang lain. Sebab ada
kekhawatiran, jenazah akan hilang. Kerna menjelang sore, arus air akan berubah.
Dan mayat yang ada di dasar danau, dapat dipastikan akan terseret arus danau.
Akhirnya saya mengambil risiko itu: menyelam kembali. Meskipun hari sudah
mengarah ke sore, keadaan air danau sudah tak seterang tadi. Cahaya berkurang. Sesuai
perkiraan ketika istirahat tadi, mayat kemungkinan terseret ke tengah. Sebab
kontur permukaan danau miring, ada kemungkinan terseret agak menjauhi titik
peristiwa tenggelamnya kapal. Menuju ke lokasi pencarian yang kedua, kami
menggunakan perahu. Begitu sampai, saya langsung terjun. Sedangkan yang lain menunggu
di atas perahu. Makin ke tengah, ditambah dengan langit yang berubah warna,
suasana di dalam air tampak gelap. Untung pada akhirnya saya dapat menemukan dua
korban lagi yang lokasinya tidak saling berjauhan. Saya ikat badan mereka
dengan tali, lalu ditarik oleh tim yang ada di atas perahu. Senang sekali rasanya.
Mungkin itu adalah operasi terpuas yang pernah saya jalani.”
Penonton tepuk tangan.
“Nah, kemudian ketika kejadian di Selat
Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah: saat pesawat AirAsia QZ8501jatuh di
sana. Situasinya waktu itu, menurut berita yang saya ingat, kondisi cuacanya sangat
buruk sekali. Ombaknya besar, hingga mencapai 6 meter: gelombang, angin, dan
lain sebagainya—tetapi Anda tetap harus menyelam. Bagaimana peristiwa persisnya?”
“Itu tahun 2010. Dari
Banda Aceh, kami ada empat orang yang berangkat. Mendapatkan tugas ini, saya
merasa sangat senang sekali.”
“Kenapa?”
“Kebetulan saat itu
saya sedang stop operasi, tetapi saya
dan tim Basarnas yang lain—terus memantau perkembangan berita tentang
kecelakaan pesawat di televisi—dimana telah ditemukan titik kordinat jatuhnya
pesawat. Saya menangis: kenapa tidak diikutkan dalam operasi pencarian korban
pesawat.”
“Lho, yang lain malah menghindari
operasi tersebut, tetapi Anda malah sedih kerna tidak diikut-sertakan dalam
kegiatan itu?! Apa penyebabnya?”
“Ingin jawaban
sebenarnya, atau jawaban yang diinginkan?”
“Dua-duanya...”
“Kalau formal, saya
akan menjawab bahwa itu kerna jiwa penyelam yang ada di dalam diri saya. Jika
Anda ingin jawaban yang sebenarnya, saya akan menjawabnya pada akhir acara
nanti.”
“Baik. Lalu bagaimana
Anda akhirnya dapat berangkat ke Selat Karimata?”
“Saya menghadap atasan,
dan meminta izin agar diberangkatkan dalam operasi tersebut. Disetujui. Akhirnya
Aceh mengirim 4 utusannya: 2 orang istruktur, dan 2 orang junior saya. Bersama
rombongan, kami masuk melalui Pontianak, lalu dilanjutkan lagi dengan menyusuri jalan darat selama 16 jam. Setibanya
di Teluk Kumai, saya dan tim naik KN Purworejo menuju area evakuasi—bergabung
dengan tim lainnya yang sudah ada di lokasi: Denjaka, dan Kopaska. Kami reuni
sebentar, kerna tim Denjaka adalah teman saya menyelam. Setelah ramah-tamah,
akhirnya saya turun untuk evakuasi. Tapi tidak bisa. Ombaknya besar sekali. Anginnya
juga kencang. Jadi proses evakuasi selama 2 minggu, saya tidak bisa turun
samasekali. Maka saya ditugaskan untuk jadi koki.”
“Sebentar, dengan ombak
sebesar itu, bagaimana Anda bisa memasak?”
“Saya adalah perempuan
satu-satunya di dalam kapal itu. Mungkin kerna dianggap memiliki sentuhan dan
aura feminis saat memperlakukan bahan-bahan makanan, saya diminta oleh Kapten menjadi juru masak. Di
kapal, selain tim Basarnas, juga ada Polisi, Wartawan, dan lain-lain. Kerna
kondisi kapal sering bergoyang-goyang, saya membawa asisten di dapur: dia yang
pegang panci, sedangkan saya yang ngrajang
bawang dan bumbu-bumbu dapur lain lainnya.”
Penonton tertawa
serentak.
“Oke. Kali ini saya
ingin bertannya agak serius.”
“Silakan.”
“Jadi, dengan risiko
sebesar itu, apa yang membuat Anda memiliki energi yang begitu besar menjadi rescuer Basarnas?”
Deg.
Aku diam, tidak
langsung menjawab. Rasanya, darah naik ke wajah. Aku tidak menyangka pertanyaan itu akan mendarat begitu
cepat. Sejenak, semua tampak berhenti. Hatiku berdebar. Akhirnya kesempatan ini datang juga—
***
Seperti yang yang kubilang tadi, namaku
Cut. Perempuan biasa kelahiran Simeulue,
5 Mei 1980. Simeulue merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat, letak pulaunya
terpisah dengan daratan Aceh—lebih-kurang 105 km Mil laut dari Meulaboh
Kabupaten Aceh Barat atau 85 Mil laut dari Tapak Tuan Kabupaten Aceh Selatan. Tepatnya
di Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur dan sekaligus ibukota kabupaten Simeulue.
