Rabu, 12 April 2017

MADURA DAN BESI TUA



Oleh: Fajar Saputro

Konon, pada akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16, tepatnya ketika masa keruntuhan impermium Majapahit—para pengikut yang masih setia hingga berakhirnya masa kejayaan Majapahit akhirnya lari dan berpencar ke berbagai wilayah Nusantara: prajurit lari ke Bali, para Kesatria dan Punggawa memilih lari ke arah utara dan selatan, sedangkan Empu lari ke Madura dan berkumpul dalam sebuah desa yang bernama Aeng Tongtong, Soengenep (Sumenep). Hingga hari ini, desa itu dikenal sebagai desa penghasil keris.
Pada suatu masa, saya pernah bingung ketika membedakan antara Pandhe dan Empu. Untuk menemukan perbedaan antara keduanya, saya memilih jalan yang berputar-putar.
Begini.
Profesi tukang kayu, dalam budaya Jawa disebut Undhagi. Ahli kuningan disebut Gemblak. Ahli tembaga disebut Sayang. Jlagra adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam bangunan, terutama pada struktur batunya; sederhanya adalah tukang batu. Kundhi adalah pengrajin gerabah, pembuat batu bata, genteng, dan lain-lain. Pandhe sebutan untuk seorang ahli besi. Sedangkan Empu, satu tingkat di atas Pandhe.
Kemampuan Empu dalam bidang metalorgi, dunia perbesian—dalam konteks khasanah keilmuan Nusantara yang notabene bukan wilayah penghasil besih (terbesar)--sungguh merupakan pengetahuan yang sangat ampuh dan misterius. Keris adalah salah satu produknya, merupakan senjata tusuk yang memiliki kekuatan magi.
Bagaimana tidak, dari bahannya saja, keris diciptakan dari dua unsur semesta: unsur bumi (pasir besi) dan langit (meteor). Saya tidak tahu, apakah ini ada kaitannya dengan konsep ‘Ibu Bumi Bapa Angkasa’ yang merupakan simbol kesempurnaan? Yang jelas, hingga hari ini, sebagian dari masyarakat kita masih percaya bahwa, keris adalah benda yang memiliki kekuatan supranatural.
Mengapa demikian?
Ya ndak tau. Tapi, menurut informasi dari salah seorang karib, cara pembuatan keris mirip dengan—ketika sesorang menggulung dinamo: ditarik dan diulur. Awalnya, bahan yang berasal dari pasir besi itu dipanaskan dengan suhu yang sangat tinggi, kemudian dibentuk dengan cara dipukul. Pada saat proses dipukul-pukul itulah material yang non-metal akan merothol. Setelah itu, masih dalam keadaan suhu yang tinggi, besi yang dipukul-pukul akan modhot, lalu dilipat (sehingga menjadi pendek), dipukul lagi, dilipat lagi, dan seterusnya. Pada proses itulah, keris memiliki kandungan elektro-magnetik. Dan, ditambah dengan bahan meteor—yang secara nature memiliki komposisi kimia tertentu, selain akan menjadi yoni (motif atau sret-sret berwarna putih pada badan keris), tidak mustahil jika keris dapat mengacaukan sistem medan elektromagnetik yang berada diluar dirinya—oleh budaya dijuluki sebagai daya (baca: kekuatan).
Pada tahun 1930, meminjam M. C. Ricklefs dalam bukunya yang berjudul: Mengislamkan Jawa; bahwa tahun tersebut merupakan masa depresi ke-2 (depresi pertama adalah tahun 1830, yakni perang Diponegoro) di mana banyak sekali problem-problem ekonomi yang membuat sebagian penduduk Madura merantau ke Surabaya. Ketika itu, Surabaya merupakan kota industri yang dipersiapkan untuk mem-backup kepadatan lalulintas perdagangan Batavia yang notabene sebagai pusat industri. Sedangkan empu yang berkumpul di Madura tadi, tak luput dari dampak krisis ekonomi. Akhirnya mereka merantau ke Surabaya, beralih profesi sebaga reparasi bus, reparasi kereta, dan lain-lain—yang tentu masih berkaitan dengan dunia perbesian.
Kemudian, pada masa berakhirnya masa kolonilaisme, dan terjadi nasionalisasi di segala bidang, di sinilah cikal-bakal motif perdagangan besi-besi tua itu.  Misalnya, kasus Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda: K.P.M (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang didirikan pada tahun 1888 untuk melayani pelabuhan-pelabuhan besar, juga pulau-pulau kecil untuk keperluan pemerintahan dan kepentingan kolonial Belanda menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, dan secara resmi K.P.M digantikan oleh PELNI, perusahan (dengan nama) baru itu tidak berhasil menyamai kesuksesan K.P.M. Ditambah keterbatasan kemampuan memelihara, dan keterbatasan sparepart, maka jadilah ia besi-besi tua yang kemudian dilirik oleh orang Madura sebagai sebuah peluang bisnis.
Pada perkembangannya, laiknya rantai makanan, bisnis besi tua pun secara alamiah membentuk rantai bisnisnya sendiri. Bayangkan saja nasi tumpeng; bagian paling atas adalah pabrik, lalu di bawahnya adalah para saudagar besi tua. Di bagian ini, klas saudagar besi masih dibagi lagi menjadi: A1, A2, dan A3. Dan, di bawahnya lagi adalah pengepul, atau tukang rosok. Sedangkan bagian paling bawah adalah para pemulung. Ketika kesadaran ‘rosok’ terwariskan kepada banyak orang, maka muncullah sistem ‘Bank Sampah’. Dan, secara otomatis rantai bisnis besi tua ditambah satu gandul lagi.
Pertanyaannya adalah, apakah para pedagang besi tua ini adalah para empu dalam versi yang non-spiritual, laiknya pandhe yang wawasan metalorginya menyublim dalam bentuk yang lain? Tentu saja jawabannya tidak. Atau, kita ambil jalan tengahnya: tidak tahu.
Justru yang lebih mengganggu pikiran saya adalah: siapakah Madura, jauh sebelum Majapahit dan kerajaan-kerajaan lain? Dugaan sementara, saya kira Madura adalah kerajaan Pringgadani. Yakni sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja muda berkumis lebat bernama Gatotkaca, yang ototnya kawat dan yang paling pentingan adalah tulangnya bessi, dik, bessi....
Itu!


Sabtu, 11 Februari 2017

TUKANG PARKIR DI ATM




Oleh: Fajar Saputro


“Uang bulanan sudah dikirim, hemat-hematlah.” Bunyi SMS dari ibu. Bagai diguyur hujan di musim kemarau, hatiku gemebayar tak keruan. Dengan motor pinjaman, aku menuju ATM yang terletak di seberang ujung jalan. Sudah hampir satu minggu ini aku kehabisan uang, hutang sudah menumpuk di kantin-kampus dan beberapa teman. Begitu cek saldo, yang tadinya kukira hujan lebat, ternyata hanya gerimis kecil-kecil. Jatah bulanan tidak bertambah, keluh kesahku tentang naiknya harga-harga tak memberikan hasil dengan tambahan jatah bulanan. Kutarik selembar, pecahan lima puluh ribu. Kemudian aku keluar dengan perasaan kecewa. Ketika hendak menghidupkan motor, seorang laki-laki tua mendekatiku. Memakai baju serba oranye, ia menyorongkan tangan dipenuhi uang koin yang  digerak-gerakkan: “crik-crik-crik,” bunyinya.


“Berapa, pak?”
Lelaki tua itu hanya mengangkat jari tengah dan telunjuknya, tak sepatah kata pun ia lontarkan. Mungkin maksudnya adalah dua ribu rupiah. Dengan terpaksa kuambil satu-satunya uang yang masih hangat dari dalam dompet, kuserahkan dengan perasaan tak rela. Kuharap ia tak ada kembalian.
Ternyata tidak. Lelaki tua itu tetap mengambil uang yang kusodorkan kepadanya dengan tangan yang bergetar-getar. Aku terus memandangi tangannya yang telah dipenuhi kerutan usia itu, dan sedang mengapit uang berwarna biru milikku. Dengan gerakan mendur dan sangat pelan, ia memasukkan uang jatah bulananku ke dalam tas pinggangnya. Rupanya, tas pinggang yang tampak tebal itu dipenuhi dengan jibunan uang kertas. Ia tampak lebih sejahtera dibandingkan diriku. Pak Tua mengambil selembar demi selemabar, menghitungnya, kemudian menyerahkannya kepadaku.  “Sebentar, nak, masih kurang tujuh ribu. Receh tidak apa-apa?” Tanpa menunggu jawabanku, ia menghitung uang koin yang ada di tangan kanannya. “Pas,” katanya, sembari menyerahkan uang logamnya kepadaku.
Terpaksa kuterima uang itu dengan kedongkolan yang berlipat-lipat. “Dia pikir aku mesin ding-dong?” Bibirku menggerutu. Lalu kutancap gas, menuju warung langgananku.
“Mau pesan apa?” tanya pemilik warung.
“Ayam goreng,” masih dengan muka tertekuk.
“Kamu kenapa? Kalau belum punya uang, hutang dulu juga tidak apa-apa.”
“Ada kok, bu, baru dapat kiriman dari orang tua.”
“Lalu kenapa mukamu cemberut begitu?”
“Itu lho, bu, tukang parkir yang ada di ujung jalan sana. Jaga parkir kok di ATM. Memangnya itu ATM miliknya? Setiap orang masuk, dan mengambil uang, alih-alih menjaga kendaraan, selalu dimintai uang parkir.”
“O, itu Mbah Wi. Kamu belum tahu ceritanya?”
Aku menggelengkan kepala.
***

