Senin, 20 Juni 2016

TAK SEINDAH PUASA DI MASA LALU



Dari kiri, namanya Norman, karibku semasa kecil. Dia anak yang pendiam, teratur, lurus, dan on the track. Itu kenapa selepas SMA, ketika anak-anak yang lain masih ingin menuntaskan pencarian jatidirnya, masa depan Norman sudah tertata: melamar pekerjaan sebagai CPNS, dan diterima. Yang paling kanan, Ridwan, juga teman baikku. Dia adalah anak yang usil, pemberontak, setia kawan, tukang bolos sekolah, sering terlibat tawuran, dan memiliki bakat-mengkilat dalam beberapa hal. Kini Ridwan bekerja dan hidup di negeri Belanda bersama istrinya. Di tengah, yang kebanyakan gaya, aku. Bertiga, kami adalah sahabat karib untuk waktu beberapa lama di masa yang sangat jauh.

Sebenarnya Norman dan Ridwan adalah teman sekolah kakak perempuanku, mereka berada satu tingkat di atasku. Kerna sering main ke rumah untuk tugas-tugas sekolah, aku jadi mengenal mereka. Tapi, tradisi patriarkis a la pesisiran tidak pernah memungkinkan untuk bisa akrab-berteman dengan perempuan, pada akhirnya nasiblah yang mengkaribkan kami bertiga.

Rumah Norman berada di Sukodono Gg. I, rumah Ridwan di Sukodono Gg. II, sedangkan aku tinggal di Nyamplungan Gg. IX. Ketiga lokasi itu masih termasuk dalam Kelurahan Ampel, kawasan Masjid Ampel Surabaya.

Sampai pada akhirnya, kami harus berpisah. Rumahku pindah, dan kami tidak pernah bertemu lagi untuk waktu yang sangat lama.

Tapi, entah ada angin apa—tiba-tiba saja kami terhubung kembali. Kebetulan Ridwan pulang ke Indonesia dan mengajak kedua temannya (aku dan Norman) untuk duduk bersama, cangkruk.

Lokasi yang dipilih Ridwan adalah TP (baca: Tunjungsn Plaza), dan kami berdua tahu—kenapa Ridwan memilih tempat itu untuk momen nglumpuke balung pisah.

Ceritanya begini.

Ketika itu kami sudah mengklaim diri kami sebagai ABG, duduk di bangku SMP, jadi sepantasnya main yang-yangan. Sebab alasan itulah selama bulan puasa, kami bertiga sering menghabiskan waktu untuk mejeng di mall. Saat itu belum ada JMP (baca: Jembatan Merah Plaza), lokasi itu masih berfungsi sebagai terminal. Satu-satunya mall yang paling prestise adalah TP. Alih-alih ingin mencari gebetan, cemceman, selepas lohor kami janjian ketemu di suatu tempat kemudian berjalan kaki menuju terminal dan dilanjutkan menaiki bus jurusan TP.

Sampai.

Kami masuk, dan selalu dalam suasana hati yang penuh dengan rasa takjub. Bagaimana tidak, lha wong cecunguk semacam kami ini hanya memiliki ongkos untuk pulang-pergi, tapi ketika sampai dan berhadapan dengan sebuah pintu kaca besar, pintu itu mau membuka dan kemudian menutupkan untuk kami. Awal-awal melewati pintu itu aku selalu deg-degan, kalau-kalau dia tahu—kami tidak pernah bawa uang. Sempat terselip kekhawatiran pintu kaca itu tidak mau terbuka kerna telah membaca niat kami— masuk TP mall hanya mau lihat-lihat saja, tidak akan pernah beli apa-apa. Dua-tiga kali melewatinya dengan rasa was-was dan menutupi kantong celana dengan telapak tangan, agar tidak ketahuan jumlah uang yang kusimpan, akhirnya aku jadi terbiasa dan lancar.

Bleng.

