Dari kiri, namanya Norman, karibku semasa kecil.
Dia anak yang pendiam, teratur, lurus, dan on
the track. Itu kenapa selepas SMA, ketika anak-anak yang lain masih ingin
menuntaskan pencarian jatidirnya, masa depan Norman sudah tertata: melamar
pekerjaan sebagai CPNS, dan diterima. Yang paling kanan, Ridwan, juga teman
baikku. Dia adalah anak yang usil, pemberontak, setia kawan, tukang bolos
sekolah, sering terlibat tawuran, dan memiliki bakat-mengkilat dalam beberapa
hal. Kini Ridwan bekerja dan hidup di negeri Belanda bersama istrinya. Di
tengah, yang kebanyakan gaya, aku. Bertiga, kami adalah sahabat karib untuk
waktu beberapa lama di masa yang sangat jauh.
Sebenarnya Norman dan Ridwan adalah teman sekolah
kakak perempuanku, mereka berada satu tingkat di atasku. Kerna sering main ke
rumah untuk tugas-tugas sekolah, aku jadi mengenal mereka. Tapi, tradisi patriarkis
a la pesisiran tidak pernah memungkinkan untuk bisa akrab-berteman dengan
perempuan, pada akhirnya nasiblah yang mengkaribkan kami bertiga.
Rumah Norman berada di Sukodono Gg. I, rumah Ridwan
di Sukodono Gg. II, sedangkan aku tinggal di Nyamplungan Gg. IX. Ketiga lokasi
itu masih termasuk dalam Kelurahan Ampel, kawasan Masjid Ampel Surabaya.
Sampai pada akhirnya, kami harus berpisah. Rumahku
pindah, dan kami tidak pernah bertemu lagi untuk waktu yang sangat lama.
Tapi, entah ada angin apa—tiba-tiba saja kami
terhubung kembali. Kebetulan Ridwan pulang ke Indonesia dan mengajak kedua
temannya (aku dan Norman) untuk duduk bersama, cangkruk.
Lokasi yang dipilih Ridwan adalah TP (baca:
Tunjungsn Plaza), dan kami berdua tahu—kenapa Ridwan memilih tempat itu untuk
momen nglumpuke balung pisah.
Ceritanya begini.
Ketika itu kami sudah mengklaim diri kami sebagai
ABG, duduk di bangku SMP, jadi sepantasnya main yang-yangan. Sebab alasan
itulah selama bulan puasa, kami bertiga sering menghabiskan waktu untuk mejeng
di mall. Saat itu belum ada JMP (baca: Jembatan Merah Plaza), lokasi itu masih
berfungsi sebagai terminal. Satu-satunya mall yang paling prestise adalah TP.
Alih-alih ingin mencari gebetan, cemceman, selepas lohor kami janjian ketemu di
suatu tempat kemudian berjalan kaki menuju terminal dan dilanjutkan menaiki bus
jurusan TP.
Sampai.
Kami masuk, dan selalu dalam suasana hati yang penuh
dengan rasa takjub. Bagaimana tidak, lha
wong cecunguk semacam kami ini hanya memiliki ongkos untuk pulang-pergi, tapi ketika sampai dan berhadapan dengan sebuah pintu kaca besar, pintu
itu mau membuka dan kemudian menutupkan untuk kami. Awal-awal melewati pintu
itu aku selalu deg-degan, kalau-kalau dia tahu—kami tidak pernah bawa uang. Sempat
terselip kekhawatiran pintu kaca itu tidak mau terbuka kerna telah membaca niat
kami— masuk TP mall hanya mau lihat-lihat saja, tidak akan pernah beli apa-apa.
Dua-tiga kali melewatinya dengan rasa was-was dan menutupi kantong celana
dengan telapak tangan, agar tidak ketahuan jumlah uang yang kusimpan, akhirnya
aku jadi terbiasa dan lancar.
Bleng.
Kami masuk, dan Ridwan yang paling bersemangat.
Matanya langsung mecicil, menggerayangi seluruh ruang mall. Ketika menemukan
incaran, cewek yang berjalan sendirian, atau maksimal yang bertiga, kami
langsung mengikutinya, atau lebih tepatnya mengejar. Ya tentu saja ndak pernah dapat kenalan. Mata kami
mengincar seperti pencopet, setiap kali kami ingin mendekatinya, mereka selalu
menjauh. Jadi ndak pernah ketemu. Kegagalan
demi kegagalan membuat kami mengadakan evaluasi di level penampilan. Pernah kami
bergaya mengikat sleyer di dengkul,
melipat sisi kiri celana sebatas lutut, membuka dua kancing baju, pakai minyak
rambut, pakai topi menutupi rambut, hingga cukur rambut; tapi hasilnya sama. Tapi
konyolnya, kami melakukan itu sepanjang bulan puasa. Asu.