Selain dikepung pantai, tempat tinggalku
juga dihiasi bukit-bukit yang berukuran sedang; serta hutan yang terletak di
belakang perkampungan warga.
Kata orang tua, daerah kami dulunya
merupakan penghasil-garam-terbesar dan merupakan tempat para pengrajin kayu
rasak untuk dikirim ke negeri Belanda pada masa kolonial menggunakan jalur laut.
Belanda mulai menginjakkan kaki di bumi
Simeulue pada tahun 1901 pasca jatuhnya Kesultanan Aceh yang kemudian sistim
pemerintahannya diganti dengan Afdeeling Witskust Van Aceh dan membagi
Simeulue menjadi 5 Landschop: Tapah,
Simeulu, Salang, Sigulai, Leukon. Seluruh wilayah Simeulue mendapat sebutan: Onder Afdeeling Simeulue. Dipimpin oleh
seorang Controleur yang berkantor
pusat di Sinabang. Rezim berganti, Jepang datang pasca kemenangannya dalam
perang Asia Timur Raya melawan Belanda—membuat Jepang menguasai daerah jajahan
Belanda di Indonesia. Onder Afdeeling
Simeulue berganti nama menjadi Simeulue
Gun, juga mengganti istilah Landschop
menjadi Son untuk wilayah yang sama.
Sedari dulu Aceh merupakan pintu lintasan
internasional perdagangan-laut yang sangat strategis menghubungkan dunia Barat
dan Timur: di sebelah Utara, berbatasan dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala.
Di sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatra Utara dan Samudera Hindia. Di
sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Dan di sebelah Timur,
berbatasan dengan Selat Malaka dan Sumatra Utara. Kerna letaknya yang
“terisolir”, dikepung lautan, terpisah dari daratan Aceh, tempat kami relatif
lebih kondusif dibandingkan dengan daerah lainnya: dari masa Atjeh-oorlog melawan
kaphe’ dengan pihak Belanda yang
dimulai setelah peristiwa Traktat London pada tahun 1871—hingga
pada masa pergerakan GAM yang diinisiasi oleh Hasan Tiro yang dimulai dari
tahun 1976 hingga tahun 2005 untuk
membebaskan-diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jauh dan terhindar
dari keramaian-keramaian itu, membuat kami mewarisi banyak sekali tradisi tutur
dalam bentuk Inafi, lantunan syair Nanga-Nanga, dan seni-pantun Nandong.
O, ya. Mungkin masih banyak yang merasa
asing dengan tradisi tutur yang aku sebutkan tadi. Ketiganya adalah tradisi
yang ada di Simeulue, bercerita tentang sebuah bencana-alam yang pernah
menerjang Simeulue. Untuk Inafi, biasanya dituturkan saat malam hari. Sebagai
dongeng sebelum tidur. Nanga-Nanga, dilantunkan oleh masyarakat Simeulue ketika
sedang mencari ikan di laut, mengembala kerbau di pinggir pantai, atau ketika
menanam cengkeh di ladang. Bunyinya begini kira-kira:
Engelanmon
sao surito (Dengarkanlah sebuah cerita)
Inang
maso semonan (Pada masa jaman dahulu [kala])
Manoknop
sao fano (Tenggelamlah sebuah tempat)
Uwila
da sesewan (Saya tahu [dari yang] mereka sampaikan)
Unen-ne
besang alek linon (Awalnya datanglah gempa)
Besang
bakat-ne malli ([kemudian] Datang ombak yang kuat)
Manoknop
sao hampong (Tenggelamlah sebuah desa)
Tiba-tibo
maui
(Tiba-tiba [begitu] saja)
Anga
linonne malli ([maka] Jika datang gempa yang begitu
kuat)
Owek
asen suruik sahuli ([dan] Air laut surut sekali)
Mahea
mi hawali (Cepatlah kalian lari)
Bonome
senga ataik (Mencari tempat yang tinggi)
Ede
smong kahanne (Itu smong [tsunami] namanya)
Turiang
da nenek ta (Cerita dari nenek kita)
Miredem
teher ere (Ini harus kalian ingat)
Pesan
nafi-nafi da (Pesan, [dan] cerita mereka)
Aifak
ame melibu (Jangan kalian lupa)
Inafi
da nenek ta (Cerita para nenek kita)
Miredem
bongi falal (Kalian [harus] ingat siang dan malam)
Umpamo
ame meredem limo waktu (Ibarat kalian mengingat lima waktu)
Karano
inafi da nenek ta (Karena cerita para nenek kita)
Manyalamatkan
fanonta (Menyelamatkan tempat kita)
Dilak
ulao Simolol (Di pulau Simeulue)
Linon alek smong
maso sing lalu ([dari] Gempa dan smong pada masa lalu)
Linon
oak-oakmo (Gempa adalah ayunanmu)
Elaik
kedang-kedangmo (Petir adalah kendangmu)
Kilek
suluh-suluhmo (Kilat adalah lampu penerangmu)
Smong
rumek-rumekmo (Smong
adalah air mandimu)
Pokoknya, begitulah kira-kira. Jadi, saking
seringnya dituturkan, hampir seluruh masyarakat di Simeulue—hafal dengan setiap
kalimat yang ada pada tradisi tutur ini. Kami hampir memiliki kesadaran yang
sama, dan ingatan yang terkolektif tentang sebuah bencana air yang pernah
menghantam daerah kami. Disampaikan dan didendangkan di manapun tempat, agar terwariskan
kepada generasi berikutnya. Sebab dipercaya, bencana alam itu akan datang lagi.
