Oleh: Fajar Saputro
Sambil memanggul tas di punggung, Sapari
menjaga seragam serba putihnya supaya jangan satu percik pun genangan-air yang
bercampur dengan tanah menyentuh. Semalam hujan deras. Tepatnya sehari-semalam.
Untung saja dua hari yang lalu matahari bergetar-getar di atas jemuran,
seragamnya kering sebelum langit mengguyurkan air dengan membabi-buta. Ia
berjalan pelan, setengah menjinjit-jinjit dengan perasaan yang penuh dengan kehati-hatian.
Tampak di sana jahitan benang—mengitari alas sepatu pantofel hitam miliknya, yang
tak lain adalah buah-karya tukang sol-sepatu langganan Sapari. “Anjing,”
katanya tiba-tiba. Ia mengenghentikan langkah. Seekor anjing-kampung berjalan
dari arah yang berlawanan, tepat di jalan yang sedang ia lewati. Anjing itu terlihat
sangat kurus, tunduk, diam, dan menggigil kedinginan. Lelaki berseragam putih
itu mematung, menunggu apakah si anjing kurap akan mengganggu perjalanannya
menuju ke tempat kerja. Tapi binatang yang konon katanya najis itu terus
berjalan tanpa memperhatikan keberadaan Sapari, hingga posisi mereka sejajar
dan kemudian berlalu-jauh di jalannya masing-masing. Sapari membuang waktunya
selama lima menit untuk peristiwa ini, harusnya ia tak usah berhenti, lagi pula
gangguan itu lebih banyak datang dari gonggongannya atau bayangan tentangnya.
Dari menyusuri gang-gang basah tadi, ia masih
harus meneruskan perjalanannya ke jalan besar dengan kewaspadaan yang sama.
Mobil, motor, atau kendaraan umum lainnya tidak akan merasa bersalah jika
rodanya mengenai genangan air dan kemudian mengotori seragamnya. Tidak, manusia
kita belum memiliki lapis kesadaran seperti itu. Maka, yang bisa dilakukan
Sapari adalah menyusuri teras ruko-ruko agar terhindar dari apapun yang berpotensi
mengotori seragam putihnya.
Di ujung jajaran rumah toko, pas di depan
apotek 24 jam, Sapari melihat angka pada jam tangannya: “aduh... para pasien
pasti sudah bangun”. Lalu ia melangkah dengan buru-buru.
Perasaannya lega ketika lima menit sebelum jam
masuk, ia sudah sampai di sebuah gerbang yang bagian atasnya tertulis: Rumah
Sakit Jiwa ‘MUGI ENGGAL SARAS’. Sapari masuk, melewati pintu besar dan menyapa
beberapa petugas yang sedang berjaga di pos. “Masuk pagi, Ri?” tanya salah
seorang satpam.
“Iya, pak.”
Sambil terus berlalu, Sapari melambaikan tangan. Mereka pun membalas lambaian
tangannya.
Pintu gerbang utama hanya ada satu, terletak di
sebelah kiri. Setelah itu, adalah pelataran luas yang seluruh permukaan
tanahnya dilapisi aspal. Di tengahnya, ada tanah lapang yang ditancapi tiang
bendera. Lokasi itu biasa digunakan untuk kegiatan upacara. Ujung sebelah kanan
dari gerbang utama, tempat parkiran motor yang dibagi menjadi dua: untuk
pengunjung dan untuk karyawan. Tempat itu dilindungi atap asbes, sebagai
pelindung dari panas dan hujan. Di sebelah kiri, di belakang pos satpam,
parkiran mobil yang juga dibagi dua: dokter-psikiater, dan pengunjung. Di
depan, lurus dengan lapangan, pintu utama IGD (Instalasi Gawat Darurat) atau
biasa disebut dengan bangsal rawat inap. Di IGD inilah Rumah Sakit Jiwa ‘MUGI
ENGGAL SARAS’ menerimana kedatangan pasien: baik laki-laki maupun perempuan. Di
tempat ini juga, calon pasien di-diagnosa, apakah pasien termasuk kategori rehabilitan
spontan, artinya langsung bisa dipulangkan atau kategori pasien yang memerlukan
terapi medik intensif. Jika hasil diagnosa
menunjukkan bahwa pasien diharuskan mendapat terapi medik secara
intensif, maka sang pasien dinyatakan resmi menjadi penghuni rumah sakit ini.
Dari gedung IGD, masuk terus ke dalam adalah
sebuah taman di mana kanan dan kirinya dibentengi tembok yang sangat tinggi.
Ukurannya cukup luas, dinamakan sebagai halaman kreativitas dan rehabilitas—difungsikan
untuk kegiatan pasien yang sudah dinyatakan sehat tapi masih perlu
direhabilitasi. Lokasi inilah yang paling ramai setiap hari, mulai dari senam,
bermain musik, bercocok tanam, dan kegiatan rohani. Setelah halaman kreativitas
dan rehabilitas, ada bangunan lagi yang menyerupai bentuk plus (tambah, atau
palang [merah]). Di bagian depan bangunan ‘plus’ tadi, adalah teras. Masuk lagi,
ruang santai yang tersedia beberapa kursi, televisi, dan dua meja besar. Belok
kanan, adalah ruang ‘Kampar’, tempat pasien yang telah dinyatakan sehat tetapi
belum dibawa pulang oleh pihak keluarganya. Jika kita dari ruang santai
kemudian belok kiri (seberang Kampar), adalah ruang-kerja untuk perawat,
dokter, dan juga psikiater. Terus (dari belok kiri tadi) lurus ke arah
belakang, adalah dapur. Gizi pasien ditentukan di tempat ini: dari sarapan
pagi, makan siang, makan malam, dan menu makanan ringan. Penghuni ruang Kampar
juga diperbantukantukan di tempat ini (dapur). Mereka sudah dianggap bisa
melayani dirinya sendiri, dan orang lain agar mereka selalu memiliki kegiatan.
Teras, ruang santai, belok kanan ruang Kampar,
belok kiri dapur; jika dari ruang santai lurus terus—kita akan bertemu pintu
berjeruji besi (lagi). Ada beberapa perawat yang menjaga. Masuk, wilayah ini
dinamakan Unit Perawatan Intensif Psikiatrik (UPIP)—terdiri dari ruang tidur yang
di dalamnya tersedia toilet. Selain itu juga tersedia ruang untuk makan. Di tengah
UPIP ada taman. Ruangan ini dihuni oleh dua macam pasien: golongan gaduh
gelisah, dan golongan tenang. Golongan gaduh gelisah kegiatannya di dalam UPIP,
sedangkan golongan tenang kegiatannya di halaman kreativitas dan rehabilitas. Untuk
golongan gaduh yang tingkat kegelisahannya cukup meresahkan, atau yang memiliki
potensi membahayakan diri sendiri dan bahkan orang lain (bunuh diri dan
menyerang orang), ditempatkan di ruang khusus, sendirian, ruangannya terletak
paling belakang dari bangunan UPIP.