Ridwan tertawa ketika aku menceritakan
kejadian-kejadian itu, Norman cengar-cengir sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Sambil menunggu adzan maghrib, aku mengajak dua sahabatku itu untuk
berhenti sejenak dengan cerita-cerita di masa lalu, aku menanyakan sesuatu
kepada Ridwan. Rada serius:
“Wan, kamu kan sudah sukses, kenapa tidak pindah
saja dari Sukodono yang kumuh itu? Mbok kamu cari lokasi-hunian yang layak
untuk keluargamu.”
“Suasana Ampel, Put, tidak akan ada di mana pun
tempat.” Jawab Ridwan.
“Yak, betul.” Sambut Norman. Dia juga sudah pindah
dari kawasan masjid Ampel, satu tahun yang lalu.
Sebenarnya, sebagai orang yang telah merasakan
pindah rumah lebih lama daripada Norman dan Ridwan, memang benar ada perasaan seperti
itu. Apalagi pas puasa seperti ini, nuansa Ampel lebih meresap hingga ke
pori-pori. Terlebih ketika usia kami belum mengenal apa itu yang-yangan. Melalui
pengeras suara yang berada di menara masjid Ampel, setiap hari—langit dan udara
di sekitar kampung dipenuhi oleh suara Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi. Dengan
pelaguan bergaya mujawwad, surah Al-Hujurat dan Ar-Rahman selalu menemani
hari-hari kami di kampung itu. Ada juga cengkok yang bergaya Abdul Basith
Abdusshomad, biasanya dilantunkan oleh Ustadz Abdul Aziz Muslim untuk membacakan
surah Ath-Thoriq dan Al-A’la. Juga surah Al-Hadid yang dibacakan oleh Noor
Asyiah Jamil. Tapi Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi sepertinya lebih dekat
dengan setiap warga kampung—kerna suaranya selalu menentukan waktu buka puasa
dan imsak kami. Melalui shalawat Tarhim, “ash-shalatu wassalamu ‘alaik. Ya,
imamal mujahidin... Ya Rasulullah...” setelah itu kami bisa menghitung dengan
cara masing-masing. Setelah terdengar kata ‘Ya Rasulullah...’, kami tinggal
menghitung: satu, dua, tiga dalam hati, maka setelah itu—bedug akan terdengar
melalui pengeras suara. Jika saat berbuka, ketika bedug berkumandang, kami
langsung menyantap makanan tanpa harus menunggu adzan maghrib terlebih dahulu.
Ketika saat sahur, suara bedug adalah batas akhir waktu sahur.
Ketika itu kami sangat titen terhadap hal-hal yang berkaitan dengan batas waktu. Seperti
di langgar-langgar di sekitar masjid Ampel, sebelum shalawat tarhim berkumandang,
ceramah KH. Zainuddin Mz diperdengarkan melalui TOA. Dan saat-saat seperti itu
yang membuat kami merasa lega: setelah seharian bertahan dengan panas suhu
Surabaya dalam keadaan puasa, suara KH. Zainuddin Mz semacam kabar dari sorga
yang mengatakan “bedug maghrib sebentar lagi.”
Puasa di kampung Ampel memang sangat aktif dan
produktif. Artinya, puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan. Dari pagi hingga
pagi lagi selalu saja ada kegiatan.
Biasanya begini.
Bangun tidur ba’da sahur, kami berangkat ke
sekolah. Jam satu siang kami pulang. Kira-kira jam tiga sore, kami berangkat ke
langgar untuk mengaji. Pulang mengaji, tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu, kami
melepas sarung, lalu bermain bersama-sama: engkle, sebuah permainan dengan
media gambar pada area tanah yang didominasi bentuk kotak-kotak. Juga ‘gaco’,
benda yang berasal dari pecahan genteng—yang dibentuk—dan digunakan untuk alat
yang di lempar-lempar pada gambar di area tanah yang telah digarisi kotak-kotak
tersebut. Kerna di tempatku sudah tidak ada tanah, jalan kampung adalah
satu-satunya lokasi yang tak ditumbuhi rumah, ia kami gunakan sebagai tempat bermain
walau sudah berupa beton dan aspal. Untuk membuat garis dan kemudian membentuk bangun
kota-kotak, kami menggunakan kapur—yang kami kumpulkan dari sisa penggunaan di
sekolah ataupun di langgar tempat kami mengaji. Kalau kapur tidak ada, kami
menggunakan kreweng untuk membuat
garis-garis tersebut.
