Jumat, 26 Agustus 2016

TEKNOLOGI YANG MUBAZIR!




Bagaimana reaksi Anda ketika menerima sebuah pesan-singkat yang berbunyi, masa aktif kuota internet Anda akan segera berakhir? Tentu saja, untuk kita yang sudah terlanjur “menggantungkan diri” pada era digital hari ini, tidak akan rela melewatkan-waktu barang sedetik pun tanpa terkoneksi dengan jejaring internet. Kemajuan teknologi dan internet menawarkan kepada para penggunanya, bahwa dunia akan ada di genggaman. Siapa yang tidak mau? Informasi mengenai apa saja, yang terjadi di belahan dunia mana saja—dalam hitungan detik—dapat ditenggak oleh siapapun tanpa syarat. Selama tiga puluh dua tahun Indonesia dikuasai oleh rezim Orde Baru, dan selama itu pula masyarakat di-drive alam bawah sadarnya untuk menerima informasi-informasi yang hanya dikehendaki oleh penguasa waktu itu. Runtuhnya otoritarianisme Soeharto pada tahun 1998, menghadirkan fenomena baru di tengah masyarakat dimana semua orang dengan berbagai status sosial dan tingkat pendidikan—gemar mendiskusikan isu-isu politik. Saat itu, semua pihak merasa dirinya adalah pakar yang paling mengetahui keadaan negara Indonesia. Dan sebagaimana kita ketahui, pada awal masa reformasi, tema politik masih merupakan tema klas tertentu dalam kasta ekonomi. Inilah titik-awal kenapa masyarakat secara psikologis tidak lagi ingin ketinggalan tentang berita terbaru. Bersamaan dengan itu, munculnya bibit-bibit narsistik-eksploitatif dalam diri masing-masing.

Supply and demand, teknologi menjawab permintaan masyarakat. Laiknya konversi minyak-tanah ke tabung-gas, tak ada yang dapat mencegah perubahan.

Munculnya produk manufaktur berupa smartphone untuk pertamakali, langsung disambut oleh konsumerisme masyarakat. Puncaknya, Indonesia mendapat predikat Blackberry Nation dari negara lain. Bagaimana tidak? Para pengguna perkakas ini sangat responsif ketika mendengar bunyi ‘PING!’, keranjingan; itu kenapa gadget selalu diletakkan di dekatnya: ketika makan, tidur, hingga ke toilet pun mereka masih menggenggamnya. Pada titik ini, manusia sebagi konsumen dan teknologi sebagai produsen, membentuk hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Dalam sisi akad dagang, persoalan ini clear. Tidak ada masalah.

Pada awal kemunculannya, smartphone  memang (sempat) membuat masyarakat seperti mengalami sebuah ekstase, yaitu semacam temenggengen, perasaan antara percaya dan tidak percaya—bahwa pada akhirnya di jaman modern seperti ini ada benda yang bisa mengalahkan kesaktian keris buatan Empu Gandring: murah, mudah, cepat; tinggal klik sana dan klik sini segala informasi langsung tersedia. Sakti bukan? Betapa beruntungnya generasi hari ini, difasilitasi oleh teknologi yang begitu canggih sehingga dapat memudahkan yang susah, mendekatkan yang jauh, dan connecting people cukup dengan dua jempol saja.

Saya masih ingat pada medio ’90-an, ketika demam ‘band’ merasuki hampir di setiap pergaulan remaja. Sebagai anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang pada masa itu, saya pun ikut-ikutan mengikuti arus zaman. Tapi sebagai anak yang hidup di lingkungan pedesaan, tentu saja internet masih asing di telinga kami. Hanya bermodal kaset-pita, tape, stick, dan bantal yang saya susun berdasarkan tata-letak istrumen; saya belajar memainkan alat musik ‘drum’ dengan cara yang sangat tradisional. Kaset-pita saya masukkan, lalu tekan tombol ‘play’ pada tape, sambil memejamkan mata, mulailah saya mendengarkan musik itu dengan saksama: dari memperhatikan tempo, ketukan, hingga instrumen manasaja yang sedang dipukul. Tidak cukup sekali-dua kali mendengarkannya, tapi berkali-kali! Setelah hapal, saya ulangi lagu tersebut sambil memukul-mukul bantal—berimajenasi bahwa yang sedang saya pukul adalah sebuah drum. Saya menduga, apa yang saya lakukan ini tidak jauh beda dengan teman-teman yang lain. Hingga pada akhirnya, ketika masing-masing personil sudah merasa siap (dengan cara latihannya sendiri-sendiri), kami mempraktekkannya di studio musik dengan instrumen sungguhan. Hasilnya lumayan. Kami pernah memenangkan lomba hingga tingkat Kecamatan dengan metoda seperti itu.

Pada hari ini, saya memiliki keyakinan bahwa generasi sekarang tidak akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti yang kami alami dulu. Sekarang semua bisa ditonton di youtube. Mudah. Apalagi sudah ada tekonologi musik berbasis elektronik, sungguh merupakah sebuah kemajuan yang memudahakan.

