Selasa, 13 September 2016

DIA BILANG "AYO"




Oleh: Fajar Saputro


Sambil memanggul tas di punggung, Sapari menjaga seragam serba putihnya supaya jangan satu percik pun genangan-air yang bercampur dengan tanah menyentuh. Semalam hujan deras. Tepatnya sehari-semalam. Untung saja dua hari yang lalu matahari bergetar-getar di atas jemuran, seragamnya kering sebelum langit mengguyurkan air dengan membabi-buta. Ia berjalan pelan, setengah menjinjit-jinjit dengan perasaan yang penuh dengan kehati-hatian. Tampak di sana jahitan benang—mengitari alas sepatu pantofel hitam miliknya, yang tak lain adalah buah-karya tukang sol-sepatu langganan Sapari. “Anjing,” katanya tiba-tiba. Ia mengenghentikan langkah. Seekor anjing-kampung berjalan dari arah yang berlawanan, tepat di jalan yang sedang ia lewati. Anjing itu terlihat sangat kurus, tunduk, diam, dan menggigil kedinginan. Lelaki berseragam putih itu mematung, menunggu apakah si anjing kurap akan mengganggu perjalanannya menuju ke tempat kerja. Tapi binatang yang konon katanya najis itu terus berjalan tanpa memperhatikan keberadaan Sapari, hingga posisi mereka sejajar dan kemudian berlalu-jauh di jalannya masing-masing. Sapari membuang waktunya selama lima menit untuk peristiwa ini, harusnya ia tak usah berhenti, lagi pula gangguan itu lebih banyak datang dari gonggongannya atau bayangan tentangnya.

Dari menyusuri gang-gang basah tadi, ia masih harus meneruskan perjalanannya ke jalan besar dengan kewaspadaan yang sama. Mobil, motor, atau kendaraan umum lainnya tidak akan merasa bersalah jika rodanya mengenai genangan air dan kemudian mengotori seragamnya. Tidak, manusia kita belum memiliki lapis kesadaran seperti itu. Maka, yang bisa dilakukan Sapari adalah menyusuri teras ruko-ruko agar terhindar dari apapun yang berpotensi mengotori seragam putihnya.

Di ujung jajaran rumah toko, pas di depan apotek 24 jam, Sapari melihat angka pada jam tangannya: “aduh... para pasien pasti sudah bangun”. Lalu ia melangkah dengan buru-buru.

Perasaannya lega ketika lima menit sebelum jam masuk, ia sudah sampai di sebuah gerbang yang bagian atasnya tertulis: Rumah Sakit Jiwa ‘MUGI ENGGAL SARAS’. Sapari masuk, melewati pintu besar dan menyapa beberapa petugas yang sedang berjaga di pos. “Masuk pagi, Ri?” tanya salah seorang satpam.

“Iya, pak.”  Sambil terus berlalu, Sapari melambaikan tangan. Mereka pun membalas lambaian tangannya.

Pintu gerbang utama hanya ada satu, terletak di sebelah kiri. Setelah itu, adalah pelataran luas yang seluruh permukaan tanahnya dilapisi aspal. Di tengahnya, ada tanah lapang yang ditancapi tiang bendera. Lokasi itu biasa digunakan untuk kegiatan upacara. Ujung sebelah kanan dari gerbang utama, tempat parkiran motor yang dibagi menjadi dua: untuk pengunjung dan untuk karyawan. Tempat itu dilindungi atap asbes, sebagai pelindung dari panas dan hujan. Di sebelah kiri, di belakang pos satpam, parkiran mobil yang juga dibagi dua: dokter-psikiater, dan pengunjung. Di depan, lurus dengan lapangan, pintu utama IGD (Instalasi Gawat Darurat) atau biasa disebut dengan bangsal rawat inap. Di IGD inilah Rumah Sakit Jiwa ‘MUGI ENGGAL SARAS’ menerimana kedatangan pasien: baik laki-laki maupun perempuan. Di tempat ini juga, calon pasien di-diagnosa, apakah pasien termasuk kategori rehabilitan spontan, artinya langsung bisa dipulangkan atau kategori pasien yang memerlukan terapi medik intensif. Jika hasil diagnosa  menunjukkan bahwa pasien diharuskan mendapat terapi medik secara intensif, maka sang pasien dinyatakan resmi menjadi penghuni rumah sakit ini.

Dari gedung IGD, masuk terus ke dalam adalah sebuah taman di mana kanan dan kirinya dibentengi tembok yang sangat tinggi. Ukurannya cukup luas, dinamakan sebagai halaman kreativitas dan rehabilitas—difungsikan untuk kegiatan pasien yang sudah dinyatakan sehat tapi masih perlu direhabilitasi. Lokasi inilah yang paling ramai setiap hari, mulai dari senam, bermain musik, bercocok tanam, dan kegiatan rohani. Setelah halaman kreativitas dan rehabilitas, ada bangunan lagi yang menyerupai bentuk plus (tambah, atau palang [merah]). Di bagian depan bangunan ‘plus’ tadi, adalah teras. Masuk lagi, ruang santai yang tersedia beberapa kursi, televisi, dan dua meja besar. Belok kanan, adalah ruang ‘Kampar’, tempat pasien yang telah dinyatakan sehat tetapi belum dibawa pulang oleh pihak keluarganya. Jika kita dari ruang santai kemudian belok kiri (seberang Kampar), adalah ruang-kerja untuk perawat, dokter, dan juga psikiater. Terus (dari belok kiri tadi) lurus ke arah belakang, adalah dapur. Gizi pasien ditentukan di tempat ini: dari sarapan pagi, makan siang, makan malam, dan menu makanan ringan. Penghuni ruang Kampar juga diperbantukantukan di tempat ini (dapur). Mereka sudah dianggap bisa melayani dirinya sendiri, dan orang lain agar mereka selalu memiliki kegiatan.

Teras, ruang santai, belok kanan ruang Kampar, belok kiri dapur; jika dari ruang santai lurus terus—kita akan bertemu pintu berjeruji besi (lagi). Ada beberapa perawat yang menjaga. Masuk, wilayah ini dinamakan Unit Perawatan Intensif Psikiatrik (UPIP)—terdiri dari ruang tidur yang di dalamnya tersedia toilet. Selain itu juga tersedia ruang untuk makan. Di tengah UPIP ada taman. Ruangan ini dihuni oleh dua macam pasien: golongan gaduh gelisah, dan golongan tenang. Golongan gaduh gelisah kegiatannya di dalam UPIP, sedangkan golongan tenang kegiatannya di halaman kreativitas dan rehabilitas. Untuk golongan gaduh yang tingkat kegelisahannya cukup meresahkan, atau yang memiliki potensi membahayakan diri sendiri dan bahkan orang lain (bunuh diri dan menyerang orang), ditempatkan di ruang khusus, sendirian, ruangannya terletak paling belakang dari bangunan UPIP.
***

Aku berhenti di pintu gerbang UPIP. Terpajang di atas perawat-jaga, jam dinding berukuran besar dengan bentuk bundar sempurna. Tepat jam tujuh pagi. Aku absen, mengisi daftar kehadiran: nama, dan jam masuk. Lalu salah seorang perawat-jaga berdiri, namanya Mas Hadi, ia seperti sedang merogoh saku baju dan celananya.

“Cari apa, mas?” tanyaku.

“Kunci,” katanya.

“Itu di atas meja, mas!” tanganku menunjukk ke arah di mana kunci itu berada.

“O, iya.”

Lalu Mas Hadi membukakan pintu gerbang, aku memasuki kawasan itu selalu dengan perasaan was-was—seperti waktu pertamakali. Ceritanya begini. Pernah suatu hari, saat pertama bekerja di rumah sakit ini, salah seorang pasien mengamuk—menubrukkan badannya ke tubuhku. Ambruklah saya. Badannya tinggi, besar, dan berkulit bersih. Tidak berhenti sampai di situ. Setelah melihatku tersungkur di atas lantai, tanpa ampun pasien itu menghajar wajahku dengan kepalan tangan-kanan dan kirinya, gantian: “Kembalikan uangku! Kembalikan uangku!”, katanya sambil terus memukul. Untung saja para perawat dan dokter dengan sigap menolongku, dan menyuntikkan obat bius kepada  pasien.