Kau boleh mendengar cerita ini sambil menikmati makananmu. O, ya, aku sampai lupa. Kau mau minum apa? Air putih? Sebentar, biar aku ambil minuman untukmu.
Ya, jadi begini. Dulu sekali, mungkin jauh sebelum kau lahir, ada cerita di tempat ini. Sebuah cerita yang mungkin hampir dialami semua tempat. Desa ini dulunya belum seramai sekarang, masih berupa perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga saja. Salah satunya Mbah Wi, nama panjangnya Nyuwito. Dia seumuran dengan bapakku.
Nyuwito adalah laki-laki biasa, hampir tidak ada yang istimewa dari hidupnya. Sehari-hari pekerjaannya hanya pergi ke sawah dan ke ladang. Dari situ, sebagian hasilnya ia konsumsi sendiri, sedangkan sisanya ia jajakan ke pasar. Secara ekonomi boleh dikatakan pas-pasan: tidak lebih, juga tidak kurang. Memiliki seorang istri yang berasal dari desa tetangga, dan kini sudah dikaruniai dua orang putera. Tentu kehidupan Nyuwito tidak melulu tentang pekerjaan dan urusan rumah tangga saja, sesekali ia juga mencari hiburan laiknya orang pada umumnya.
Sebagai orang kecil yang hidup di desa, hiburan yang ada ketika itu—jika tidak ketoprak ya wayang—, atau sekadar nonton klonengan di pendopo desa. Hanya hiburan rakyat semacam itu yang dapat ia nikmati setelah seharian mandi peluh di sawah atau ladang yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Waktu berjalan, hari pun berganti. Ia merasakan situasi yang kian berubah. Pertunjukan ketoprak mulai mementaskan cerita yang asing bagi dirinya: dari ‘Romeo Juliet’ hingga Pilistine dan Nazareth’. Wayang pun demikian. Sering ia mendapati lakon yang diberi judul: Patine Gusti Alah—yaitu cerita tentang perjudian antara Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan penelanjangan Drupadi oleh Dursasana. Di tengah tubuhnya yang tanpa busana, suara Drupadi gemetar dengan kepala yang ia tengadahkan ke atas langit: “Gusti Alah wis mati!”. Protes Drupadi kepada Dewa kerna telah membiarkan dirinya dipermalukan sedemikian hinanya di depan banyak laki-laki. Dan celakanya, suaminya sendirilah yang menjadikan dirinya sebagai barang taruhan. Lakon itu biasanya dikenal dengan nama: Pandawa Dadu, tapi entah kenapa akhir-akhir ini mulai diubah.
Klonengan juga tidak jauh berbeda. Nyuwito sering mendengar gamelan dimainkan untuk mengiringi beberapa orang yang menyanyikan Sholawat Badar: Sholatullah Salamullah ‘Alaa Thoha Rosulillah—yang liriknya diganti solat oleh ora solat oleh... solat oleh ora solat oleh....
Perubahan situasi yang dimaksud Nyuwito adalah keadaan yang mulai memanas. Di lain tempat, ia sering mendapati kelompok yang bersebrangan juga melakukan ejekan yang sama melalui seni pertunjukan. Maka ia memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan, perasaannya tak enak.  Ia tak ingin terlibat, atau terseret-arus yang tak sepenuhnya ia mengerti. Nyuwito lebih memilih menghabiskan waktu di ladang dan sawah pada siang hari, dan berkumpul bersama keluarga di malam hari.
Keputusannya kali ini benar. Pada tahun ’65, peristiwa berdarah terjadi di mana-mana, termasuk di desa tempat ia tinggal. Tidak sedikit orang yang dibunuh dengan terang-terangan oleh sekumpulan orang entah dengan alasan apa. Korbannya banyak dari kalangan seniman desa. Mereka diseret dari rumahnya, kemudian disiksa secara beramai-ramai di tengah lapangan. Setelah dinyatakan mati, mayatnya dikubur dalam satu liang bersama korban lainnya. Ada juga yang dibuang ke sumur. Nyuwito  adalah salah satu di antara sedikit orang  yang selamat, sebab ia dianggap tidak terlibat gerakan apapun. Atau setidaknya, dianggap orang yang tak pernah memiliki masalah apapun baik dengan kelompok tertentu ataupun personal yang membuat dirinya dapat dituduh sebagai bagian dari golongan yang sedang berselisih.
Beberapa tahun kemudian siatuasi berangsur surut, namun masih dengan ketegangan yang sama: mencekam, ruang gerak terbatas kerna merasa diawasi, dan tak berani bicara sembarangan sekalipun di dalam rumahnya sendiri. Tapi Nyuwito tetap melakukan pekerjaan seperti biasanya: ke sawah, ke ladang, dan ke pasar.
Hingga suatu hari, ketika suara jengkerik dan katak meramaikan suasana malam di sekitar tempat tinggalnya, pintu rumahnya diketuk agak sedikit kasar. Nyuwito tergopoh-gopoh menuju pintu sambil membetulkan letak sarung yang sedang ia kenakan.
“Pak Kepala Desa?”
“Hmmm...,” laki-laki berbadan tambun masuk dengan memonyongkan bibirnya, “kamu Nyuwito?” Lanjutnya.
“Saya, pak. Mari, pak, silakan duduk.” Nyuwito kebingungan kerna kedatangan pejabat desa di rumahnya, tak biasa-biasanya. “Mau minum apa, pak? Biar istri saya buatkan.”
“Tidak usah repot-repot,” Kepala Desa masih berdiri, memperhatikan keadaan rumah Nyuwito yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, atapnya rumbia, dan lantainya masih berupa tanah. Mata Pak Kepala Desa menyisir setiap jengkal dinding bambu, kepalanya bergerak dari kanan ke kiri dan ke kanan lagi. “Aku tidak lama, Wi.”
“Sepertinya ada yang penting, sehingga harus datang selarut ini.”
“Betul. Bahkan lebih penting daripada kepala kita, Wi.”
“Maksud Pak Kades?”
“Ini soal pembangunan,” yang tadinya Pak Kepala Desa menghadap dinding bambu, kini ia membalikkan bandan dan menatap mata Nyuwito. Tatapan yang mengancam, dengan tambahan kata ‘pembangunan’ yang telah menjadi momok setiap orang.
“Saya kurang mengerti, tolong bapak jelaskan.”
“Tanah milikmu dibutuhkan negara, untuk pembangunan Wi.”
“Saya nanti kerja apa, pak?”
“Nasib buruk bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada orang baik. Pikirlah masak-masak.”
Merasa telah menyampaikan maksud dan tujuannya, Pak Kades keluar dari rumah Nyuwito. Sedangkan lelaki bertubuh kurus itu mengiringi tamu agungnya hingga keluar halaman rumah dan kemudian menghilang di kegelapan malam.
Beberapa minggu berselang setelah kedatangan Pak Kades di rumahnya, ketiaka ia sedang menggarap sawah, beberapa orang mendatangi tanah garapannya. Salah seorang berpakaian safari sedang menaikkan kaki kanannya pada gundukan tanah pematang, matanya yang dilindungi kacamata rayben seperti sedang menyisir seluruh hamparan tanah milik Nyuwito. Sedangkan yang lain, berkumpul di belakang lelaki bersafari sambil berbicang-bincang. Pak Kades salah satu di antaranya. Keberadaan Nyuwito seperti tak diperhitungkan. Sekitar sepuluh atau dua puluh menit kemudian, rombongan itu pergi  dengan mobil yang mereka bawa. Kecuali Pak Kades. Segera Nyuwito mendekat, memanggil-manggil pejabat desa itu.
“Pak... Pak... Ini ada apa, ya?”
“Bukankah aku sudah menyampaikannya kepadamu?”
“Tapi bukan berarti saya setuju.”
“Ingat, Wi, ini untuk pembangunan. Jangan kau mempersulit dirimu sendiri. Jangan sampai namamu masuk dalam daftar Benang Merah[1].”
Nyuwito terdiam sejenak, ia tampak tak berdaya. “Tanah saya mau dibeli berapa,” suaranya terdengar rendah. Kepalanya tertunduk.
“Seribu rupiah per meter, Wi.”
“Murah sekali, pak?! Lantas bagaimana dengan nasib saya selanjutnya?”
“Wi, aku cuma kepala desa. Tak bisa memikirkan nasib orang per orang.”
“Ini namanya pemaksaan!” Nyuwito membanting lumpur yang tertempel di tangannya.
“Kau yang menentukan nasibmu sendiri, Wi. Aku sudah berusaha mencarikan jalan tengah untukmu. Terimalah keadaan ini sebagai kenyataan.”
***

Pintu rumah nyuwito digedor. Ia terbangun dari tidurnya, membukakan pintu. Belum habis kegundahan hatinya akan nasib tanah leluhurnya—sekarang ia dikagetkan oleh suara gedoran pintu di malam yang pekat. Ketika pintu dibuka, beberapa orang asing tengah berdiri di beranda rumahnya. Ada tiga orang: bersepatu lars panjang, badannya tinggi besar, dan rambut yang dicukur cepak. “Kamu Nyuwito,” tanya salah satu tamunya. Belum sempat ia menjawab, ketiga orang asing itu pergi meninggalkannya yang tengah gemetar di ambang pintu. Setelah kejadian itu, hari-harinya terasa tak nyaman. Nyiwito merasa sedang diikuti ke mana pun ia pergi: sawah, ladang, bahkan ketika berjualan di pasar. Sering ia melihat laki-laki dengan model rambut cepak mondar-mandir di pematang sawahnya, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan yang paling sering ia alami adalah ketukan pintu di malam hari yang hanya sekadar bertanya namanya—lalu pergi. Keteguhan hatinya untuk mempertahankan tanah warisan, membuat ia harus menerima perlakuan fisik. Pernah suatu hari, ketika Nyuwito sedang tekun-tekunnya mencangkul tanahnya di ladang, beberapa orang mendatanginya dan menodongkan bedil di kepala. Pertanyaan mereka masih sama: “kamu Nyuwito?” lalu mereka pergi seperti yang sudah-sudah. Gertakan itu tak membuat Nyuwito surut. Dan  puncaknya, Nyuwito dihajar hingga babak-belur. Hidungnya berdarah, telinganya, juga matanya. Kejadian itu membuat penglihatannya mulai mengabur.
“Sudahlah, pak, jual saja. Jangan mempersulit diri. Kasihan anak-anakmu.”
“Hanya tanah ini yang masih menghubungkanku dengan leluhurku, bu.”
“Pak, kau tahu, kenapa Sengkuni diperkenalkan sebagai tokoh yang licik? Kerna yang menang adalah pihak Pandawa. Sudahlah!”
Nyuwito pun akhirnya menyerah. Di suatu sore yang rembang, ia mendatangi rumah Pak Kades membawa map yang berisi surat-surat tanah dan rumahnya.
“Akhirnya kau datangan juga, Wi. Dengan sukarela.”
“Iya Pak,” sambil meletakkan map yang ia bawa di atas meja.”
“Jadi kau sepakat dengan harga yang kutawarkan?”
“Berilah saya harga yang pantas.”
Pak Kades masuk ke dalam kamar, lalu kembali membawa amplop. “Ini,” diserahkannya amplop itu kepada Nyuwito. “Hitunglah!”
Nyuwito menerima amplop dari tangan Pak Kades, ia mulai menghitung. “Lho, pak, kalau cuma segini berarti tanah saya hanya dihargai seribu rupiah per meternya?!”
“Baik, ini penawaran terakhir. Tanah dan rumahmu akan dihargai tiga ribu rupiah per meter. Tandatangani surat ini dulu,” Pak Kades menyorongkan secarik kertas kepada Nyuwito. “Sisanya,” lanjut Pak Kades, “akan kuserahkan sendiri ke rumahmu. Tunggulah!”
Nyuwito pulang ke rumahnya ketika langit sudah gelap sempurna. Dan semenjak saat itu Nyuwito menunggu kedatangan Pak Kades di rumahnya. Pagi, ia sudah duduk di teras rumahnya yang hanya dihiasi bangku panjang yang terbuat dari bambu. Pak Kades belum datang. Ia berdiri, masuk ke dalam rumah, mempersiapkan dua gelas kopi. Di bangku bambu itu, kopi telah menjadi dingin. Tamu yang ia tunggu-tunggu masih belum datang juga. Sedangkan langit sudah sore, “mungkin Pak Kades datang nanti malam,” pikirnya. Lalu Nyuwito bangkit dadi duduknya, membawa dua gelas kopi yang telah ia persiapkan sedari pagi tadi.
Keesokan harinya pun masih sama, hingga tak terasa presiden telah ganti sebanyak empat kali. Dan Pak Kades yang pernah berjanji akan datang itu sudah lama tak menjabat sebagai Kepala Desa di kampung itu. Malah menurut kabar yang beredar, beberapa bulan yang lalu, mantan kepala desa itu telah meninggal dunia.
Pada suatu hari yang tak disangka-sangka, beberapa orang mendatangi rumahya. Mereka memperkenalkan diri sebagi pegawai yang diutus oleh perusahaan Perumahan Nasional dan meminta Nyuwito beserta keluarga untuk segera mengosongkan tempat—sebab rumah yang ia tinggali, kata pegawai itu, berdiri di atas tanah milik negara.
Pindahlah Nyuwito dan istrinya ke desa sebelah. ia menyaksikan bagaimana rumahnya dirobohkan oleh buldozer, lalu diurug dengan tanah-tanah baru. Lalu lalang truk pengangkut urugan tanah dan bahan-bahan bangunan, menyulap rumah dan tanah milik leluhurnya menjadi sebuah perumahan baru. Tapi, ia tetap berdiri di atas tanah bekas rumahnya. Di ujung jalan, tempat di mana ATM itu kini berdiri, di situlah dulu Mbah Wi tinggal bersama keluarganya. Seperti yang sudah kau tahu, sampai sekarang ia tetap menunggu.
Beberapa minggu yang lalu istrinya meninggal, dan anak-anaknya telah merantau di lain kota. Pernah dia dibujuk oleh salah seorang anaknya untuk tinggal bersama, tapi Mbah Wi menolak: “Biarkan akan menyelesaikan urusan ini hingga tuntas. Terserah siapa yang nanti akan selesai duluan: umurku, atau hutang Pak Kades.”
***