Maka, seharusnya generasi muda hari ini lebih canggih dibandingkan generasi sebelumnya. Canggih di sini ukurannya harus jelas: berupa prestasi, penemuan spektakuler, dan karya-karya yang menajubkan—berbanding lurus dengan kemudahan-kemudahan yang mereka nikmati. Input dan output minimal harus sama. Tapi pada kenyataannya berbeda. Mereka semacam mengalami kebingungan psikologis terhadap data-data yang berhamburan di dunia maya. Seperti hidangan yang beraneka macam dan sangat banyak jumlahnya, mereka malah bingung apa yang hendak dimakan.

Dugaan saya, kemudahan yang diberikan oleh benda canggih ini sejatinya tidak pernah berbanding-lurus dengan kreativitas yang dihasilkan. Sebut saja fenomena broadcase message (BC)—ketika lebaran atau hari besar lainnya. Hilir-mudiknya BC di gawai kita pada waktu-waktu tertentu yang saya sebutkan tadi,  hampir seluruhnya adalah hasil copas (copy-paste): didapat dari temannya, lalu dikirimkan lagi ke teman lainnya hanya dengan mengganti nama pengirimnya saja.

Tidak berhenti sampai di situ.

Tradisi share-link berita online yang sering kita saksikan dewasa ini. Hanya membaca judul berita, tidak membaca isi, alih-alih agar tampak intelek dan uptodate, para penyebar informasi kerap memberi tambahan kalimat-kalimat pada dinding media sosialnya dengan nada-nada geram—seturut dengan penyebar yang sebelumnya. Dan celakanya, perilaku konyol ini menimbulkan efek viral.

Tidak bijaknya penggunaan internet, tentu saja tidak berdiri sendiri. Produk-produk berteknologi tinggi ini tersebar di masyarakat tanpa ada sosialisasi dan pembekalan cara-bijak menggunaannya terlebih dahulu. Sebenarnya, ada hal-hal yang harus dipahami para pengguna internet dengan pertanyaan ini: “kenapa Internet browsing kita istilahkan dengan ‘berselancar di dunia maya?’ Bukan menyelam?”

Seperti sudah kita ketahui, bahwa peristiwa berselancar adalah kegiatan yang ada di permukaan laut. Di permukaan tidak akan ada ikan, terumbu karang, dan biota laut lainnya. Tapi kita harus mengakui, bahwa laut adalah tempat yang begitu luas. Dari tempat ini harusnya kita memiliki kesadaran untuk menyusuri jalan ke sungai besar, lalu ke sungai kecil, dan pada akhirnya kita akan sampai pada sumber murninya: air gunung. Dengan kata lain, internet yang saya istilahkan sebagai laut, sejatinya adalah jalan untuk menemukan sumber awal. 

Atau saya memakai analogi lain. Anggap saja data-data yang berhamburan di dunia maya adalah macam-macam bahan bangunan: semen, bata, pasir, dan lain-lain. Jika bahan-bahan tersebut tidak dimanfaat sebagaimana mestinya, atau tidak segera dikreasikan menjadi sebuah bangunan; maka batu-bata tadi hanyalah tumpukan, pasir berkubik-kubik itu hanya gunungan. Sebab, pepatah Cina pernah mengatakan: hanya dengan membaca resep, tidak lantas membuat seseorang menjadi juru masak yang handal.

Internet tentu saja adalah hal positif, minimnya kesadaran untuk manfaatkan secara tepat guna—membuat yang terkuak hanya hal-hal negatifnya. Saya beri contoh teknologi penanak nasi magic-jar. Tergerusnya alat tradisional, misalnya ‘dandang’ (Jawa), tidak dikarenakan alasan menangnya sebuah tradisi pengetahuan yang lebih tinggi, melainkan lebih kerna alasan-alasan praktis keseharian yang sepele. Alat penanak elektrik itu misalnya, menawarkan keinstanan, kepraktisan, kecepatan, kesangkilan, setangkup dengan berubahnya ritme kerja masyarakat yang, katanya, menuntut kita untuk serba cepat. Instan. Justru yang tidak disadari adalah, kehadiran produk penanak nasi elektrik ini berakibat pada memudarnya tradisi leluhur yang turun-temurun sudah diwariskan. Sebut saja: ngedang, ngukus, ngliwet, ngaru, dan lain-lain—yang hari ini sudah tidak dikenali generasi muda. Tergantikannya sebuah tradisi lama ke tradisi baru adalah peristiwa biasa. Tapi, jika ditinggalkan kerna alasan yang remeh, lebih instan misalnya, adalah perilaku abai. Sembrono. Itu bisa kita lihat pada warung-warung tradisional yang menjajakan makanan—yang cara mengolahnya masih dengan cara lama: pengapiannya masih dengan arang, memasak nasinya dengan dandang, dan lain sebagainya—ternyata masih mendapatkan tempat di hati sebagian masyarakat. Ketika saya bertanya kepada salah satu pengunjung, kenapa memilih makan di warung tersebut? kebanyakan dari mereka menjawab: “rasanya lebih enak, dan sehat.” Apakah arti dari ini semua? Menurut hemat saya, hal-hal yang masih tradisional, sebenarnya masih banyak yang diminati. Tapi warung semacam ini bisa dihitung dengan jari, tidak seperti makanan capat saji yang tersebar di semua tempat.