***
Aku berhenti di pintu gerbang UPIP. Terpajang
di atas perawat-jaga, jam dinding berukuran besar dengan bentuk bundar sempurna.
Tepat jam tujuh pagi. Aku absen, mengisi daftar kehadiran: nama, dan jam masuk.
Lalu salah seorang perawat-jaga berdiri, namanya Mas Hadi, ia seperti sedang
merogoh saku baju dan celananya.
“Cari apa, mas?” tanyaku.
“Kunci,” katanya.
“Itu di atas meja, mas!” tanganku menunjukk ke
arah di mana kunci itu berada.
“O, iya.”
Lalu Mas Hadi membukakan pintu gerbang, aku
memasuki kawasan itu selalu dengan perasaan was-was—seperti waktu pertamakali.
Ceritanya begini. Pernah suatu hari, saat pertama bekerja di rumah sakit ini,
salah seorang pasien mengamuk—menubrukkan badannya ke tubuhku. Ambruklah saya.
Badannya tinggi, besar, dan berkulit bersih. Tidak berhenti sampai di situ.
Setelah melihatku tersungkur di atas lantai, tanpa ampun pasien itu menghajar wajahku
dengan kepalan tangan-kanan dan kirinya, gantian: “Kembalikan uangku!
Kembalikan uangku!”, katanya sambil terus memukul. Untung saja para perawat dan
dokter dengan sigap menolongku, dan menyuntikkan obat bius kepada pasien.
Obat bereaksi, pasien yang tak sadarkandiri
itu kemudian dibopong ke kamarnya oleh dua perawat laki-laki. Aku berdiri, sebuah
tangan menepuk pundakku, “yang sabar ya?!” kata seorang dokter laki-laki.
“Biasa, pasien lima tahunan.”
Aku hanya menganggukan kepala, tak mengatakan
apa-apa.
“Saya Budi,” laki-laki itu mengulurkan tang, “dokter
kepala di rumah sakit ini. Siapa nama kamu?”
“Saya Sapari, dok.”
“Ya sudah, selamat bekerja kalau begitu.”
Itulah sambutan awal yang pernah kuterima.
Hari-hari berikutnya, nasibku masih sama. Ketika sedang fokus memotongi rumput
di taman, seorang pasien mendekatiku. Ia hanya duduk, tak bergerak. Jaraknya
hanya tiga meter dari tempatku. Kerna tempat duduk si pasien terletak di daerah
rerumputan yang harus kurapikan, aku mendekat ke arahnya. Tepat sejangkauan
tangan jarak kami, ia menyerangku tanpa ampun. Aku minta tolong, dokter Budi
membiusnya.
Ya, di sinilah aku sekarang. Tempat yang sudah
melatihku agar memiliki rasa maaf yang cukup. Sebagai pegawai rendahan, cleaning services dari perusahaan outsourcing, aku tak bisa menuntut-lebih
selain menerima keadaan. Satu bulan, dua bulan, hingga enam bulan masa kerjaku
di Rumah Sakit ‘MUGI ENGGAL SARAS’—keadaan mulai berubah dan bersahabat.
Pasien-pasien itu tak lagi menyerangku, aku sudah mulai terbiasa dengan
situasinya. Kadang hingga merindukannya. Dalam satu minggu, aku libur satu hari:
sabtu atau minggu. Jika tidak ada yang kukerjakan saat liburan, aku dengan
senang-hati datang ke UPIP, membantu tanpa bayaran.
“Organization is a culture,” kata Dokter Budi.
Itu kenapa, kami saling akrab satu dengan yang lain—walau masing-masing memiliki
kesadaran untuk menjaga-jarak agar tidak terlewat batas. Keadaan Rumah Sakit
kami sangat berbeda dengan Rumah Sakit Umum yang ramai oleh pasien dan
pengunjung setiap hari. Keheningan di tempat ini, membuat kami terikat satu
sama-lain. Contoh sederhana saja, tradisi membawa makanan. Setiap hari, ada
saja yang membawa makanan dari rumah untuk kami cicipi. Kue, gorengan, atau
makanan khas dari kampung masing-masing. Kami sering berbagi. Dokter budi yang
melestarikan budaya bagi-bagi makanan kepada semua, tanpa membeda-bedakan:
dokter, psikiater, perawat, satpam, dan cleaning
serviceses;—yang pada akhirnya diikuti oleh kami semuanya.
Dokter Budi adalah satu-satunya dokter
laki-laki di sini, ia pemimpin yang baik, itu tercermin dari keluarganya yang
tampak bahagia, dan tentu saja seluruh pekerja di Rumah Sakit ‘MUGI ENGGAL
SARAS’. Beliau memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai notaris; berkulit
putih, tidak begitu tinggi, dan berbadan gemuk. Anaknya dua, laki-laki semua.
Sungguh keluarga yang sangat harmonis.
***
Mas Hadi membukakan pintu gerbang UPIP, lalu
aku menuju ke gudang mengambil beberapa peralatan untuk bersih-bersih kamar
pasien. Kain pel, ember, dan pembersih lantai aku bawa menuju kamar nomor 1
yang terletak paling depan, dekat gerbang UPIP. Lalu kamar sebelanya, nomor
2—sampai kamar paling belakang nomor 5. Menyeberangi taman, aku ke kamar nomor
6 hingga ke depan—yakni nomor 10. Sebenarnya di sebelah kamar nomor 6, di ujung
paling belakang, ada kamar satu lagi yang tidak boleh dimasuki sembarang orang,
yaitu kamar untuk pasien kategori yang tingkat kegelisahannya cukup meresahkan.
Di kamar itu tidak ada yang boleh masuk kecuali dokter Budi. Pasien berbahaya,
katanya.
Selesai membersihkan kamar pasien, aku
merapikan taman: potong rumput, buang sampah, dan menyirami bunga-bunga. Di
tengah taman ini ada pancuran air, beberapa
jenis bunga, dan pohon-pohon cemara. Ada juga di bagian-bagian tertentu ruang taman,
kursi panjang berjumlah delapan banyaknya. Udaranya terasa sejuk, suara air,
dan juga kicau burung yang sedikit-sedikit bubar ke angkasa. Hari masih pagi,
aku harus membersihkan semua ruangan sebelum para perawat, dokter, dan
psikiater—datang. Aku bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam tiga sore, itu
jika masuk shift pagi. Jika masuk shift sore, dari jam tiga sampai jam sebelas
malam. Jika kebagian shift malam, aku masuk jam sebelas dan pulang jam tujuh
pagi. Satu hari ada tiga shift, masing-masing sembilan jam. Dalam satu bulan,
kami digilir: pagi, seore, malam. Hari ini kebetulan aku kebagian shift pagi.