Hingga hari ini, Inafi dan Nanga-Nanga
diyakini sebagai mantra oleh sebagian masyarakat. Jika dijadikan dongen ketika
malam hari, membuat anak-anak akan segera tertidur pulas. Jika didendangkan
saat mencari ikan, dipercaya akan membawa keberuntungan. Dan jika dilafalkan
ketika menanam cengkeh, tumbuhan akan menjadi subur dan melimpah-ruah. Tidak
hanya itu. Nasihat-nasihat tentang sebuah bencana-alam juga dijadikan seni
pertunjukan yang dapat dinikmati secara masal: acara khitanan, pesta
perkawinan, dan pesta rakyat lainnya—yang dirayakan dalam waktu semalam
suntuk—bertaburan pantun-pantun yang dilengkingkan dengan nada lirih seolah
meratap kepada Tuhan. Tapi ada di bagian-bagian tertentu, pantun nandong
terdengar garang seperti hendak pergi berperang. Diawali oleh seorang pemukul seuramo, yaitu alat musik yang lebih
mirip bedug (masjid?) yang dipukul dengan tangan kanan menggunakan kayu,
sedangkan tangan kiri tanpa kayu. Diiringi dengan dua orang penari, tabuhan kendang,
dan gesekan-gesekan dawai biola—permainan nandong pun dimulai:
Ibo
hati memandang darek (Sedih hati melihat daratan)
Ado
sampan pandayung tidak (Ada sampan tidak ada
pendayungnya)
Taragak
hati nandak pulang (Niat hati ingin pulang)
Ado
gampong tidak bapanghuni (Ada desa tidak berpenghuni)
Dalam satu acara nandong, pantun yang
dilantunkan bisa mencapai ratusan jumlahnya. Semakin malam, lengkingan nandong
terdengar semakin kencang saja. Seperti hari itu. Sehabis memasukkan
kerbau-kerbau ke dalam kandang, setelah seharian mereka kukembala, aku buru-buru
membersihkan diri dari bau matahari. Kebetulan di desaku, Gampong Abail, ada salah
seorang warga sedang menyelenggarakan hajat pesta perkawinan untuk anaknya. Seuramo pun ditabuh kembali setelah
selesai adzan maghrib. Kami semua berkumpul, menonton penari
melenggak-lenggokkan badannya. Salah seorang mengenakan kain selendang di
lehernya, dan seorang lagi membawa payung sambil terus diputar-putar. Mereka
berdua terus menari-nari, mengikuti irama sang pelantun pantun dan ingiran permainan
musik.
Tiba-tiba saja kilatan cahaya meloncat, mengenai
wajah dan juga mataku. Sejenak aku menghindar, melindungi mataku. Setelah
cahaya itu berhenti, kucari sumbernya,
dan—ketemu. Ternyata di sebelah kiri, hanya berjarak beberapa depa dari
tempatku berdiri, seorang pria sedang membidikkan lensa kameranya ke arah
panggung: tempat orkestra nandong sedang berlangsung. Tentu saja kilat-cahaya
itu mengganggu, kaget aku dibuatnya. Ketika hendak kubalikkan wajahku ke arah
semula, tempat diselenggarakannya pertunjukan nandong, leherku serasa kaku. Tak
ayal mataku terus menikmati wajah pemuda asing itu, juga rambutnya, dan seluruh
gerak-geriknya. Ia memang tampan: kulit putih, rambut hitam tebal, alis yang
terang, matanya elang, dan dada yang bidang. Sepertinya pemuda itu bukan
berasal dari desa sini. Masih sibuk menelusur, kilatan cahaya itu menabrak
wajahku lagi. Tapi entah apa sebabnya, aku lebih suka menikmati sajian alam
semesta ini ketimbang dua lelaki sepuh yang sedang menari-nari.
Belum cukup benar aku memanjakan
pandanganku, mungkin juga pria yang kumaksud—merasakan getaran-getaran pada
kedua bola mataku; pemuda itu menghentikan kegiatannya: menurunkan kamera
hingga sebatas paha, ia tenteng dengan tangan kanannya. Kini wajahnya menuju
kepadaku. Aku tersipu, gugup, sekaligus kaget—, harus ke mana memalingkan wajah
yang tengah terpergok menekuni dirinya. Ia tersenyum, mendekat kepadaku:
“Seni apa ini namanya?”
Aku terdiam, tak menjawab. Malu.
“O, iya. Perkenalkan,” pria itu
mengulurkan tangannya, “saya Heri.”
Aku menyambutnya dengan menelangkupkan kedua
tangan, tak membalas jabatan tangannya. “Saya Cut,” kataku.
“Oh, oke.” Dia mengelap-elapkan telapak
tangan pada celana. Ekspresi yang alamiah. “Cut asli sini?” Lanjutnya.
“Iya. Kamu?”
“Saya dari Jawa, kuliah di Banda Aceh,
tinggal di rumah saudara. Kebetulan sedang libur, makanya bisa main ke sini.”
Sebelum dingin kata-kata, segera
kulontarkan pertanyaan kepadanya agar suasana kembali hangat. Ia pun segera menjawab,
lalu melontarkan pertanyaan lagi. Dan aku menjawabnya segera. Terus begitu.
Obrolan kami berlanjut, tak berhenti. Sambil berdiri, sepertinya kami sangat
menikmati pertemuan ini. Tanpa komando, kami melakukan impovisasi: berjalan
pelan-pelan, sambil terus bercakap-cakap. Kami berjalan, entah sedang mencari
apa, dan hendak menuju ke mana. Tapi ketika terlihat sebuah kursi kayu, kami langsung
duduk. Dan obrolan pun tetap berlanjut—masih saling memperhatikan secara
satu-sama lain: jika aku yang sedang bicara, dia menatapku tajam. Sebaliknya.
