Oleh:
Fajar Saputro
“Uang
bulanan sudah dikirim, hemat-hematlah.” Bunyi SMS dari ibu. Bagai diguyur hujan
di musim kemarau, hatiku gemebayar tak keruan. Dengan motor pinjaman, aku
menuju ATM yang terletak di seberang ujung jalan. Sudah hampir satu minggu ini
aku kehabisan uang, hutang sudah menumpuk di kantin-kampus dan beberapa teman.
Begitu cek saldo, yang tadinya kukira hujan lebat, ternyata hanya gerimis kecil-kecil.
Jatah bulanan tidak bertambah, keluh kesahku tentang naiknya harga-harga tak
memberikan hasil dengan tambahan jatah bulanan. Kutarik selembar, pecahan lima
puluh ribu. Kemudian aku keluar dengan perasaan kecewa. Ketika hendak
menghidupkan motor, seorang laki-laki tua mendekatiku. Memakai baju serba oranye,
ia menyorongkan tangan dipenuhi uang koin yang
digerak-gerakkan: “crik-crik-crik,” bunyinya.
“Berapa, pak?”
Lelaki tua itu hanya mengangkat jari
tengah dan telunjuknya, tak sepatah kata pun ia lontarkan. Mungkin maksudnya
adalah dua ribu rupiah. Dengan terpaksa kuambil satu-satunya uang yang masih
hangat dari dalam dompet, kuserahkan dengan perasaan tak rela. Kuharap ia tak
ada kembalian.
Ternyata tidak. Lelaki tua itu tetap
mengambil uang yang kusodorkan kepadanya dengan tangan yang bergetar-getar. Aku
terus memandangi tangannya yang telah dipenuhi kerutan usia itu, dan sedang
mengapit uang berwarna biru milikku. Dengan gerakan mendur dan sangat pelan, ia
memasukkan uang jatah bulananku ke dalam tas pinggangnya. Rupanya, tas pinggang
yang tampak tebal itu dipenuhi dengan jibunan uang kertas. Ia tampak lebih
sejahtera dibandingkan diriku. Pak Tua mengambil selembar demi selemabar,
menghitungnya, kemudian menyerahkannya kepadaku. “Sebentar, nak, masih kurang tujuh ribu.
Receh tidak apa-apa?” Tanpa menunggu jawabanku, ia menghitung uang koin yang
ada di tangan kanannya. “Pas,” katanya, sembari menyerahkan uang logamnya
kepadaku.
Terpaksa kuterima uang itu dengan
kedongkolan yang berlipat-lipat. “Dia pikir aku mesin ding-dong?” Bibirku
menggerutu. Lalu kutancap gas, menuju warung langgananku.
“Mau pesan apa?” tanya pemilik warung.
“Ayam goreng,” masih dengan muka
tertekuk.
“Kamu kenapa? Kalau belum punya uang,
hutang dulu juga tidak apa-apa.”
“Ada kok, bu, baru dapat kiriman dari
orang tua.”
“Lalu kenapa mukamu cemberut begitu?”
“Itu lho, bu, tukang parkir yang ada di
ujung jalan sana. Jaga parkir kok di ATM. Memangnya itu ATM miliknya? Setiap
orang masuk, dan mengambil uang, alih-alih menjaga kendaraan, selalu dimintai
uang parkir.”
“O, itu Mbah Wi. Kamu belum tahu
ceritanya?”
Aku menggelengkan kepala.
***
Kau boleh mendengar cerita ini sambil
menikmati makananmu. O, ya, aku sampai lupa. Kau mau minum apa? Air putih? Sebentar,
biar aku ambil minuman untukmu.
Ya, jadi begini. Dulu sekali, mungkin jauh
sebelum kau lahir, ada cerita di tempat ini. Sebuah cerita yang mungkin hampir
dialami semua tempat. Desa ini dulunya belum seramai sekarang, masih berupa
perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa keluarga saja. Salah satunya Mbah
Wi, nama panjangnya Nyuwito. Dia seumuran dengan bapakku.