Obat bereaksi, pasien yang tak sadarkandiri itu kemudian dibopong ke kamarnya oleh dua perawat laki-laki. Aku berdiri, sebuah tangan menepuk pundakku, “yang sabar ya?!” kata seorang dokter laki-laki. “Biasa, pasien lima tahunan.”

Aku hanya menganggukan kepala, tak mengatakan apa-apa.

“Saya Budi,” laki-laki itu mengulurkan tang, “dokter kepala di rumah sakit ini. Siapa nama kamu?”

“Saya Sapari, dok.”

“Ya sudah, selamat bekerja kalau begitu.”

Itulah sambutan awal yang pernah kuterima. Hari-hari berikutnya, nasibku masih sama. Ketika sedang fokus memotongi rumput di taman, seorang pasien mendekatiku. Ia hanya duduk, tak bergerak. Jaraknya hanya tiga meter dari tempatku. Kerna tempat duduk si pasien terletak di daerah rerumputan yang harus kurapikan, aku mendekat ke arahnya. Tepat sejangkauan tangan jarak kami, ia menyerangku tanpa ampun. Aku minta tolong, dokter Budi membiusnya.

Ya, di sinilah aku sekarang. Tempat yang sudah melatihku agar memiliki rasa maaf yang cukup. Sebagai pegawai rendahan, cleaning services dari perusahaan outsourcing, aku tak bisa menuntut-lebih selain menerima keadaan. Satu bulan, dua bulan, hingga enam bulan masa kerjaku di Rumah Sakit ‘MUGI ENGGAL SARAS’—keadaan mulai berubah dan bersahabat. Pasien-pasien itu tak lagi menyerangku, aku sudah mulai terbiasa dengan situasinya. Kadang hingga merindukannya. Dalam satu minggu, aku libur satu hari: sabtu atau minggu. Jika tidak ada yang kukerjakan saat liburan, aku dengan senang-hati datang ke UPIP, membantu tanpa bayaran.

“Organization is a culture,” kata Dokter Budi. Itu kenapa, kami saling akrab satu dengan yang lain—walau masing-masing memiliki kesadaran untuk menjaga-jarak agar tidak terlewat batas. Keadaan Rumah Sakit kami sangat berbeda dengan Rumah Sakit Umum yang ramai oleh pasien dan pengunjung setiap hari. Keheningan di tempat ini, membuat kami terikat satu sama-lain. Contoh sederhana saja, tradisi membawa makanan. Setiap hari, ada saja yang membawa makanan dari rumah untuk kami cicipi. Kue, gorengan, atau makanan khas dari kampung masing-masing. Kami sering berbagi. Dokter budi yang melestarikan budaya bagi-bagi makanan kepada semua, tanpa membeda-bedakan: dokter, psikiater, perawat, satpam, dan cleaning serviceses;—yang pada akhirnya diikuti oleh kami semuanya.

Dokter Budi adalah satu-satunya dokter laki-laki di sini, ia pemimpin yang baik, itu tercermin dari keluarganya yang tampak bahagia, dan tentu saja seluruh pekerja di Rumah Sakit ‘MUGI ENGGAL SARAS’. Beliau memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai notaris; berkulit putih, tidak begitu tinggi, dan berbadan gemuk. Anaknya dua, laki-laki semua. Sungguh keluarga yang sangat harmonis.
***

Mas Hadi membukakan pintu gerbang UPIP, lalu aku menuju ke gudang mengambil beberapa peralatan untuk bersih-bersih kamar pasien. Kain pel, ember, dan pembersih lantai aku bawa menuju kamar nomor 1 yang terletak paling depan, dekat gerbang UPIP. Lalu kamar sebelanya, nomor 2—sampai kamar paling belakang nomor 5. Menyeberangi taman, aku ke kamar nomor 6 hingga ke depan—yakni nomor 10. Sebenarnya di sebelah kamar nomor 6, di ujung paling belakang, ada kamar satu lagi yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, yaitu kamar untuk pasien kategori yang tingkat kegelisahannya cukup meresahkan. Di kamar itu tidak ada yang boleh masuk kecuali dokter Budi. Pasien berbahaya, katanya.

Selesai membersihkan kamar pasien, aku merapikan taman: potong rumput, buang sampah, dan menyirami bunga-bunga. Di tengah taman ini ada  pancuran air, beberapa jenis bunga, dan pohon-pohon cemara. Ada juga di bagian-bagian tertentu ruang taman, kursi panjang berjumlah delapan banyaknya. Udaranya terasa sejuk, suara air, dan juga kicau burung yang sedikit-sedikit bubar ke angkasa. Hari masih pagi, aku harus membersihkan semua ruangan sebelum para perawat, dokter, dan psikiater—datang. Aku bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam tiga sore, itu jika masuk shift pagi. Jika masuk shift sore, dari jam tiga sampai jam sebelas malam. Jika kebagian shift malam, aku masuk jam sebelas dan pulang jam tujuh pagi. Satu hari ada tiga shift, masing-masing sembilan jam. Dalam satu bulan, kami digilir: pagi, seore, malam. Hari ini kebetulan aku kebagian shift pagi. Berangkat dari rumah jam enam lebih tiga puluh menit, perjalanan dari rumah kontrakan ke tempat kerja memakan waktu sekitar tiga puluh menitan. Kami diwajibkan untuk lebih awal ketimbanga yang lain: dokter, psikiater, dan suster perawat. Kecuali bagian dapur, mereka harus mulai masak dari pagi hari.

Tak selang beberapa lama aku menyelesaikan tugas, perawat-perawat berdatangan. Beberapa pasien yang berhamburan di taman dan juga beranda kamar, digiring ke halaman kreativitas dan rehabilitas, sebagian lagi dibawa ke ruang makan. Selesai makan, pasien-pasien dibius. Obat bereaksi, pasien-pasien tadi dimandikan kemudian dibawa ke tempat tidurnya masing-masing. Jika UPIP sudah lengang, aku dan petugas kebersihan yang lain—pindah ke halaman kreativitas dan rehabilitas. Biasanya menunggu kegiatan pasien sampai selesai. Jika sudah, aku memunguti kotoran dan merapikan rumput. Begitu kegiatanku seharian, sampai jam menunjukkan pukul tiga sore.

Tak terasa cahaya langit sedikit surut, kumandang adzan berhamburan di atap, dinding, lantai-lantai, dan sebagian lagi di dalam dadaku. Itu tak hanya berarti jam kerjaku telah habis, tapi juga sebuah panggilan misterius yang sesaat membawaku pada nuansa spiritual: hening yang melampaui batas. Maka aku diam mematung, hingga seruan itu lamat-lamat menghilang dari inderaku. Lalu aku bersiap-siap pulang, merapikan diri.

Keluar dari gerbang UPIP, aku absen untuk yang kedua kali: mengisi kolom jam-pulang-kerja kemudian paraf.

Kakiku terus melangkah meninggalkan UPIP, lalu menyusuri ruang santai, teras, halaman kreativitas dan rehabilitas, dan kemudian IGD. Belum jenak badanku melewati pintu keluar, dua perawat laki-laki menarik tangan seorang perempuan yang berusaha melepaskan diri.

“Pasien baru?” tanyaku pada salah seorang perawat itu.

“Iya.”

Aku membalikkan badan, mengarah ke perempuan itu. Dia terus berontak sambil mengiba kepadaku, “tolong... tolong... tidak, tolong!!!” Aku masih menatapnya. Oleh dua perawat laki-laki tadi, perempuan itu dibaringkan di atas ranjang pasien. Kedua tangannya diikat, pun dengan kedua kakinya. Dokter Budi datang, memeriksa, lalu membiusnya. Suasana IGD kembali tenang, dan aku melanjutkan perjalan pulang.