Jika saat gilirannya yang sedang bicara, aku mendengarkannya dengan saksama
dengan pandangan kaca.
Pantun bernada pilu itu pun terus
diteriakkan. Hari semakin malam. Angin berembus pelan, lalu sedang. Tak begitu
lama, angin mulai terasa kencang. Hingga dapat kudengarkan gemerisik dedaunan dan
nyiur yang terempas-empas angin yang tampak di puncak geram. Aku mulai panik.
Dan benar saja, memang kurasakan bumi sedang bergerak-gerak.
Gempa!
Ada gempa!
Tetapi Heri terus berbicara, tak sampai
hati aku memalingkan muka. Bentuk
wajahnya, garis pada bibirnya, bulu-bulu di matanya; sangat sayang untuk
ditukarkan dengan kepanikan—atau apalah itu namanya. Biar saja, lari bisa kapan
saja. Pas kiamat juga bisa. Maka aku menahan diri, hanya saja mataku terus
melirik ke kanan dan ke kiri. Waspada. Sekilas kulihat para pemain nandong
seperti tak menggubris guncangan-guncangan yang terasa mulai kencang, juga para
hadirin lainnya—mereka malah asik ngobrol satu-dengan lainnya. Acara terus
berlanjut, sedangkan keadaan masih
tenang-tenang saja. Tapi angin terus bertiup dengan sekeras-kerasnya. Dan bumi
pun bergerak-gerak lebih kencang dari yang sebelumnya. Tanganku bergetar, kaki,
dan seluruh badanku gemetar. Aku makin panik, dan makin bertambah panik ketika
kudengar suara air laut seperti sedang menjauh. Lalu hening, dan kemudian sepi
sekali.
Mungkin hanya setarikan napas dari
suasana sepi tadi, kini kudengar suara “oooooooooonnnnnnngggggg...”—bergemuruh,
bergederam dari arah pantai. Lalu kulihat ombak yang menjulang setinggi pohon
kelapa, ia menganga bagaikan rahang yang hendak menelan. Aku menjerit, hendak
memberitahukan kepada semua orang:
Smong!
Smong!
Ayo lari!
Ada smong!
Tapi terlamabat, aku sudah tidak bisa
berlari. Sebab smong itu telah
memporak-porandakan hatiku. Ya, hanya di hatiku.
***
“Cut, besok mau menemaniku
jalan-jalan?”
“Ke mana?”
“Belum tahu. Makanya aku mengajakmu,
aku tidak kenal dengan daerah ini.”
Aku menganggukkan kepala, setuju
dengan ajakannya. Kebetulan besok hari minggu, artinya sekolahku libur. Sebelum
pulang undur-diri, kami saling bertukar nomor telepon untuk menentukan lokasi
pertemuan esok hari.
Heri pamit. Sedangkan aku masih
duduk di sini, di tempat yang sama ketika kami masih duduk berdua. Sedangkan
warga semakin berkumpul, banyak yang datang untuk menyaksikan kesenian nandong.
Malam semakin larut, mataku terasa sangat lelah sekali. Ingin pulang, tapi enggan
meninggalkan tempat duduk ini. Ada bekas dirinya di kursi kayu, yang sangat
berat untuk kutinggalkan. Atau sebaiknya aku bawa pulang saja bangku panjang
ini? Jangan! Ini punya orang.
Maka aku melangkahkan kakiku dengan
malas menuju rumah. Tidak jauh, kira-kira hanya 5 menit jarak tempuhnya. Sambil
terus melangkah, sedikit-sedikit aku periksa telepon genggamku. Siapa tahu Heri
ingin menyapaku, tak baik jika tidak segera dibalas. Sekadar SMS: “test”—pun
boleh, pasti akan kubalas.
Aku sampai di depan pintu. Ibu sudah
menungguku di teras rumah:
“Lama sekali kau, Cut?! Ini sudah
malam.”
“Maaf, bu.”
“Cepatlah masuk!”
Aku masuk, membersihkan diri,
mematikan lampu kamar, lalu merebahkan badan di kasurku. Tapi kamar terasa
terang, separuh ngantukku hilang. Kuperiksa gawaiku lagi, tapi masih saja sepi.
Tak ada pesan dari Heri. Aku membantingnya di atas kasur, kususul dengan
badanku. Persaan ini terus menguntitku hingga tak terasa ia mengantarku ke dalam
tidur yang nyenyak. Tidur yang dalam.
Satu jam... dua jam... empat jam...
enam jam... delapan jam...
Ibu membangunkanku untuk salat
subuh. Sudah menjadi kebiasaan di rumah kami, melaksanakan setiap ibadah
bersama-sama. Di rumah, kami hanya berdua. Sedangkan ayahku sudah meninggal
setahun yang lalu. Sebenarnya aku masih punya kakak laki-laki yang usianya
terpaut 5 tahun lebih tua dariku, tapi dia masih kuliah di Banda Aceh. Untuk
menghidupi anak-anaknya, ibu berdagang di pasar. Jika pendapatan ibu kurang,
almarhum ayah mewarisi kami sebidang tanah dan beberapa ekor kerbau; itu bisa
kami manfaatkan sewaktu-waktu.
Selepas subuh, ibu melarang kami
tidur. Meskipun itu hari libur. Hingga matahari sudah naik sepenggala. Heri mengirim
pesan, bahwa ia menungguku di tempat semalam. Aku bergegas menyusulnya. Hari
itu kami berkunjung ke Pantai Ganting. Meskipun waktu serasa berhenti, tapi
sore tetaplah sore. Ia pasti datang. Dan kami pun pulang. Heri mengantarku ke
tempat semula. Selepas pertemuan itu, kami jadi sering tukar kabar via pesan
singkat. Tak jarang kami juga saling berbagi cerita melalui saluran telepon.
