Beberapa lama ini, sehabis
melakukan serangkaian kegiatan, saya mengisi waktu-sisa dengan nonton film. Ya,
ada beberapa judul film: Fever Pitch (2005), Rise of The Foot Soldier (2007), O
Casamento de Romeu e Julieta (2005), The Football Factory (2004), The Hooligan
Factory (2014), Romeo & Juliet (2009), Tendangan dari Langit (2010), dan
beberapa film lokal lainnya.
Untuk judul film yang terakhir
saya agak terkesan; dalam sebuah adegan ketika pemeran Wahyu (Yosie Kristanto)—mengendap-endap
ke rumah bribikan-nya, Indah (Maudy
Ayunda), hanya sakadar bertanya arti bahasa inggris: “Never give up!”—yakni sebuah
tulisan yang diberi oleh Coach Timo di atas poster bergambar Irfan Bachdim.
Indah yang saat itu sedang kesal kerna Wahyu tak datang di kejuaran Debat
Bahasa Inggris yang sedang diikutinya, dan membuatnya tak semangat, puncaknya ia
hanya menghasilkan gelar juara-2 untuk SMUN 01 Langitan. Tentu saja ini
adalah kesalahan Wahyu.
“Ini,” Wahyu sambil menunjukkan
gambar posternya, “artinya apa ya, Ndah?”
Dengan muka nggondok, Indah menjawab pertanyaan Wahyu sembarangan: “Jangan
pernah temui aku lagi!!!” Indah menutup jendelanya, Wahyu pun terusir.
Kalimat yang diucapkan Indah akhirnya
ia tulis di posternya, setelah itu ia tempelkan di sebelah poster Mahatma Gandhi
yang ada di dalam dinding (gedhek) kamarnya. Wahyu galau. Dengan tambahan
backsound lagu dari Kotak, liriknya sangat menterjemahkan suasana hati Wahyu.
Pertama-tama intro, suara akustik
gitar dan bass-drum—muncul hampir bersamaan: menghadirkan nuansa melow
sekaligus deg-degan.
Gitar melodi masuk, Tantri Kotak,
sang vokalis, nyanyi:
Aku kadang
bertanya tak berhenti
Mengapa kualami ini
Yang tidak menyenangkan hati
Mengapa kualami ini
Yang tidak menyenangkan hati
Aku heran kamu
begitu kuat
Mengikuti setiap langkahku
Menghantui kehidupanku
Mengikuti setiap langkahku
Menghantui kehidupanku
#Reff
Aku berdo'a biar aku bisa lupa ingatan
Lupa kalau mengenal kamu
Lupa pernah cintai kamu
Lupa kalau mengenal kamu
Lupa pernah cintai kamu
Aku berharap biar tak melihat kamu sekarang
Biar lupa mengenal kamu
Biar lupa cintai kamu
Biar lupa mengenal kamu
Biar lupa cintai kamu
***
Lagu itu terus mengalun hingga suatu
subuh ketika Pak Darto (Sudjiwo Tejo), Bu Darto (Yati Surahman), dan Wahyu—melaksanakan
shalat subuh berjamaah. Selesai. Wahyu salim (baca: cium tangan) kepada
bapaknya, dan Darto melihat mungkin juga merasakan bagaimana cara anaknya
mencium tangan: wajahnya tunduk, matanya kosong, uluran tangannya terasa lemas
di telapak tangan Darto.
Masih pada hari yang sama, dan (masih)
dalam nuansa biru-subuh yang teramat kental, Wahyu duduk-termenung di iringan rumahnya. Tempatnya agak tinggi,
dan ditumbuhi rumput tebal juga rerimbuhan pohon-pohon.
Darto membuka pintu, keluar dari
rumah, menegur anaknya: “Lho, ono opo Le?”
Tanpa tenaga Wahyu menjawab, “gak
popo Pak.”
Sambil mengikat kain sarung di
lehernya, Darto meneruskan pertanyaan: “Kalau ndak popo kok diem aja?!”
“Wahyu lagi males ngapa-ngapain,
pak!”
“Lhooo... jangan dipikir terlalu
dalam. Jangan dipikir terlalu jeru!
Hidup itu naik-turun, itu pesan Bung Karno. Temennya itu, (baca: Mahatma Gandhi)
ganti saja fotonya yang mbok pasang di
kamarmu itu. Naik-turun: ada senang, ada sedih, ada cinta... cinta. Tapi juga
ada kehilangan, Yu. Biasa, gak usah dipikir!” Kemudian Darto berlalu menuju kandang
kuda yang terletak di depan rumahnya, sebelah kiri.
“Pak,” lanjut Wahyu.
“Opo?!”
“Wahyu lagi jatuh cinta pada dua
hal sekaligus, pak. Gimana cara bikin seimbang, pak?”
Darto tertawa. “Seimbang? cinta
itu iling almarhum Gomblo: cinta melekat, tai kucing terasa coklat. Harus
total, Le! Jatuh cinta itu harus milih salah satu. Kalau hati kamu sudah cinta ke
satu hal, yang lain cuma menghormati, menghargai, cuma ngelus-elus.”
“Wahyu cinta sama Indah, Wahyu
juga cinta sama sepakbola, pak. Wahyu juga menghargai keduanya.”
“Gak iso, Le. Cinta itu nyawiji (menyatu), manthenging tyas (bersifat tunggal), ngeningke cipto (hening); kalau kamu cinta dua-duanya, kamu nglarani salah satunya. Paham?!”
“Kalau bapak jadi Wahyu, bapak
pilih yang mana?”
”Gak bisa! Kamu kamu, bapak
bapak. Ayo, ke gunung! Tak dadhar
sesuatu.”
Dan di dalam adegan-film pada menit ke
53:21 detik itu, di dalam dialog antara anak dengan bapaknya itu; entah sebab
Sujiwo Tejo adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam hidup saya atau
mungkin sebab lain, tiba-tiba saya merasakan sesuatu yang sangat spiritual:
kangen Randu. Iya, Randu itu anak saya.