Sama seperti makanan. Media informasi berbasis internet hari ini seperti saat kita menikmati junk food: praktis, cepat, dan instan. Kerap saya temukan beberapa media online yang mendistribusikan berita hanya bermodal ‘capture’ yang didapat dari media sosial sang pencetus informasi—tanpa adanya proses jurnalisme yang benar. Mereka menyuguhkan kualitas informasi dengan data mikro dan minim. Situasi seperti inilah yang sedang digemari masyarakat: beritanya tidak ruwet, tulisannya pendek, tidak usah dalam-dalam, dan kalau bisa berita online itu menampilkan berita setiap detik. Isi dari informasinya sama, juga tidak apa-apa. Dan alhasil, beberapa media cetak, yang notabene media dengan informasi yang lengkap, harus berhenti terbit kerna sudah tidak diminati. Sebut saja: Sinar Harapan, Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, dan Harian Bola.

Rontoknya daya kritis dan analisa masyarakat, membuat ‘benar’ dan ‘salah’-menurut publik, dapat dikendalikan dan ditentukan di ruang ini. Semoga masih ingat dengan akun Twitter @TrioMacan2000 yang konon memiliki follower hampir menyentuh angka 300.000. Akun ini sempat ramai dan menjadi bahan pembicaraan kerna sering nge-tweet tentang skandal korupsi yang ada di negeri ini. Masyarakat tentu saja girang, merasa menjadi pintar kerna mengetahui skandal besar. Terlepas perbuatan @TrioMacan2000 mulia atau biadab, yang jelas, saya semakin yakin akan jungkir-baliknya logika masyarakat hari ini: “bagaimana bisa akun anonim seperti @TrioMacan2000, bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat yang riil, nyata?!”

Dengan kata lain, memiliki gawai canggih dengan pelbagai fiturnya, hanya semacam memberi ruang kepada masyarakat yang memiliki daya-beli untuk menyelenggarakan narsis nasional di dunia maya: pasang foto sedang makan apa dengan siapa, atau menulis status sedang ini dengan si itu. Mubazir! Pada puncaknya, narsistik-eksploitatif masyarakat tergambarkan secara nyata ketika ada sebuah insiden kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Medan pada tahun 2015 lalu, tersebar gambar di media sosial dua perempuan sedang berpose di depan kamera ponselnya, tepat di lokasi kejadian dengan latarbelakan pesawat yang hancur. Miris. Bagi mereka, apapun kejadiannya, entah suasana bahagia atau duka sekalipun, dalam momen tersebut yang paling penting adalah dirinya. Itu baru satu contoh, masih banyak contoh lainnya.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, sebuah kejadian tidak terjadi kerna sebab tunggal.

Harusnya pemerintah juga hadir di dalam persoalan ini. Hadir disini artinya sangat luas. Pemerintah harus menjamin apa-apa saja yang dikonsumsi masyarakat, dalam hal ini adalah informasi di internet, mesti dipastikan sedang dalam pengawasannya: aman, sehat, dan tepat guna. Saya yakin untuk kelas negara, harusnya permasalahan ini sangat mudah untuk diatasi. Saya tidak tahu apakah logika saya ini benar atau salah. Saya mendapatkan ide ini ketika sedang mengurus pindahan domisili. Otomatis saya juga harus ganti KTP. Kerna sistem sudah E-KTP, saya tidak perlu foto dan mengisi data—sama seperti mengurus KTP baru. Semua data sudah ada, serba computerize.

Nah!

Seharusnya ada peraturan yang mengatur kepemilikan email: satu orang hanya dapat memiliki satu email, atau maksimal dua. Untuk membuat email, orang harus mengisi serangkaian data dimana data tersebut harus sesuai dengan KTP. Antara perusahaan email dan negara, mesti menjalin hubungan kerjasama, satu dengan lainnya harus saling mengkonfirmasi: apakah betul data yang dimasukkan sudah sesuai dengan data pribadinya. Jika data pribadi yang dimasukkan salah, atau sengaja dibuat salah, maka dia tidak diperkenankan memiliki email. Jika sudah seperti itu, misalnya tidak memiliki email, ia hanya bisa mengakses data-data untuk konsumsi anak-anak. Dengan cara seperti ini, saya rasa dapat meminimalisir bermunculannya akun-akun anonim dalam media sosial: facebook, twitter, instagram, path, BBM, WA, Line, dan lain-lain.

Untuk blog dan website juga demikian. Jika milik pribadi, harus berdasarkan KTP. Jika milik sebuah perusahaan, harus sesuai dengan surat perusahaan yang telah di–sah-kan oleh notaris dan institusi terkait. Karya tulis yang ada di kolom atau portal ini juga harus melewati beberapa mekanisme laiknya sebuah karya tulis: mencantumkan sumber, uji plagiat, dan lain sebagainya. Sistem ini sudah dipraktekkan oleh kampus-kampus besar, dimana hasil skripsi mahasiswa harus dikirim ke pihak kampus dalam bentuk softfile yang nantinya juga bisa diakses oleh mahasiswa lain sebagai rujukan dan referensi. Datanya akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja menulis di dunia maya tidak harus tema berat, semuanya bisa hanya saja informasi itu dijamin kebenarannya.