Nyuwito adalah laki-laki biasa, hampir tidak
ada yang istimewa dari hidupnya. Sehari-hari pekerjaannya hanya pergi ke sawah
dan ke ladang. Dari situ, sebagian hasilnya ia konsumsi sendiri, sedangkan
sisanya ia jajakan ke pasar. Secara ekonomi boleh dikatakan pas-pasan: tidak
lebih, juga tidak kurang. Memiliki seorang istri yang berasal dari desa
tetangga, dan kini sudah dikaruniai dua orang putera. Tentu kehidupan Nyuwito
tidak melulu tentang pekerjaan dan urusan rumah tangga saja, sesekali ia juga
mencari hiburan laiknya orang pada umumnya.
Sebagai orang kecil yang hidup di desa,
hiburan yang ada ketika itu—jika tidak ketoprak ya wayang—, atau sekadar nonton
klonengan di pendopo desa. Hanya hiburan
rakyat semacam itu yang dapat ia nikmati setelah seharian mandi peluh di sawah
atau ladang yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
Waktu berjalan, hari pun berganti. Ia
merasakan situasi yang kian berubah. Pertunjukan ketoprak mulai mementaskan cerita
yang asing bagi dirinya: dari ‘Romeo Juliet’ hingga Pilistine dan Nazareth’.
Wayang pun demikian. Sering ia mendapati lakon yang diberi judul: Patine Gusti Alah—yaitu cerita tentang
perjudian antara Pandawa dan Kurawa yang berakhir dengan penelanjangan Drupadi
oleh Dursasana. Di tengah tubuhnya yang tanpa busana, suara Drupadi gemetar
dengan kepala yang ia tengadahkan ke atas langit: “Gusti Alah wis mati!”. Protes Drupadi kepada Dewa kerna telah
membiarkan dirinya dipermalukan sedemikian hinanya di depan banyak laki-laki.
Dan celakanya, suaminya sendirilah yang menjadikan dirinya sebagai barang
taruhan. Lakon itu biasanya dikenal dengan nama: Pandawa Dadu, tapi entah kenapa akhir-akhir ini mulai diubah.
Klonengan juga tidak jauh berbeda.
Nyuwito sering mendengar gamelan dimainkan untuk mengiringi beberapa orang yang
menyanyikan Sholawat Badar: Sholatullah
Salamullah ‘Alaa Thoha Rosulillah—yang
liriknya diganti solat oleh ora solat
oleh... solat oleh ora solat oleh....
Perubahan situasi yang dimaksud Nyuwito adalah
keadaan yang mulai memanas. Di lain tempat, ia sering mendapati kelompok yang
bersebrangan juga melakukan ejekan yang sama melalui seni pertunjukan. Maka ia
memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan, perasaannya tak enak. Ia tak ingin terlibat, atau terseret-arus yang
tak sepenuhnya ia mengerti. Nyuwito lebih memilih menghabiskan waktu di ladang
dan sawah pada siang hari, dan berkumpul bersama keluarga di malam hari.
Keputusannya kali ini benar. Pada tahun
’65, peristiwa berdarah terjadi di mana-mana, termasuk di desa tempat ia
tinggal. Tidak sedikit orang yang dibunuh dengan terang-terangan oleh
sekumpulan orang entah dengan alasan apa. Korbannya banyak dari kalangan
seniman desa. Mereka diseret dari rumahnya, kemudian disiksa secara
beramai-ramai di tengah lapangan. Setelah dinyatakan mati, mayatnya dikubur
dalam satu liang bersama korban lainnya. Ada juga yang dibuang ke sumur. Nyuwito
adalah salah satu di antara sedikit
orang yang selamat, sebab ia dianggap
tidak terlibat gerakan apapun. Atau setidaknya, dianggap orang yang tak pernah
memiliki masalah apapun baik dengan kelompok tertentu ataupun personal yang
membuat dirinya dapat dituduh sebagai bagian dari golongan yang sedang
berselisih.
Beberapa tahun kemudian siatuasi
berangsur surut, namun masih dengan ketegangan yang sama: mencekam, ruang gerak
terbatas kerna merasa diawasi, dan tak berani bicara sembarangan sekalipun di
dalam rumahnya sendiri. Tapi Nyuwito tetap melakukan pekerjaan seperti
biasanya: ke sawah, ke ladang, dan ke pasar.