***
Aku berlari kegirangan menuju Sungai
Gampong Abail yang terletak tak begitu jauh dari halaman-belakang rumahku. Aku
melompat, menceburkan diri. Siapa yang dapat menahan keriangan ini: sepucuk
surat datang, mengabarkan bahwa aku lulus tes—masuk salahsatu universitas di Banda Aceh. Kampus yang
selama ini kuimpi-impikan. Aku masuk jurusan Teknik Fisika. Di Simeulue belum
ada perguruan tinggi, oleh kerna itu aku harus menyeberangi laut untuk
melanjutkan pendidikanku. Di saat yang hampir bersamaan, kakakku telah
menyelesaikan kuliahnya. Ia hendak balik ke rumah, mencari pekerjaan di
Simuelue sekaligus menjaga ibu di rumah.
Sebenarnya berita kelulusanku hanyalah
alasan nomor dua atas suka-cita ini. Yang utama adalah, aku bisa bertemu dengan
Heri. Sebab kami kuliah di tempat yang sama. Aku terus mengayuhkan kedua tangan
kanan dan kiriku, menggerakkan kedua kaki di dalam air—terus dan terus. Aku
berenang, menyelam sepanjang hamparan sungai. Hidup di kampung pesisir, pewaris
kebudayaan air; berenang dan menyelam adalah kegemaran kami. Semenjak kecil aku
sudah akrab dengan air di sungai, danau, dan laut. Kerna gembiranya, waktu
berjalan terlalu cepat. Tahu-tahu sudah sore, dan aku masih bersorak-sorai di
dalam air. Lalu senja menggantikan waktu, kemudian jam pun berlalu begitu saja.
Hari silih-berganti, dan tepat tiga minggu kemudian akhirnya aku harus
meninggalkan kampung halaman. Dengan kapal feri, melalui Pelabuhan Laut
Simeulue menuju Labuhan Haji, aku meninggalkan orangtuaku dan kerbau-kerbauku.
Perjalanan laut memakan waktu sekitar 10 jam, itu adalah waktu yang cukup lama
untuk berada di sebuah kapal yang selalu bergoyang-goyang. Sampai. Lalu aku masih harus melanjutkan
perjalananku lagi, melewati jalan raya lintas Sumatra selama 7 jam menuju
terminal Batoh. Selama perjalanan, kuisi waktuku dengan tidur untuk menyimpan tenaga.
Kerna ini adalah pengalaman pertamaku jauh dari rumah, aku harus menjaga
stamina.
Bus pun berhenti di sebuah terminal.
Tampak dari jendela kaca, warung-warung kopi berjajar dengan rapinya. Rupanya Heri
duduk di salah satu warung itu. Matanya seperti sedang meraba-raba setiap kaca
jendela bus. Tepat pada kaca jendela tempat dudukku, ketika mata kami saling
memandang; Heri melambaikan tangannya. Aku pun juga.
“Selamat datang di Banda Aceh, Cut.”
“Berapa lama perjalanan ke kota, Her?”
“Mungkin sekitar 20 menit.”
Kemudian
aku menyerahkan secarik kertas kepadanya, “tolong antarkan aku ke alamat
itu. Selama kuliah, aku akan tinggal di sana”.
***
Dan hari besar itu pun dimulai. Hari
pertama kuliah, bertemu dengan orang-orang baru, juga suasana baru adalah
peristiwa luar biasa di dalam hidupku. Di kampus, aku tergolong mahasiswi yang
aktif mengikuti banyak sekali kegiatan—terutama yang berkaitan dengan
ketangkasan fisik: karate dan kegiatan pencinta alam. Heri tidak masalah, dia
malah mendukung, apapun yang menurutku baik. Memang cinta seharusnya tak
mengekang, ia membebaskan. Memanusiakan manusia, yaitu jalan untuk mengenali
diri, menjadikan seseorang menemukan dirinya sendiri.
Selain kecintaanku dengan dua
kegiatan itu, ditambah dukungan dari Heri, kegiatan olahraga yang kuikuti
mengantarku pada sebuah prestasi hingga didaulat menjadi altlet untuk mewakili
kampus. Terus beranjak, aku menjadi atlet PON hingga mengikuti kejuaraan tingkat
daerah. Ada sebuah cerita yang menurutku unik ketika sedang gencar-gencarnya
berlatih untuk mengikuti lomba. Kami latihan sangat ketat. Salah satu teman,
yaitu atlet selam, mengalami cidera patah kaki sewaktu menjalani serangkaian
latihan. Tapi entah, pelatih memilihku untuk menggantikan teman yang cidera
tadi. Aku dilatih selama seminggu, dan berhasil menggondol juara satu untuk
cabang olahraga selam. Setelah kejuaraan itu, aku lebih dikenal sebagai atlet
selam. Sering diundang oleh Basarnas untuk menjadi instruktur. Itulah awal
perkenalanku dengan Tim SAR. Mereka sering mengajakku dalam banyak sekali
operasi.
Untung Heri tidak masalah, meski waktuku
sedikit untuknya. Maka tidak heran, selama hidup di Banda Aceh beberapa tahun
di masa pendidikanku, membuat hubunganku dengan Heri semakin serius saja. Aku
sudah pernah diperkenalkan kepada saudaranya yang seorang guru, suaminya
tentara. Beberapa bulan yang lalu, aku dipertemukan dengan kedua orang tuanya
yang kebetulan singgah di Banda Aceh. Kedua orangtua Heri juga berprofesi
sebagai guru. Dan Heri pun mengikuti
jejak keluarganya. Ketika kuliahnya selesai, Heri mengikuti tes guru. Diterima.