Pelataran Rumah Sakit, lalu ke jalan besar. Pohon-pohon di atas trotoar, halte bus, dan ruko-ruko itu masih saja diam seperti tadi pagi. Aku terus berjalan melewatinya. Sejenak aku berhenti di depan sebuah gang—jalan menuju rumah kontrakanku. Di depan gang itu terdapat sebuah rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya: di depan halaman rumah kosong itu berdiri sebuah pohon mangga yang daunnya rindang sekali. Pohonnya tidak terlalu tinggi. Aku memeriksa di sela-sela daun apakah ada barang sebuah atau dua buah mangga yang dapat kuambil. Ternyata buahnya masih kecil, belum siap diambil. Maka aku lanjutkan lagi langkah kakiku menuju rumah, tempatku beristirahat.

Sampai.

Aku melepas sepatu, lalu meletakkannya di tempat biasa. Juga tas punggung, lalu membuka seragamku, menggantungkannya di centelan baju. Mungkin sudah jam setengah lima sore, warna langitnya semakin petang. Kubuka pintu dan jendela, agar kamarku dimasuki udara dan sisa-sia sinar matahari hari ini. Sekalian mengeringkan keringat-keringat, sebelum pergi membersihkan badan ke kamar mandi.

Kuisi teko elektrik dengan air, lalu menancapkan kabelnya ke dalam lobang listrik. Hingga mendidih, air kutuang ke dalam gelas bening dengan pegangan yang melingkar di belakangnya. Beralas piring kecil, dengan tutup gelas berbahan plastik berwarna pink. Kopi yang kubuat airnya sedikit, sebanyak setengah gelas. Selanjutnya, aku membiarkan uap-uap kopi panas membentur penutup gelas. Dengan begitu, tekanan udara di dalam gelas akan menjadi semakin tinggi, mengakibatkan biji-biji kopi lembut yang mengapung di permukaan—jatuh ke dasar-gelas bersama dengan ampas: biji kopi halus itu pecah, mengelurkan semacam inti-cairan yang ada di dalam dirinya kemudian menyebarkan ke seluruh larutan. Saat itulah kopi akan terasa lebih nikmat.

Di depan teras rumah kontrakan, aku menikmati kopi soreku. Kunyalakan sebatang kretek, lalu kuembuskan asap dari rongga dadaku ke seluruh ruangan. Nikmat sekali. Aku buka tutup gelas, menyruput kopi. Masya Allah.

Lelaki tua berjalan ke utara dengan baju-ibadah lengkap: peci, koko, sarung, dan sejadah. Tak selang berapa lama, dua orang laki-laki setengah baya berjalan beriringan juga menuju ke arah yang sama. Lalu perempuan sepuh, lengkap dengan mukena-nya. Aku masih belum beranjak dari tempat dudukku, walapun aku tahu maghrib akan segera tiba. Sudah saatnya aku membersihkan diri. Entah kenapa rasanya malas sekali, seperti ada yang aneh, tapi tidak tahu apa yang sedang kurasa aneh.

“Ada apa ini?” tanyaku ke dalam diri.

Aku mencoba mengingat-ingat, kejadian-demi kejadian siang tadi—apa yang menyebabkan perasaanku tak seenak ini. Tapi buntu, aku tak menemukan jawaban apapun. Sebab kurasa tak ada yang aneh dengan hari ini. Semua berjalan normal, seperti biasanya. Lalu kupaksa badanku beranjak dari kursi, menuju kamar mandi, toh tidak semua hal harus ketemu jawabannya. Seperti halnya: Kenapa sehabis makan, kita “harus” menelungkupkan sendok dan garpu di atas piring? Atau kenapa setiap sehabis do’a, kita selalu meraupkan kedua telapak tangan ke wajah? Tidak ada yang tahu! Semua hanya kesepakatan yang dikaitkan dengan norma atau nilai-nilai tertentu. Maka kubiarkan rasa aneh di dalam tulang sum-sumku ini, berharap semoga ia akan segera menguap ke atas langit menumui pemiliknya.
***

Pagi itu aku bangun dengan napas yang tersengal-sengal, seperti habis berlari. Keringat sebiji jagung masih menggenangi seluruh hamparan kulit wajah dan leherku. Sepertinya aku habis bermimpi, tapi entah tentang apa. Kutengok jam dinding di atas kasurku: jam lima lebih tiga puluh menit. Segera aku melompat dari kasur, bergegas pergi bekerja.

Seperti biasa, aku selalu berangkat dari rumah pukul enam.

“Selamat pagi, dok.”

“He, Ri, selamat pagi.”  Dokter Budi menyambut sapaanku, lalu melanjutkan olahraganya, lari-lari di pelataran depan.

Aku pun melanjutkan perjalananku menuju UPIP. Seperti biasa, absen. Kali ini aku datang lebih awal: lima belas menit sebelum jam masuk. “Kuncinya ada, Mas Hadi?”

“Tenang, sudah aku masukkan kantong celana.” Ia merogoh saku celana sebelah kanan, kemudian kiri. Lalu saku bajunya, kanan dan kiri.

“Lupa lagi, Mas?”

“Iya, nih. Saya sering lupa kalau menaruh barang. Tadi, ketika dokter Budi mau masuk, aku kebingunagn mencari kunci.”

“Ini saran ya, mas. Boleh didengar, tapi jangan dimasukin hati: kalau menaruh barang, usahakan selalu di tempat yang sama. Jadi kalau mau cari, sudah tahu di mana tempatnya.”

“Aduh kuncinya di mana ya, Ri?”

Aku menengok ke arah lubang kunci, “itu, masih nempel.”

“Masya Allah,” Mas Hadi menepok jidatnya.

Maka seperti biasa, aku langsung menuju gudang mengambil peralatan untuk bersih-bersih. Kamar nomor 1, 2, 3, 4, 5—aku lanjut ke kamar nomor 6. Lalu 7, 8, 9, 10. Semua lancar. Ketika hendak balik ke gudang, mengembalikan ember, kain pel, dan pembersih lantai; saat melewati taman, aku merasa hari itu memang lain.

Hingga waktu berjalan beberapa bulan ke depan.

Pekerjaanku masih begitu-begitu saja: membersihkan lantai, potong rumput, menyiram kembang, dan sesekali melepaskan perasaan—senang sekaligus haru—menyaksikan kepergian pasien-pasien yang sudah sembuh. Mereka pulang dijemput keluarganya, sebagian hanya dijemput tetangganya. Adalah Pak Slamet, seorang tua beruban yang mengalami suatu masa lampau, ketika ia masih dipanggil “jongos”. Ada perbedaan misterius antara kedua kata itu, jongos dan pelayan, suatu perbedaan yang tak bisa ia terangkan, kerna baginya sesungguhnya segala sesuatu masih tetap sama: di luar sana, atau di dalam rumah sakit—menjadi pesuruh.

Suatu hari, beberapa bulan yang lalu kami sempat merajut keakraban. Ketika itu Pak Slamet sedang duduk-sendiri di halaman kreativitas dan rehabilitas usai membantu pekerjaan dapur. “Lagi mikirin apa, pak?” tegurku.

“E, Ri. Iya nih, aku kepingin pulang. Tapi aku bingung, kalau sudah keluar dari sini mau kerja apa?!”

“Memangnya, dulu bapak kerja apa?”

“Kerja apa saja, Ri.”

“Iya, apa pekerjaannya?”

“Agar memiliki nama, sebut saja pekerjaanku sebagai ‘serabutan’. Disuruh ini-itu oleh warga sekitar: ya cuci baju, setrika, bersih-bersih rumah, membetulkan atap bocor, memperbaiki rumah, antar jemput anak sekolah; pokoknya apa saja Ri. Warga di tempat tinggalku sangat baik kepadaku. Mereka mau memberiku pekerjaan. Anggap saja aku ini jongos, sampai di sini, kerna tidak ada yang membiayaiku, aku membantu memasak.”

“Kenapa bisa masuk di sini, pak?”

“Harusnya negara ini dibubarkan saja!”