Kami masuk, dan Ridwan yang paling bersemangat. Matanya langsung mecicil, menggerayangi seluruh ruang mall. Ketika menemukan incaran, cewek yang berjalan sendirian, atau maksimal yang bertiga, kami langsung mengikutinya, atau lebih tepatnya mengejar. Ya tentu saja ndak pernah dapat kenalan. Mata kami mengincar seperti pencopet, setiap kali kami ingin mendekatinya, mereka selalu menjauh. Jadi ndak pernah ketemu. Kegagalan demi kegagalan membuat kami mengadakan evaluasi di level penampilan. Pernah kami bergaya mengikat sleyer di dengkul, melipat sisi kiri celana sebatas lutut, membuka dua kancing baju, pakai minyak rambut, pakai topi menutupi rambut, hingga cukur rambut; tapi hasilnya sama. Tapi konyolnya, kami melakukan itu sepanjang bulan puasa. Asu.

Ridwan tertawa ketika aku menceritakan kejadian-kejadian itu, Norman cengar-cengir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menunggu adzan maghrib, aku mengajak dua sahabatku itu untuk berhenti sejenak dengan cerita-cerita di masa lalu, aku menanyakan sesuatu kepada Ridwan. Rada serius:

“Wan, kamu kan sudah sukses, kenapa tidak pindah saja dari Sukodono yang kumuh itu? Mbok kamu cari lokasi-hunian yang layak untuk keluargamu.”

“Suasana Ampel, Put, tidak akan ada di mana pun tempat.” Jawab Ridwan.

“Yak, betul.” Sambut Norman. Dia juga sudah pindah dari kawasan masjid Ampel, satu tahun yang lalu.

Sebenarnya, sebagai orang yang telah merasakan pindah rumah lebih lama daripada Norman dan Ridwan, memang benar ada perasaan seperti itu. Apalagi pas puasa seperti ini, nuansa Ampel lebih meresap hingga ke pori-pori. Terlebih ketika usia kami belum mengenal apa itu yang-yangan. Melalui pengeras suara yang berada di menara masjid Ampel, setiap hari—langit dan udara di sekitar kampung dipenuhi oleh suara Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi. Dengan pelaguan bergaya mujawwad, surah Al-Hujurat dan Ar-Rahman selalu menemani hari-hari kami di kampung itu. Ada juga cengkok yang bergaya Abdul Basith Abdusshomad, biasanya dilantunkan oleh Ustadz Abdul Aziz Muslim untuk membacakan surah Ath-Thoriq dan Al-A’la. Juga surah Al-Hadid yang dibacakan oleh Noor Asyiah Jamil. Tapi Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi sepertinya lebih dekat dengan setiap warga kampung—kerna suaranya selalu menentukan waktu buka puasa dan imsak kami. Melalui shalawat Tarhim, “ash-shalatu wassalamu ‘alaik. Ya, imamal mujahidin... Ya Rasulullah...” setelah itu kami bisa menghitung dengan cara masing-masing. Setelah terdengar kata ‘Ya Rasulullah...’, kami tinggal menghitung: satu, dua, tiga dalam hati, maka setelah itu—bedug akan terdengar melalui pengeras suara. Jika saat berbuka, ketika bedug berkumandang, kami langsung menyantap makanan tanpa harus menunggu adzan maghrib terlebih dahulu. Ketika saat sahur, suara bedug adalah batas akhir waktu sahur.

Ketika itu kami sangat titen terhadap hal-hal yang berkaitan dengan batas waktu. Seperti di langgar-langgar di sekitar masjid Ampel, sebelum shalawat tarhim berkumandang, ceramah KH. Zainuddin Mz diperdengarkan melalui TOA. Dan saat-saat seperti itu yang membuat kami merasa lega: setelah seharian bertahan dengan panas suhu Surabaya dalam keadaan puasa, suara KH. Zainuddin Mz semacam kabar dari sorga yang mengatakan “bedug maghrib sebentar lagi.”

Puasa di kampung Ampel memang sangat aktif dan produktif. Artinya, puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan. Dari pagi hingga pagi lagi selalu saja ada kegiatan.

Biasanya begini.