Hari pertama pada awal tahun depan, ia sudah mulai aktif mengajar: Heri diterima
menjadi guru di salahsatu SMA di kota Banda Aceh. Aku sangat senang sekali.
Tapi bukan hanya itu kabar
gembiranya. Pada hari Kamis, 24 Desember 2004. Kuliahku libur hingga awal
tahun. Bersamaan dengan itu, Heri telah melewati masa tegangnya, yakni masa sibuk
mengikuti serangkaian tes. Tidak kuduga,
Heri meneleponku:
“Nanti malam ada acara?” Tanyanya.
“Tidak. Kenapa?”
“Betul, tidak ada kegiatan?”
“Sementara belum ada. Kenapa?”
“Ada makanan enak di pusat kota, Rex
Peunayong. Mau kutraktir makan di sana?”
Dan aku pun setuju, mengiyakan
ajakannya. Hari itu terasa sangat cepat. Sesaat setelah waktu sore berlalu, dan
sinar langit digantikan cahaya lampu-lampu, aku menunggunya di teras. Tak
begitu lama, Heri datang. Kami berdua berangkat ke Rex Peunayong atas nama
cinta.
Di sepanjang perjalanan, ada rasa
penasaran yang teramat-sangat—terngiang-ngiang di kepalaku. Tidak biasa-biasanya
Heri mengajakku makan malam. Selain kami berdua sama-sama sibuk.
Kira-kira 15 menit perjalanan, kami
sampai. Setelah mendapat tempat duduk, pelayan datang, memberikan lembar menu.
Pelayan itu berdiri, siap-siap mencatat pesanan kami. Heri mengambil lembar
menu yaag diletakkan pelayan di atas meja: “Sate Matang, Ayam Tangkap, Nasi
Guri, Kuah Pilek U, Kuah Sie Itek, Ungkot Keumamah, atau Kuah Masam Keu-ueng;
kamu pilih yang mana?”
“Terserah saja.”
Lalu Heri berbicara kepada pelayan, makanan
apa-apa saja yang dipesan. Pelayan mencatat—kemudian pergi meninggalkan meja
kami.
“Tahun depan aku sudah mulai
mengajar. Maka sesuai janjiku, aku ingin ke Simuelue.” Heri mengawali
pembicaraan.
“Liburan?”
“Bukan.”
“Lalu?”
“Aku ingin menghadap orang tuamu.
Melamarmu.”
Wah. Tentu aku tak mengira Heri akan
mengatakan itu, meski harapan itu diam-diam—ada. Kalimat itu seperti
menghadirkan udara sejuk di dalam dadaku. Sedangkan di luar, lalu-lalung suara
mesin-mesin kendaraan seperti hilang. Heri mengucapkan kalimat itu di saat langit
mengucurkan gerimis kecil-kecil. Tapi entah kenapa, kata-katanya mampu menyulap
langit bertaburan bintang-bintang. Meskipun suasana itu hanya terjadi di dalam
diriku. Ya, perempuan memang suka dengan gagasan-gagasan cinta yang agung dan juga
keindahan-keindahan. Tapi, di dalam hati yang paling dalam, perempuan lebih
suka dengan kepastian. Sebab itu yang paling penting. Menikah adalah tujuan
akhir, dan obsesi terakhir bagi seorang perempuan.
“Cut, maukah kau menjadi istriku?” Lanjutnya,
dengan wajah yang tegang.
“Mmm... gimana, ya? Harus dijawab
sekarang?” Aku menggoda.
“Ya, iya...” Kulihat ia berkeringat.
“Mmm... Gimana ya? Saya sih—yes!”
Yang tadinya kaku, kini kulihat
wajahnya mengendur dan menyiratkan warnah darah yang menyebar rata. Ia tampak
gembira. Aku juga.
Bisa menikah dengan orang yang kita
cintai, tidak banyak yang berkesempatan mengalaminya. Sebagian besar dari
mereka yang kurang beruntung, menikah dengan orang yang berbeda setelah
peristiwa patah hatinya yang gelap, sejatinya hanya sekadar menjalani hidup.
Mereka bersabar selama umur hidupnya, agar bisa berdamai dengan apa yang telah
digariskan kepadanya. Tapi aku berbeda. Aku adalah perempuan beruntung yang
lahir di Simeulue pada 5 Mei 1980. Aku adalah perempuan yang paling beruntug di
dunia ini, sebab dapat mengalami cinta.
Di tengah rasa bahagia yang yang
barusaja kunikmati, pesanan kami datang, Heri menyantap makanannya dengan
lahap. Aku masih melamun, merasakan getar pada kata-kata itu. Kerna kurasa,
disitulah puncaknya. Pucuk dari segala perjalanan cinta.
“Cut...”
“Eh, ya?”
“Kok melamun?”
“Tidak, siapa yang melamun?” Aku
tersipu sebab ketahuan sedang tidak berada di tempat, di dalam diriku.
“Begini. Besok, kamu pulang
memberitahukan orangtuamu. Sampaikan kepada beliau, hari senin aku akan datang.
Minggu malam aku berangkat dari Banda Aceh.”
“Besok? Bener, kamu mau ke rumah?”
“Iya! Setelah itu, baru aku akan
mengajak orangtuaku menghadap orangtuamu.”