Meskipun demikian, apa-apa saja yang saya sebutkan di atas akan menimbulkan persoalan: tidak adanya privasi, kerna semua tindakan diawasi oleh negara. Melanggar HAM. Belum lagi ada kekhawatiran manakala data yang kita masukkan, digunakan oleh pihak ketiga. Di sinilah peran penting pemerintah. Dia harus menjamin bahwa semua data pribadi, aman dari pihak ketiga.

Jika bisa menciptakan sistem ini, saya rasa inilah the real connecting people, menjalin hubungan di dunia-maya akan serasa nyata kerna tidak khawatir bahwa yang sedang berkomunikasi dengan kita adalah akun anonim. Satu dengan lainnya akan menjaga sikap, sebab mendatagkan konsekwensi logis atas segala tindakannya. Itu yang pertama.

Yang kedua.

Masyarakat mendapatkan data-data yang akurat. Hal ini dapat membawa nuansa positif: masyarakat benar-benar bisa belajar di manapun berada. Pararel dengan itu, tentu dapat menimbulkan daya kritis pada masyarakat, dan menambah daya analisa masyarakat yang semakin  tajam. Pada titik ini, media online yang notabene milik lembaga bisnis, akan mengikuti permintaan  penggunanya. Masyarakat tambah pintar, informasi (baru) yang diberikan harus lebih pintar.

Memang terasa sangat tidak mungkin, dan bahkan konyol memiliki harapan yang demikian agar dapat diaplikasikan  pada suatu negara yang belum siap dengan gempuran teknologi, dalam hal ini adalah Indonesia. Lalu, apakah opsi-kedua jika hal yang saya sebutkan di atas tidak bisa diterapkan kerna macam-macam alasan?

Untuk menjawab pertanyaan ini sangat mudah.

Negara tidak perlu melakukan apa-apa, biarkan saja keadaannya seperti sekarang ini. Toh mereka baik-baik saja. Kalaupun ada keluhan-keluhan mengenai dampak gawai berbasis internet, sampai muncul meme yang berbunyi: “the world must easier when apple and blackberry were still a fruit”, itu bukan berarti mewakili suara hati pada keseluruhan masyarakat—kan? Tapi, saya masih tetap berharap ada upaya-upaya yang pro-rakyat di antara ke-abai-an dan pembiaran ini, yaitu: kalau bisa, harga paket kuota internet diturunkan!

Itu!

Senin, 01 Agustus 2016

KOLOR



“Luas total negara kita ini berapa—tho, sebenarnya?” Tiba-tiba saja Aris membuka percakapan di tengah hamparan langit malam. Mereka berdua, Aris dan Dwi, merebahkan tubuhnya di atas atap rumah-kontrakan milik Dwi—dengan kaos yang mereka buntal menjadi bantal. Disaksikan seng, asbes, dan antena televisi; kedua karib itu memancarkan nuansa keakraban yang hangat sekali.

“Kalau dihitung semua, daratan sekaligus lautan, kira-kira lima juta-an kilo meter persegi.” Jawab Dwi, datar. Matanya masih memandang langit yang jauh.

“Kalau luas daratannya saja?” Sambung Aris.

“Hampir dua juta kilo meter persegi.”

“Berapa jumlah penduduk Indonesia?”

“Dua ratus lima puluh juta-an. Memangnya kenapa?”

“Ini logika jongos saja, ya. Kira-kira, kalau seluruh luas tanah Indonesia itu dibagi rata, masing-masing dari kita akan dapat berapa? Gimana cara kamu menghitungnya?”

“Ya, gampang. Pertama-tama, kita harus sepakat bahwa masing-masing orang yang akan mendapat jatah-tanah tersebut, dalam bentuk satuan meter. Artinya, satuan kilo meter persegi tadi—nantinya harus dijadikan dalam satuan meter. Ngitungnya, begini: luas daratan Indonesia dibagi jumlah penduduk, lalu hasilnya dikalikan satu juta.”

“Hasilnya berapa?”

Dwi sejenak diam, matanya terpejam.

Suwimen tho, ngitungmu?”

“Mmm... kalau dibulatkan, setiap orang mendapat jatah tujuh ribu meter-an.”

“Heh, ya tho?!”

“Apanya yang ya tho?”

“Lha, ya. Kita ini kok bisa tidak punya tempat tinggal? Tanah berapa-berapa—kek, kan lumayan daripada nomaden.”

“Kata Mahatma Gandhi, bumi ini bisa memenuhi kebutuhan setiap orang, namun tidak bisa memenuhi kebutuhan satu orang yang serakah.”

Kali ini Aris terlihat semangat. Ia merubah posisinya yang tadinya tiduran, sekarang duduk. Nada suaranya sedikit naik, tinggi. “Mungkin bumi ini kurang luas dan kurang besar untuk menampung orang-orang semacam kita plus orang-orang serakah. Jadinya ya begini ini, kita tidak kebagian apa-apa. Mungkin, jika kita hidup di planet Jupiter, planet yang paling besar itu, bisa jadi orang semacam kita masih sempat kebagian tanah-tanah sedikit.”