Bangun tidur ba’da sahur, kami berangkat ke sekolah. Jam satu siang kami pulang. Kira-kira jam tiga sore, kami berangkat ke langgar untuk mengaji. Pulang mengaji, tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu, kami melepas sarung, lalu bermain bersama-sama: engkle, sebuah permainan dengan media gambar pada area tanah yang didominasi bentuk kotak-kotak. Juga ‘gaco’, benda yang berasal dari pecahan genteng—yang dibentuk—dan digunakan untuk alat yang di lempar-lempar pada gambar di area tanah yang telah digarisi kotak-kotak tersebut. Kerna di tempatku sudah tidak ada tanah, jalan kampung adalah satu-satunya lokasi yang tak ditumbuhi rumah, ia kami gunakan sebagai tempat bermain walau sudah berupa beton dan aspal. Untuk membuat garis dan kemudian membentuk bangun kota-kotak, kami menggunakan kapur—yang kami kumpulkan dari sisa penggunaan di sekolah ataupun di langgar tempat kami mengaji. Kalau kapur tidak ada, kami menggunakan kreweng untuk membuat garis-garis tersebut.

Cara bermain engkle cukup mudah: kita tinggal lemparkan gaco ke dalam kotak, lalu melompat-lompat memasuki kotak dengan kaki satu. Meskipun mudah, permainan ini cukup menguras tenaga di bulan puasa. Itu kenapa kami memainkannya di sore hari menjelang maghrib. Jenis permainan engkle sangat beragam; sebut saja engkle gunung, engkle sewu, engkle pesawat, dan lain-lain. Engkle sendiri bukan nama tunggal. Ambillah contoh di daerah Gresik, menyebut permainan ini dengan nama ‘deblekan’. Di Jombang, orang mengenalnya dengan nama ‘sonda’. Di Probolinggo orang menyebutnya ‘bendan’. Mungkin daerah lain punya nama sendiri untuk permainan ini. Kerna jenis permainannya banyak, jika bosan, kami tinggal ganti permainannya. Engkle dipilih sebagai permainan menjelang buka puasa, dibanding permainan yang lain, engkle merupakan satu-satunya permainan yang relatif tidak menggerus tenaga terlalu banyak,  dan tentunya jenis permainan yang masih ada sifat maskulin-nya.

TOA terdengar kemresek, itu tanda bahwa petugas sedang mempersiapkan sesuatu pada pengeras suara. Tak begitu lama, ceramah KH. Zainuddin Mz menggelegar seantero kampung. TOA langgar adalah tanda untuk kami agar berhenti bermain. Tentu saja itu bukan aturan tertulis. Berhenti bermain ketika ceramah adalah kesepakatan yang tak pernah kami diskusikan. Pokoknya, suara TOA berbunyi, maka secara otomatis seluruh kegiatan anak-anak akan berhenti.

Sebelum mengenakan sarung kembali, terlebih dahulu kami membuang gaco-gaco, lalu membersihkan garis-garis engkle dari kapur. Selesai. Kami menuju langgar, duduk di beranda, mendengarkan dengan saksama—ceramah KH. Zainuddin Mz. Tapi namanya juga dikerjakan manual, apalagi orang tua, sering yang diperdengarkan adalah ceramah yang kemarin, atau ceramah dua hari yang lalu. sampai-sampai, kami hapal redaksinya:

“...para muslimin dan muslimat yang dirahmati oleh Allah. Setelah perang badar usai, Nabi pernah berkata kepada para sahabatnya: bahwa masih akan ada perang yang lebih besar lagi, yakni perang melawan diri sendiri.”

Di kemudian hari, dalam ingatan kolektif kejawaanku, cermah dari KH. Zainuddin Mz itu mirip dengan kisah di dalam cerita pewayangan: menurut laku jatrining dumadi, perang itu ada beberapa jenis. Misal, perang antara bapak melawan anak, di dalam dunia pewayangan di namakan Gojali Suta—yakni pertarungan antar Kresna melawan Boma, anaknya sendiri. Perang antar saudara, Bharatayuda. Atau perang antar keyakinan, yakni perang batin Dewi Sinta ketika diculik Rahwana—di Alengka selama 13 tahun. Selama itu Sinta selalu bertanya: apakah Rama masih setia kepadanya? Sinta perang dengan batinnya. Kembali kepada perang melawan diri sendiri, itu sama seperti perangnya Bima melawan plasentanya sendiri yang mewujud sebagai Jayadrata. Sebuah perang tumpas kelor, perang yang membuat Bima kewalahan, dan akhirnya Kresna ikut turun tangan.