Dan keesokan harinya aku diantar
Heri ke terminal, sebab pesan yang kubawa ini tidak cukup sederhana untuk adat Simeulue yang
menganut sistem patrinial: kerna aku adalah seorang yatim, maka wali atas
diriku jatuh kepada Amarehet atau
saudara kandung dari Ayah. Kerna saking rumitnya persoalan ini, dan tak mungkin
meninggalkan adat, maka hari itu kuputuskan berangkat menemui ibuku. Setelah
beberapa jam perjalanan, ketika sampai di depan rumah, meskipun seluruh badanku
terasa lelah, aku tidak ingin menundanya. Sesaat setelah beberapakali
mengetuk pintu, kebetulan ibu yang membukanya. Aku mengucapkan salam, mencium
tangannya.
“Istirahatlah dulu, biar segar
badanmu Cut.”
“Mak,
lon neuk pegah haba.”
“Mau ngomong apa kau, Cut? “
“Heri...”
“Kenapa Heri?”
“Katanya dia mau ke sini, ingin
bertemu dengan ibu!”
“Berapa umurmu sekarang, Nak?”
“Tahun depan 25 tahun, bu.”
Sekilas mata ibu tampak
menerawang ke langit-langit, jemarinya naik-turun seperti sedang menghitung
sesuatu. “Ya sudah. Kira-kira aku sudah tahu kenapa dia kemari. Biar nanti aku
musyawarah dengan saudara-saudara ayahmu. Memang sudah saatnya, kau sudah cukup
umur. Kau mau istirahat sekarang, Cut?”
Aku menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, bawa kerbau-kerbau
kita ke pantai! Aku mau pergi ke rumah pamanmu.”
“Kakak mana, bu?”
“Ada di kamarnya, sedang siap-siap.
Hari ini dia ada panggilan kerja.”
Segera kuletakkan barang bawaanku di dalam kamar.
Ganti baju, lalu mengeluarkan kerbau-kerbau dalam kandangnya menuju pantai.
Tali-tali mereka kuikatkan di pohon kelapa. Sedangkan aku duduk di bawah nyiur,
di pinggir pantai memandangi hutan mangrove yang berjajar-memanjang—tampak
seperti tembok di sebalik kampung-kampung sekitar. Hatiku gelisah menanti
kedatangan Heri. Kulihat kerbau-kerbau itu juga gelisah. Entah oleh sebab apa.
Mungkin mereka juga ikut merasakan apa yang ada di dalam hatiku?
Sepulang dari pantai, kira-kira hari
telah sore. Ibu tampaknya sudah datang ketika langit benar-benar petang. Tak
kusangka, beberapa anggota keluarga dari ayah juga terlihat sedang duduk di
ruang tamu. Aku tersipu, kaku.
“Eh, siapa ini yang mau kedatangan
tamu?” kata paman, menggoda.
“Saya, paman.”
“Eh... eh... eh... tak terasa ya,
sudah besar kau rupanya, nak?!”
“Minta do’anya, paman.”
“Ya, do’aku sampai ke tulang sum-sum,
nak.”
“Terima kasih, paman.”
“Tak sabar rasanya menanti esok
hari. Aku ingin tahu, seperti apa lelaki yang berhasil mencuri keponakanku ini,
heh?”
Dan hari itu akhirnya akan datang
menghampiri rumahku. Minggu, setelah salat subuh kami sekeluarga bersiap-siap
menyeambut kedatangan Heri yang akan datang besok pagi. Kulihat ibu sedang
sibuk di dapur, mempersiapkan sajian, dan mungkin adalah sajian terbaik yang
pernah ia buat seumur hidupnya. Sedangkan yang lain, membantu merapikan
perabotan. Tampak amarehet yang telah
ditunjuk untuk menggantikan ayah, yaitu pamanku beserta keluarganya, yang menginap
di rumahku (sebab tempat tinggalnya sangat jauh untuk usianya yang menginjak
sepuh), juga ikut sibuk membantu. Hari itu paman membawa setelan pakaian rapi
yang tengah digantung di gagang lemari setelah di setrika. Belum pernah aku
melihat paman memakainya; setelah sepeninggal ayah, mungkin beliau sengaja mempersiapkan
baju itu untuk peristiwa besar ini. Hatiku bahagia tak terlukiskan, matahari
bersinar begitu indahnya. Dan handphone-ku berbunyi:
“Cut.”
“Jam berapa kamu berangkat, Her?”
“Mungkin beberapa jam la....”
Tiba-tiba komunikasi kami terputus. Kurasakan
guncangan yang sangat dahsyat sekali mengoyak-ngoyak seisi rumahku. Dan
bersamaan dengan itu, teriakan ibu terdengar dari dapur:
“Cut...! Cut...! cepat keluar, ada
gempa!!!”
Aku berlari menghampiri ibu, menarik
tangannya, mengajaknya menjauhi rumah. Saudara yang terlanjur datang di rumah,
juga panik dan tunggang-langgang. Kami berlari ke arah pantai. Semua orang sudah
berkumpul di sana, menghindari apa-apa saja yang berpotensi runtuh dan menimpa
kami yang ada di bawah. Semua tampak kacau. Tak hanya manusia, seluruh binatang
ternak juga ikut berhamburan. Sebagian warga juga membawa barang-barang berharga dari rumahnya. Aceh
sudah menjadi langganan gempa, kami terbiasa dengan itu. Tapi kali ini berbeda.
Guncangannya sangat keras sekali. Awan hitam, dan angin yang mengempas benda
apasaja untuk diterbangkan kemudian dibanting di atas tanah.
Prak!