Berangkat dari rumah jam enam lebih tiga puluh menit, perjalanan dari rumah
kontrakan ke tempat kerja memakan waktu sekitar tiga puluh menitan. Kami
diwajibkan untuk lebih awal ketimbanga yang lain: dokter, psikiater, dan suster
perawat. Kecuali bagian dapur, mereka harus mulai masak dari pagi hari.
Tak selang beberapa lama aku menyelesaikan
tugas, perawat-perawat berdatangan. Beberapa pasien yang berhamburan di taman dan
juga beranda kamar, digiring ke halaman kreativitas dan rehabilitas, sebagian
lagi dibawa ke ruang makan. Selesai makan, pasien-pasien dibius. Obat bereaksi,
pasien-pasien tadi dimandikan kemudian dibawa ke tempat tidurnya masing-masing.
Jika UPIP sudah lengang, aku dan petugas kebersihan yang lain—pindah ke halaman
kreativitas dan rehabilitas. Biasanya menunggu kegiatan pasien sampai selesai.
Jika sudah, aku memunguti kotoran dan merapikan rumput. Begitu kegiatanku
seharian, sampai jam menunjukkan pukul tiga sore.
Tak terasa cahaya langit sedikit surut,
kumandang adzan berhamburan di atap, dinding, lantai-lantai, dan sebagian lagi
di dalam dadaku. Itu tak hanya berarti jam kerjaku telah habis, tapi juga
sebuah panggilan misterius yang sesaat membawaku pada nuansa spiritual: hening
yang melampaui batas. Maka aku diam mematung, hingga seruan itu lamat-lamat
menghilang dari inderaku. Lalu aku bersiap-siap pulang, merapikan diri.
Keluar dari gerbang UPIP, aku absen untuk yang
kedua kali: mengisi kolom jam-pulang-kerja kemudian paraf.
Kakiku terus melangkah meninggalkan UPIP, lalu
menyusuri ruang santai, teras, halaman kreativitas dan rehabilitas, dan kemudian
IGD. Belum jenak badanku melewati pintu keluar, dua perawat laki-laki menarik
tangan seorang perempuan yang berusaha melepaskan diri.
“Pasien baru?” tanyaku pada salah seorang
perawat itu.
“Iya.”
Aku membalikkan badan, mengarah ke perempuan
itu. Dia terus berontak sambil mengiba kepadaku, “tolong... tolong... tidak,
tolong!!!” Aku masih menatapnya. Oleh dua perawat laki-laki tadi, perempuan itu
dibaringkan di atas ranjang pasien. Kedua tangannya diikat, pun dengan kedua
kakinya. Dokter Budi datang, memeriksa, lalu membiusnya. Suasana IGD kembali
tenang, dan aku melanjutkan perjalan pulang.
Pelataran Rumah Sakit, lalu ke jalan besar.
Pohon-pohon di atas trotoar, halte bus, dan ruko-ruko itu masih saja diam
seperti tadi pagi. Aku terus berjalan melewatinya. Sejenak aku berhenti di
depan sebuah gang—jalan menuju rumah kontrakanku. Di depan gang itu terdapat
sebuah rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya: di depan halaman rumah kosong
itu berdiri sebuah pohon mangga yang daunnya rindang sekali. Pohonnya tidak
terlalu tinggi. Aku memeriksa di sela-sela daun apakah ada barang sebuah atau
dua buah mangga yang dapat kuambil. Ternyata buahnya masih kecil, belum siap
diambil. Maka aku lanjutkan lagi langkah kakiku menuju rumah, tempatku
beristirahat.
Sampai.
Aku melepas sepatu, lalu meletakkannya di
tempat biasa. Juga tas punggung, lalu membuka seragamku, menggantungkannya di centelan baju. Mungkin sudah jam
setengah lima sore, warna langitnya semakin petang. Kubuka pintu dan jendela,
agar kamarku dimasuki udara dan sisa-sia sinar matahari hari ini. Sekalian mengeringkan
keringat-keringat, sebelum pergi membersihkan badan ke kamar mandi.
Kuisi teko elektrik dengan air, lalu
menancapkan kabelnya ke dalam lobang listrik. Hingga mendidih, air kutuang ke
dalam gelas bening dengan pegangan yang melingkar di belakangnya. Beralas
piring kecil, dengan tutup gelas berbahan plastik berwarna pink. Kopi yang kubuat airnya sedikit, sebanyak setengah gelas. Selanjutnya, aku membiarkan uap-uap kopi panas
membentur penutup gelas. Dengan begitu, tekanan udara di dalam gelas akan
menjadi semakin tinggi, mengakibatkan biji-biji kopi lembut yang mengapung di
permukaan—jatuh ke dasar-gelas bersama dengan ampas: biji kopi halus itu pecah,
mengelurkan semacam inti-cairan yang ada di dalam dirinya kemudian menyebarkan
ke seluruh larutan. Saat itulah kopi akan terasa lebih nikmat.
Di depan teras rumah kontrakan, aku menikmati
kopi soreku. Kunyalakan sebatang kretek, lalu kuembuskan asap dari rongga
dadaku ke seluruh ruangan. Nikmat sekali. Aku buka tutup gelas, menyruput kopi.
Masya Allah.
Lelaki tua berjalan ke utara dengan baju-ibadah
lengkap: peci, koko, sarung, dan sejadah. Tak selang berapa lama, dua orang
laki-laki setengah baya berjalan beriringan juga menuju ke arah yang sama. Lalu
perempuan sepuh, lengkap dengan mukena-nya. Aku masih belum beranjak dari
tempat dudukku, walapun aku tahu maghrib akan segera tiba. Sudah saatnya aku
membersihkan diri. Entah kenapa rasanya malas sekali, seperti ada yang aneh,
tapi tidak tahu apa yang sedang kurasa aneh.
“Ada apa ini?” tanyaku ke dalam diri.
Aku mencoba mengingat-ingat, kejadian-demi
kejadian siang tadi—apa yang menyebabkan perasaanku tak seenak ini. Tapi buntu,
aku tak menemukan jawaban apapun. Sebab kurasa tak ada yang aneh dengan hari
ini. Semua berjalan normal, seperti biasanya. Lalu kupaksa badanku beranjak
dari kursi, menuju kamar mandi, toh
tidak semua hal harus ketemu jawabannya. Seperti halnya: Kenapa sehabis makan,
kita “harus” menelungkupkan sendok dan garpu di atas piring? Atau kenapa setiap
sehabis do’a, kita selalu meraupkan kedua telapak tangan ke wajah? Tidak ada
yang tahu! Semua hanya kesepakatan yang dikaitkan dengan norma atau nilai-nilai
tertentu. Maka kubiarkan rasa aneh di dalam tulang sum-sumku ini, berharap semoga
ia akan segera menguap ke atas langit menumui pemiliknya.