Pada sendok terakhir, di penghujung makan malamku, cerita itu selesai. Sesekali kudengar mesin kendaraan masuk ke dalam warung, menemaniku menikmati cerita yang tak mungkin kudapatkan di manapun tempat. Sendok terakhir kuangkat, mulutku sudah terbuka, bersiap-siap untuk melahapnya.
“Sudah habis makananmu?”
“Ini, tinggal sesendok lagi.”
“Kamu dengarkan semua ceritaku tadi?”
“Dengar, bu.”
“Pesanku, jika suatu hari nanti kamu bertemu dengan Mbah Wi, atau Mbah Wi-Mbah Wi yang lain di ATM manapun, usulku, tak usah kau membahas tentang retribusi. Dua ribu rupiah tak akan membuatmu menjadi miskin, dan dua ribu rupiah tak akan membuatnya menjadi kaya. Jika kau ingin memberi, berilah. Terserah kau artikan pemberian itu sebagai amal kebaikanmu, atau kewajibanmu atas jasa keamanan kendaraanmu. Terserah. Setiap orang memiliki cerita, itu akan menjadi alasan masing-masing orang—kenapa melakukan sesuatu: entah kau pandang rendah sebagai standart hidup, atau apapun nama yang kau berikan untuknya. Satu pesanku kepadamu: jika kau ingin menerima, maka satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah memberi.”
Mak deg!
Aku langsung meletakkan sendok yang hendak kumasukkan ke dalam mulut, tak jadi kumemakannya. Entah kenapa tiba-tiba rasa kenyang menyelinap ke dalam perutku. Benar juga nasihat ibu pemilik warung itu. Kata-katanya membuatku teringat pada jumlah saldo di rekeningku dan hutang-hutang yang telah menumpuk di kantin kampus. Ya... ya... ya... memang benar kata ibu pemilik warung itu. Seharusnya, aku jalan kaki saja ke ATM tadi.



[1] Istilah untuk orang yang masih ada kaitan atau masih termasuk keluarga PKI

Selasa, 20 Desember 2016

BUNG, MENGAPA GERANGAN DI SANA?


Oleh: Fajar Saputro


Bung, hari ini aku hendak mengunjungi tempat peristirahatanmu.
Menuju selatan, berbekal kembang setaman dan juga rindu.

Satu jam... dua jam...
Jauh nian, bung?

Kau dibuang, atau disemayamkan?
Sengaja dijauhkan, agar kau dilupakan?!

Tapi tidak bisa!

Sudah 71 tahun negeri ini telah engkau proklamirkan,
dan seketika itu juga kita menjadi bangsa yang merdeka. Siapa yang tak tahu itu?

Tapi begini, bung.
Meskipun kini engkau telah tiada, wajahmu, bung, gambarmu, masih menghiasi baliho dan spanduk-spanduk di manapun berada.

Terutama saat pemilu.
Potretmu dicentelkan di pohon, ditempelkan di tiang-tiang listrik seperti iklan badut dan sedot WC.

Maafkan mereka, bung.
Maafkan mereka yang dengan sengaja berak dan berdahak di negeri yang pernah mati-matian engkau perjuangkan.

Sungguhpun nama dan wajahmu dijual-jual, mereka takkan pernah berani berkata:
Heeeh... kekejera kaya manuk branjangan, kopat-kapita kaya ulo tapak angin... Hei, Landa! Iki dadaku!

Tapi itu dulu.
Kini kau hanya patung yang berdiri di pertigaan lampu setopan sambil mengapit tongkatmu.

Mengapa gerangan di sana?
Mengapa berdiri di sana, bung?

Apakah kau di suruh orang-orang itu untuk menyambut para pelancong yang datang ke kotamu, seraya mengucapkan:
“selamat datang di kota Blitar”?

Turun, bung!
Engkau bukan Dwarapala.


Demi Allah, bung, turunlah!

Selasa, 13 Desember 2016

DEBUR DAN OMBAK, DEBAR DUKA-CITAKU


Oleh: Fajar Saputro


Aceh pernah melahirkan perempuan-perempuan perkasa pada setiap masanya, sebut saja: Ratu Nahrasiyah, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah, Keumalahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan dan masih banyak lagi yang lain. Kisah-kisah heroisme dan juga semangat baja mereka—bisa kita jumpai pada hikayat-hikayat atau buku-buku di perpustakaan. Meskipun demikian, rengginas dan kekuatan mereka—ia hanya ada di suatu masa yang telah jauh, sulit sekali kita menyusuri jejak-jejaknya dengan data dan catatan-catatan yang akurat.
Untuk itu, mari kubagikan segelaran cerita. Tentang seorang perempuan, namanya Cut. Lahir di Simeulue, 5 Mei 1980. Awalnya ia hanya seorang perempuan biasa, seperti kita semua pada mulanya. Mengutip dari seorang penulis asal Amerika, Georgoe R.R Martin, suatu hari ia pernah berkata: we’re all the heroes of our own stories. Maka Cut bisa jadi aku, atau kamu, mungkin juga mereka, bahkan Cut bisa jadi adalah kita semua yang mengalami nasib sama. Dan yang paling penting, hari ini Cut hidup di tengah-tengah kita semua.
Ya, namanya Cut. Perempuan dari pulau kecil di seberang daratan Aceh. Berprofesi sebagai rescuer, yakni satu-satunya perempuan yang bergabung dengan Tim SAR Banda Aceh. Laut ia selami, sungai ia susuri, gunung ia jelajahi, dan hutan ia masuki untuk menolong dan mencari korban-korban yang hilang kerna sebuah musibah. Setiap operasi yang dijalaninya, ia lakukan dengan semangat baja. Menjadi tim penyelamat, sudah menjadi alur di aliran darahnya. Itulah yang membuatnya sangat istimewa.
Istimewa yang kumaksud adalah tentang ketahanan fisiknya sebagai seorang perempuan yang harus melewati banyak sekali medan dengan kesulitan yang bermacam-macam bentuknya. Juga kekuatan mentalnya, sebab terlebih dahulu ia harus menaklukkan ketakutan-ketakutan di dalam dirinya sendiri ketika dihadapkan dengan keadaan yang buruk saat menjalani sebuah operasi-operasi penyelamatan.
Dengan risiko yang sebesar itu, apa sesunggunya yang sedang Cut cari?
Tapi, setangguh apapun Cut saat mengenakan seragam, ia tetaplah manusia yang juga menjalani mekanisme semesta, mengalami dinamika kehidupan: ada jatuh, lalu mungkin ia bangun, juga rindu, dendam, cinta, dan bisa jadi ada sakit hati yang teramat perih. Siapa tahu? Yang jelas, keberadaannya mendekatkan kita kepada sesuatu yang jauh; yaitu tentang begitu perkasanya Keumalahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan dan  lain-lain—yang bisa kita lihat pada diri perempuan yang satu ini.
Tidak berlebihan rasanya bila kukatakan, bahawa Cut adalah perempuan perkasa yang dilahirkan negeri Aceh pada masa sekarang. Perempuan hebat yang bisa kita saksikan dari jarak yang sangat dekat.
Maka kepada perempuan-perempuan hebat itu, dan juga Cut, mungkin diantara kita ada yang ingin bertanya: apakah gerangan yang mebuat kalian sekuat itu menjalani persoalan hidup yang rumit ini? Kekuatan apakah yang ada di balik semua ini yang membuat kalian berubah menjadi perempuan perkasa dan tangguh menghadapi banyak sekali masalah dan juga kesulitan-kesulitan?
Jika boleh kuajukan pertanyaan yang sedikit lancang, dan semoga saja tidak keliru: apakah bernar semua ini ada hubungannya denga persoalan cinta?
Apakah mungkin sesederhana itu?
Atau ada kemungkinan lain?
Atau malah justru aku yang sedang menyederhanakan masalah?
Entahlah!
***

“Cut,” salah seorang kawan menghampiriku selepas apel pagi. “Pak Kepala mencarimu, kau disuruh menghadap di ruangannya.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Oke, terima kasih.”
Aku langsung bergegas menuju kantor Pak Kepala. Di depan pintu aku berhenti sebentar, tak langsung masuk. Beberapa detik, aku mengetuk pintu.
“Yak, masuk.”
“Selamat pagi, pak. Bapak panggil saya?”
“ Ini,” sepucuk surat disodorkan kepadaku. “Ada undangan untukmu, dari Jakarta.”
“Siapa, pak?”
“Buatmu. Bacalah dulu!”
Aku merobek amplop putih berlogo, lalu membacanya.
“Duduklah, Cut!”
“Siap!” Aku duduk, dan masih terus membacanya.
“Apa katanya, Cut?”
“Saya diundang sebagai salah satu narasumber utama, pak.”
“Ya sudah, kamu berangkat.”
“Diizinkan, pak?”
Pak Kepala mengangguk, itu berarti setuju. Lantas aku berdiri, meberi hormat kepadanya: “terima kasih, pak.” Beliau berdiri, mengulurkan tangan. Kusambut jabatan tangannya penuh dengan perasaan bangga. “Ya sudah kalau begitu,” Pak Kepala menutup perbincangan kami. Aku pamit meninggalkan kantor Pak Kepala, bergabung kembali bersama yang lain.
Satu jam, dua jam... tak terasa waktu berjalan begitu saja, berputar dengan cepat. Sore pun tiba. Aku hendak pulang menuju asrama. Tapi kupikir lebih baik mampir dulu sebentar, duduk-duduk di pinggir pantai menikmati senja dan hidayah yang berwarna jingga. Hingga beberapa hari setelah menerima surat itu, aku makin sering berkunjung ke pantai untuk menikmati hal yang sama indahnya. Telepon genggamku berbunyi:  “Halo?! Ya, selamat sore. Betul, saya sendiri?!. O, sudah... sudah...” Di sebalik telepon, seorang perempuan memperkenalkan diri sebagai tim kreatif kepadaku. Ia mengatakan tentang hal yang kurang-lebih hampir sama dengan isi surat yang kuterima beberapa hari yang lalu. Perempuan itu ingin memastikan ketersediaanku atas undangan tersebut. Aku menyanggupinya. Lalu ia mengatakan beberapa hal teknis, aku hanya mendengarkannya dan hanya sesekali saja menjawab. Sampai suara di sebalik telepon itu berhenti, aku melanjutkan rutinitasku.
 Hmmm... Andai engkau dapat melihat apa yang sedang kunikmati hari ini, tatkala waktu lunas di puncak sore. Dengan latar remang, juga warna kuning dan merah yang saling isi, saling memasuki; sungguh nyata kusaksikan bahwa rindu takkan pernah kemarau. Tak pernah, kekasih. Kenangan itu masih kerasan di pucuk kening. Angan yang terlanjur menyemak, membelukar diembus-embus angin, ditiup-tiup asmara juga amarah. Aku suka mencium wangi-aroma laut, juga anginnya, suara air yang naik ke pantai kemudian mundur ke samudera. Atau sekadar ingin mendengar bunyi perickan yang pecah sebab menabrak-nabrak bebatuan. Ya, cinta bisa sama besarnya dengan keyakinan. Mata bisa saja ditipu, maka jangan hanya melihat.
Sampai pada suatu hari, 21 Oktober 2016. Pagi. Bahkan masih pagi sekali. Aku sudah siap, duduk di beranda-asrama dengan segala perlengkapan: satu stel pakaian rapi yang kukenakan, dan satu tas ransel bawaanku yang isinya macam-macam. Sesuai undangan, dan informasi melalui telepon tempo hari, hari ini aku akan dijemput seseorang yang diutus untuk mengantarku ke Bandara Sultan Iskandar Muda dengan tujuan-akhir Bandara Soekarno-Hatta. Lokasi undangannya di Kebun Jeruk – Jakarta Barat; di salah satu studio—stasiun televisi milik swasta yang terletak di lantai 6. Peristiwa ini adalah pengalaman pertamaku, tentu saja aku gugup. Aku belum bisa membayangkan bagaimana nanti suasananya.
Aku masih di sini.
Duduk dengan kepungan butir-butir kabut, dan cuit burung yang bertengger di hamparan kabel-kabel lampu jalan raya yang tampak masih menyala. Tidak begitu lama, burung-burung itu bubar ke angkasa. Disusul kokok ayam jago yang suaranya panjang, dan terdengar gagah sekali.
Ya, ya... pagi itu kurasa memang agak sedikit dingin. Suasana serba putih di sekelilingku lambat-laun terang, kabut sirna disapu oleh sinar matahari. Dan aku pun masih duduk sendiri. Di kursi, merebahkan seluruh beban punggungku di sandaran. Meletakkan semua tanganku, dan seluruh persoalan yang diembannya. Aku tahu, suasana seperti ini kerap mengantarku kepada masa lalu yang telah jauh; sebuah masa yang sangat ingin kupendam dalam-dalam. Tapi, diam-diam ia selalu kugali, kemudian kupeluk-peluk lagi. Kubuang, lalu kupungut dan kusayang-sayang lagi. Seperih apapun sakit hati, sudah kodrat manusia sebagai ahsani taqwim; ia adalah sebaik-baik makhluk ciptaan. Ia lebih kuat dari penderitaan yang ditakdirkan untuk dirinya, ia lebih perkasa dari persoalan hidupnya sendiri. Sadar atau tidak dengan potensi ini, semacam ada kecenderungan-psikologis pada diri manusia untuk memelihara kesakitan-kesakitan sebagai kenikmatan personal yang melankolik. Sebuah kenikmatan yang hanya ia sendiri yang dapat merasakannya: di dalam kamar, gelap, bantal yang basah, iringan lagu-lagu kenangan yang dapat mendukung suasana. Sepi selalu saja istimewa, yaitu kerelaan untuk kadang-kadang ditinggalkan.
Seperti pagi ini.
Beberapa lama kurasakan hening itu telah berada di titik beku, dan selalu kusaksikan persoalan-persoalan pergi meninggalkanku sendirian. Setelah rinduku lunglai, rasa geram menyelinap tanpa bau dan juga suara. Menyusup dengan pelan. Tahu-tahu kuremas kursi kayu pada bagian sandaran tangan, kuat-kuat. Kuremas ia, seakan-akan kami saling berhadapan: “Kenapa kamu tega meninggalkanku, heh? Kenapa?!” Napasku memburu, seperti ada rasa hangat yang menyebar disekujur tubuhku sehitungan jemari tangan kanan. Berpindahnya marah, kemudian senang, tiba-tiba sedih, dan tahu-tahu rindu yang teramat sangat membuatku tersiksa. Hampir 12 tahun lamanya ia membekapku dari dalam, tentu saja ini di luar kendali. Untung saja lima atau sepuluh menit berlalu, sebuah mobil masuk ke halaman: jenis minibus. Ia berhenti pas di depan asramaku. Seorang laki-laki turun dari mobil, menghampiriku.
“Dengan ibu Cut?!”
“Ya, saya sendiri?!”
“Mari, silakan masuk. Ibu akan berangkat pada jadwal penerbangan pertama.”
Laki-laki itu membimbingku menuju ke dalam mobil, membukakan pintu, dan mempersilakanku masuk. Dan kami pun berangkat. Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku hanya diam, merasakan sesuatu di dalam diri seperti ada yang bergetar, getir ini akan kuceritakan semua. Semuanya. Dan semoga engkau—, yang entah ada di mana, melihatnya.
***
           