Mendengar jawaban Pak Slamet, aku langsung mengepalkan tangan-kiri dan mengangkatnya ke atas: “Merdeka!” kataku. Tapi segera kulanjutkan, “tapi kenapa begitu? Apa alasannya?” aku sambil memasang tampang konyol.

“Kadang aku merasa,” kata Pak Slamet, “negara ini hampir tidak ada gunanya untuk orang kecil semacam kita. Semakin hari, hidup tambah susah. Listrik rumah pakai token, motor semua diganti matic, handphone yang didistribusikan kepada masyarakat dengan desain-teknologi yang mesti menggunakan paket quota internet. Semacam ada kesengajaan dari negara, atau kalau aku boleh berprasangka baik, pemerintah seperti tidak berdaya menghadapi gempuran kedua sisi: konsumeritas masyarakat, dan kapitalisme perusahaan. Lihat tiga contoh yang aku sebutkan tadi, semua memaksa kita untuk sesegera mungkin merasakan kegelisahan. Motor, lebih mudah habis bahan bakarnya, sedangkan harga bensin makin hari makin naik. Listrik, yang saat ini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat, hanya bisa dipakai sesuai kapasitas kantong kita. Kalau tidak, ia langsung mati. Tidak seperti dulu, bisa nunggak sampai tiga bulan. Pemerintah membatasi kita memakai listrik, tapi tidak dengan pabrik-pabrik dan rumah orang kaya. Handphone, usia anakku sudah menginjak remaja. Aku sudah menasehatinya berualangkali, mendoakannya setiap ia tidur; tapi tetap saja kekuatan lingkungan mengalahkan petuah dan doa-doaku.  Lingkungan membawanya bersikap dan berperilaku sebagaimana anak seusianya. Dia minta handphone, dan minta diisikan pulsanya setiap bulan yang semakin hari harganya semakin naik saja. Kalau tidak, anakku marah. Di masaku dulu, isi pulsa lima ribu cukup buat satu bulan. Negara adalah bentuk puncak dari sebuah korporasi, bisanya cuma jualan ke rakyat dengan harga yang sangat tinggi.”

“Iya, sih pak. Tapi kenapa pak Slamet bisa masuk ke sini?”

“Gila, maksud kamu?”

“Jika ada kata yang lebih terhormat, saya akan menggunakannya.”

“Ya, seperti kataku tadi Ri. Beban hiudp terlalu besar, walaupun aku sudah berusaha keras, tapi tetap saja tidak cukup. Akhirnya, anak dan istriku meninggalkan rumah. Entah mereka pergi ke mana.”

Itulah perbicanganku dengan Pak Slamet beberapa bulan yang lalu, sosok yang sangat kuhormati. Dia termasuk pasien yang tidak pernah berbuat onar, pendiam. Dan pada akhirnya dia harus meninggalkan tempat ini, tentu saja aku bahagia—Pak Slamet dapat melanjutkan hidupnya di luar sana sebagai orang yang normal di antara kegilaan-kegilaan yang ada.

Aku menyaksikan pemandangan seperti itu, datang dan perginya pasien rumah sakit ini, sudah puluhan bahkan bisa dikatakan ratusan kali. Kadang aku, atau bahkan para perawat lainnya merasa—sebiknya mereka tinggal di sini saja.  Sebab, belum tentu di luar sana mereka diperlakukan sama seperti kami memperlakukan pasien. Meskipun aku bukan seorang perawat, setelah mengalami kepergian pasien satu per-satu, aku pikir akan terbiasa. Ternyata masih sedih, ternyata hatiku masih bisa sedih. Ya, peristiwa hati memang peristiwa yang sangat misterius, menyisakan teka-teki yang tiada habis-habisnya. Aku seakan bisa merasakan suasana hati Gendari, seorang ibu yang menyaksikan keseratus Kurawa anaknya—pergi dan kemudian gugur di gelanggang Tegal Kurusetra satu per-satu.

Pak Slamet pergi, kemudian ada yang datang. Begitu seterusnya. Sebuah kedatangan berarti ada yang menghibur hatiku. Seorang pasien perempuan, kulitnya kuning, lulur kunyit menggairahkan. Namanya Rona, perempuan muda yang tidak beruntung. Di usianya yang masih belia seperti ini, dia sudah mengalami depresi yang begitu berat. Dia adalah pasien yang pernah aku lihat dulu di IGD ketika hendak pulang. Dia pasien yang berteriak ke arahku, menatap mataku dengan iba: “tolong... tolong... tidak, tolong!!!”

Inilah jawaban kenapa selama ini hatiku gelisah. Ternyata, ketika ia menatap mataku untuk kali pertama, seperti ada yang menusuk isi dadaku tanpa kusadari. Entah sejak kapan aku selalu mendapatinya duduk di tengah taman bunga ini, diam, dan sendiri. Di antara hamparan hijau rumput dan warna-warna kembang yang bertaburan di sana-sini; aku dapat membayangkan kulit perempuan itu, gumpalan dagingnya, tinggi badannya, kepadatannya. Aku selalu memandanginya dalam suka cita yang luar biasa. Sepintas, ia tampak seperti perempuan sehat dan baik-baik saja: kecantikannya kota dan sehat seperti orang gunung. Lama aku memandanginya. Tak dinanya, ketika pikiran itu terlintas dan kebetulan Rona menatap ke arahku tepat di tengah bola mataku. Sekilas aku melihat ia tersenyum, walalu sudah lewat beberapa saat, aku masih bisa merasakan sisa-sisanya. Senyuman makhluk semacam apa yang dapat tertinggal di genangan bibir basah yang tampak seperti barusaja digigit? Aku sungguh ingin hidup di masa kini dan besok pagi! Dan hanya kepadanyalah aku mempunyai hak untuk gemetar.

Angin bertiup, bersamaan dengan pulihnya ingatanku. Bahwa aku adalah orang waras, buruh rendahan, dan sedang jatuh cinta kepada orang gila dari kalangan berada. Sepintas kurasa pahit. Maka segera kutepis perasaan itu, bahwa pengetahuan tidak selalu berguna, apalagi dalam persoalan cinta. Tenggorokanku bergerak naik-turun kerna menelan ludah, maka tenggelamlah ke-minder-anku, bahkan seluruh pengetahuanku.

Sambil menenteng alat pemotong rumput, aku mendekat ke arahnya sembari menekuni bibirnya yang melengkung sedikit ke atas.

“Selamat pagi Mbak Rona,” aku menegurnya, memberanikan diri.

Ia menoleh ke arahku, dan terlihat cuaca di wajahnya yang sembab dan air pada kedua matanya yang lembab. Rona tersenyum kepadaku, tipis. “Apakah senyum itu menyiratkat perasaannya kepadaku?” Dan rasa pahit pun datang lagi. Sebentar aku tersadar, jika dalam persoalan cinta aku berhenti berpikir maka selayaknya aku tidak meminta orang lain berpikir tentang diriku. Dan seketika itu juga aku telah selesai dengan diriku sendiri, sebab dunia dan seisinya selalu bergerak dari waktu ke waktu, setiap bagian mengerjakan tugasnya. Aku berharap segalnya akan berjalan sendiri, apapun hasilnya.

Memang, sejak dulu setiap persoalan lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawab. Bukankah dia memang selalu berperilaku seperti itu, pendiam dan tidak pernah berbuat gaduh? Tapi entah kenapa ia ditempatkan di ruangan khusus, sendiri, di ruang paling belakang. Katanya, dia adalah pasien golongan gaduh gelisah yang tingkat kegelisahannya cukup meresahkan.

Cerita punya-cerita, Rona berasal dari keluarga kaya dengan status anak semata wayang. Pertengkaran demi pertengkaran orang tuanya, membuatnya sering kedapatan berbicara sendiri, tertawa, dan mengamuk tanpa sebab. Hinga pada puncaknya, pertengkaran orang tuanya semakin hari semakin membesar. Ayahnya ketahuan selingkuh dengan teman istrinya, dan sedang hamil. Ketika ayahnya mulai kasar kepada ibunya, teriak bahkan memukul, Rona menyerang ayahnya dari arah belakang.