***
Pagi itu aku bangun dengan napas yang
tersengal-sengal, seperti habis berlari. Keringat sebiji jagung masih
menggenangi seluruh hamparan kulit wajah dan leherku. Sepertinya aku habis
bermimpi, tapi entah tentang apa. Kutengok jam dinding di atas kasurku: jam lima
lebih tiga puluh menit. Segera aku melompat dari kasur, bergegas pergi bekerja.
Seperti biasa, aku selalu berangkat dari rumah
pukul enam.
“Selamat pagi, dok.”
“He, Ri, selamat pagi.” Dokter Budi menyambut sapaanku, lalu
melanjutkan olahraganya, lari-lari di pelataran depan.
Aku pun melanjutkan perjalananku menuju UPIP.
Seperti biasa, absen. Kali ini aku datang lebih awal: lima belas menit sebelum
jam masuk. “Kuncinya ada, Mas Hadi?”
“Tenang, sudah aku masukkan kantong celana.”
Ia merogoh saku celana sebelah kanan, kemudian kiri. Lalu saku bajunya, kanan
dan kiri.
“Lupa lagi, Mas?”
“Iya, nih. Saya sering lupa kalau menaruh
barang. Tadi, ketika dokter Budi mau masuk, aku kebingunagn mencari kunci.”
“Ini saran ya, mas. Boleh didengar, tapi
jangan dimasukin hati: kalau menaruh barang, usahakan selalu di tempat yang
sama. Jadi kalau mau cari, sudah tahu di mana tempatnya.”
“Aduh kuncinya di mana ya, Ri?”
Aku menengok ke arah lubang kunci, “itu, masih
nempel.”
“Masya Allah,” Mas Hadi menepok jidatnya.
Maka seperti biasa, aku langsung menuju gudang
mengambil peralatan untuk bersih-bersih. Kamar nomor 1, 2, 3, 4, 5—aku lanjut
ke kamar nomor 6. Lalu 7, 8, 9, 10. Semua lancar. Ketika hendak balik ke
gudang, mengembalikan ember, kain pel, dan pembersih lantai; saat melewati
taman, aku merasa hari itu memang lain.
Hingga waktu berjalan beberapa bulan ke depan.
Pekerjaanku masih begitu-begitu saja:
membersihkan lantai, potong rumput, menyiram kembang, dan sesekali melepaskan perasaan—senang
sekaligus haru—menyaksikan kepergian pasien-pasien yang sudah sembuh. Mereka pulang
dijemput keluarganya, sebagian hanya dijemput tetangganya. Adalah Pak Slamet,
seorang tua beruban yang mengalami suatu masa lampau, ketika ia masih dipanggil
“jongos”. Ada perbedaan misterius antara kedua kata itu, jongos dan pelayan,
suatu perbedaan yang tak bisa ia terangkan, kerna baginya sesungguhnya segala
sesuatu masih tetap sama: di luar sana, atau di dalam rumah sakit—menjadi
pesuruh.
Suatu hari, beberapa bulan yang lalu kami
sempat merajut keakraban. Ketika itu Pak Slamet sedang duduk-sendiri di halaman
kreativitas dan rehabilitas usai membantu pekerjaan dapur. “Lagi mikirin apa,
pak?” tegurku.
“E, Ri. Iya nih, aku kepingin pulang. Tapi aku
bingung, kalau sudah keluar dari sini mau kerja apa?!”
“Memangnya, dulu bapak kerja apa?”
“Kerja apa saja, Ri.”
“Iya, apa pekerjaannya?”
“Agar memiliki nama, sebut saja pekerjaanku sebagai
‘serabutan’. Disuruh ini-itu oleh warga sekitar: ya cuci baju, setrika,
bersih-bersih rumah, membetulkan atap bocor, memperbaiki rumah, antar jemput
anak sekolah; pokoknya apa saja Ri. Warga di tempat tinggalku sangat baik
kepadaku. Mereka mau memberiku pekerjaan. Anggap saja aku ini jongos, sampai di
sini, kerna tidak ada yang membiayaiku, aku membantu memasak.”
“Kenapa bisa masuk di sini, pak?”
“Harusnya negara ini dibubarkan saja!”
Mendengar jawaban Pak Slamet, aku langsung
mengepalkan tangan-kiri dan mengangkatnya ke atas: “Merdeka!” kataku. Tapi
segera kulanjutkan, “tapi kenapa begitu? Apa alasannya?” aku sambil memasang
tampang konyol.
“Kadang aku merasa,” kata Pak Slamet, “negara
ini hampir tidak ada gunanya untuk orang kecil semacam kita. Semakin hari,
hidup tambah susah. Listrik rumah pakai token, motor semua diganti matic, handphone yang didistribusikan
kepada masyarakat dengan desain-teknologi yang mesti menggunakan paket quota
internet. Semacam ada kesengajaan dari negara, atau kalau aku boleh
berprasangka baik, pemerintah seperti tidak berdaya menghadapi gempuran kedua
sisi: konsumeritas masyarakat, dan kapitalisme perusahaan. Lihat tiga contoh
yang aku sebutkan tadi, semua memaksa kita untuk sesegera mungkin merasakan kegelisahan.
Motor, lebih mudah habis bahan bakarnya, sedangkan harga bensin makin hari
makin naik. Listrik, yang saat ini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat,
hanya bisa dipakai sesuai kapasitas kantong kita. Kalau tidak, ia langsung
mati. Tidak seperti dulu, bisa nunggak
sampai tiga bulan. Pemerintah membatasi kita memakai listrik, tapi tidak dengan
pabrik-pabrik dan rumah orang kaya. Handphone, usia anakku sudah menginjak
remaja. Aku sudah menasehatinya berualangkali, mendoakannya setiap ia tidur;
tapi tetap saja kekuatan lingkungan mengalahkan petuah dan doa-doaku. Lingkungan membawanya bersikap dan berperilaku
sebagaimana anak seusianya. Dia minta handphone, dan minta diisikan pulsanya
setiap bulan yang semakin hari harganya semakin naik saja. Kalau tidak, anakku
marah. Di masaku dulu, isi pulsa lima ribu cukup buat satu bulan. Negara adalah
bentuk puncak dari sebuah korporasi, bisanya cuma jualan ke rakyat dengan harga
yang sangat tinggi.”
“Iya, sih pak. Tapi kenapa pak Slamet bisa
masuk ke sini?”
“Gila, maksud kamu?”
“Jika ada kata yang lebih terhormat, saya akan
menggunakannya.”
“Ya, seperti kataku tadi Ri. Beban hiudp terlalu
besar, walaupun aku sudah berusaha keras, tapi tetap saja tidak cukup.