Hingga suatu hari, ketika suara
jengkerik dan katak meramaikan suasana malam di sekitar tempat tinggalnya,
pintu rumahnya diketuk agak sedikit kasar. Nyuwito tergopoh-gopoh menuju pintu
sambil membetulkan letak sarung yang sedang ia kenakan.
“Pak Kepala Desa?”
“Hmmm...,” laki-laki berbadan tambun
masuk dengan memonyongkan bibirnya, “kamu Nyuwito?” Lanjutnya.
“Saya, pak. Mari, pak, silakan duduk.”
Nyuwito kebingungan kerna kedatangan pejabat desa di rumahnya, tak
biasa-biasanya. “Mau minum apa, pak? Biar istri saya buatkan.”
“Tidak usah repot-repot,” Kepala Desa
masih berdiri, memperhatikan keadaan rumah Nyuwito yang dindingnya terbuat dari
anyaman bambu, atapnya rumbia, dan lantainya masih berupa tanah. Mata Pak Kepala
Desa menyisir setiap jengkal dinding bambu, kepalanya bergerak dari kanan ke
kiri dan ke kanan lagi. “Aku tidak lama, Wi.”
“Sepertinya ada yang penting, sehingga
harus datang selarut ini.”
“Betul. Bahkan lebih penting daripada
kepala kita, Wi.”
“Maksud Pak Kades?”
“Ini soal pembangunan,” yang tadinya Pak
Kepala Desa menghadap dinding bambu, kini ia membalikkan bandan dan menatap
mata Nyuwito. Tatapan yang mengancam, dengan tambahan kata ‘pembangunan’ yang
telah menjadi momok setiap orang.
“Saya kurang mengerti, tolong bapak
jelaskan.”
“Tanah milikmu dibutuhkan negara, untuk
pembangunan Wi.”
“Saya nanti kerja apa, pak?”
“Nasib buruk bisa terjadi kepada siapa
saja, termasuk kepada orang baik. Pikirlah masak-masak.”
Merasa telah menyampaikan maksud dan
tujuannya, Pak Kades keluar dari rumah Nyuwito. Sedangkan lelaki bertubuh kurus
itu mengiringi tamu agungnya hingga keluar halaman rumah dan kemudian
menghilang di kegelapan malam.
Beberapa minggu berselang setelah kedatangan
Pak Kades di rumahnya, ketiaka ia sedang menggarap sawah, beberapa orang
mendatangi tanah garapannya. Salah seorang berpakaian safari sedang menaikkan
kaki kanannya pada gundukan tanah pematang, matanya yang dilindungi kacamata rayben seperti sedang menyisir seluruh
hamparan tanah milik Nyuwito. Sedangkan yang lain, berkumpul di belakang lelaki
bersafari sambil berbicang-bincang. Pak Kades salah satu di antaranya.
Keberadaan Nyuwito seperti tak diperhitungkan. Sekitar sepuluh atau dua puluh
menit kemudian, rombongan itu pergi dengan
mobil yang mereka bawa. Kecuali Pak Kades. Segera Nyuwito mendekat,
memanggil-manggil pejabat desa itu.
“Pak... Pak... Ini ada apa, ya?”
“Bukankah aku sudah menyampaikannya
kepadamu?”
“Tapi bukan berarti saya setuju.”
“Ingat, Wi, ini untuk pembangunan.
Jangan kau mempersulit dirimu sendiri. Jangan sampai namamu masuk dalam daftar
Benang Merah.”
Nyuwito terdiam sejenak, ia tampak tak
berdaya. “Tanah saya mau dibeli berapa,” suaranya terdengar rendah. Kepalanya
tertunduk.
“Seribu rupiah per meter, Wi.”
“Murah sekali, pak?! Lantas bagaimana
dengan nasib saya selanjutnya?”
“Wi, aku cuma kepala desa. Tak bisa
memikirkan nasib orang per orang.”
“Ini namanya pemaksaan!” Nyuwito
membanting lumpur yang tertempel di tangannya.