Ayahnya sekarat, ibunya membawa Rona ke rumah sakit ini kerna dianggap gila telah menyerang orang tuanya sendiri.

Maka jangan pernah ikut campur di dalam persoalan dua orang yang pernah jatuh cinta. Kerna, kita sebagai pihak ketiga yang ingin ikut campur, akan berada dalam posisi yang selalu salah. Siapapun yang sedang kita bela, apapun persoalannya. Itu yang kulihat pada nasib Rona: membantu ibunya yang sedang disakiti ayahnya, yakni orang yang patut disalahkan dalam peristiwa ini, tapi malah dianggap gila.

Hari demi hari kujalani episode hidupku kali ini yang penuh dengan bunga: setiap udara yang kuhisap adalah aroma kembang, juga sejauh hamparan tanah yang kupijak seperti ditaburi sekar melati dan kenanga.

Setiap ada kesempatan, tepatnya ketika membersihkan taman, aku selalu menggunakan saat itu untuk menyapanya. Jika nasib sedang baik, aku mendapat senyum dari bibirnya. Itu sudah menjelaskan banyak hal, setidaknya untuk diriku sendiri. Aku baru kali ini merasakan jatuh cinta, rasanya memang agak lain. Banyak dandan, kurang makan, dan kurang tidur. Kerna sebab itu, aku jadi sering terlambat masuk kerja. Beberapakali aku mendapatkan teguran, tapi aku belum bisa beradaptasi dengan suasana baru di dalam diriku. Akhirnya beberapa teman mengusulkan agar aku pindah di shift kedua.

Aku setuju.

Di jam kerjaku yang baru, situasinya agak berbeda. Kegiatanku kebanyakan di luar UPIP: buang sampah di dapur, buang bekas bungkus obat dan alat suntik, membersihkan Kampar, merapikan ruang santai, teras, dan taman kreativitas dan rehabilitas. Satu shift hanya diisi oleh dua orang cleaning services, jadi tidak heran untuk merapikan tempat sebanyak itu membutuhkan waktu yang cukup lama ditambah dengan jam istirahat untuk makan dan melaksanakan ibadah.

Sudah dapat ditebak, setiap membersihkan lantai sepanjang dapur hingga kampar aku selalu berhenti di depan gerbang UPIP. Aku selalu memandangi tempat di mana Rona biasa duduk, dan selalu ada sesuatu yang membuat jantungku memukul bila teringat kepada perempuan itu, kemudian perasaanku akan menjadi sedih yang menekan. Kumandang adzan lamat-lamat bergelantungan di daun telinga, dalam menangis aku menjadi merasa dekat dengan nama yang menggema di ujung toa itu. Di luar, pucuk-pucuk pepohonan, rembulan, mengabarkan hari mulai malam. Hingga tak terasa jam pulang kerja telah tiba. Teman shift-ku memberi tumpangan hingga sampai depan gang, kebetulan arah tempat tinggal kami searah. Sesampainya di rumah, aku matikan semua lampu, agar benar-benar terbebas dari segala urusan. Di dalam gelap, aku merasa ada yang pedih di mataku. Kuseka ia, dan ternyata adalah air: Rona mengambang di-ingatan-ku.

Lampu kunyalakan lagi.

Sudah berapa lama aku membiarkan laba-laba membuat sarang di mana saja: langit-langit, gantungan lampu, di atas lemari. Debu-debu juga kuperbolehkan pergi ke mana saja. Itu semua kuacuhkan. Aku lebih suka mengenang Rona dalam baju longgar dan celana berwarna hijau, seperti warna rumput berhamparan di antara bunga-bunga.  Ia selalu kukenang dengan cara demikian. Perempuan itu sungguh menyita hampir seluruh pikiranku. Walau terkadang aku sadar telah mengulang, berlingkar-lingkar dalam satu soal. Aku bangun dari pembaringan, mondar-mandir di ruang depan bergerak di antara lantai-lantai beranda. Lalu masuk lagi, mematikan lampu dan kemudian tidur.

Hingga tak terasa benang-benang cahaya menyoroti mataku, di dalam kamar rasanya panas sekali. Aku berdiri, membuka jendela. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Kutengok jam di dinding, waktu telah menunjukkan jam tiga belas lebih tiga puluh menit. “Lima belas menit lagi,” kataku.

Aku duduk di ambang jendela, sepertinya di tengah atap-atap genting dan lekuk-liku gang-gang sempit, di bawah matahari hampir sore—dunia berhenti. Aku merasa telah bersahabat baik dengan semesta, tapi belum juga memenangkan perang melawan kegelisahan setelah sekian lama bergulat.

Lima belas menit berlalu begitu saja, aku bergegas ke kamar mandi.

“Nah, ini dia orangnya.”

Aku mengisi absen, “ada apa ini?”

“Besok kita mau bikin rujak, kamu nyumbang buah apa Ri?”

“Mangga muda?”

“Cocok, Ri. Lengkap sudah.”

Maka, setelah pulang kerja sengaja aku mengintip-intip buah mangga di depan gang. Rupanya mereka sudah besar, meskipun belum matang. Memang itu yang kuinginkan, mangga muda! Setelah mengincar buah mana saja yang akan kukuambil, aku kembali ke rumah. Besok, menjelang berangkat kerja, aku sempatkan mengambilnya terlebih dahulu.

Dan seperti janjiku, aku membawa satu kantong plastik penuh berisi mangga muda.

“Ri, kamu pisahkan buat dokter Budi ya?!”

“Berapa?”

“Tiga atau empat gitulah.”


Aku mengambil plastik, lalu kumasukkan jatah untuk dokter Budi. “Aku letakkan di sini ya?!”

“Oke.”

“Kapan kita mulai acara rujakannya?”

“Nanti, agak sorean.”

Lalu aku bekerja seperti biasanya. Hari itu, suasana hatiku tidak sepi. Kami berpesta pedas hingga hampir menangis kerna berebut air. Tapi tidak bertahan lama. Ketika hari di luar adalah hitam di bagian gerumbul pohon dan pesta kekuningan di bawah rembulan, gelap dan cahaya berganti-ganti menimpaku. Dalam limbur keemasan, aku berpikir bahwa hidup sedungu ini adalah dosa. Binar-binar lampu merkuri berbaur dengan cahaya bulan, “kesunyian macam apakah yang telah membantai kerianganku?” Kebekuan seperti ini adalah warna hidup yang terkutuk! Hari itu, aku dan keajaiban malam telah menjadi satu. Alangkah gaibnya!

Jam kerjaku telah habis, seorang teman memberiku tumpangan. Malam itu, siapapun juga telah tenggelam dalam lelap tidurnya masing-masing. Aku ingin melupakan apa saja kecuali kesadaran bahwa aku ingin riang seperti dulu. Harusnya cinta tak seperti ini, ia membahagiakan. Toh ini hanya jatuh cinta, peristiwa alamiah yang biasa dialami semua orang. Aku harus pandai-pandai mengendalikan diri dan perasaanku, jika tak ingin tersiksa di mana-mana. Aku telah lancang berbuat. Dan pikiran-piran ini sebagian dari perbuatan itu.

Hmmm...

Dia satu-satunya orang dari pikiranku yang selalu ikut serta, di mana kami pernah berdua di atas rumput di bawah pepohonan cemara. Saat itu langit seakan merendah seperti terjangkau oleh tangan, dan perempuan di depanku seolah bukan makhluk dari hidup sehari-hari. Aku limbung, hanya bahwa di bawah kakiku masih ada tanah menyadarkanku masih berada di atas bumi.

Ternyata aku masih di atas motor temanku, menuju gang—rumah kontrakanku.

Sepanjang perjalanan ia terus berbicara tanpa henti, entah tentang apa. Aku sedang tidak berada di dalam tubuhku, maka aku hanya menyauti apa-apa saja yang dikatakan temanku dengan: Oo... Mmm... dan sekembalinya kesadaran ke dalam tubuh jasmani, kalau aku meladeni omongannya dan tidak menyuruhnya memilih hal-hal yang penting saja, akan habislah waktu untuk mengulang obrolan yang singkat itu.