Akhirnya, anak dan istriku meninggalkan rumah. Entah mereka pergi ke mana.”
Itulah perbicanganku dengan Pak Slamet
beberapa bulan yang lalu, sosok yang sangat kuhormati. Dia termasuk pasien yang
tidak pernah berbuat onar, pendiam. Dan pada akhirnya dia harus meninggalkan
tempat ini, tentu saja aku bahagia—Pak Slamet dapat melanjutkan hidupnya di
luar sana sebagai orang yang normal di antara kegilaan-kegilaan yang ada.
Aku menyaksikan pemandangan seperti itu,
datang dan perginya pasien rumah sakit ini, sudah puluhan bahkan bisa dikatakan
ratusan kali. Kadang aku, atau bahkan para perawat lainnya merasa—sebiknya
mereka tinggal di sini saja. Sebab, belum
tentu di luar sana mereka diperlakukan sama seperti kami memperlakukan pasien.
Meskipun aku bukan seorang perawat, setelah mengalami kepergian pasien satu
per-satu, aku pikir akan terbiasa. Ternyata masih sedih, ternyata hatiku masih
bisa sedih. Ya, peristiwa hati memang peristiwa yang sangat misterius,
menyisakan teka-teki yang tiada habis-habisnya. Aku seakan bisa merasakan
suasana hati Gendari, seorang ibu yang menyaksikan keseratus Kurawa
anaknya—pergi dan kemudian gugur di gelanggang Tegal Kurusetra satu per-satu.
Pak Slamet pergi, kemudian ada yang datang.
Begitu seterusnya. Sebuah kedatangan berarti ada yang menghibur hatiku. Seorang
pasien perempuan, kulitnya kuning, lulur kunyit menggairahkan. Namanya Rona,
perempuan muda yang tidak beruntung. Di usianya yang masih belia seperti ini,
dia sudah mengalami depresi yang begitu berat. Dia adalah pasien yang pernah aku
lihat dulu di IGD ketika hendak pulang. Dia pasien yang berteriak ke arahku,
menatap mataku dengan iba: “tolong... tolong... tidak, tolong!!!”
Inilah jawaban kenapa selama ini hatiku
gelisah. Ternyata, ketika ia menatap mataku untuk kali pertama, seperti ada
yang menusuk isi dadaku tanpa kusadari. Entah sejak kapan aku selalu
mendapatinya duduk di tengah taman bunga ini, diam, dan sendiri. Di antara
hamparan hijau rumput dan warna-warna kembang yang bertaburan di sana-sini; aku
dapat membayangkan kulit perempuan itu, gumpalan dagingnya, tinggi badannya,
kepadatannya. Aku selalu memandanginya dalam suka cita yang luar biasa.
Sepintas, ia tampak seperti perempuan sehat dan baik-baik saja: kecantikannya
kota dan sehat seperti orang gunung. Lama aku memandanginya. Tak dinanya,
ketika pikiran itu terlintas dan kebetulan Rona menatap ke arahku tepat di
tengah bola mataku. Sekilas aku melihat ia tersenyum, walalu sudah lewat
beberapa saat, aku masih bisa merasakan sisa-sisanya. Senyuman makhluk semacam
apa yang dapat tertinggal di genangan bibir basah yang tampak seperti barusaja
digigit? Aku sungguh ingin hidup di masa kini dan besok pagi! Dan hanya
kepadanyalah aku mempunyai hak untuk gemetar.
Angin bertiup, bersamaan dengan pulihnya
ingatanku. Bahwa aku adalah orang waras, buruh rendahan, dan sedang jatuh cinta
kepada orang gila dari kalangan berada. Sepintas kurasa pahit. Maka segera
kutepis perasaan itu, bahwa pengetahuan tidak selalu berguna, apalagi dalam
persoalan cinta. Tenggorokanku bergerak naik-turun kerna menelan ludah, maka
tenggelamlah ke-minder-anku, bahkan seluruh pengetahuanku.
Sambil menenteng alat pemotong rumput, aku
mendekat ke arahnya sembari menekuni bibirnya yang melengkung sedikit ke atas.
“Selamat pagi Mbak Rona,” aku menegurnya,
memberanikan diri.
Ia menoleh ke arahku, dan terlihat cuaca di
wajahnya yang sembab dan air pada kedua matanya yang lembab. Rona tersenyum
kepadaku, tipis. “Apakah senyum itu menyiratkat perasaannya kepadaku?” Dan rasa
pahit pun datang lagi. Sebentar aku tersadar, jika dalam persoalan cinta aku
berhenti berpikir maka selayaknya aku tidak meminta orang lain berpikir tentang
diriku. Dan seketika itu juga aku telah selesai dengan diriku sendiri, sebab
dunia dan seisinya selalu bergerak dari waktu ke waktu, setiap bagian
mengerjakan tugasnya. Aku berharap segalnya akan berjalan sendiri, apapun
hasilnya.
Memang, sejak dulu setiap persoalan lebih banyak
menimbulkan pertanyaan daripada jawab. Bukankah dia memang selalu berperilaku
seperti itu, pendiam dan tidak pernah berbuat gaduh? Tapi entah kenapa ia
ditempatkan di ruangan khusus, sendiri, di ruang paling belakang. Katanya, dia
adalah pasien golongan gaduh gelisah yang tingkat kegelisahannya cukup
meresahkan.
Cerita punya-cerita, Rona berasal dari
keluarga kaya dengan status anak semata wayang. Pertengkaran demi pertengkaran
orang tuanya, membuatnya sering kedapatan berbicara sendiri, tertawa, dan
mengamuk tanpa sebab. Hinga pada puncaknya, pertengkaran orang tuanya semakin
hari semakin membesar. Ayahnya ketahuan selingkuh dengan teman istrinya, dan
sedang hamil. Ketika ayahnya mulai kasar kepada ibunya, teriak bahkan memukul,
Rona menyerang ayahnya dari arah belakang.
Ayahnya sekarat, ibunya membawa Rona ke rumah
sakit ini kerna dianggap gila telah menyerang orang tuanya sendiri.
Maka jangan pernah ikut campur di dalam
persoalan dua orang yang pernah jatuh cinta. Kerna, kita sebagai pihak ketiga
yang ingin ikut campur, akan berada dalam posisi yang selalu salah. Siapapun
yang sedang kita bela, apapun persoalannya. Itu yang kulihat pada nasib Rona:
membantu ibunya yang sedang disakiti ayahnya, yakni orang yang patut disalahkan
dalam peristiwa ini, tapi malah dianggap gila.
Hari demi hari kujalani episode hidupku kali
ini yang penuh dengan bunga: setiap udara yang kuhisap adalah aroma kembang,
juga sejauh hamparan tanah yang kupijak seperti ditaburi sekar melati dan
kenanga.