Cara bermain engkle cukup mudah: kita tinggal
lemparkan gaco ke dalam kotak, lalu melompat-lompat memasuki kotak dengan kaki
satu. Meskipun mudah, permainan ini cukup menguras tenaga di bulan puasa. Itu
kenapa kami memainkannya di sore hari menjelang maghrib. Jenis permainan engkle
sangat beragam; sebut saja engkle gunung, engkle sewu, engkle pesawat, dan
lain-lain. Engkle sendiri bukan nama tunggal. Ambillah contoh di daerah Gresik,
menyebut permainan ini dengan nama ‘deblekan’. Di Jombang, orang mengenalnya
dengan nama ‘sonda’. Di Probolinggo orang menyebutnya ‘bendan’. Mungkin daerah
lain punya nama sendiri untuk permainan ini. Kerna jenis permainannya banyak,
jika bosan, kami tinggal ganti permainannya. Engkle dipilih sebagai permainan
menjelang buka puasa, dibanding permainan yang lain, engkle merupakan satu-satunya permainan yang
relatif tidak menggerus tenaga terlalu banyak, dan tentunya jenis permainan yang masih ada
sifat maskulin-nya.
TOA terdengar kemresek,
itu tanda bahwa petugas sedang mempersiapkan sesuatu pada pengeras suara. Tak
begitu lama, ceramah KH. Zainuddin Mz menggelegar seantero kampung. TOA langgar
adalah tanda untuk kami agar berhenti bermain. Tentu saja itu bukan aturan
tertulis. Berhenti bermain ketika ceramah adalah kesepakatan yang tak pernah
kami diskusikan. Pokoknya, suara TOA berbunyi, maka secara otomatis seluruh
kegiatan anak-anak akan berhenti.
Sebelum mengenakan sarung kembali, terlebih dahulu
kami membuang gaco-gaco, lalu membersihkan garis-garis engkle dari kapur.
Selesai. Kami menuju langgar, duduk di beranda, mendengarkan dengan saksama—ceramah
KH. Zainuddin Mz. Tapi namanya juga dikerjakan manual, apalagi orang tua,
sering yang diperdengarkan adalah ceramah yang kemarin, atau ceramah dua hari
yang lalu. sampai-sampai, kami hapal redaksinya:
“...para
muslimin dan muslimat yang dirahmati oleh Allah. Setelah perang badar usai,
Nabi pernah berkata kepada para sahabatnya: bahwa masih akan ada perang yang
lebih besar lagi, yakni perang melawan diri sendiri.”
Di kemudian hari, dalam ingatan kolektif kejawaanku,
cermah dari KH. Zainuddin Mz itu mirip dengan kisah di dalam cerita pewayangan:
menurut laku jatrining dumadi, perang
itu ada beberapa jenis. Misal, perang antara bapak melawan anak, di dalam dunia
pewayangan di namakan Gojali Suta—yakni pertarungan antar Kresna melawan Boma,
anaknya sendiri. Perang antar saudara, Bharatayuda. Atau perang antar keyakinan, yakni perang batin Dewi Sinta ketika diculik Rahwana—di
Alengka selama 13 tahun. Selama itu Sinta selalu bertanya: apakah Rama masih setia
kepadanya? Sinta perang dengan batinnya. Kembali kepada perang melawan diri
sendiri, itu sama seperti perangnya Bima melawan plasentanya sendiri yang
mewujud sebagai Jayadrata. Sebuah perang tumpas
kelor, perang yang membuat Bima kewalahan, dan akhirnya Kresna ikut turun
tangan.
Ingatan-ingatan tentang masa lalu ketika puasa di
kampung asal yang nuansanya tak terlupakan kerna terlampau indah itu, membuatku
ingin mengait-ngaitkan makna puasa menurut jalur etimologi.
Berada di dalam posisi rasional yang tidak-canggih,
saya (hanya bisa) percaya bahwa kata ‘pasa’ merupakan hasil serapan dari bahasa
sansekerta yang berbunyi ‘paza’ yang berarti: batas, belenggu, ikatan. Dalam pemaknaan
kontekstual, ‘paza’ menurut khasanah sanskrit dapat dijabarkan sebagai usaha
mengikat jiwa dari suasana yang bukan dirinya. Laku ‘paza’ yang dimaksud di
dalam sanskrit adalah bagaimana cara memahami parameter atas dan bawah. Itu dapat
teraplikasi pada batas lapar, batas kenyang, marah, sedih, bahagia, batas
keinginan, dan batas-batas tentang sesuatu yang belum terdapat di dalam diri
kita. Puasa adalah tentang batas.