“Di Jupiter kita tidak bisa hidup, Ris. Mati. Setiap planet itu punya pra-syarat untuk dapat ditinggali manusia.”

“Kenapa begitu, Wi’?” Aris merebahkan tubuhnya ke posisi semula, memasukkan tangan kanannya ke dalam kolor, garuk-garuk.

“Satu, jarak planet tidak boleh terlalu dekat dan terlalu jauh dari matahari. Sebab, batas toleransi suhu pada sebuah planet tidak boleh lebih dari 150ᵒ Fahrenheit atau 65,5ᵒ Celcius.”

“Dua.”

“Airnya cukup. Baik yang terkandung di tanahnya, ataupun di udara.”

“Tiga.”

“Sinar matahari yang cukup, dibutuhkan untuk pembakaran pada tubuh hewan maupun manusia. Pembakaran inilah yang dapat menimbulkan tenaga. Sinar matahari yang cukup itu berguna sebagai sirkulasi ambil-buang kandungan CO2 dan O2—dari dalam udara  ke udara.

“Empat.”

“Planet tersebut harus dilapisi ozon atau O3, yang berfungsi sebagai pelindung dan penyaring  mata manusia dari gelombang-gelombang pendek.”

“Lima.”

“Ukuran planet. Jika terlalu kecil, gravitasinya juga kecil, mengakibatkan benda apapun yang ada di dalamnya mudah lolos—keluar dari planet itu. Jika terlalu besar, gravitasinya pun juga akan besar. Hal ini bisa menyebabkan—akan banyak pula yang diikat oleh gravitasi planet tersebut yang puncaknya akan berakibat berlebihnya debit air di tanah maupun di udara planet itu.”

“Terlalu lembab, gitu?”

“Persis. Selain itu, jika atom hidrogen yang jumlahnya banyak itu, manakala bersatu dengan unsur lainnya, akan menimbulkan amoniak dalam yang jumlah yang besar pula. Maka, planet tersebut sudah tidak sehat untuk ditinggali.”

“Oke. Enam.”

“Planet tersebut, katakanlah Jupiter, harus memiliki kandungan yang cukup untuk: tepung, gula, minyak, protein, dan lemak. Itu semua, apa-apa saja yang mengandung karbohidrat tadi, dibutuhkan manusia untuk mendapatkan energi.”

 “Tujuh.”

“Adanya zat beracun dalam jumlah dan ukuran yang cukup dan tidak membahayakan.”

“Delapan.”

“Sudah!”

“Sudah? Gitu aja?”

“Iya. Sudah.”

“Ya sudah, aku pulang dulu. Mumet ndasku. Kamu memang tidak bisa diajak berandai-andai, tidak tahu caranya refreshing dengan berimajenasi.” Aris beranjak dari tempat rebahnya, undurdiri, sambil meraupkan tangan kanannya ke muka Dwi. Tangan yang sudah ia siapkan sedaritadi, di dalam kolor sambil garuk-garuk.

Dwi yang matanya masih menatap langit, tidak membalas perlakuan temannya. Barulah setelah beberapa lama, ia sadar apa yang diraupkan temannya tadi. “Jangkrik,” katanya.
***

Sambil menuruni satu per-satu anaktangga yang terbuat dari bambu, Aris terkekeh, “biar rileks otaknya, ndak tegang terus.” Hingga kaki kirinya jenak menginjak tanah, tawanya berhenti, handphone dalam saku celana jeans-nya berbunyi. Dilihatnya pada layar gawai, panggilan dari istrinya: “Halo?”

“Pak, pulang jam berapa?”

“Lima menit lagi juga sampai.”

“Jangan lama-lama, Pak!”

Telepon dimatikan, Aris meneruskan langkah kakinya menuju rumah menyusuri gang-gang sempit yang kanan dan kirinya ditempati berdempet-dempet hunian yang tak keruan tataletaknya: pintu depan berhadapan dengan kamar-mandi tetangga, pos kamling yang dialih-fungsikan menjadi tempat cukur rambut, dan jemuran baju hingga daleman yang pathing-crenthel  di mana-mana. Sebenarnya, jarak dari rumah Dwi menuju rumahnya—cukup dekat, tidak sampai lima menit. Hanya saja Aris memang sengaja memilih jalan berputar-putar untuk memperlambat sampai di rumah. Bagaimana tidak, setiapkali ia datang , istrinya seketika itu menjelma menjadi “ibu tiri” bagi dirinya: nyuruh cuci piring, nge-pel, jemur baju, dan lain-lain. “Lha, dia ngapain saja seharian di rumah?” gerutu Aris setiap hari. Belum lagi mendengar rengekannya yang tiada habisnya: minta dibelikan baju, daster, BH, dan celana dalam yang modelnya bermacam-macam. Mulai dari yang berenda, bergambar, model G-string, pokoknya beraneka ragam. Istri Aris adalah orang yang sangat hapal dengan barang-barang miliknya. Jika hilang satu lembar saja, dia akan ngamuk, mengacak-acak seisi rumah. Kalau sudah begitu, rumah yang lebih mirip disebut kapal pecah itu, dibereskan oleh Aris. Pokoknya aneh-aneh saja kelakukannya. Sebagai pegawai rendahan, gaji Aris hanya cukup untuk makan dan keperluan rumah saja. Tapi, istrinya tidak mau mengerti. Baginya, pokoknya harus ada. Ya, namanya juga perempuan, penggerak industri bisnis, makhluk yang kegemarannya bersaing. Aris yakin, apa-apa saja yang ingin dibelinya itu bukan untuk tampil cantik di depan suaminya, tetapi para isri tetangga. Padahal sudah sering Aris mengingatkannya, “lho, kemarin kan baru beli?”