Setiap ada kesempatan, tepatnya ketika
membersihkan taman, aku selalu menggunakan saat itu untuk menyapanya. Jika
nasib sedang baik, aku mendapat senyum dari bibirnya. Itu sudah menjelaskan
banyak hal, setidaknya untuk diriku sendiri. Aku baru kali ini merasakan jatuh
cinta, rasanya memang agak lain. Banyak dandan, kurang makan, dan kurang tidur.
Kerna sebab itu, aku jadi sering terlambat masuk kerja. Beberapakali aku
mendapatkan teguran, tapi aku belum bisa beradaptasi dengan suasana baru di
dalam diriku. Akhirnya beberapa teman mengusulkan agar aku pindah di shift
kedua.
Aku setuju.
Di jam kerjaku yang baru, situasinya agak
berbeda. Kegiatanku kebanyakan di luar UPIP: buang sampah di dapur, buang bekas
bungkus obat dan alat suntik, membersihkan Kampar, merapikan ruang santai,
teras, dan taman kreativitas dan rehabilitas. Satu shift hanya diisi oleh dua
orang cleaning services, jadi tidak
heran untuk merapikan tempat sebanyak itu membutuhkan waktu yang cukup lama
ditambah dengan jam istirahat untuk makan dan melaksanakan ibadah.
Sudah dapat ditebak, setiap membersihkan
lantai sepanjang dapur hingga kampar aku selalu berhenti di depan gerbang UPIP.
Aku selalu memandangi tempat di mana Rona biasa duduk, dan selalu ada sesuatu
yang membuat jantungku memukul bila teringat kepada perempuan itu, kemudian perasaanku
akan menjadi sedih yang menekan. Kumandang adzan lamat-lamat bergelantungan di
daun telinga, dalam menangis aku menjadi merasa dekat dengan nama yang menggema
di ujung toa itu. Di luar, pucuk-pucuk pepohonan, rembulan, mengabarkan hari
mulai malam. Hingga tak terasa jam pulang kerja telah tiba. Teman shift-ku
memberi tumpangan hingga sampai depan gang, kebetulan arah tempat tinggal kami
searah. Sesampainya di rumah, aku matikan semua lampu, agar benar-benar terbebas
dari segala urusan. Di dalam gelap, aku merasa ada yang pedih di mataku. Kuseka
ia, dan ternyata adalah air: Rona mengambang di-ingatan-ku.
Lampu kunyalakan lagi.
Sudah berapa lama aku membiarkan laba-laba
membuat sarang di mana saja: langit-langit, gantungan lampu, di atas lemari. Debu-debu
juga kuperbolehkan pergi ke mana saja. Itu semua kuacuhkan. Aku lebih suka
mengenang Rona dalam baju longgar dan celana berwarna hijau, seperti warna
rumput berhamparan di antara bunga-bunga.
Ia selalu kukenang dengan cara demikian. Perempuan itu sungguh menyita
hampir seluruh pikiranku. Walau terkadang aku sadar telah mengulang,
berlingkar-lingkar dalam satu soal. Aku bangun dari pembaringan, mondar-mandir di
ruang depan bergerak di antara lantai-lantai beranda. Lalu masuk lagi,
mematikan lampu dan kemudian tidur.
Hingga tak terasa benang-benang cahaya
menyoroti mataku, di dalam kamar rasanya panas sekali. Aku berdiri, membuka
jendela. Tampak matahari sudah condong ke arah barat. Kutengok jam di dinding,
waktu telah menunjukkan jam tiga belas lebih tiga puluh menit. “Lima belas
menit lagi,” kataku.
Aku duduk di ambang jendela, sepertinya di
tengah atap-atap genting dan lekuk-liku gang-gang sempit, di bawah matahari
hampir sore—dunia berhenti. Aku merasa telah bersahabat baik dengan semesta,
tapi belum juga memenangkan perang melawan kegelisahan setelah sekian lama
bergulat.
Lima belas menit berlalu begitu saja, aku
bergegas ke kamar mandi.
“Nah, ini dia orangnya.”
Aku mengisi absen, “ada apa ini?”
“Besok kita mau bikin rujak, kamu nyumbang buah
apa Ri?”
“Mangga muda?”
“Cocok, Ri. Lengkap sudah.”
Maka, setelah pulang kerja sengaja aku
mengintip-intip buah mangga di depan gang. Rupanya mereka sudah besar, meskipun
belum matang. Memang itu yang kuinginkan, mangga muda! Setelah mengincar buah
mana saja yang akan kukuambil, aku kembali ke rumah. Besok, menjelang berangkat
kerja, aku sempatkan mengambilnya terlebih dahulu.
Dan seperti janjiku, aku membawa satu kantong
plastik penuh berisi mangga muda.
“Ri, kamu pisahkan buat dokter Budi ya?!”
“Berapa?”
“Tiga atau empat gitulah.”
Aku mengambil plastik, lalu kumasukkan jatah
untuk dokter Budi. “Aku letakkan di sini ya?!”
“Oke.”
“Kapan kita mulai acara rujakannya?”
“Nanti, agak sorean.”
Lalu aku bekerja seperti biasanya. Hari itu,
suasana hatiku tidak sepi. Kami berpesta pedas hingga hampir menangis kerna
berebut air. Tapi tidak bertahan lama. Ketika hari di luar adalah hitam di
bagian gerumbul pohon dan pesta kekuningan di bawah rembulan, gelap dan cahaya
berganti-ganti menimpaku. Dalam limbur keemasan, aku berpikir bahwa hidup
sedungu ini adalah dosa. Binar-binar lampu merkuri berbaur dengan cahaya bulan,
“kesunyian macam apakah yang telah membantai kerianganku?” Kebekuan seperti ini
adalah warna hidup yang terkutuk! Hari itu, aku dan keajaiban malam telah
menjadi satu. Alangkah gaibnya!
Jam kerjaku telah habis, seorang teman
memberiku tumpangan. Malam itu, siapapun juga telah tenggelam dalam lelap
tidurnya masing-masing. Aku ingin melupakan apa saja kecuali kesadaran bahwa
aku ingin riang seperti dulu. Harusnya cinta tak seperti ini, ia membahagiakan.
Toh ini hanya jatuh cinta, peristiwa
alamiah yang biasa dialami semua orang. Aku harus pandai-pandai mengendalikan diri
dan perasaanku, jika tak ingin tersiksa di mana-mana. Aku telah lancang
berbuat. Dan pikiran-piran ini sebagian dari perbuatan itu.
Hmmm...
Dia satu-satunya orang dari pikiranku yang
selalu ikut serta, di mana kami pernah berdua di atas rumput di bawah pepohonan
cemara. Saat itu langit seakan merendah seperti terjangkau oleh tangan, dan
perempuan di depanku seolah bukan makhluk dari hidup sehari-hari. Aku limbung,
hanya bahwa di bawah kakiku masih ada tanah menyadarkanku masih berada di atas
bumi.