Aku sudah berada di Bandara Sultan Iskandar Muda. Sedangkan laki-laki itu masih mengiringiku hingga ke loket untuk counter chek in. Setelah semua urusan keberangkatan selesai, ia pamit undur diri. Aku mengucapkan terima kasih, kemudian ia berlalu.
            Kulangkahkan kakiku perlahan, menuju terminal pesawatku. Tapi jadwal penerbanganku delay. Aku duduk di ruang tunggu bersama penumpang lain. Ada yang gelisah, ia terus memandangi arlojinya. Ada yang tampak marah, memprotes petugas jaga. Tapi ada juga yang acuh, ia asik dengan ponselnya. Gerak-gerik manusia, suara-suara, menemaniku sepanjang dudukku—hingga pada saat giliranku untuk berangkat, pesawat terbang mengantarku pergi ke Jakarta.
Kurang-lebih 3 jam lamanya, aku  sampai di bandara Soekarno-Hatta.  Seorang sopir menjemputku. Dari Cengkareng, kami menuju ke arah timur melewati jalan Daan Mogot hingga sampai di daerah Kebon Jeruk 30 menit kemudian. Sampai di studio, aku dipertemukan oleh sopir tadi dengan tim kreatif yang meneleponku beberapa waktu yang lalu. Setelah bertemu, aku disuruhnya duduk di ruang tunggu. Di sana sudah ada seorang wanita separuh-baya yang model rambutnya di cukur pendek. Kami saling melempar senyum, saling menundukkan kepala. Tidak lama waktu berselang, seorang perempuan muda datang. Tubuhnya mungil, mungkin masih umur dua puluh tahunan. Dia memakai kerudung, tampak cantik sekali. Tidak lama dari kedatangan perempuan muda tadi, seorang perempuan lagi datang. Tinggi, kurus. Juga masih muda, dan berjilbab. Ia juga menebarkan pesona yang menawan.
Tim kreatif datang. Satu persatu kami dibimbing menuju ruang make-up. Aku dan perempuan yang datang terakhir, mendapat giliran berikutnya. Mungkin ada sekitar 1 jam, kini giliranku dipanggil, berdua dengan peremupuan tadi. Di sana, di ruang make-up, ada 3 kursi rias yang dilengkapi dengan cermin setinggi 2 meter panjangnya. Dua perempuan yang masuk di awal tadi, masing-masing sudah mengenakan seragamnya.
Aku dirias, tapi tidak banyak.
Setelah selesai, kini ada empat perempuan dengan seragam masing-masing. Kami berpindah ke ruang lain. Di sana, kami sudah ditunggu oleh pembawa acara dan dua orang laki-laki: yang satu tua, yang satu lagi masih terlihat sangat muda. Bertujuh, ditambah dengan tim teknis, kami duduk bersama. Melingkar. Ini adalah sesi breafing sebelum perekaman. Dari sini aku tahu bahwa dua laki-laki itu adalah narasumber yang duduk di bangku penonton. Sesi ini merupakan upaya untuk mengatur konten acara, termasuk hal-hal apasaja yang akan ditanyakan kepada narasumber; juga joke yang akan dilemparkan saat perekaman.
Beberapa lama berada dalam sesi breafing, aku jadi tahu bahwa beliau, perempuan berambut pendek, adalah seorang test pilot, atau pilot uji coba yang bekerja untuk PT. Dirgantara Indonesia. Dengan seragam coverall berwarna coklat muda, atau wearpack, perempuan itu terlihat gagah sekali. Dia mendapat giliran perekaman pada segmen 1 dan 2. Perempuan muda bertubuh mungil, yang mengenakan PDL berwarna merah, adalah anggota Manggala Agni untuk wilayah Damkar Palembang – Sumatra Selatan. Mendapat giliran perekeman pada segmen ke-3. Kemudian, perempuan ketiga yang memiliki tubuh tinggi dan berperawakan kurus, ia memakai seragam PDH berwarna coklat tua. Dia adalah anggota Satuan Brimob wilayah Yogyakarta. Berpangkat Brigadir Satu, dan seorang penembak jitu. Mendapat giliran perekeman pada segmen ke-4. Sedangkan aku, mendapat giliran terakhir, segmen 5 dan 6.
Selesai. Kami berempat diarahkan duduk di belakang studio berdasarkan urutan. Musik pengiring mengalun, tepuk tangan para penenton bergemuruh.
“Kisah tentang perempuan-perempuan yang memilih profesi yang biasa digeluti oleh para kaum pria,” kata pembawa acara, “selalu menarik untuk diceritakan. Kali ini, saya hendak bercerita tentang perempuan-perempuan yang sengaja memilih profesi yang selama ini identik dengan kaum pria. Bahkan dengan risiko yang cukup tinggi. Siapa mereka? Kita mulai dari...” nama narasumber pertama disebutkan. Perempuan berambut cepak meninggalkan kursi tempat duduknya, terdengar penonton tepuk tangan. Kami bergeser tempat duduk. Kini hanya tinggal tiga orang. Lalu narasumber kedua dipanggil namanya. Kemudian yang ketiga. Tinggalah aku sendiri di balik ruang pertunjukan.
Seorang tim teknis mendekatiku, menyuruhku bersiap-siap. Beberapa lama lagi akan tiba giliranku. Aku berdebar. Musik mengalun, tepuk tangan terdengar bergemuruh.
“Tamu kita  berikutnya, dulu seorang atlet karate. Tapi sekarang, dia adalah tim penyelamat manusia. Kita sambut, Cut...”
Pundakku ditepuknya, sontak aku berdiri, kemudian berjalan menuju studio perekaman. Host menyambutku, kami bersalaman, dan kemudian tangannya memberi isyarat  untuk mempersilahkanku duduk. Di bawah sorotan kamera, lampu-lampu, dan mata para pemirsa; aku duduk di sofa-panjang berwarna putih—lengkap dengan bantal merah yang ada dua jumlahnya. Kurasai dadaku deg-degan—berhadapan dengan sang pembawa acara.
Penonton tepuk tangan.
“Terimakasih. Perkenalkan, nama saya Cut.  Perempuan biasa kelahiran Simeulue, 5 Mei 1980.”
“Yak. Kalau dari seragamnya sudah tertulis dengan jelas: B-A-S-A-R-N-A-S. Singkatan dari?” Pembawa acara bertanya.
“Badan SAR Nasional,” aku menjawab.
 “Operasi apa yang pertamakali Anda ikuti?”
“Saya sedikit lupa tahun kejadiannya, tapi lokasinya saya ingat: di kolam Mata Ie, Desa Lue Ue – Kecamatan Imarah – Kabupaten Aceh Besar. Bersebelahan dengan komplek Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) Iskandar Muda, yaitu sekolah militer tingkat tamtama. Hari biasa, kolam Mata Ie digunakan untuk latihan para tentara dan calon tentara. Jika hari libur, kolam Mata Ie difungsikan sebagai tempat rekreasi. Pada suatu waktu, ketika musim penghujan, air kolam berubah warna menjadi coklat. Biasanya memang seperti itu. Seorang pengunjung berenang, tapi hingga sore, jam tutup  kolam, seseorang melaporkan bahwa  salah satu anggota keluarganya ada yang hilang. Lalu tim SAR ditugaskan ke sana, saya satu-satunya anggota yang masih berstatus Potensi SAR. Pencarian dibagi di dua lokasi: titik yang diperkirakan tempat hilangnya korban, dan tepian kolam. Saya ditugaskan untuk mencari di lokasi yang pertama. Air yang keruh, sempat membuat saya pesimis. Jarak pandang pasti sangat terbatas. Tim lain sudah mulai terjun, menyisir setiap tepian kolam. Saya masih melihat keadaan. Beberapa orang terlihat menangis memandangi kolam, dan memeluk baju laki-laki ukuran anak-anak. Lalu baju itu dilempar ke tengah kolam, sembari menyebut-nyebut sebuah nama.”
“Buat apa melemparkan baju korban ke dalam kolam?”
“Saya kurang tahu apa alasannya. Tapi, memang ada sebuah kepercayaan sebagian masyarakat: jika ingin “memanggil” korban yang tenggelam, dengan cara melempar baju korban ke dalam air sembari menyebutkan namanya.”
“Lalu?”
“Setelah baju dilemparkan, bersamaan dengan saya terjun ke kolam. Keadaannya seperti yang sudah saya duga sebelumnya: keruh, dan jarak pandang terbatas. Persoalannya hari mulai gelap, saya harus buru-buru menemukannya. Tapi sampai setengah jam berlalu, hasilnya masih nihil. Saya meneruskan pencarian. Hingga satu jam saya berada di dalam air, tidak ketemu juga. Nasib tim yang lain juga sama. Lalu ada instruksi untuk melanjutkan pencarian besok pagi, kerna hari sudah mulai gelap. Ketika saya hendak naik, lutut saya seperti menabrak sesuatu. Saya periksa, ternyata sebuah tangan. Kemudian saya tarik ke atas dan kemudian meminta bantuan tim lain. Korban berhasil ditemukan. Itu adalah pengalaman pertama saya melihat mayat.”
“Bagaimana perasaan Anda ketika itu?”
“Tentu saja takut, campur aduk rasanya.”
“Apa yang membuat Anda tetap ingin menjadi tim SAR, padahal Anda merasa takut melihat mayat korban?”
“Saya melihat mata keluarga korban, sebelum dan sesudah mayat ditemukan. Dari situ saya jadi tahu, kenapa saya harus tetap di sini.”
“Baik, pertanyaan berikutnya.”
“Silakan.”
“Katanya Cut pernah mengambil risiko; setelah menyelam sekian lama, kemudian ada salah satu keluarga dari korban yang masih ingin jenazah atau mayat keluarganya ditemukan. Lalu Cut menyelam kembali, dengan risiko terkena dekompresi. Itu peristiwanya di mana?”
“ Di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Tepatnya di Danau Laut Tawar, peristiwanya tahun 2012. Memang di Danau Laut Tawar setiap akhir hingga awal tahun, kerna tempatnya terletak diketinggian, kerap diterpa angin kencang dan danau menimbulkan ombak yang cukup besar. Sebuah kapal pariwisata terbalik, yang sedang mengangkut 40 wisatawan: orang tua, dewasa, remaja, dan anak-anak. 4 orang dinyatakan hilang, sedangkan yang lain selamat. Kebetulan waktu itu saya belum jadi instruktur, sertifikat saya masih dive master. Sedangkan anggota yang saya bawa statusnya masih A-1 atau penyelam pemula semua.”
“Bisa diceritakan bagaimana kronologinya?”
“Jadi, ketika kami datang di lokasi, semua orang mengerubung. Warga Takengon sudah berkumpul di Danau Laut Tawar. Sepertinya kedatangan kami memang sangat ditunggu-tunggu. Barusaja saya dan tim mengijakkan kaki di tanah, sesaat turun dari mobil, seorang perempuan mendatangi saya: Tolong selamatkan anak saya, katanya. Tak ingin membuang waktu, saya dan 3 anggota lainnya langsung turun ke danau—kira-kira hingga mencapai 45 meter kedalamannya. Untung saja masih ada matahari, kulit korban yang tenggelam—tersinari cahaya dan menatulkan kilat-kilatan yang pada akhirnya tertangkap oleh mata kami. Penyelaman pertama, kami mendapatkan dua korban. Mereka sudah meninggal dunia. Begitu sampai sampai di permukaan seusai menyelam, masing-masing jenazah kami gotong 2 orang. Lalu kudengar sekumpulan orang histeris. Dalam situasi biru seperti itu, dimana tangisan mewarnai hampir seluruh tempat dan ruang, saya memilih untuk menghindar. Tak tega melihatnya.”
“Kemudian?”
“Setelah penyelaman pertama, kami istirahat selama satu jam. Seperti biasa, selain waktu untuk mengisi perut, kami juga berdiskusi: memperkirakan kontur permukaan danau, mempelajari arus danau, dan memperkiraan jasad korban terseret di mana—dimulai dari titik tenggelam. Sedang serius-seriusnya membahas misi evakuasi, segerombolan orang  menghampiri saya lagi, dan salahsatu diantara mereka berbicara: Nak, tolong temukan anak saya. Saya tahu dia sudah tiada. Tapi, setidaknya, jika mayatnya ditemukan, kami bisa menguburkannya dengan layak. Saya hanya menagguk, menenangkan suasana. Rencana awal, setelah penyelaman pertama—kami rolling, tapi kerna tim yang saya bawa bukan kategori penyelam dalam, saya khawatir jenazah tidak dapat ditemukan. Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan misi penyelaman lagi—beserta tim yang lain. Sebab ada kekhawatiran, jenazah akan hilang. Kerna menjelang sore, arus air akan berubah. Dan mayat yang ada di dasar danau, dapat dipastikan akan terseret arus danau. Akhirnya saya mengambil risiko itu: menyelam kembali. Meskipun hari sudah mengarah ke sore, keadaan air danau sudah tak seterang tadi. Cahaya berkurang. Sesuai perkiraan ketika istirahat tadi, mayat kemungkinan terseret ke tengah. Sebab kontur permukaan danau miring, ada kemungkinan terseret agak menjauhi titik peristiwa tenggelamnya kapal. Menuju ke lokasi pencarian yang kedua, kami menggunakan perahu. Begitu sampai, saya langsung terjun. Sedangkan yang lain menunggu di atas perahu. Makin ke tengah, ditambah dengan langit yang berubah warna, suasana di dalam air tampak gelap. Untung pada akhirnya saya dapat menemukan dua korban lagi yang lokasinya tidak saling berjauhan. Saya ikat badan mereka dengan tali, lalu ditarik oleh tim yang ada di atas perahu. Senang sekali rasanya. Mungkin itu adalah operasi terpuas yang pernah saya jalani.”
Penonton tepuk tangan.
“Nah, kemudian ketika kejadian di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah: saat pesawat AirAsia QZ8501jatuh di sana. Situasinya waktu itu, menurut berita yang saya ingat, kondisi cuacanya sangat buruk sekali. Ombaknya besar, hingga mencapai 6 meter: gelombang, angin, dan lain sebagainya—tetapi Anda tetap harus menyelam. Bagaimana peristiwa persisnya?”
“Itu tahun 2010. Dari Banda Aceh, kami ada empat orang yang berangkat. Mendapatkan tugas ini, saya merasa sangat senang sekali.”
“Kenapa?”
“Kebetulan saat itu saya sedang stop operasi, tetapi saya dan tim Basarnas yang lain—terus memantau perkembangan berita tentang kecelakaan pesawat di televisi—dimana telah ditemukan titik kordinat jatuhnya pesawat. Saya menangis: kenapa tidak diikutkan dalam operasi pencarian korban pesawat.”
“Lho, yang lain malah menghindari operasi tersebut, tetapi Anda malah sedih kerna tidak diikut-sertakan dalam kegiatan itu?! Apa penyebabnya?”
“Ingin jawaban sebenarnya, atau jawaban yang diinginkan?”
“Dua-duanya...”
“Kalau formal, saya akan menjawab bahwa itu kerna jiwa penyelam yang ada di dalam diri saya. Jika Anda ingin jawaban yang sebenarnya, saya akan menjawabnya pada akhir acara nanti.”
“Baik. Lalu bagaimana Anda akhirnya dapat berangkat ke Selat Karimata?”
“Saya menghadap atasan, dan meminta izin agar diberangkatkan dalam operasi tersebut. Disetujui. Akhirnya Aceh mengirim 4 utusannya: 2 orang istruktur, dan 2 orang junior saya. Bersama rombongan, kami masuk melalui Pontianak, lalu dilanjutkan lagi dengan  menyusuri jalan darat selama 16 jam. Setibanya di Teluk Kumai, saya dan tim naik KN Purworejo menuju area evakuasi—bergabung dengan tim lainnya yang sudah ada di lokasi: Denjaka, dan Kopaska. Kami reuni sebentar, kerna tim Denjaka adalah teman saya menyelam. Setelah ramah-tamah, akhirnya saya turun untuk evakuasi. Tapi tidak bisa. Ombaknya besar sekali. Anginnya juga kencang. Jadi proses evakuasi selama 2 minggu, saya tidak bisa turun samasekali. Maka saya ditugaskan untuk jadi koki.”
“Sebentar, dengan ombak sebesar itu, bagaimana Anda bisa memasak?”
“Saya adalah perempuan satu-satunya di dalam kapal itu. Mungkin kerna dianggap memiliki sentuhan dan aura feminis saat memperlakukan bahan-bahan makanan,  saya diminta oleh Kapten menjadi juru masak. Di kapal, selain tim Basarnas, juga ada Polisi, Wartawan, dan lain-lain. Kerna kondisi kapal sering bergoyang-goyang, saya membawa asisten di dapur: dia yang pegang panci, sedangkan saya yang ngrajang bawang dan bumbu-bumbu dapur lain lainnya.”
Penonton tertawa serentak.
“Oke. Kali ini saya ingin bertannya agak serius.”
“Silakan.”
“Jadi, dengan risiko sebesar itu, apa yang membuat Anda memiliki energi yang begitu besar menjadi rescuer Basarnas?”
Deg.
Aku diam, tidak langsung menjawab. Rasanya, darah naik ke wajah. Aku tidak  menyangka pertanyaan itu akan mendarat begitu cepat. Sejenak, semua tampak berhenti. Hatiku berdebar. Akhirnya  kesempatan ini datang juga—
***