Dengan nada muntap, ia selalu menjawab: “Bapak belinya kekecilan, sudah tidak muat di badanku!”

“Lho, kok malah aku yang disalahkan?! Aku membelikan itu semua kan sesuai permintaanmu. Pertama ukuran ‘M’, beberapa bulan kemudian ganti ukuran menjadi ‘L’, lalu kamu minta ukuran ‘XL’.” Kadang-kadang, entah habis nonton sinetron apa, kamu minta ganti ukuran ‘M’. Ya jelas ndak muat.”

“Heh, pak, dengar ya?! Badanku ini gemuknya gemuk air, bukan daging. Bahkan hampir tidak ada lemaknya. Kamu tahu apa alasannya? Kerna sering menahan airmata! Hidup sama kamu itu lebih banyak susahnya daripada senangnya.”

Pada keributan yang kesekian, kemarahan Aris memuncak. Atas nama laki-laki, suami, dan sekaligus kepala rumahtangga—aris membentak istrinya. Dan apa yang terjadi sudah bisa ditebak: istrinya menangis. Jika sudah seperti itu, apapun persoalannya, suamilah yang bersalah. Sejatinya, perempuanlah yang membuat negara ini lemah: membentuk laki-laki penurut dengan memberinya gelar suami idaman. Maka, atas pengalaman-pengalam tersebut,  Arismalas ribut. Dia lebih  memilih untuk menghindar. Pulang sengaja diperlambat, mampir ke rumah Dwi terlebih dahulu, berharap sesampainya nanti di rumah, istrinya sudah tidur. Tapi tidak pernah kesampaian. Perempuan sebesar beruang itu selalu menunggunya di teras dengan beberapa toples cemilan dan handphone di atas meja. Jika Aris datang tak tepat waktu, misalnya bilang lima menit akan sampai di rumah dan ternyata tidak, istrinya akan menelepon lagi. Begitu kelakuannya seharian: pagi telpon, siang sms, malam telepon lagi. kalau tidak dibalas sms-nya, atau tidak diangkat telpon darinya, sesampainya di rumah istrinya langsung marah. Tidak jarang ia akan melempari Aris dengan rengginang, kacang, marning; pokoknya apapun yang ada di dalam toples akan dileparnya. Kalau isinya habis, toplesnya yang dilempar.

Sebenarnya Aris sudah jenuh dengan kelakuan istrinya. Selain kelakuannya yang menyebalkan itu, akhir-akhir ini istrinya sering mengeluhkan pendapatan Aris yang kurang untuk kehidupan rumahtangganya. “Mbok cari penghasilan tambahan, pak?!”

“Mau cari penghasilan di mana lagi, bu?”

“Jualan soto kan bisa?! Resep soto keluargamu kan juga bisa dijual.”

“Jualannya kapan, bu?

“Ya pulang kerja. Kamu langsung bisa buka lapak dipinggir jalan sana. Kulihat lumayan ramai kalau malam.”

Kepada Dwi-lah Aris sering menceritakan persoalan-persoalan rumahtangganya. Sebagai teman, ia cukup baik. Nasihat-nasihatnya tidak provokatif. Dwi selalu memberi saran agar Aris sabar menjalani kehidupan berumahtangga. Ya, memang betul kata Dwi: harus sabar. Kalau tidak, sudah dari dulu Aris menceraikan istrinya. Padahal perempuan itu dulunya tidak begitu, bisa dikatakan perempuan yang nriman. Waktu pacaran, dia tahu Aris hanyalah seorang anak kampung, bukan kalangan orang berada. “Aku ini anak desa lho, dik?!” Dengan tersipu dan pipinya yang memerah, perempuan itu menjawab: “Ah, tidak apa-apa mas. Aku senang suasana desa yang damai dan sejuk. Bau tanahnya, suara jengkerik, dan embun di pagi harinya tidak akan pernah bisa kutemui ketika di kota.” Setelah menginjak dua tahun masa pernikahan, saat lebaran, Aris mengajaknya mudik: “Males, ah, di desamu becek, sepi, tidak ada mini-market.”

“Modarlah saya, Wi’.Heh? Gimana coba perasaanmu sebagai suami?”

“Ya, yang sabar Ris.” Jawab Dwi.

“Bagaimana agar bisa jadi orang  sabar untuk menghadapi perempuan semacam ini, Wi’?”

“Caranya? Ya kamu harus bersabar. Itu satu-satunya  cara agar kamu bisa jadi orang yang sabar.”