Ternyata aku masih di atas motor temanku,
menuju gang—rumah kontrakanku.
Sepanjang perjalanan ia terus berbicara tanpa
henti, entah tentang apa. Aku sedang tidak berada di dalam tubuhku, maka aku
hanya menyauti apa-apa saja yang dikatakan temanku dengan: Oo... Mmm... dan
sekembalinya kesadaran ke dalam tubuh jasmani, kalau aku meladeni omongannya
dan tidak menyuruhnya memilih hal-hal yang penting saja, akan habislah waktu
untuk mengulang obrolan yang singkat itu.
“Intinya apa?
“Lha, itu tadi. Menurut kamu ada yang aneh
tidak?” katanya. Motor berhenti pas di depan gang kontrakanku.
“Apanya yang aneh?”
“Ah, percuma ngomong sama kau!” dia langsung
bablas meninggalkanku.
Aku sampai di rumah kontrakanku, dan malam
sudah terlampau larut. Kumatikan lampu, agar dunia lebih sunyi dari kesepian,
lebih terpejam dari tidur, lebih bisu dari terdiam. Besok aku masuk shift
malam.
***
Aku berangkat dari rumah jam sembilan malam.
Aku takut jika harus berjalan menyusuri gang-gang sempit lebih dari jam
sembilan. Di rumah sakit, meskipun belum waktuku untuk bekerja, setidaknya aku
bisa santai di sana: ngobrol, atau yang lainnya.
Pada shift malam pekerjaan tidak terlalu berat,
hanya membersihkan piring bekas makan pasien dan tentu saja membersihkan lantai
lorong, dan IGD. Kulakukan tugasku hingga beberapa lama sesuai jadwal giliran,
sampai aku ganti shift lagi—masuk pagi.
Tentu saja aku senang.
Pagi itu penuh dengan hawa semangat, dan fajar
telah digantikan oleh deretan cahaya matahari. Di timur kemerahan. Di pepohonan
kemerahan. Panas yang lembut. Kabut mulai menipis. Lampu-lampu jalan padam,
tinggal tiang-tiangnya yang tetap berdiri lurus di tempatnya.
Aku datang tepat waktu, pukul tujuh pagi.
Memasuki gerbang UPIP, aku menahan untuk menekan perasaan-perasaan yang
menarik-narik jantungku. Meskipun nama perempuan itu tak dapat kuhapus dari
ingatan, terpancang di mana-mana: Pagi itu Rona duduk di tempat seperti biasa.
Kulitnya seperti mengkilat dan menampung sinar-sinar matahari yang semakin
memperjelas urat-urat di sebalik kulit kuningnya.
Aku terus berjalan ke arah gudang, dengan
perasaan—Rona sedang memperhatikanku dan berharap mengatakan: “E, apa kabar?
Sudah lama kita tidak ketumu? Kamu kemana saja?”
Tapi itu tidak mungkin. Tapi bolehlah
membesar-besarkan hati, menghibur diri.
Seperti biasa, aku masuk ke kamar nomor 1
terlebih dahulu. Baunya menyengat, urinior berserakan dan isinya berhamburan—menguak bau-bau tak sedap memasuki
hidungku.
Aku ambil satu per-satu, kubawa ke toilet yang
terdapat di dalam kamar itu, lalu kubersihkan dengan air dan kemudian aku jemur
hingga kering. Setelah membersihkan urinior, aku mengepel seluruh lantai. Tidak
semua pasien buang air di toilet, mereka sering melakukannya di samping ranjang
tidurnya.
Selesai, aku lanjut ke kamar-kamar
selanjutnya.
Tuntas sudah pekerjaanku membersihkan kamar
pasien, aku melewati taman untuk mengembalikan peralatan ke gudang. Saat itu
aku tahu bahwa Rona terlihat agak gemukan dari pertamakali aku melihatnya. “Syukurlah
dia tambah sehat, semoga ia lekas sembuh dan kemudian pulang—berkumpul bersama
keluarganya. Tidak menggangguku seperti ini.”
Aku meletakkan peralatan, lalu menenteng
gunting rumput. Tidak tahan juga diriku jika tidak menggodanya. Lalu aku
pura-pura merapikan bagian-bagian taman di dekat tempat duduknya.
“Halo, apakabar Rona? Gimana, sudah baikan?”
Dia hanya diam, tak bergerak.
“Aku lihat kamu sudah agak gemukan!”
Tak ada jawaban.
“Syukurlah kalau begitu, mungkin kau cocok
dengan makanan yang ada di sini.”
Tiba-tiba Rona berteriak sekencang-kencangnya.
Aku yang merasa tidak siap, sekaligus tidak menyangka akan terjadinya peristiwa
ini—hanya bisa mematung kebingungan. Perawat berdatangan, dokter Budi lari
menghampiri Rona. Aku yang sedari tadi diam saja, tertubruk oleh badan dokter
Budi. Aku tersungkur di tanah, taka ada yang memperhatikan keberadaanku.
Dengan gerak lambat, aku menjauh dari
kerumunan. Melihatnya dari jarak yang cukup aman.
Mas Hadi tergopoh-gopoh membuka jeruji dan
kamar Rona, kemudian dua perawat membopongnya masuk ke dalam kamar gaduh
gelisah. Mas Hadi hanya menunggu di luar, setelah keadaan menjadi tenang, dua
perawat keluar, Mas Hadi mengunci gerbangnya kembali.
Dokter Budi mendekat ke arahku, “bagaimana
kejadiannya tadi?”
“Saya tidak tahu, dok.”
“Tidak tahu bagaimana, kamu kan ada di sebelahnya?”
Aku hanya diam.
“Lain kali hati-hati, ya?! Jangan mengajak
bicara pasien yang kamu tidak tahu kondisinya. Itu bukan bagian kamu!”
Aku merasa tak enak, barukali ini dokter Budi
marah kepadaku. Biasanya tidak pernah begitu. Aku memang keterlaluan!
Pulang jam kerja, ketika mengisi absen, Mas
hadi menyerahkan selembar surat kepadaku.
“Apa ini, mas?”
“Sepertinya surat peringatan, Ri.”
“Gara-gara tadi?”
“Aku tidak tahu, tapi katanya kejadian tadi
adalah puncaknya sehingga pihak manajemen melayangkan surat peringatan kepadamu.”
“Aku merasa tidak berbuat apa-apa, mas.
Sungguh!”
“Sudahlah, Ri. Terima saja. Daripada urusannya
jadi panjang.”
