Selasa, 01 November 2016

DI FILM 'TENDANGAN DARI LANGIT' ADA RANDU




Beberapa lama ini, sehabis melakukan serangkaian kegiatan, saya mengisi waktu-sisa dengan nonton film. Ya, ada beberapa judul film: Fever Pitch (2005), Rise of The Foot Soldier (2007), O Casamento de Romeu e Julieta (2005), The Football Factory (2004), The Hooligan Factory (2014), Romeo & Juliet (2009), Tendangan dari Langit (2010), dan beberapa film lokal lainnya.
Untuk judul film yang terakhir saya agak terkesan; dalam sebuah adegan ketika pemeran Wahyu (Yosie Kristanto)—mengendap-endap ke rumah bribikan-nya, Indah (Maudy Ayunda), hanya sakadar bertanya arti bahasa inggris: “Never give up!”—yakni sebuah tulisan yang diberi oleh Coach Timo di atas poster bergambar Irfan Bachdim. Indah yang saat itu sedang kesal kerna Wahyu tak datang di kejuaran Debat Bahasa Inggris yang sedang diikutinya, dan membuatnya tak semangat, puncaknya ia hanya menghasilkan gelar juara-2 untuk SMUN 01 Langitan. Tentu saja ini adalah kesalahan Wahyu.
“Ini,” Wahyu sambil menunjukkan gambar posternya, “artinya apa ya, Ndah?”
Dengan muka nggondok, Indah menjawab pertanyaan Wahyu sembarangan: “Jangan pernah temui aku lagi!!!” Indah menutup jendelanya, Wahyu pun terusir.
Kalimat yang diucapkan Indah akhirnya ia tulis di posternya, setelah itu ia tempelkan di sebelah poster Mahatma Gandhi yang ada di dalam dinding (gedhek) kamarnya. Wahyu galau. Dengan tambahan backsound lagu dari Kotak, liriknya sangat menterjemahkan suasana hati Wahyu.
Pertama-tama intro, suara akustik gitar dan bass-drum—muncul hampir bersamaan: menghadirkan nuansa melow sekaligus deg-degan.
Gitar melodi masuk, Tantri Kotak, sang vokalis, nyanyi:

Aku kadang bertanya tak berhenti
Mengapa kualami ini
Yang tidak menyenangkan hati
Aku heran kamu begitu kuat
Mengikuti setiap langkahku
Menghantui kehidupanku
#Reff
Aku berdo'a biar aku bisa lupa ingatan
Lupa kalau mengenal kamu
Lupa pernah cintai kamu
Aku berharap biar tak melihat kamu sekarang
Biar lupa mengenal kamu
Biar lupa cintai kamu

***

Lagu itu terus mengalun hingga suatu subuh ketika Pak Darto (Sudjiwo Tejo), Bu Darto (Yati Surahman), dan Wahyu—melaksanakan shalat subuh berjamaah. Selesai. Wahyu salim (baca: cium tangan) kepada bapaknya, dan Darto melihat mungkin juga merasakan bagaimana cara anaknya mencium tangan: wajahnya tunduk, matanya kosong, uluran tangannya terasa lemas di telapak tangan Darto.
Masih pada hari yang sama, dan (masih) dalam nuansa biru-subuh yang teramat kental, Wahyu duduk-termenung di iringan rumahnya. Tempatnya agak tinggi, dan ditumbuhi rumput tebal juga rerimbuhan pohon-pohon.
Darto membuka pintu, keluar dari rumah, menegur anaknya: “Lho, ono opo Le?”
Tanpa tenaga Wahyu menjawab, “gak popo Pak.”
Sambil mengikat kain sarung di lehernya, Darto meneruskan pertanyaan: “Kalau ndak popo kok diem aja?!”
“Wahyu lagi males ngapa-ngapain, pak!”
“Lhooo... jangan dipikir terlalu dalam. Jangan dipikir terlalu jeru! Hidup itu naik-turun, itu pesan Bung Karno. Temennya itu, (baca: Mahatma Gandhi) ganti saja fotonya yang mbok pasang di kamarmu itu. Naik-turun: ada senang, ada sedih, ada cinta... cinta. Tapi juga ada kehilangan, Yu. Biasa, gak usah dipikir!” Kemudian Darto berlalu menuju kandang kuda yang terletak di depan rumahnya, sebelah kiri.
“Pak,” lanjut Wahyu.
“Opo?!”
“Wahyu lagi jatuh cinta pada dua hal sekaligus, pak. Gimana cara bikin seimbang, pak?”
Darto tertawa. “Seimbang? cinta itu iling almarhum Gomblo: cinta melekat, tai kucing terasa coklat. Harus total, Le! Jatuh cinta itu harus milih salah satu. Kalau hati kamu sudah cinta ke satu hal, yang lain cuma menghormati, menghargai, cuma ngelus-elus.”
“Wahyu cinta sama Indah, Wahyu juga cinta sama sepakbola, pak. Wahyu juga menghargai keduanya.”
“Gak iso, Le. Cinta itu nyawiji (menyatu), manthenging tyas (bersifat tunggal), ngeningke cipto (hening); kalau kamu cinta dua-duanya, kamu nglarani salah satunya. Paham?!”
“Kalau bapak jadi Wahyu, bapak pilih yang mana?”
”Gak bisa! Kamu kamu, bapak bapak. Ayo, ke gunung! Tak dadhar sesuatu.”
Dan di dalam adegan-film pada menit ke 53:21 detik itu, di dalam dialog antara anak dengan bapaknya itu; entah sebab Sujiwo Tejo adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam hidup saya atau mungkin sebab lain, tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang sangat spiritual: kangen Randu. Iya, Randu itu anak saya.