Seperti yang yang kubilang tadi, namaku Cut.  Perempuan biasa kelahiran Simeulue, 5 Mei 1980. Simeulue merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat, letak pulaunya terpisah dengan daratan Aceh—lebih-kurang 105 km Mil laut dari Meulaboh Kabupaten Aceh Barat atau 85 Mil laut dari Tapak Tuan Kabupaten Aceh Selatan. Tepatnya di Sinabang, Kecamatan Simeulue Timur dan sekaligus ibukota kabupaten Simeulue. Selain dikepung  pantai, tempat tinggalku juga dihiasi bukit-bukit yang berukuran sedang; serta hutan yang terletak di belakang perkampungan warga.
Kata orang tua, daerah kami dulunya merupakan penghasil-garam-terbesar dan merupakan tempat para pengrajin kayu rasak untuk dikirim ke negeri Belanda pada masa kolonial menggunakan jalur laut. Belanda  mulai menginjakkan kaki di bumi Simeulue pada tahun 1901 pasca jatuhnya Kesultanan Aceh yang kemudian sistim pemerintahannya diganti dengan  Afdeeling Witskust Van Aceh dan membagi Simeulue menjadi 5 Landschop: Tapah, Simeulu, Salang, Sigulai, Leukon. Seluruh wilayah Simeulue mendapat sebutan: Onder Afdeeling Simeulue. Dipimpin oleh seorang Controleur yang berkantor pusat di Sinabang. Rezim berganti, Jepang datang pasca kemenangannya dalam perang Asia Timur Raya melawan Belanda—membuat Jepang menguasai daerah jajahan Belanda di Indonesia. Onder Afdeeling Simeulue berganti nama menjadi Simeulue Gun, juga mengganti istilah Landschop menjadi Son untuk wilayah yang sama.
Sedari dulu Aceh merupakan pintu lintasan internasional perdagangan-laut yang sangat strategis menghubungkan dunia Barat dan Timur: di sebelah Utara, berbatasan dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Sumatra Utara dan Samudera Hindia. Di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Dan di sebelah Timur, berbatasan dengan Selat Malaka dan Sumatra Utara. Kerna letaknya yang “terisolir”, dikepung lautan, terpisah dari daratan Aceh, tempat kami relatif lebih kondusif dibandingkan dengan daerah lainnya: dari masa Atjeh-oorlog melawan kaphe’ dengan pihak Belanda yang dimulai setelah peristiwa Traktat London pada tahun 1871[1]—hingga pada masa pergerakan GAM yang diinisiasi oleh Hasan Tiro yang dimulai dari tahun 1976 hingga tahun 2005[2] untuk membebaskan-diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jauh dan terhindar dari keramaian-keramaian itu, membuat kami mewarisi banyak sekali tradisi tutur dalam bentuk Inafi, lantunan syair Nanga-Nanga, dan seni-pantun Nandong.
O, ya. Mungkin masih banyak yang merasa asing dengan tradisi tutur yang aku sebutkan tadi. Ketiganya adalah tradisi yang ada di Simeulue, bercerita tentang sebuah bencana-alam yang pernah menerjang Simeulue. Untuk Inafi, biasanya dituturkan saat malam hari. Sebagai dongeng sebelum tidur. Nanga-Nanga, dilantunkan oleh masyarakat Simeulue ketika sedang mencari ikan di laut, mengembala kerbau di pinggir pantai, atau ketika menanam cengkeh di ladang. Bunyinya begini kira-kira:
Engelanmon sao surito (Dengarkanlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (Pada masa jaman dahulu [kala])
Manoknop sao fano (Tenggelamlah sebuah tempat)
Uwila da sesewan (Saya tahu [dari yang] mereka sampaikan)