Ya... ya... ya... aku memang harus bisa bersabar menghadapi persoalan ini, batin Aris. Bagaimanapun dia adalah istriku, orang yang dulunya pernah kucintai. Lagi pula, ketika aku melamarnya, mertuaku menanyakan sesuatu kepadaku: “apakah kau betul-betul mencintai anakku, nak Aris?”

“Iya, pak. Saya betul-betul mencintai anak bapak.”

“Baiklah kalau begitu. Tapi, ingatlah pertanyaanku itu dengan baik. Sebab, aku akan menanyakan hal yang sama kepadamu ketika hubungan-pernikahan kalian sedang memasuki masa-masa yang paling buruk.”

Dan sekarang, kedua mertuanya sudah mati sebelum sempat menanyakan hal yang sama beberapa tahun yang lalu ketika Aris datang untuk melamar.
***

“Wi’ kita cari tambahan, yuk?”

“Nah, aku juga mau ngomong begitu sama kamu.”

Aris tersenyum puas. Matanya berkaca-kaca. “Berarti, pada tingkat pertama kita mufakat. Agar musyawar-mufakat ini menjadi paripurna, pertanyaan selanjutnya, mau jual apa kita?”

“Nah, itu pertanyaannya.”

“Bagaimana kalau kita jualan soto saja? Kebetulan, bapakku adalah penjual soto di kampung. Laris. Lha, aku mau pakai resep keluargaku itu. Gimana?”

“Wah, boleh itu. Tapi aku belum pernah dagang soto sebelumnya.”

“Ya nanti kita bagi tugas. Aku yang meracik bumbu, memasaknya, dan menuangkan setiap kuah soto itu ke dalam mangkuk pembeli. Sedangkan bagianmu, mengantar soto yang telah kuracik dan bersih-bersih.

“Mufakat!” Dwi mengulurkan tangan, mengajak lawan bicaranya salaman.

“Tapi aku mau improvisasi sedikit, Wi’”

“Maksudnya?”

“Pakai penglaris.”

Ndak mau ah!”

Lha, piye tho cah gemblung iki? Argumentasinya dong? Jangan main bilang ‘ndak mau ah’ saja!”

“Ya, menurutku tidak logis saja. Tidak masuk akal.”

“Kalau tidak masuk akal, kenapa kamu tidak masukkan ke hati?”

Dwi bereaksi dengan menggelengkan kepalanya.

“Gini lho,” Aris mengambil handphone dari saku celananya, memotret Dwi. “Berapa PIN BBM kamu, biar aku kirim foto ini.”

Handphone-ku jadul, Ris, monophonyc, mana ada aplikasi BBM-nya?!”

“Nah, itu maksudku. Misal handphone kamu sekelas dengan punyaku, ada aplikasi BBM-nya, berarti bisa aku kirim gambar ini ke handphone kamu?”

“Bisa.”

“Pertanyaannya adalah, kok bisa gambar yang tadinya dari handphone-ku bisa sampai ke handphone-mu? Lha, wong kita tidak melihat bagaimana proses berpindahnya?”

Dwi diam.

“Anggap saja berpindahnya foto dari tempat satu ke tempat lain adalah peristiwa gaib, Wi’. Maksudku adalah, setiap diri membutuhkan aplikasi. Dan aplikasi itu bernama iman. Jika tidak, semua hal yang tidak bisa kau jangkau dengan pikiranmu, kau bilang tidak masuk akal.”
***

Napas Aris dan Dwi berdesakan—keluar dari lobang hidung mereka. Berdua, sedang duduk di sebuah pohon besar untuk memperbaiki napasnya. Keringat mereka pun bercucuran. Perjalanan mendaki bukit masih separuh perjalanan. Hari itu, matahari telah naik di pucuk ubun-ubun. Itu berarti, waktu telah menginjak saat siang hari. Dwi meraih botol mineral yang tergeletak di samping kiri—tempat Aris duduk. Botol berkapasitas satu setengah liter itu ditenggak hingga tinggal setengah. “Masih berapa jauh lagi perjalanan kita, Ris?”

“Kalau jalan kita santai, menjelang maghrib kita sudah sampai di sana.”

Kocap kacarita, mereka berdua akhirnya sampai di sebuah rumah dengan penerangan yang ala kadarnya. Pagarnya bambu, halamannya luas, arsitektur bangunannya bergaya Jawa. Rumah itu tampak kuno sekali, sendirian di puncak bukit—menambah nuansa mistis dalam hati Aris dan Dwi. Baru saja langkah kakinya melewati pagar bambu, angin berembus pelan, membuat bulu-kuduk mereka berdiri. Deg-degan, tapi mereka tetap menerobos masuk hingga sampai di depan pintu. Belum sempat mengetuk pintu, sang pemilik rumah keluar, seperti sudah tahu akan ada tamu. Orangnya kurus, sepuh, berpakaian serba hitam.

“Ada maksud apa kalian datang kemari?” kata lelaki berdastar hitam di depan pintu.

“Anu, mbah. Kami ada keperluan.”

“Masuklah.” Lelaki itu masuk ke dalam rumah, kemudian disusul oleh Aris dan Dwi.