Aku sudah kehabisan kata-kata. Tak ada yang
bisa kuperbuat. Sepanjang langkahku keluar dari gedung rumah sakit ini, seakan
semua mata sedang tertuju kepadaku. Nuansa hangat yang biasa bertebaran di
rumah sakit ini, sekarang menjadi sangat dingin. Atau ini hanya perasaanku saja
yang sedang merasa bersalah?
Untuk memperbaiki kesalahan, kupikir, besok
aku akan masuk kerja lebih awal.
Dokter Budi terlihat sedang lari-lari di
pelataran, ketika hendak kutegur, ketika ia melihatku, dokter Budi memalingkan
wajahnya. Dengan wajah tunduk aku memasuki IGD, hingga sampai ke UPIP. Perawat
jaga tidak ada di tempat, aku menunggu—duduk di kursinya.
“Ngapain duduk di situ, Ri?”
“Mau masuk, mbak.”
“Kan belum waktunya masuk?”
“Iya, kepagian bangunnya.”
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti sedang
menydutkanku, mencurigaiku. Semacam ada jarak di antara kami.
“Tunggu sebentar! Tunggu jam tujuh.”
Aku berdiri dari kursi perawat jaga, lalu
perawat itu duduk. Aku merasa kikuk, perasaan yang sangat merepotkan hati.
Tepat jam tujuh, gerbang UPIP dibukakannya untukku. “O, iya Ri. Sehabis membersihkan
kamar, langsung ngepel lorong ini ya?! Biar temanmu saja yang potong rumput
taman.”
“Baik, mbak.”
Aku berjalan lemas menuju gudang. Dari arah
belakang, temanku menyusul sambil setengah berlari-lari. Teman shift-ku: “Ada
masalah apa kemarin, Ri?”
“Aku sendiri juga bingung, tiba-tiba saja
pasien-baru itu berteriak tepat ketika aku sedang berada di dekatnya.”
“Kamu di-‘SP’?”
“Iya.”
“Memangnya kamu berbuat apa?”
“Kukira sama seperti pasien yang lain: aku
ajak ngobrol. Bukankah itu hal biasa?”
“Sudah kuduga. Ya sudah, tidak usah dipikir!”
Hari itu terasa begitu lama, aku memilih
menghindar dari UPIP. Aku sengaja memilih lokasi yang agak jauh dari pasien. Sampai
tak terasa sudah satu minggu, keadaannya belum juga mencair, aku ganti shift
sore. Meskipun perawat-perawatnya berbeda, nuansanya kurasa masih tetap sama:
dingin. Aku tidak diajak bercengkerama seperti dulu. Dan aku memilih bekerja
saja, sebagaimana tugasku sebagai pegawai kebersihan.
Beberapa minggu telah berlalu, aku ganti shift
malam. Aku sudah mulai tak kerasan bekerja di sini. Mata-mata itu, dan
bisik-bisik beberapa mulut masih tertuju kepadaku. Lama aku berpikir, dan
sampai kepada keputusan: pada akhir bulan nanti, aku akan mengajukan
pengunduran diriku. Tapi untuk bisa sampai ke akhir bulan, masih lima belas
hari lagi. Aku sudah tidak nyaman, dan selalu merasa malas jika harus berangkat
kerja. Tapi aku bekerja di sini dengan segala niatan baik dan kuawali dengan
baik, maka jika pun aku harus keluar untuk mencari pekerjaan lain, sudah
semestinya aku harus dengan cara yang baik dan proses yang benar pula.
“Ri...” tegur salah satu satpam.
Kurasai ada es yang meleleh di sekujur
tubuhku. “Panggil saya, pak?” akhirnya ada juga yang mau berbicara kepadaku.
“Tidak. Aku hanya ingin memanggilmu saja.
Sudah lama kita tidak bertegur sapa.”
“Iya, pak. Terimakasih.”
Aku segera meninggalkan petugas satpam itu,
menjauh dari pos jaga. Beberapa hari yang lalu, aku telah menulis surat
pengunduran diriku, surat itu selalu berada di tas punggungku. Kubawa ke
mana-mana. Sebab, jika aku rasa keadaan sudah tidak memungkinkan di luar waktu
yang telah kutentukan, surat itu langsung bisa kuserahkan—sekalian pamit kepada
yang lain.
Tapi aku tetap ingin bertahan hingga akhir
bulan ini.
Tidak lama aku sampai di rumah sakit, hujan
mengguyur seluruh kota. Anginnya kencang, dan juga petir yang menyambar-nyambar
disertai suara guntur yang seperti tiada hentinya. Aku tetap melaksanakan
tugasku seperti biasanya.
Malam itu seperti tidak ada suara lagi kecuali
air hujan dan petir yang menggelegar-gelegar. Suasananya agak menakutkan bagi siapa
saja yang mendengarnya. Perawat jaga gerbang UPIP, kebetulan Mas Hadi.
Barangkali ia masih mau kuajak ngobrol malam ini. Tapi aku tidak ingin memulai
pembicaraan apapun, sebelum diajak bicara.
“Ya, kukira memang setiap orang ada masanya.
Ada jodohnya. Mungkin jodohku dengan pekerjaan ini hanya sampai akhir bulan ini
saja.” aku terus mengajak diriku berdiskusi agar aku tak merasa sepi.
Sebelum kami sempa berbincang, kulihat Mas
Hadi meninggalkan gerbang UPIP. Lagian apa yang mau dijaga? Toh tidak ada kegiatan apa-apa di dalam
UPIP. Petir menyambar-nyambar dengan suara yang sangat kencang, aku terjingkat
dibuatnya. Setelah itu, ketika yang tersisa hanya suara hujan, aku seperti
mendengar orang berteriak di dalam UPIP. Aku lari ke gerbang, mencoba mencari
asal suara. Suara teriakan itu terdengar lagi, dari tempat yang jauh. Tidak
salah, suara itu berasal dari kamar pasien paling belakang: Rona?
Aku kelimpungan mencari Mas Hadi, ingin
memberitahukan ada pasien yang sedang meronta-ronta seperti sedang meminta
tolong. Hampir lima belas menit aku mencari perawat jaga dan tidak ketemu,
kulihat di atas meja—kunci tergeletak.
Aku nekat.
Membuka gerbang UPIP, lalu lari menyeberangi
taman dan kemudian ke kamar di mana Rona ditempatkan. Aku cari kuncinya dari
yang banyak itu, satu per-satu kucoba.
Berhasil.
Lalu aku mencari kunci kamarnya, dan pintu pun
terbuka. Ketika Rona melihatku, dia malah lari ke arah belakang: “Jangan, dok, jangan...
jangan bius saya, dok.” Rona lalu menanggalkan semua pakaian yang dikenakannya hingga
telanjang, kemudian ia berbaring di atas ranjang dan membuka kedua pangkal
pahanya: “Ayo, begini saja. Lakukan sesuka hatimu, seperti biasanya.”