Unen-ne besang alek linon (Awalnya datanglah gempa)
Besang bakat-ne malli ([kemudian] Datang ombak yang kuat)
Manoknop sao hampong (Tenggelamlah sebuah desa)
Tiba-tibo maui (Tiba-tiba [begitu] saja)

Anga linonne malli ([maka] Jika datang gempa yang begitu kuat)
Owek asen suruik sahuli ([dan] Air laut surut sekali)
Mahea mi hawali (Cepatlah kalian lari)
Bonome senga ataik (Mencari tempat yang tinggi)

Ede smong kahanne (Itu smong [tsunami] namanya)
Turiang da nenek ta (Cerita dari nenek kita)
Miredem teher ere (Ini harus kalian ingat)
Pesan nafi-nafi da (Pesan, [dan] cerita mereka)

Aifak ame melibu (Jangan kalian lupa)
Inafi da nenek ta (Cerita para nenek kita)
Miredem bongi falal (Kalian [harus] ingat siang dan malam)
Umpamo ame meredem limo waktu (Ibarat kalian mengingat lima waktu)

Karano inafi da nenek ta (Karena cerita para nenek kita)
Manyalamatkan fanonta (Menyelamatkan tempat kita)
Dilak ulao Simolol (Di pulau Simeulue)
 Linon alek smong maso sing lalu ([dari] Gempa dan smong pada masa lalu)

Linon oak-oakmo (Gempa adalah ayunanmu)
Elaik kedang-kedangmo (Petir adalah kendangmu)
Kilek suluh-suluhmo (Kilat adalah lampu penerangmu)
Smong rumek-rumekmo (Smong adalah air mandimu)


Pokoknya, begitulah kira-kira. Jadi, saking seringnya dituturkan, hampir seluruh masyarakat di Simeulue—hafal dengan setiap kalimat yang ada pada tradisi tutur ini. Kami hampir memiliki kesadaran yang sama, dan ingatan yang terkolektif tentang sebuah bencana air yang pernah menghantam daerah kami. Disampaikan dan didendangkan di manapun tempat, agar terwariskan kepada generasi berikutnya. Sebab dipercaya, bencana alam itu akan datang lagi.
Hingga hari ini, Inafi dan Nanga-Nanga diyakini sebagai mantra oleh sebagian masyarakat. Jika dijadikan dongen ketika malam hari, membuat anak-anak akan segera tertidur pulas. Jika didendangkan saat mencari ikan, dipercaya akan membawa keberuntungan. Dan jika dilafalkan ketika menanam cengkeh, tumbuhan akan menjadi subur dan melimpah-ruah. Tidak hanya itu. Nasihat-nasihat tentang sebuah bencana-alam juga dijadikan seni pertunjukan yang dapat dinikmati secara masal: acara khitanan, pesta perkawinan, dan pesta rakyat lainnya—yang dirayakan dalam waktu semalam suntuk—bertaburan pantun-pantun yang dilengkingkan dengan nada lirih seolah meratap kepada Tuhan. Tapi ada di bagian-bagian tertentu, pantun nandong terdengar garang seperti hendak pergi berperang. Diawali oleh seorang pemukul seuramo, yaitu alat musik yang lebih mirip bedug (masjid?) yang dipukul dengan tangan kanan menggunakan kayu, sedangkan tangan kiri tanpa kayu. Diiringi dengan dua orang penari, tabuhan kendang, dan gesekan-gesekan dawai biola—permainan  nandong pun dimulai:
Ibo hati memandang darek (Sedih hati melihat daratan)
Ado sampan pandayung tidak (Ada sampan tidak ada pendayungnya)
Taragak hati nandak pulang (Niat hati ingin pulang)
Ado gampong tidak bapanghuni (Ada desa tidak berpenghuni)

Dalam satu acara nandong, pantun yang dilantunkan bisa mencapai ratusan jumlahnya. Semakin malam, lengkingan nandong terdengar semakin kencang saja. Seperti hari itu. Sehabis memasukkan kerbau-kerbau ke dalam kandang, setelah seharian mereka kukembala, aku buru-buru membersihkan diri dari bau matahari. Kebetulan di desaku, Gampong Abail, ada salah seorang warga sedang menyelenggarakan hajat pesta perkawinan untuk anaknya. Seuramo pun ditabuh kembali setelah selesai adzan maghrib. Kami semua berkumpul, menonton penari melenggak-lenggokkan badannya. Salah seorang mengenakan kain selendang di lehernya, dan seorang lagi membawa payung sambil terus diputar-putar. Mereka berdua terus menari-nari, mengikuti irama sang pelantun pantun dan ingiran permainan musik.
Tiba-tiba saja kilatan cahaya meloncat, mengenai wajah dan juga mataku. Sejenak aku menghindar, melindungi mataku. Setelah cahaya itu berhenti,  kucari sumbernya, dan—ketemu. Ternyata di sebelah kiri, hanya berjarak beberapa depa dari tempatku berdiri, seorang pria sedang membidikkan lensa kameranya ke arah panggung: tempat orkestra nandong sedang berlangsung. Tentu saja kilat-cahaya itu mengganggu, kaget aku dibuatnya. Ketika hendak kubalikkan wajahku ke arah semula, tempat diselenggarakannya pertunjukan nandong, leherku serasa kaku. Tak ayal mataku terus menikmati wajah pemuda asing itu, juga rambutnya, dan seluruh gerak-geriknya. Ia memang tampan: kulit putih, rambut hitam tebal, alis yang terang, matanya elang, dan dada yang bidang. Sepertinya pemuda itu bukan berasal dari desa sini. Masih sibuk menelusur, kilatan cahaya itu menabrak wajahku lagi. Tapi entah apa sebabnya, aku lebih suka menikmati sajian alam semesta ini ketimbang dua lelaki sepuh yang sedang menari-nari.
Belum cukup benar aku memanjakan pandanganku, mungkin juga pria yang kumaksud—merasakan getaran-getaran pada kedua bola mataku; pemuda itu menghentikan kegiatannya: menurunkan kamera hingga sebatas paha, ia tenteng dengan tangan kanannya. Kini wajahnya menuju kepadaku. Aku tersipu, gugup, sekaligus kaget—, harus ke mana memalingkan wajah yang tengah terpergok menekuni dirinya. Ia tersenyum, mendekat kepadaku:
“Seni apa ini namanya?”
Aku terdiam, tak menjawab. Malu.
“O, iya. Perkenalkan,” pria itu mengulurkan tangannya, “saya Heri.”
Aku menyambutnya dengan menelangkupkan kedua tangan, tak membalas jabatan tangannya. “Saya Cut,” kataku.
“Oh, oke.” Dia mengelap-elapkan telapak tangan pada celana. Ekspresi yang alamiah. “Cut asli sini?” Lanjutnya.
“Iya. Kamu?”
“Saya dari Jawa, kuliah di Banda Aceh, tinggal di rumah saudara. Kebetulan sedang libur, makanya bisa main ke sini.”
Sebelum dingin kata-kata, segera kulontarkan pertanyaan kepadanya agar suasana kembali hangat. Ia pun segera menjawab, lalu melontarkan pertanyaan lagi. Dan aku menjawabnya segera. Terus begitu. Obrolan kami berlanjut, tak berhenti. Sambil berdiri, sepertinya kami sangat menikmati pertemuan ini. Tanpa komando, kami melakukan impovisasi: berjalan pelan-pelan, sambil terus bercakap-cakap. Kami berjalan, entah sedang mencari apa, dan hendak menuju ke mana. Tapi ketika terlihat sebuah kursi kayu, kami langsung duduk. Dan obrolan pun tetap berlanjut—masih saling memperhatikan secara satu-sama lain: jika aku yang sedang bicara, dia menatapku tajam. Sebaliknya. Jika saat gilirannya yang sedang bicara, aku mendengarkannya dengan saksama dengan pandangan kaca.
Pantun bernada pilu itu pun terus diteriakkan. Hari semakin malam. Angin berembus pelan, lalu sedang. Tak begitu lama, angin mulai terasa kencang. Hingga dapat kudengarkan gemerisik dedaunan dan nyiur yang terempas-empas angin yang tampak di puncak geram. Aku mulai panik. Dan benar saja, memang kurasakan bumi sedang bergerak-gerak.
Gempa!
Ada gempa!
Tetapi Heri terus berbicara, tak sampai hati aku memalingkan muka. Bentuk  wajahnya, garis pada bibirnya, bulu-bulu di matanya; sangat sayang untuk ditukarkan dengan kepanikan—atau apalah itu namanya. Biar saja, lari bisa kapan saja. Pas kiamat juga bisa. Maka aku menahan diri, hanya saja mataku terus melirik ke kanan dan ke kiri. Waspada. Sekilas kulihat para pemain nandong seperti tak menggubris guncangan-guncangan yang terasa mulai kencang, juga para hadirin lainnya—mereka malah asik ngobrol satu-dengan lainnya. Acara terus berlanjut, sedangkan keadaan  masih tenang-tenang saja. Tapi angin terus bertiup dengan sekeras-kerasnya. Dan bumi pun bergerak-gerak lebih kencang dari yang sebelumnya. Tanganku bergetar, kaki, dan seluruh badanku gemetar. Aku makin panik, dan makin bertambah panik ketika kudengar suara air laut seperti sedang menjauh. Lalu hening, dan kemudian sepi sekali.
Mungkin hanya setarikan napas dari suasana sepi tadi, kini kudengar suara “oooooooooonnnnnnngggggg...”—bergemuruh, bergederam dari arah pantai. Lalu kulihat ombak yang menjulang setinggi pohon kelapa, ia menganga bagaikan rahang yang hendak menelan. Aku menjerit, hendak memberitahukan kepada semua orang:
Smong!
Smong!
Ayo lari!
Ada smong!
Tapi terlamabat, aku sudah tidak bisa berlari. Sebab smong itu telah memporak-porandakan hatiku. Ya, hanya di hatiku.
***