“Intinya apa?

“Lha, itu tadi. Menurut kamu ada yang aneh tidak?” katanya. Motor berhenti pas di depan gang kontrakanku.

“Apanya yang aneh?”

“Ah, percuma ngomong sama kau!” dia langsung bablas meninggalkanku.

Aku sampai di rumah kontrakanku, dan malam sudah terlampau larut. Kumatikan lampu, agar dunia lebih sunyi dari kesepian, lebih terpejam dari tidur, lebih bisu dari terdiam. Besok aku masuk shift malam.
***

Aku berangkat dari rumah jam sembilan malam. Aku takut jika harus berjalan menyusuri gang-gang sempit lebih dari jam sembilan. Di rumah sakit, meskipun belum waktuku untuk bekerja, setidaknya aku bisa santai di sana: ngobrol, atau yang lainnya.

Pada shift malam pekerjaan tidak terlalu berat, hanya membersihkan piring bekas makan pasien dan tentu saja membersihkan lantai lorong, dan IGD. Kulakukan tugasku hingga beberapa lama sesuai jadwal giliran, sampai aku ganti shift lagi—masuk pagi.

Tentu saja aku senang.

Pagi itu penuh dengan hawa semangat, dan fajar telah digantikan oleh deretan cahaya matahari. Di timur kemerahan. Di pepohonan kemerahan. Panas yang lembut. Kabut mulai menipis. Lampu-lampu jalan padam, tinggal tiang-tiangnya yang tetap berdiri lurus di tempatnya.

Aku datang tepat waktu, pukul tujuh pagi. Memasuki gerbang UPIP, aku menahan untuk menekan perasaan-perasaan yang menarik-narik jantungku. Meskipun nama perempuan itu tak dapat kuhapus dari ingatan, terpancang di mana-mana: Pagi itu Rona duduk di tempat seperti biasa. Kulitnya seperti mengkilat dan menampung sinar-sinar matahari yang semakin memperjelas urat-urat di sebalik kulit kuningnya.

Aku terus berjalan ke arah gudang, dengan perasaan—Rona sedang memperhatikanku dan berharap mengatakan: “E, apa kabar? Sudah lama kita tidak ketumu? Kamu kemana saja?”

Tapi itu tidak mungkin. Tapi bolehlah membesar-besarkan hati, menghibur diri.

Seperti biasa, aku masuk ke kamar nomor 1 terlebih dahulu. Baunya menyengat, urinior berserakan dan  isinya berhamburan—menguak bau-bau tak sedap memasuki hidungku.

Aku ambil satu per-satu, kubawa ke toilet yang terdapat di dalam kamar itu, lalu kubersihkan dengan air dan kemudian aku jemur hingga kering. Setelah membersihkan urinior, aku mengepel seluruh lantai. Tidak semua pasien buang air di toilet, mereka sering melakukannya di samping ranjang tidurnya.

Selesai, aku lanjut ke kamar-kamar selanjutnya.

Tuntas sudah pekerjaanku membersihkan kamar pasien, aku melewati taman untuk mengembalikan peralatan ke gudang. Saat itu aku tahu bahwa Rona terlihat agak gemukan dari pertamakali aku melihatnya. “Syukurlah dia tambah sehat, semoga ia lekas sembuh dan kemudian pulang—berkumpul bersama keluarganya. Tidak menggangguku seperti ini.”

Aku meletakkan peralatan, lalu menenteng gunting rumput. Tidak tahan juga diriku jika tidak menggodanya. Lalu aku pura-pura merapikan bagian-bagian taman di dekat tempat duduknya.

“Halo, apakabar Rona? Gimana, sudah baikan?”

Dia hanya diam, tak bergerak.

“Aku lihat kamu sudah agak gemukan!”

Tak ada jawaban.

“Syukurlah kalau begitu, mungkin kau cocok dengan makanan yang ada di sini.”

Tiba-tiba Rona berteriak sekencang-kencangnya. Aku yang merasa tidak siap, sekaligus tidak menyangka akan terjadinya peristiwa ini—hanya bisa mematung kebingungan. Perawat berdatangan, dokter Budi lari menghampiri Rona. Aku yang sedari tadi diam saja, tertubruk oleh badan dokter Budi. Aku tersungkur di tanah, taka ada yang memperhatikan keberadaanku.

Dengan gerak lambat, aku menjauh dari kerumunan. Melihatnya dari jarak yang cukup aman.

Mas Hadi tergopoh-gopoh membuka jeruji dan kamar Rona, kemudian dua perawat membopongnya masuk ke dalam kamar gaduh gelisah. Mas Hadi hanya menunggu di luar, setelah keadaan menjadi tenang, dua perawat keluar, Mas Hadi mengunci gerbangnya kembali.

Dokter Budi mendekat ke arahku, “bagaimana kejadiannya tadi?”

“Saya tidak tahu, dok.”

“Tidak tahu bagaimana, kamu kan  ada di sebelahnya?”

Aku hanya diam.

“Lain kali hati-hati, ya?! Jangan mengajak bicara pasien yang kamu tidak tahu kondisinya. Itu bukan bagian kamu!”

Aku merasa tak enak, barukali ini dokter Budi marah kepadaku. Biasanya tidak pernah begitu. Aku memang keterlaluan!

Pulang jam kerja, ketika mengisi absen, Mas hadi menyerahkan selembar surat kepadaku.

“Apa ini, mas?”

“Sepertinya surat peringatan, Ri.”

“Gara-gara tadi?”

“Aku tidak tahu, tapi katanya kejadian tadi adalah puncaknya sehingga pihak manajemen melayangkan surat peringatan kepadamu.”

“Aku merasa tidak berbuat apa-apa, mas. Sungguh!”

“Sudahlah, Ri. Terima saja. Daripada urusannya jadi panjang.”

Aku sudah kehabisan kata-kata. Tak ada yang bisa kuperbuat. Sepanjang langkahku keluar dari gedung rumah sakit ini, seakan semua mata sedang tertuju kepadaku. Nuansa hangat yang biasa bertebaran di rumah sakit ini, sekarang menjadi sangat dingin. Atau ini hanya perasaanku saja yang sedang merasa bersalah?

Untuk memperbaiki kesalahan, kupikir, besok aku akan masuk kerja lebih awal.

Dokter Budi terlihat sedang lari-lari di pelataran, ketika hendak kutegur, ketika ia melihatku, dokter Budi memalingkan wajahnya. Dengan wajah tunduk aku memasuki IGD, hingga sampai ke UPIP. Perawat jaga tidak ada di tempat, aku menunggu—duduk di kursinya.

“Ngapain duduk di situ, Ri?”

“Mau masuk, mbak.”

“Kan belum waktunya masuk?”

“Iya, kepagian bangunnya.”

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti sedang menydutkanku, mencurigaiku. Semacam ada jarak di antara kami.

“Tunggu sebentar! Tunggu jam tujuh.”

Aku berdiri dari kursi perawat jaga, lalu perawat itu duduk. Aku merasa kikuk, perasaan yang sangat merepotkan hati. Tepat jam tujuh, gerbang UPIP dibukakannya untukku. “O, iya Ri. Sehabis membersihkan kamar, langsung ngepel lorong ini ya?! Biar temanmu saja yang potong rumput taman.”

“Baik, mbak.”

Aku berjalan lemas menuju gudang. Dari arah belakang, temanku menyusul sambil setengah berlari-lari. Teman shift-ku: “Ada masalah apa kemarin, Ri?”

“Aku sendiri juga bingung, tiba-tiba saja pasien-baru itu berteriak tepat ketika aku sedang berada di dekatnya.”

“Kamu di-‘SP’?”

“Iya.”

“Memangnya kamu berbuat apa?”

“Kukira sama seperti pasien yang lain: aku ajak ngobrol. Bukankah itu hal biasa?”

“Sudah kuduga. Ya sudah, tidak usah dipikir!”