“Kau yang menentukan nasibmu sendiri,
Wi. Aku sudah berusaha mencarikan jalan tengah untukmu. Terimalah keadaan ini
sebagai kenyataan.”
***
Pintu rumah nyuwito digedor. Ia
terbangun dari tidurnya, membukakan pintu. Belum habis kegundahan hatinya akan
nasib tanah leluhurnya—sekarang ia dikagetkan oleh suara gedoran pintu di malam
yang pekat. Ketika pintu dibuka, beberapa orang asing tengah berdiri di beranda
rumahnya. Ada tiga orang: bersepatu lars panjang, badannya tinggi besar, dan
rambut yang dicukur cepak. “Kamu Nyuwito,” tanya salah satu tamunya. Belum
sempat ia menjawab, ketiga orang asing itu pergi meninggalkannya yang tengah gemetar
di ambang pintu. Setelah kejadian itu, hari-harinya terasa tak nyaman. Nyiwito
merasa sedang diikuti ke mana pun ia pergi: sawah, ladang, bahkan ketika
berjualan di pasar. Sering ia melihat laki-laki dengan model rambut cepak mondar-mandir
di pematang sawahnya, laki-laki itu terus memperhatikan gerak-geriknya. Dan
yang paling sering ia alami adalah ketukan pintu di malam hari yang hanya
sekadar bertanya namanya—lalu pergi. Keteguhan hatinya untuk mempertahankan
tanah warisan, membuat ia harus menerima perlakuan fisik. Pernah suatu hari, ketika
Nyuwito sedang tekun-tekunnya mencangkul tanahnya di ladang, beberapa orang
mendatanginya dan menodongkan bedil di kepala. Pertanyaan mereka masih sama:
“kamu Nyuwito?” lalu mereka pergi seperti yang sudah-sudah. Gertakan itu tak
membuat Nyuwito surut. Dan puncaknya,
Nyuwito dihajar hingga babak-belur. Hidungnya berdarah, telinganya, juga
matanya. Kejadian itu membuat penglihatannya mulai mengabur.
“Sudahlah, pak, jual saja. Jangan
mempersulit diri. Kasihan anak-anakmu.”
“Hanya tanah ini yang masih
menghubungkanku dengan leluhurku, bu.”
“Pak, kau tahu, kenapa Sengkuni
diperkenalkan sebagai tokoh yang licik? Kerna yang menang adalah pihak Pandawa.
Sudahlah!”
Nyuwito pun akhirnya menyerah. Di suatu
sore yang rembang, ia mendatangi rumah Pak Kades membawa map yang berisi
surat-surat tanah dan rumahnya.
“Akhirnya kau datangan juga, Wi. Dengan
sukarela.”
“Iya Pak,” sambil meletakkan map yang ia
bawa di atas meja.”
“Jadi kau sepakat dengan harga yang
kutawarkan?”
“Berilah saya harga yang pantas.”
Pak Kades masuk ke dalam kamar, lalu
kembali membawa amplop. “Ini,” diserahkannya amplop itu kepada Nyuwito.
“Hitunglah!”
Nyuwito menerima amplop dari tangan Pak
Kades, ia mulai menghitung. “Lho, pak, kalau cuma segini berarti tanah saya
hanya dihargai seribu rupiah per meternya?!”
“Baik, ini penawaran terakhir. Tanah dan
rumahmu akan dihargai tiga ribu rupiah per meter. Tandatangani surat ini dulu,”
Pak Kades menyorongkan secarik kertas kepada Nyuwito. “Sisanya,” lanjut Pak
Kades, “akan kuserahkan sendiri ke rumahmu. Tunggulah!”
Nyuwito pulang ke rumahnya ketika langit
sudah gelap sempurna. Dan semenjak saat itu Nyuwito menunggu kedatangan Pak
Kades di rumahnya. Pagi, ia sudah duduk di teras rumahnya yang hanya dihiasi
bangku panjang yang terbuat dari bambu. Pak Kades belum datang. Ia berdiri,
masuk ke dalam rumah, mempersiapkan dua gelas kopi. Di bangku bambu itu, kopi
telah menjadi dingin. Tamu yang ia tunggu-tunggu masih belum datang juga.