Di dalam, di dinding kayu sang pemilik rumah, tertempel banyak sekali benda-benda: foto salah satu presiden Indonesia, wayang kulit, dan yang paling banyak adalah pusaka-pusaka. Dari keris hingga tombak. Sepi, mungkin ia tinggal sendiri di rumah yang di setiap sudut ruangnya mengepul asap dupa. Aromanya sangat menyengat indera penciuman.

“Duduk!” lelaki tua itu mempersilahkan Aris dan Dwi di suatu ruangan. “Apa keperluan kalian datang kemari?”

“Penglaris, mbah.” Kata Aris.

“Mau dagang apa?”

“Makanan, mbah, soto.”

“Baik. Itu mudah. Tapi ada syaratnya?!”

“Apa syaratnya, mbah?”

“Apa kalian sanggup memenuhi syaratnya?”

“Sanggup, mbah. Asalkan, setiap orang yang memakan soto saya merasakan nikmat dan selalu ingin kembali datang.”

“Hal apa yang paling nikmat di dunia ini menurut kalian?”

“Kawin, mbah.” Aris sambil tersipu menjawabnya.

“Persis. Syaratnya adalah, kalian ambil celana dalam perempuan yang masih perawan. Jika ia adalah  seorang bunga desa, khasiatnya akan semakin bagus. Ingat, harus celana dalam milik perawan. Jika kalian sudah mendapatkannya, mandikan kolor itu dengan bunga di tujuh sumur.”

“Kenapa harus di mandikan di tujuh sumur, mbah?” kata Dwi.

“Air adalah sumber kehidupan. Menurut tradisi Jawa, air itu bermacam-macam jenisnya: warih, tirta, sagara, guskara, kedhung, grojogan, bun, dan sumur. Sedangkan sumur, ada tujuh macamnya: Pertama, sumur kanoman, kata dasarnya ‘enom’ artinya muda. Dua, sumur kasepuhan, berasal dari kata ‘sepuh’ artinya tua. Tiga, sumur jati, artinya hakiki. Empat, sumur agung atau kamulyan yang artinya kemuliaan. Lima, sumur tegang-pati—kereta basa (akronim) dari tega ing pati yang artinya tidak takut menghadapi peristiwa kematian. Enam, sumur kejayan, artinya kejayaan. Tujuh, sumur jalatunda—dalam terminologi bahasa Arab berasal dari dua suku kata: jalla, artinya jelas atau terang. Nida, dalam shigat mudhara’ah dibaca ‘yunda’ yang artinya terpanggil. Ketika dengan ta’ dhomir mukhottob—‘yunda’ menjadi ‘tunda’ yang artinya engkau yang terpanggil. Bukankah niat kalian datang kemari agar pelangganmu terpanggil untuk membeli makananmu?”

“Iya, mbah.”

“Perlu kalian tahu, ada dua makhluk pengikut Bhatara Kala yang tidak pernah berhasil dibasmi oleh Ki Sapujagat: Kala Lumur, berdiam di dapur. Dan Kala Lumut, berdiam di sumur. Dia yang akan membantumu agar hajadmu kabul.”
***

Gerobak sudah jadi, dan soto pun sudah siap untuk dijajakan. Hari itu adalah hari pertama Aris dan Dwi mencoba peruntungannya menjadi pedagang, cari penghasilan tambahan. Celana dalam, syarat yang diberikan oleh dukun dari puncak bukit itu, juga sudah siap. Aris tempelkan, dipaku di dalam periuk kuah soto. Berangkat dari rumah Dwi, mereka berdua mendorong gerobak dengan sepenuh pengharapan dan segenap kepercayaan dirinya.

Sesuai dengan rencana, gerobak yang mereka dorong—berhenti di seberang lapangan, di atas trotoar. Lokasi yang mereka pilih adalah pusat keramaian: masjid, sekolahan, dan ruko-ruko; semua berkumpul di tempat itu. Di sana juga banyak penjual makanan, tapi hanya Aris dan Dwi saja yang menjajakan soto.

Satu jam pertama, hanya satu-dua orang saja yang datang membeli soto mereka. Dan selama itu pula istri sebesar beruang itu tak henti-hentinya menelepon suaminya. Pada jam-jam berikutnya, para pembeli mulai berdatangan tiada henti. Hanya dalam tempo tak lebih dari empat jam, soto habis terjual.

Hari berikutnya, sama. Bahkan semakin laris. Kali ini sebelum Aris dan Dwi datang di lokasi, para pelanggan sudah antri menunggu. Dagangan mereka laris-manis.


Getok tular, soto Aris dan Dwi mulai semarak didatangi pelanggan. Seakan tiada hari tanpa makan soto. Ada satu orang yang makannya dua porsi, ada yang mengajak seluruh anggota keluarganya, ada yang makan dengan rekan kerjanya, ada yang dibungkus. Ramai sekali. Sampai-sampai, Aris dan Dwi tidak sempat duduk hanya sekadar untuk beristirahat. Di tengah kesibukan dan permintaan pembeli yang beraneka macam, lagi-lagi, handphone-nya berbunyi, telepon dari istrinya: “Halo, pak, celana dalamku kok hilang satu, ya?”