Ada tangis sesenggukan yang bercampur dengan
ngeri yang teramat perih, ada yang menjerit-jerit menggugat apasaja, ada teriakan
menyebut nama Tuhan memohon ampunan, dan
ada yang memanggil-manggil nama-nama anggota keluarga yang terpencar entah di
mana. Tegang, takut, sekaligus mencekam. Tak pernah kutemui peristiwa sepilu
ini. Sedangkan aku hanya bisa memeluk ibu, dan juga kakakku. Paman dan beberapa
saudara yang lain berada tidak jauh dari posisiku. Bumi terus meloncat-loncat,
seperti hendak mengaduk-aduk isi perut kami. Memutar-mutar pandangan kami, dan
membanting-banting perasaan kami.
Mungkin ada hitungan menit, suasana
mencekam itu akhirnya berhenti. Kami saling pandang, berpelukan dengan haru
yang teramat-sangat. Sebentar ada perasaan lega. Kulihat semua anggota keluargaku
lengkap, tapi tak ada seorang pun yang hendak balik ke rumah. Semua warga masih
berkumpul, khawatir ada gempa susulan. Sekitar 30 menit berselang salah seorang
berteriak: “coba kalian lihat lautnya!”. Dan kami menengok ke arah yang sama:
laut. Hampir tidak percaya, bahwa air seakan ditarik ke belekang menjauhi
pantai. Ikan tampak menggelepar-gelepar. Laut surut. Peristiwa ini sontak menciptakan
keheningan yang melampaui batas. Setelah itu, sepi yang hanya sebentar itu
berubah menjadi kepanikan yang meriuhkan seluruh warga. Setiap orang berteriak:
“Cepat lari ke bukit! Air laut
surut. Smong datang, smong!”
Smong!
Smong!
Smong!
Setiap orang meneriakkan kata
“smong”, saling bersahutan. Keadaan berubah menjadi kacau lagi, ribut dengan
kepanikan masing-masing. Semua berlari menuju ke arah hutan, yaitu satu-satunya
jalan untuk menuju ke bukit. Kali ini, situasi lebih menegangkan. Hutan yang
hanya memiliki jalan setapak untuk seorang, menjadi jalur rebutan. Untung saja bekerjasama
dan saling membantu sudah menjadi kebiasaan warga desa, jadi tak sampai saling
meninggalkan orang lain agar dirinya bisa sampai di bukit duluan.
Setiap laki-laki membantu perempuan,
terutama yang sudah berumur. Juga anak-anak. Setelah semua masuk ke hutan, baru
giliran para lelaki menyusul di belakangnya. Mungkin sekitar 30 menit kami
berjalan menerobos hutan dan mendaki bukit, akhirnya kami semua bisa sampai di
atas. Dari kentinggian, aku menyaksikan air laut berubah berwarna menjadi hitam
pekat—menghancurkan apa-apa saja yang ada di bawah sana. Smong menghantam
daratan sepanjang hari.
Hari berikutnya, air tampak mulai
surut. Tapi gempa masih terus terjadi. Kami sepakat untuk tidak turun terlebih
dahulu. Di atas bukit, kami makan seadanya: buah, sayur, dan apasaja yang bisa
dimakan. Gempa masih terus terjadi selama tiga hari lamanya. Di antara segenap
rasa takut yang menggumpal, kami semua hanya berselimut baju di badan.
Sedangkan perkembangan berita, kami mengetahuinya dari siaran radio. Untung beberapa
warga ada yang sempat membawanya. Dan tepat pada hari keempat, warna langit
terlihat lunak. Air sudah surut, dan sudah tak terasa adanya gempa. Maka kami
memutuskan turun dari bukit menuju rumah masing-masing. Ada beberapa bangunan
yang hancur, tapi banyak juga yang masih tegak berdiri. Hutan mangroove
melindungi desa dari hantaman air. Ketika kami sampai di desa, puluhan orang dari
Basarnas datang membantu—membawa banyak sekali keperluan: makanan, obat, dan
pakaian. Beberapa dari mereka, aku mengenalnya. Tak hanya membawa bekal logistik
dan obat-obatan, mereka juga membantu desa kami untuk berbenah: membersihkan
kotoran, lumpur, dan air yang masih tampak menggenang.
Tepat pada hari ke tujuh, setelah kurasa
keadaan desa aman, aku pamit kepada ibu untuk pergi ke Banda Aceh bersama tim
bala bantuan. Diizinkan. Sesampainya di sana, Banda Aceh telah hilang.
Tenggelam. Kota hancur, banyak korban jiwa. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung
dengan SAR—menjadi guide-Basarnas
selama 3 bulan. Selama itu aku membantu mengangkuti jenazah, dan mengamankan
beberapa diantara mereka yang selamat. Setiap ada jasad yang tertutupi lumpur,
kubersihkan wajahnya. Aku mencari seseorang yang mungkin saja kukenal. Tapi tak
seorangpun dari wajah-wajah itu kukenali. Tak puas, maka kuputuskan mendaftar
menjadi anggota Basarnas. Dan hingga hari ini, aku aktif di dalam tim ini.
“Sebentar. Dalam bencana tsunami, di mana
kekasih Anda?”
Aku menggelengkan kepala.
“Berarti, kekasih Anda hilang terkena
tsunami?” pembawa acara memastikan.
“Ya...” mataku berkaca-kaca, suaraku
serak dan gemetar.
Melihat mataku mulai bergetar-getar,
semua orang di dalam studio diam. Hawa menjadi dingin sekali, dan suasana
menjelma hening. Tak ada sepatah-kata pun terdengar, tak ada.
“Itu adalah cerita tragedi, saya
turut berduka-cita.”
“Terimakasih,” aku menyeka
airmataku.
“Tapi, mau sampai kapan Anda ingin
menjadi anggota Basarnas?”
“Sampai dia ketemu! Sebab dia
berjanji, akan menikahi saya.”