Hari itu terasa begitu lama, aku memilih menghindar dari UPIP. Aku sengaja memilih lokasi yang agak jauh dari pasien. Sampai tak terasa sudah satu minggu, keadaannya belum juga mencair, aku ganti shift sore. Meskipun perawat-perawatnya berbeda, nuansanya kurasa masih tetap sama: dingin. Aku tidak diajak bercengkerama seperti dulu. Dan aku memilih bekerja saja, sebagaimana tugasku sebagai pegawai kebersihan.

Beberapa minggu telah berlalu, aku ganti shift malam. Aku sudah mulai tak kerasan bekerja di sini. Mata-mata itu, dan bisik-bisik beberapa mulut masih tertuju kepadaku. Lama aku berpikir, dan sampai kepada keputusan: pada akhir bulan nanti, aku akan mengajukan pengunduran diriku. Tapi untuk bisa sampai ke akhir bulan, masih lima belas hari lagi. Aku sudah tidak nyaman, dan selalu merasa malas jika harus berangkat kerja. Tapi aku bekerja di sini dengan segala niatan baik dan kuawali dengan baik, maka jika pun aku harus keluar untuk mencari pekerjaan lain, sudah semestinya aku harus dengan cara yang baik dan proses yang benar pula.

“Ri...” tegur salah satu satpam.

Kurasai ada es yang meleleh di sekujur tubuhku. “Panggil saya, pak?” akhirnya ada juga yang mau berbicara kepadaku.

“Tidak. Aku hanya ingin memanggilmu saja. Sudah lama kita tidak bertegur sapa.”

“Iya, pak. Terimakasih.”

Aku segera meninggalkan petugas satpam itu, menjauh dari pos jaga. Beberapa hari yang lalu, aku telah menulis surat pengunduran diriku, surat itu selalu berada di tas punggungku. Kubawa ke mana-mana. Sebab, jika aku rasa keadaan sudah tidak memungkinkan di luar waktu yang telah kutentukan, surat itu langsung bisa kuserahkan—sekalian pamit kepada yang lain.

Tapi aku tetap ingin bertahan hingga akhir bulan ini.

Tidak lama aku sampai di rumah sakit, hujan mengguyur seluruh kota. Anginnya kencang, dan juga petir yang menyambar-nyambar disertai suara guntur yang seperti tiada hentinya. Aku tetap melaksanakan tugasku seperti biasanya.

Malam itu seperti tidak ada suara lagi kecuali air hujan dan petir yang menggelegar-gelegar. Suasananya agak menakutkan bagi siapa saja yang mendengarnya. Perawat jaga gerbang UPIP, kebetulan Mas Hadi. Barangkali ia masih mau kuajak ngobrol malam ini. Tapi aku tidak ingin memulai pembicaraan apapun, sebelum diajak bicara.

“Ya, kukira memang setiap orang ada masanya. Ada jodohnya. Mungkin jodohku dengan pekerjaan ini hanya sampai akhir bulan ini saja.” aku terus mengajak diriku berdiskusi agar aku tak merasa sepi.

Sebelum kami sempa berbincang, kulihat Mas Hadi meninggalkan gerbang UPIP. Lagian apa yang mau dijaga? Toh tidak ada kegiatan apa-apa di dalam UPIP. Petir menyambar-nyambar dengan suara yang sangat kencang, aku terjingkat dibuatnya. Setelah itu, ketika yang tersisa hanya suara hujan, aku seperti mendengar orang berteriak di dalam UPIP. Aku lari ke gerbang, mencoba mencari asal suara. Suara teriakan itu terdengar lagi, dari tempat yang jauh. Tidak salah, suara itu berasal dari kamar pasien paling belakang: Rona?

Aku kelimpungan mencari Mas Hadi, ingin memberitahukan ada pasien yang sedang meronta-ronta seperti sedang meminta tolong. Hampir lima belas menit aku mencari perawat jaga dan tidak ketemu, kulihat di atas meja—kunci tergeletak.

Aku nekat.

Membuka gerbang UPIP, lalu lari menyeberangi taman dan kemudian ke kamar di mana Rona ditempatkan. Aku cari kuncinya dari yang banyak itu, satu per-satu kucoba.

Berhasil.


Lalu aku mencari kunci kamarnya, dan pintu pun terbuka. Ketika Rona melihatku, dia malah lari ke arah belakang: “Jangan, dok, jangan... jangan bius saya, dok.” Rona lalu menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya hingga telanjang, kemudian ia berbaring di atas ranjang dan membuka kedua pangkal pahanya: “Ayo, begini saja. Lakukan sesuka hatimu, seperti biasanya.”

Minggu, 04 September 2016

KEMBALIKAN MARWAH WARUNG KOPI SEKARANG JUGA!




Jawa bisa dikatakan memiliki tradisi lisan yang cukup baik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih kuatnya ingatan kolektif masyarakat tentang legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat. Ada budaya tutur tinular, getok tular, dan woro-woro untuk pentransferan sebuah informasi. Jenis komunikasi di dalam masyarakat pun diklasifikasikan dalam beberapa: rembug, omong tuwa, wadhul, ngrasani, dan sebagainya-dan sebaginya. Dari sinilah kisah-kisah masalalu meninggalkan jejaknya. Meskipun tak ajeg, kerna ciri sebuah informasi-lisan tergantung daya serap sang penerima dan kelengkapan cerita sang informan, tidak heran jika terdapat varian-varian cerita pada kisah yang sama.

Adalah alun-alun, salah satu ruang publik di masa lampau yang kerap digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitas profan, juga untuk memperoleh informasi dari kekuasaan atau arahan  pelaksanaan dari hukum-hukum universum pada kehidupan sehari-hari—kerna sejatinya alun-alun merupakan simbol harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kawula (rakyat) dengan Gusti (raja).  Alun-alun juga disebut sebagai paseban,  tempat di mana tamu-tamu menghadap (seba) dan juga menunggu. Jika rakyat ingin mengadukan sesuatu kepada raja, dia akan pepe (berjemur) di paseban hingga ditemui oleh utusan dari keraton. Namun, ketika sistem kerajaan dan feodalisme diganti dengan sistem presidensial, alun-alun beralih fungsi menjadi ruang-hijau-kota  saja. Beralih-fungsinya sebuah alun-alun, membuat ia tak lagi menjadi pusat informasi masyarakat. Ia tetap dilestarikan hanya sebagai renik, asesoris tata-ruang kota.