Ceramah KH. Zainuddin Mz rampung, shalawat tarhim
terdengar di penjuru kampung. Masing-masing dari kami pulang untuk melaksanakan
buka puasa bersama keluarga di rumah.
***
Salah seorang waiters mendatangi kami, menyerahkan
tiga menu makanan untuk kami masing-masing.
“Puasa, tho?”
tanyaku.
“Setan di bulan puasa ini, sudah diikat semua. Masak
masih tergoda untuk tidak puasa?” kata Ridwan.
Norman tidak menggubris kami, dia tampak serius
memandangi daftar menu makanan. Biasanya, dari komunikasi sepele seperti itu,
dapat berakhir dengan perdebatan yang sangat sengit. Itu sudah menjadi kebiasaanku
dengan Ridwan.
“Saya teh panas ya, mbak.” Kata Norman.
“Sama, mbak, tiga.” Sambung Ridwan.
“Makannya, pak?” tanya waiters.
“Sop buntut, tiga.” Kataku.
Kemudian waiters mengulangi apa-apa saja yang kami
pesan, lalu dia pergi ke belakang.
Obrolan kami bertiga berlanjut. Kami buka dengan
obrolan tentang menu makanan favorit saat berbuka puasa. Kami bertiga sangat
menikmati hari itu, mengenang masa lalu ketika apple dan blacberry masih
nama jenis buah-buahan, belum menjadi smartphone.
Norman suka dengan kolak pisang, Ridwan setrup
kolang-kaling, sedangkan menu buka puasa favoritku adalah kolak qurma. Makanan itu
biasanya yang kami makan ketika bedug maghrib tiba. Tidak langsung dengan
makanan berat. Selesai berbuka, kami ramai-ramai pergi ke langgar untuk salat
maghrib berjamaah. Selepas salat maghrib kami pulang, makan. Setelah itu balik
lagi ke langgar untuk menunggu saat salat tarawih. Rampung, kami tadarrus,
bergantian. Suasananya ramai sekali. Tidak jarang terdengar suara candaan kami di ujung pengeras suara langgar. Para orang dewasa
maklum, tidak ada yang tersinggung. Suasananya meriah sekali. Justru kami
sangat suka dengan nuansa puasanya, bukan lebaran. Lebaran tidak jarang membuat
kami sedih. Tidak ada yang ribut dengan pakaian idul fitri, dan gebyar makanan
untuk disantap ketika buka puasa. Semuanya biasa saja. Tapi tidak dengan saat
puasa, ia sangat istimewa.
Ketika bulan puasa, kehidupan seperti ada di malam
hari. Tidak ada rasa takut dan ngeri. Sebab, kami semua tahu bahwa ketika
memasuki bulan puasa, segala setan-setanan: jin, demit, siluman, ifrit; semua
diikat oleh Tuhan. Jadi, kami merasa aman-aman saja.
Maka, sepelas tadarrus, kami beramai-ramai bermain
bola di jalan raya. Satu jalur jalan kami tutup dengan bangku kayu panjang. Setiap
kampung bermain dengan kelompoknya masing-masing. bolanya dari plastik,
gawangnya dari sandal atau batu yang diletakkan dua meter di sisi kanan dan
kiri sang penjaga gawang. Kami main bola hingga jam dua pagi, lalu
beristirahat, tidur di langgar hingga saat sahur datang.
Pada suatu hari, seharian Ridwan tak menampakkan batang hidungnya. Ngaji, main engkle, mendengar ceramah KH. Zainuddin Mz di
langgar, salat maghrib bersama, salat tarawih, hingga tadarraus. Kami berdua
tidak bertemu Ridwan samasekali. Hingga saat main bola di jalan raya, aku dan
Norman saja yang ikut serta. Tanpa Ridwan. Jam dua, kami menuju langgar untuk
beristirahat. Sesampainya di sana, aku melihat Ridwan sesenggukan, sepertinya
sedang berdo’a di tempat pengimaman. Saat itu suasana langgar sepi, dan hening.
Aku dan Norman memanggilnya, tapi dia tidak merespon. Aku panggil dengan suara
lebih keras, dia tetap diam. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampirinya.
“Wan,” kataku sambil menyentuh pundaknya.
Ketika dia menengok, kami melihat wajah Ridwan
rata: tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, mulutnya, alisnya, semuanya tidak
ada. Semua. Mukanya rata.
Kami berdua kaget, kemudian lari tanpa menengok ke
belakang.
Di penghujung acara reoni kami, aku menceritakan
kisah itu kepada Ridwan. Ia meresponya hanya dengan mengernyitkan dahi dan
sedikit senyum yang terasa kecut.
Wong landa cen asuok.
Wong landa cen asuok.