            “Cut, besok mau menemaniku jalan-jalan?”
            “Ke mana?”
            “Belum tahu. Makanya aku mengajakmu, aku tidak kenal dengan daerah ini.”
            Aku menganggukkan kepala, setuju dengan ajakannya. Kebetulan besok hari minggu, artinya sekolahku libur. Sebelum pulang undur-diri, kami saling bertukar nomor telepon untuk menentukan lokasi pertemuan esok hari.
            Heri pamit. Sedangkan aku masih duduk di sini, di tempat yang sama ketika kami masih duduk berdua. Sedangkan warga semakin berkumpul, banyak yang datang untuk menyaksikan kesenian nandong. Malam semakin larut, mataku terasa sangat lelah sekali. Ingin pulang, tapi enggan meninggalkan tempat duduk ini. Ada bekas dirinya di kursi kayu, yang sangat berat untuk kutinggalkan. Atau sebaiknya aku bawa pulang saja bangku panjang ini? Jangan! Ini punya orang.
            Maka aku melangkahkan kakiku dengan malas menuju rumah. Tidak jauh, kira-kira hanya 5 menit jarak tempuhnya. Sambil terus melangkah, sedikit-sedikit aku periksa telepon genggamku. Siapa tahu Heri ingin menyapaku, tak baik jika tidak segera dibalas. Sekadar SMS: “test”—pun boleh, pasti akan kubalas.
            Aku sampai di depan pintu. Ibu sudah menungguku di teras rumah:
            “Lama sekali kau, Cut?! Ini sudah malam.”
            “Maaf, bu.”
            “Cepatlah masuk!”
            Aku masuk, membersihkan diri, mematikan lampu kamar, lalu merebahkan badan di kasurku. Tapi kamar terasa terang, separuh ngantukku hilang. Kuperiksa gawaiku lagi, tapi masih saja sepi. Tak ada pesan dari Heri. Aku membantingnya di atas kasur, kususul dengan badanku. Persaan ini terus menguntitku hingga tak terasa ia mengantarku ke dalam tidur yang nyenyak. Tidur yang dalam.
            Satu jam... dua jam... empat jam... enam jam... delapan jam...
            Ibu membangunkanku untuk salat subuh. Sudah menjadi kebiasaan di rumah kami, melaksanakan setiap ibadah bersama-sama. Di rumah, kami hanya berdua. Sedangkan ayahku sudah meninggal setahun yang lalu. Sebenarnya aku masih punya kakak laki-laki yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku, tapi dia masih kuliah di Banda Aceh. Untuk menghidupi anak-anaknya, ibu berdagang di pasar. Jika pendapatan ibu kurang, almarhum ayah mewarisi kami sebidang tanah dan beberapa ekor kerbau; itu bisa kami manfaatkan sewaktu-waktu.
            Selepas subuh, ibu melarang kami tidur. Meskipun itu hari libur. Hingga matahari sudah naik sepenggala. Heri mengirim pesan, bahwa ia menungguku di tempat semalam. Aku bergegas menyusulnya. Hari itu kami berkunjung ke Pantai Ganting. Meskipun waktu serasa berhenti, tapi sore tetaplah sore. Ia pasti datang. Dan kami pun pulang. Heri mengantarku ke tempat semula. Selepas pertemuan itu, kami jadi sering tukar kabar via pesan singkat. Tak jarang kami juga saling berbagi cerita melalui saluran telepon.
***

Aku berlari kegirangan menuju Sungai Gampong Abail yang terletak tak begitu jauh dari halaman-belakang rumahku. Aku melompat, menceburkan diri. Siapa yang dapat menahan keriangan ini: sepucuk surat datang, mengabarkan bahwa aku lulus tes—masuk  salahsatu universitas di Banda Aceh. Kampus yang selama ini kuimpi-impikan. Aku masuk jurusan Teknik Fisika. Di Simeulue belum ada perguruan tinggi, oleh kerna itu aku harus menyeberangi laut untuk melanjutkan pendidikanku. Di saat yang hampir bersamaan, kakakku telah menyelesaikan kuliahnya. Ia hendak balik ke rumah, mencari pekerjaan di Simuelue sekaligus menjaga ibu di rumah.
Sebenarnya berita kelulusanku hanyalah alasan nomor dua atas suka-cita ini. Yang utama adalah, aku bisa bertemu dengan Heri. Sebab kami kuliah di tempat yang sama. Aku terus mengayuhkan kedua tangan kanan dan kiriku, menggerakkan kedua kaki di dalam air—terus dan terus. Aku berenang, menyelam sepanjang hamparan sungai. Hidup di kampung pesisir, pewaris kebudayaan air; berenang dan menyelam adalah kegemaran kami. Semenjak kecil aku sudah akrab dengan air di sungai, danau, dan laut. Kerna gembiranya, waktu berjalan terlalu cepat. Tahu-tahu sudah sore, dan aku masih bersorak-sorai di dalam air. Lalu senja menggantikan waktu, kemudian jam pun berlalu begitu saja. Hari silih-berganti, dan tepat tiga minggu kemudian akhirnya aku harus meninggalkan kampung halaman. Dengan kapal feri, melalui Pelabuhan Laut Simeulue menuju Labuhan Haji, aku meninggalkan orangtuaku dan kerbau-kerbauku. Perjalanan laut memakan waktu sekitar 10 jam, itu adalah waktu yang cukup lama untuk berada di sebuah kapal yang selalu bergoyang-goyang.  Sampai. Lalu aku masih harus melanjutkan perjalananku lagi, melewati jalan raya lintas Sumatra selama 7 jam menuju terminal Batoh. Selama perjalanan, kuisi waktuku dengan tidur untuk menyimpan tenaga. Kerna ini adalah pengalaman pertamaku jauh dari rumah, aku harus menjaga stamina.
Bus pun berhenti di sebuah terminal. Tampak dari jendela kaca, warung-warung kopi berjajar dengan rapinya. Rupanya Heri duduk di salah satu warung itu. Matanya seperti sedang meraba-raba setiap kaca jendela bus. Tepat pada kaca jendela tempat dudukku, ketika mata kami saling memandang; Heri melambaikan tangannya. Aku pun juga.
“Selamat datang di Banda Aceh, Cut.”
“Berapa lama perjalanan ke kota, Her?”
“Mungkin sekitar 20 menit.”
Kemudian  aku menyerahkan secarik kertas kepadanya, “tolong antarkan aku ke alamat itu. Selama kuliah, aku akan tinggal di sana”.
***