Sedangkan langit sudah sore, “mungkin Pak Kades datang nanti malam,” pikirnya.
Lalu Nyuwito bangkit dadi duduknya, membawa dua gelas kopi yang telah ia
persiapkan sedari pagi tadi.
Keesokan harinya pun masih sama, hingga
tak terasa presiden telah ganti sebanyak empat kali. Dan Pak Kades yang pernah
berjanji akan datang itu sudah lama tak menjabat sebagai Kepala Desa di kampung
itu. Malah menurut kabar yang beredar, beberapa bulan yang lalu, mantan kepala
desa itu telah meninggal dunia.
Pada suatu hari yang tak
disangka-sangka, beberapa orang mendatangi rumahya. Mereka memperkenalkan diri
sebagi pegawai yang diutus oleh perusahaan Perumahan Nasional dan meminta
Nyuwito beserta keluarga untuk segera mengosongkan tempat—sebab rumah yang ia
tinggali, kata pegawai itu, berdiri di atas tanah milik negara.
Pindahlah Nyuwito dan istrinya ke desa
sebelah. ia menyaksikan bagaimana rumahnya dirobohkan oleh buldozer, lalu
diurug dengan tanah-tanah baru. Lalu lalang truk pengangkut urugan tanah dan
bahan-bahan bangunan, menyulap rumah dan tanah milik leluhurnya menjadi sebuah
perumahan baru. Tapi, ia tetap berdiri di atas tanah bekas rumahnya. Di ujung
jalan, tempat di mana ATM itu kini berdiri, di situlah dulu Mbah Wi tinggal
bersama keluarganya. Seperti yang sudah kau tahu, sampai sekarang ia tetap
menunggu.
Beberapa minggu yang lalu istrinya
meninggal, dan anak-anaknya telah merantau di lain kota. Pernah dia dibujuk
oleh salah seorang anaknya untuk tinggal bersama, tapi Mbah Wi menolak:
“Biarkan akan menyelesaikan urusan ini hingga tuntas. Terserah siapa yang nanti
akan selesai duluan: umurku, atau hutang Pak Kades.”
***
Pada sendok terakhir, di penghujung
makan malamku, cerita itu selesai. Sesekali kudengar mesin kendaraan masuk ke
dalam warung, menemaniku menikmati cerita yang tak mungkin kudapatkan di
manapun tempat. Sendok terakhir kuangkat, mulutku sudah terbuka, bersiap-siap
untuk melahapnya.
“Sudah habis makananmu?”
“Ini, tinggal sesendok lagi.”
“Kamu dengarkan semua ceritaku tadi?”
“Dengar, bu.”
“Pesanku, jika suatu hari nanti kamu
bertemu dengan Mbah Wi, atau Mbah Wi-Mbah Wi yang lain di ATM manapun, usulku,
tak usah kau membahas tentang retribusi. Dua ribu rupiah tak akan membuatmu
menjadi miskin, dan dua ribu rupiah tak akan membuatnya menjadi kaya. Jika kau
ingin memberi, berilah. Terserah kau artikan pemberian itu sebagai amal
kebaikanmu, atau kewajibanmu atas jasa keamanan kendaraanmu. Terserah. Setiap
orang memiliki cerita, itu akan menjadi alasan masing-masing orang—kenapa melakukan
sesuatu: entah kau pandang rendah sebagai standart hidup, atau apapun nama yang
kau berikan untuknya. Satu pesanku kepadamu: jika kau ingin menerima, maka
satu-satunya hal yang harus kamu lakukan adalah memberi.”
Mak
deg!
Aku langsung meletakkan sendok yang
hendak kumasukkan ke dalam mulut, tak jadi kumemakannya. Entah kenapa tiba-tiba
rasa kenyang menyelinap ke dalam perutku. Benar juga nasihat ibu pemilik warung
itu. Kata-katanya membuatku teringat pada jumlah saldo di rekeningku dan
hutang-hutang yang telah menumpuk di kantin kampus. Ya... ya... ya... memang
benar kata ibu pemilik warung itu. Seharusnya, aku jalan kaki saja ke ATM tadi.