Ada juga lokasi yang dijadikan ajang tukar informasi antar sesama kawula alit, terutama kaum laki-laki: gardu, yakni representasi munculnya negara kolonial (khususnya) di Jawa pada abad ke-19. Pada saat yang sama, gardu juga digambarkan sebagai suatu bentuk pertahanan bagi etnis Tionghoa yang hidup selama masa penuh kekacauan, saat kekerasan diarahkan kepada mereka. Peristiwa demi peristiwa membuat gardu terikat pada politik ruang. Beralih fungsi hingga hari ini, merupakan akibat dari penyesuaian terhadap praktik-praktik sosial dan proyek politik yang membuatnya mereorganisasi ruang kota dan desa. Awalnya gardu bukanlah gardu, ia lebih dikenal dengan nama gapura yang  hanya ada di tempat-tempat kekuasan, misalnya keraton, di mana setiap pintu dijaga oleh beberapa prajurit. Sebelum masa kolonial, Asia Tenggara pada umumnya dan Jawa pada khususnya, belum memiliki kesadaran dan prinsi-prinsip teritorial. Barulah ketika Jawa berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels yang berasal dari Prancis, dan di bawah Gubernur Rafles pada peralihan Pemerintah Inggris, juga saat berlangsungnya peristiwa tanam paksa (culture stelsel)—melahirkan kesadaran teritorial akibat campur-baurnya rezim-rezim penguasa. Ketika Daendels mengerjakan proyek jalan untuk menyambungkan seluruh wilayah-wilayah di pulau Jawa (Anyer sampai Banyuwangi) yang dikenal dengan nama (proyek): Jalan Pos Besar atau Groote Postweg, istilah gardu baru muncul yang diambil dari bahasa Prancis: garde—untuk membagi wilayah kekuasaan Belanda ke dalam ruang-ruang yang terdemarkasi dengan sebutan karesidenan. Bentuk gardu diadopsi dari pendopo, yang diletakkan di setiap perbatasan wilayah yang kemudian oleh penggunanya (biasanya adalah musafir dan pedagang) dimanfaatkan sebagai tempat untuk beristirahat (rest area) ketika sedang melakukan perjalanan jauh. Keadaan Jawa ketika itu masih rawan perampokan, maka para pedagang yang beristirahat di gardu menyewa centeng dan tukang pukul untuk berjaga. Inilah cikal-bakal di mana gardu identik dengan kegiatan keamanan. Setelah Indonesia (baca: Jawa) berpindah ke tangan Jepang, dengan idilogi Pan-Asia-nisme-nya yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan seluruh Asia di bawah kepemimpinan Jepang guna menghadapi Perang Asia-Pasifik. Alih-alih ingin mempersatukan rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme Barat, seluruh masyarakat-sipil dimobilisasi dan dilatih pendidikan militer. Agar niatan pemerintah Jepang lancar, maka dibentuklah tonarigumi (sistim RT/RW) sebagai bentuk pengawasan terhadap ketertiban dan loyalitas kepada Jepang. Gardu yang saat itu berganti nama Keibodan, menjadi pusat kegiatan intelejen untuk mengawasi dan memastikan segala tindak-tanduk yang ada di tonarigumi. Jepang takluk dari sekutu, situasi Indonesia rusuh, gardu menjelma menjadi pos-pos komando yang dijaga oleh TNI. Diberlakukan surat jalan bagi setiap pelancong, dan setiap pos komando akan memberi stempel pada surat jalan tersebut. Rezim berganti, gardu dijaga oleh Hansip (pertahanan sipi). Kata ‘pertahanan’ di sana menunjukkan kegiatan intelejen yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk mengawasi semua kegiatan masyarakat. Orang yang lahir paling lambatnya pada medio 80’an, masih bisa merasakan—rasa takutnya “ngarasani” penguasa walaupun di dalam rumahnya sendiri. Soeharto lengser, kerusuhan dan penjarahan terjadi di mana-mana—terutama kepada warga keturunan. Gardu selain sebagai tempat keamanan, juga dijadikan ajang untuk mengembalikan nama Soekarno oleh Megawati dan PDI-P. Pasca ’98, hampir seluruh gardu bergambar Soekarno dan Kepala Banteng. Dan setelah situasi menjadi stabil, warga keturunan cenderung tinggal di perumahan-perumahan elite dengan sistem keamanan yang ketat. Gardu digunakan oleh security hanya sebagai tempat berjaga, tanpa melibatkan warga untuk ronda atau siskamling. Sedangkan di area padat penduduk, warga kelas menengah ke bawah, gardu kerap beralih fungsi: dikontrakkan untuk dijadikan tempat cukur rambut, rumah sewa, sekolahan TK, dan lain sebagainya—otomatis jarang sekali ada kegiatan ronda yang dilakukan warga secara bergantian.

Komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia yang berfungsi sebagai  kontrol lingkungan, adaptasi, dan transformasi warisan sosialisai.  Bergesernya fungsi alun-alun dan gardu hingga dewasa ini, membuat kebutuhan ruang untuk berkomunikasi—pindah ke tempat lain yang hari ini dijadikan pusat kerumunan: cafe, dan warung kopi. Dua tempat ini sejatinya sama secara fungsional, tetapi berbeda kasta kerna segmen pangsa pasarnya. Dari perbedaan itu, maka cafe yang notabene untuk strata ekonomi “khusus” dibekali peralatan dan perlengkapan tertentu: tempat yang bersih, lokasi yang nyaman, peralatan yang modern, ruang yang dingin, dan free wifi.

Berbeda cafe, berbeda pula dengan warung kopi. Kebetulan, saya lahir di Surabaya dari kalangan klas menengah ke bawah. Surabaya secara teritori terletak di wilayah pantai (paling) utara di mana pantura terkenal dengan racikan kopinya yang khas dengan rasa yang cukup keras. Maka tidak heran jika di Surabaya—warung kopi tumbuh subur hampir di setiap lokasi dengan sebutan ‘GIRAS’. Konon, giras adalah akronim dari ‘legi-keras’—diambil dari karakter kopi yang dimilikinya. Dan di tempat inilah para kaum laki-laki berkumpul dan menghabiskan waktu luang dengan variasi usia yang beragam: tua, dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Profesi pendatang juga macam-macam: ustadz, tukang kredit, debt collector, montir, mahasiswa hingga pelajar. Tema yang dibicarakan tidak tentu, tergantung siapa yang ingin menceritakan persoalan yang sedang dihadapinya: bisa tentang keluarganya, tetangganya, atasannya, gurunya, pacarnya, sampai masalah agama. Budaya nongkrong di warung kopi kemudian disebut cangkruk, yang berarti duduk di warung kopi dengan waktu yang cukup lama. Di sinilah keakraban terjalin, informasi dikumpulkan kemudian menyebar ke seluruh penjuru. Bisa dikatakan, warung kopi adalah pusat informasi bagi setiap warga.

Kemudian, kekira tahun 1998, saya pindah ke daerah Gresik. Di tempat baru saya ini juga memiliki budaya warung kopi. Tapi warung kopi di Gresik agak lain, dia merepresentasikan sebuah erotisme: kopi pangku. Kata ‘pangku’ secara harafiyah berarti duduk di atas paha. Jadi, yang dimaksud dengan ‘kopi pangku’ adalah warung kopi, bisa dikatakan remang-remang, yang banyak dikunjungki oleh sopir-sopir. Konsep warung kopi ini menjadi viral kerna menawarkan sesuatu yang berbeda, yakni pelayan perempuan genit dan fasilitas karaoke. Ramailah dia didatangi pengunjung-pengunjung. Tak hanya sopir, kini kopi pangku sudah bisa diakses oleh umum.

Sudah jamaknya, apa-apa yang populer di kalang menengah ke atas, dalam hal ini adalah cafe, akan ditiru oleh klas di bawahnya dengan kwalitas yang minimal. Maka, laiknya jamur, warung kopi kini bermunculan di mana-mana, dan hampir dapat ditemui di manapun tempat. Warung kopi gaya baru menggabungkan beberapa konsep: cafe, giras, dan kopi pangku. Hari ini, warung kopi di radius tempat tinggalku mesti memiliki fasilitas wifi, dan karaoke. Mereka bersaing dengan ugal-ugalan, dan meninggalkan tradisi juga ruh warung kopi itu sendiri.

Kenapa demikian?

Bisa kita lihat di warung-warung kopi, semua pengunjungnya tidak ada yang bercengkerama, ngobrol, diskusi, atau apalah—kegiatan yang bersifat komunal. Mereka justru lebih memilih berasyik-masyuk dengan gadget masing-masing, jikapun ada satu atau dua orang yang ngobrol, itu dapat dipastikan sedang membahas status teman facebooknya. Kalau tidak internetan game online, mereka karaoke—curhat malu-malu yang disampaikan melalui lagu.

Taek!

Ya, ini adalah budaya taek!

Jika ruang-ruang publik dipenuhi oleh orang-orang “autis” semacam ini, bagaimana kita sebagai bangsa bisa bersatu? Lha, wong ngobrol saja ndak pernah?! Kita tentu tidak bisa melawan arus massa yang menginginkan kecanggihan gadget, tapi apa iya harus di semua tempat? Ada warnet game online yang kini sudah menggusur eksistensi rental PS dan warnet pra-game online, dan telk*m corner. Apakah di semua tempat kita harus internetan?


Kembalikan marwah warung kopi ke posisi semula! Biarkan dia tetap menjadi gelanggang komunikasi bagi setiap warga dan pusat informasi seperti dulu. Jangan biarkan warung kopi mengalami hal yang sama seperti gardu dan alun-alun.