            Dan hari besar itu pun dimulai. Hari pertama kuliah, bertemu dengan orang-orang baru, juga suasana baru adalah peristiwa luar biasa di dalam hidupku. Di kampus, aku tergolong mahasiswi yang aktif mengikuti banyak sekali kegiatan—terutama yang berkaitan dengan ketangkasan fisik: karate dan kegiatan pencinta alam. Heri tidak masalah, dia malah mendukung, apapun yang menurutku baik. Memang cinta seharusnya tak mengekang, ia membebaskan. Memanusiakan manusia, yaitu jalan untuk mengenali diri, menjadikan seseorang menemukan dirinya sendiri.
            Selain kecintaanku dengan dua kegiatan itu, ditambah dukungan dari Heri, kegiatan olahraga yang kuikuti mengantarku pada sebuah prestasi hingga didaulat menjadi altlet untuk mewakili kampus. Terus beranjak, aku menjadi atlet PON hingga mengikuti kejuaraan tingkat daerah. Ada sebuah cerita yang menurutku unik ketika sedang gencar-gencarnya berlatih untuk mengikuti lomba. Kami latihan sangat ketat. Salah satu teman, yaitu atlet selam, mengalami cidera patah kaki sewaktu menjalani serangkaian latihan. Tapi entah, pelatih memilihku untuk menggantikan teman yang cidera tadi. Aku dilatih selama seminggu, dan berhasil menggondol juara satu untuk cabang olahraga selam. Setelah kejuaraan itu, aku lebih dikenal sebagai atlet selam. Sering diundang oleh Basarnas untuk menjadi instruktur. Itulah awal perkenalanku dengan Tim SAR. Mereka sering mengajakku dalam banyak sekali operasi.
Untung Heri tidak masalah, meski waktuku sedikit untuknya. Maka tidak heran, selama hidup di Banda Aceh beberapa tahun di masa pendidikanku, membuat hubunganku dengan Heri semakin serius saja. Aku sudah pernah diperkenalkan kepada saudaranya yang seorang guru, suaminya tentara. Beberapa bulan yang lalu, aku dipertemukan dengan kedua orang tuanya yang kebetulan singgah di Banda Aceh. Kedua orangtua Heri juga berprofesi sebagai guru. Dan Heri pun  mengikuti jejak keluarganya. Ketika kuliahnya selesai, Heri mengikuti tes guru. Diterima. Hari pertama pada awal tahun depan, ia sudah mulai aktif mengajar: Heri diterima menjadi guru di salahsatu SMA di kota Banda Aceh. Aku sangat senang sekali.
            Tapi bukan hanya itu kabar gembiranya. Pada hari Kamis, 24 Desember 2004. Kuliahku libur hingga awal tahun. Bersamaan dengan itu, Heri telah melewati masa tegangnya, yakni masa sibuk mengikuti serangkaian tes. Tidak  kuduga, Heri meneleponku:
            “Nanti malam ada acara?” Tanyanya.
            “Tidak. Kenapa?”
            “Betul, tidak ada kegiatan?”
            “Sementara belum ada. Kenapa?”
            “Ada makanan enak di pusat kota, Rex Peunayong. Mau kutraktir makan di sana?”
            Dan aku pun setuju, mengiyakan ajakannya. Hari itu terasa sangat cepat. Sesaat setelah waktu sore berlalu, dan sinar langit digantikan cahaya lampu-lampu, aku menunggunya di teras. Tak begitu lama, Heri datang. Kami berdua berangkat ke Rex Peunayong atas nama cinta.
Di sepanjang perjalanan, ada rasa penasaran yang teramat-sangat—terngiang-ngiang di kepalaku. Tidak biasa-biasanya Heri mengajakku makan malam. Selain kami berdua sama-sama sibuk.
            Kira-kira 15 menit perjalanan, kami sampai. Setelah mendapat tempat duduk, pelayan datang, memberikan lembar menu. Pelayan itu berdiri, siap-siap mencatat pesanan kami. Heri mengambil lembar menu yaag diletakkan pelayan di atas meja: “Sate Matang, Ayam Tangkap, Nasi Guri, Kuah Pilek U, Kuah Sie Itek, Ungkot Keumamah, atau Kuah Masam Keu-ueng; kamu pilih yang mana?”
            “Terserah saja.”
             Lalu Heri berbicara kepada pelayan, makanan apa-apa saja yang dipesan. Pelayan mencatat—kemudian pergi meninggalkan meja kami.
            “Tahun depan aku sudah mulai mengajar. Maka sesuai janjiku, aku ingin ke Simuelue.” Heri mengawali pembicaraan.
            “Liburan?”
            “Bukan.”
            “Lalu?”
“Aku ingin menghadap orang tuamu. Melamarmu.”
            Wah. Tentu aku tak mengira Heri akan mengatakan itu, meski harapan itu diam-diam—ada. Kalimat itu seperti menghadirkan udara sejuk di dalam dadaku. Sedangkan di luar, lalu-lalung suara mesin-mesin kendaraan seperti hilang. Heri mengucapkan kalimat itu di saat langit mengucurkan gerimis kecil-kecil. Tapi entah kenapa, kata-katanya mampu menyulap langit bertaburan bintang-bintang. Meskipun suasana itu hanya terjadi di dalam diriku. Ya, perempuan memang suka dengan gagasan-gagasan cinta yang agung dan juga keindahan-keindahan. Tapi, di dalam hati yang paling dalam, perempuan lebih suka dengan kepastian. Sebab itu yang paling penting. Menikah adalah tujuan akhir, dan obsesi terakhir bagi seorang perempuan.
            “Cut, maukah kau menjadi istriku?” Lanjutnya, dengan wajah yang tegang.
            “Mmm... gimana, ya? Harus dijawab sekarang?” Aku menggoda.
            “Ya, iya...” Kulihat ia berkeringat.
“Mmm... Gimana ya? Saya sih—yes!”
            Yang tadinya kaku, kini kulihat wajahnya mengendur dan menyiratkan warnah darah yang menyebar rata. Ia tampak gembira. Aku juga.
Bisa menikah dengan orang yang kita cintai, tidak banyak yang berkesempatan mengalaminya. Sebagian besar dari mereka yang kurang beruntung, menikah dengan orang yang berbeda setelah peristiwa patah hatinya yang gelap, sejatinya hanya sekadar menjalani hidup. Mereka bersabar selama umur hidupnya, agar bisa berdamai dengan apa yang telah digariskan kepadanya. Tapi aku berbeda. Aku adalah perempuan beruntung yang lahir di Simeulue pada 5 Mei 1980. Aku adalah perempuan yang paling beruntug di dunia ini, sebab dapat mengalami cinta.
            Di tengah rasa bahagia yang yang barusaja kunikmati, pesanan kami datang, Heri menyantap makanannya dengan lahap. Aku masih melamun, merasakan getar pada kata-kata itu. Kerna kurasa, disitulah puncaknya. Pucuk dari segala perjalanan cinta.
            “Cut...”
            “Eh, ya?”
            “Kok melamun?”
            “Tidak, siapa yang melamun?” Aku tersipu sebab ketahuan sedang tidak berada di tempat, di dalam diriku.
“Begini. Besok, kamu pulang memberitahukan orangtuamu. Sampaikan kepada beliau, hari senin aku akan datang. Minggu malam aku berangkat dari Banda Aceh.”
“Besok? Bener, kamu mau ke rumah?”
“Iya! Setelah itu, baru aku akan mengajak orangtuaku menghadap orangtuamu.”
            Dan keesokan harinya aku diantar Heri ke terminal, sebab pesan yang kubawa ini  tidak cukup sederhana untuk adat Simeulue yang menganut sistem patrinial: kerna aku adalah seorang yatim, maka wali atas diriku jatuh kepada Amarehet atau saudara kandung dari Ayah. Kerna saking rumitnya persoalan ini, dan tak mungkin meninggalkan adat, maka hari itu kuputuskan berangkat menemui ibuku. Setelah beberapa jam perjalanan, ketika sampai di depan rumah, meskipun seluruh badanku terasa  lelah, aku tidak  ingin menundanya. Sesaat setelah beberapakali mengetuk pintu, kebetulan ibu yang membukanya. Aku mengucapkan salam, mencium tangannya.
            “Istirahatlah dulu, biar segar badanmu Cut.”
            “Mak, lon neuk pegah haba[3].”
            “Mau ngomong apa kau, Cut? “
            “Heri...”
            “Kenapa Heri?”
            “Katanya dia mau ke sini, ingin bertemu dengan ibu!”
            “Berapa umurmu sekarang, Nak?”
            “Tahun depan 25 tahun, bu.”
            Sekilas mata ibu tampak menerawang ke langit-langit, jemarinya naik-turun seperti sedang menghitung sesuatu. “Ya sudah. Kira-kira aku sudah tahu kenapa dia kemari. Biar nanti aku musyawarah dengan saudara-saudara ayahmu. Memang sudah saatnya, kau sudah cukup umur. Kau mau istirahat sekarang, Cut?”
            Aku menggelengkan kepala.
            “Kalau begitu, bawa kerbau-kerbau kita ke pantai! Aku mau pergi ke rumah pamanmu.”
            “Kakak mana, bu?”
            “Ada di kamarnya, sedang siap-siap. Hari ini dia ada panggilan kerja.”       
            Segera  kuletakkan barang bawaanku di dalam kamar. Ganti baju, lalu mengeluarkan kerbau-kerbau dalam kandangnya menuju pantai. Tali-tali mereka kuikatkan di pohon kelapa. Sedangkan aku duduk di bawah nyiur, di pinggir pantai memandangi hutan mangrove yang berjajar-memanjang—tampak seperti tembok di sebalik kampung-kampung sekitar. Hatiku gelisah menanti kedatangan Heri. Kulihat kerbau-kerbau itu juga gelisah. Entah oleh sebab apa. Mungkin mereka juga ikut merasakan apa yang ada di dalam hatiku?
            Sepulang dari pantai, kira-kira hari telah sore. Ibu tampaknya sudah datang ketika langit benar-benar petang. Tak kusangka, beberapa anggota keluarga dari ayah juga terlihat sedang duduk di ruang tamu. Aku tersipu, kaku.
            “Eh, siapa ini yang mau kedatangan tamu?” kata paman, menggoda.
            “Saya, paman.”
            “Eh... eh... eh... tak terasa ya, sudah besar kau rupanya, nak?!”
            “Minta do’anya, paman.”
            “Ya, do’aku sampai ke tulang sum-sum, nak.”
            “Terima kasih, paman.”
            “Tak sabar rasanya menanti esok hari. Aku ingin tahu, seperti apa lelaki yang berhasil mencuri keponakanku ini, heh?”
Dan hari itu akhirnya akan datang menghampiri rumahku. Minggu, setelah salat subuh kami sekeluarga bersiap-siap menyeambut kedatangan Heri yang akan datang besok pagi. Kulihat ibu sedang sibuk di dapur, mempersiapkan sajian, dan mungkin adalah sajian terbaik yang pernah ia buat seumur hidupnya. Sedangkan yang lain, membantu merapikan perabotan. Tampak amarehet yang telah ditunjuk untuk menggantikan ayah, yaitu pamanku beserta keluarganya, yang menginap di rumahku (sebab tempat tinggalnya sangat jauh untuk usianya yang menginjak sepuh), juga ikut sibuk membantu. Hari itu paman membawa setelan pakaian rapi yang tengah digantung di gagang lemari setelah di setrika. Belum pernah aku melihat paman memakainya; setelah sepeninggal ayah, mungkin beliau sengaja mempersiapkan baju itu untuk peristiwa besar ini. Hatiku bahagia tak terlukiskan, matahari bersinar begitu indahnya. Dan  handphone-ku berbunyi:
            “Cut.”
            “Jam berapa kamu berangkat, Her?”
            “Mungkin beberapa jam la....”
            Tiba-tiba komunikasi kami terputus. Kurasakan guncangan yang sangat dahsyat sekali mengoyak-ngoyak seisi rumahku. Dan bersamaan dengan itu, teriakan ibu terdengar dari dapur:
            “Cut...! Cut...! cepat keluar, ada gempa!!!”
            Aku berlari menghampiri ibu, menarik tangannya, mengajaknya menjauhi rumah. Saudara yang terlanjur datang di rumah, juga panik dan tunggang-langgang. Kami berlari ke arah pantai. Semua orang sudah berkumpul di sana, menghindari apa-apa saja yang berpotensi runtuh dan menimpa kami yang ada di bawah. Semua tampak kacau. Tak hanya manusia, seluruh binatang ternak juga ikut berhamburan. Sebagian warga juga membawa  barang-barang berharga dari rumahnya. Aceh sudah menjadi langganan gempa, kami terbiasa dengan itu. Tapi kali ini berbeda. Guncangannya sangat keras sekali. Awan hitam, dan angin yang mengempas benda apasaja untuk diterbangkan kemudian dibanting di atas tanah.
            Prak!
 Ada tangis sesenggukan yang bercampur dengan ngeri yang teramat perih, ada yang menjerit-jerit menggugat apasaja, ada teriakan menyebut nama Tuhan memohon ampunan,  dan ada yang memanggil-manggil nama-nama anggota keluarga yang terpencar entah di mana. Tegang, takut, sekaligus mencekam. Tak pernah kutemui peristiwa sepilu ini. Sedangkan aku hanya bisa memeluk ibu, dan juga kakakku. Paman dan beberapa saudara yang lain berada tidak jauh dari posisiku. Bumi terus meloncat-loncat, seperti hendak mengaduk-aduk isi perut kami. Memutar-mutar pandangan kami, dan membanting-banting perasaan kami.
Mungkin ada hitungan menit, suasana mencekam itu akhirnya berhenti. Kami saling pandang, berpelukan dengan haru yang teramat-sangat. Sebentar ada perasaan lega. Kulihat semua anggota keluargaku lengkap, tapi tak ada seorang pun yang hendak balik ke rumah. Semua warga masih berkumpul, khawatir ada gempa susulan. Sekitar 30 menit berselang salah seorang berteriak: “coba kalian lihat lautnya!”. Dan kami menengok ke arah yang sama: laut. Hampir tidak percaya, bahwa air seakan ditarik ke belekang menjauhi pantai. Ikan tampak menggelepar-gelepar. Laut surut. Peristiwa ini sontak menciptakan keheningan yang melampaui batas. Setelah itu, sepi yang hanya sebentar itu berubah menjadi kepanikan yang meriuhkan seluruh warga. Setiap orang berteriak:
            “Cepat lari ke bukit! Air laut surut. Smong datang, smong!”
            Smong!
            Smong!
            Smong!
            Setiap orang meneriakkan kata “smong”, saling bersahutan. Keadaan berubah menjadi kacau lagi, ribut dengan kepanikan masing-masing. Semua berlari menuju ke arah hutan, yaitu satu-satunya jalan untuk menuju ke bukit. Kali ini, situasi lebih menegangkan. Hutan yang hanya memiliki jalan setapak untuk seorang, menjadi jalur rebutan. Untung saja bekerjasama dan saling membantu sudah menjadi kebiasaan warga desa, jadi tak sampai saling meninggalkan orang lain agar dirinya bisa sampai di bukit duluan.
            Setiap laki-laki membantu perempuan, terutama yang sudah berumur. Juga anak-anak. Setelah semua masuk ke hutan, baru giliran para lelaki menyusul di belakangnya. Mungkin sekitar 30 menit kami berjalan menerobos hutan dan mendaki bukit, akhirnya kami semua bisa sampai di atas. Dari kentinggian, aku menyaksikan air laut berubah berwarna menjadi hitam pekat—menghancurkan apa-apa saja yang ada di bawah sana. Smong menghantam daratan sepanjang hari.
            Hari berikutnya, air tampak mulai surut. Tapi gempa masih terus terjadi. Kami sepakat untuk tidak turun terlebih dahulu. Di atas bukit, kami makan seadanya: buah, sayur, dan apasaja yang bisa dimakan. Gempa masih terus terjadi selama tiga hari lamanya. Di antara segenap rasa takut yang menggumpal, kami semua hanya berselimut baju di badan. Sedangkan perkembangan berita, kami mengetahuinya dari siaran radio. Untung beberapa warga ada yang sempat membawanya. Dan tepat pada hari keempat, warna langit terlihat lunak. Air sudah surut, dan sudah tak terasa adanya gempa. Maka kami memutuskan turun dari bukit menuju rumah masing-masing. Ada beberapa bangunan yang hancur, tapi banyak juga yang masih tegak berdiri. Hutan mangroove melindungi desa dari hantaman air. Ketika kami sampai di desa, puluhan orang dari Basarnas datang membantu—membawa banyak sekali keperluan: makanan, obat, dan pakaian. Beberapa dari mereka, aku mengenalnya. Tak hanya membawa bekal logistik dan obat-obatan, mereka juga membantu desa kami untuk berbenah: membersihkan kotoran, lumpur, dan air yang masih tampak menggenang.
Tepat pada hari ke tujuh, setelah kurasa keadaan desa aman, aku pamit kepada ibu untuk pergi ke Banda Aceh bersama tim bala bantuan. Diizinkan. Sesampainya di sana, Banda Aceh telah hilang. Tenggelam. Kota hancur, banyak korban jiwa. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan SAR—menjadi guide-Basarnas selama 3 bulan. Selama itu aku membantu mengangkuti jenazah, dan mengamankan beberapa diantara mereka yang selamat. Setiap ada jasad yang tertutupi lumpur, kubersihkan wajahnya. Aku mencari seseorang yang mungkin saja kukenal. Tapi tak seorangpun dari wajah-wajah itu kukenali. Tak puas, maka kuputuskan mendaftar menjadi anggota Basarnas. Dan hingga hari ini, aku aktif di dalam tim ini.
“Sebentar. Dalam bencana tsunami, di mana kekasih Anda?”
Aku menggelengkan kepala.
“Berarti, kekasih Anda hilang terkena tsunami?” pembawa acara memastikan.
            “Ya...” mataku berkaca-kaca, suaraku serak dan gemetar.
            Melihat mataku mulai bergetar-getar, semua orang di dalam studio diam. Hawa menjadi dingin sekali, dan suasana menjelma hening. Tak ada sepatah-kata pun terdengar, tak ada.
            “Itu adalah cerita tragedi, saya turut berduka-cita.”
            “Terimakasih,” aku menyeka airmataku.
            “Tapi, mau sampai kapan Anda ingin menjadi anggota Basarnas?”
            “Sampai dia ketemu! Sebab dia berjanji, akan menikahi saya.”




[1] Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
[2] Jihad, Abu. Pemikiran-pemikiran Politik Hasan Tiro dalam Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Titian Ilmu Insani, 2000.
[3] Bu, aku ingin bicara