Ingatan-ingatan tentang masa lalu ketika puasa di kampung asal yang nuansanya tak terlupakan kerna terlampau indah itu, membuatku ingin mengait-ngaitkan makna puasa menurut jalur etimologi.

Berada di dalam posisi rasional yang tidak-canggih, saya (hanya bisa) percaya bahwa kata ‘pasa’ merupakan hasil serapan dari bahasa sansekerta yang berbunyi ‘paza’ yang berarti: batas, belenggu, ikatan. Dalam pemaknaan kontekstual, ‘paza’ menurut khasanah sanskrit dapat dijabarkan sebagai usaha mengikat jiwa dari suasana yang bukan dirinya. Laku ‘paza’ yang dimaksud di dalam sanskrit adalah bagaimana cara memahami parameter atas dan bawah. Itu dapat teraplikasi pada batas lapar, batas kenyang, marah, sedih, bahagia, batas keinginan, dan batas-batas tentang sesuatu yang belum terdapat di dalam diri kita. Puasa adalah tentang batas.

Ceramah KH. Zainuddin Mz rampung, shalawat tarhim terdengar di penjuru kampung. Masing-masing dari kami pulang untuk melaksanakan buka puasa bersama keluarga di rumah.
***


Salah seorang waiters mendatangi kami, menyerahkan tiga menu makanan untuk kami masing-masing.

“Puasa, tho?” tanyaku.

“Setan di bulan puasa ini, sudah diikat semua. Masak masih tergoda untuk tidak puasa?” kata Ridwan.

Norman tidak menggubris kami, dia tampak serius memandangi daftar menu makanan. Biasanya, dari komunikasi sepele seperti itu, dapat berakhir dengan perdebatan yang sangat sengit. Itu sudah menjadi kebiasaanku dengan Ridwan.

“Saya teh panas ya, mbak.” Kata Norman.

“Sama, mbak, tiga.” Sambung Ridwan.

“Makannya, pak?” tanya waiters.

“Sop buntut, tiga.” Kataku.

Kemudian waiters mengulangi apa-apa saja yang kami pesan, lalu dia pergi ke belakang.

Obrolan kami bertiga berlanjut. Kami buka dengan obrolan tentang menu makanan favorit saat berbuka puasa. Kami bertiga sangat menikmati hari itu, mengenang masa lalu ketika apple dan blacberry masih nama jenis buah-buahan, belum menjadi smartphone.

Norman suka dengan kolak pisang, Ridwan setrup kolang-kaling, sedangkan menu buka puasa favoritku adalah kolak qurma. Makanan itu biasanya yang kami makan ketika bedug maghrib tiba. Tidak langsung dengan makanan berat. Selesai berbuka, kami ramai-ramai pergi ke langgar untuk salat maghrib berjamaah. Selepas salat maghrib kami pulang, makan. Setelah itu balik lagi ke langgar untuk menunggu saat salat tarawih. Rampung, kami tadarrus, bergantian. Suasananya ramai sekali. Tidak jarang terdengar suara candaan kami di ujung pengeras suara langgar. Para orang dewasa maklum, tidak ada yang tersinggung. Suasananya meriah sekali. Justru kami sangat suka dengan nuansa puasanya, bukan lebaran. Lebaran tidak jarang membuat kami sedih. Tidak ada yang ribut dengan pakaian idul fitri, dan gebyar makanan untuk disantap ketika buka puasa. Semuanya biasa saja. Tapi tidak dengan saat puasa, ia sangat istimewa.

Ketika bulan puasa, kehidupan seperti ada di malam hari. Tidak ada rasa takut dan ngeri. Sebab, kami semua tahu bahwa ketika memasuki bulan puasa, segala setan-setanan: jin, demit, siluman, ifrit; semua diikat oleh Tuhan. Jadi, kami merasa aman-aman saja.

Maka, sepelas tadarrus, kami beramai-ramai bermain bola di jalan raya. Satu jalur jalan kami tutup dengan bangku kayu panjang. Setiap kampung bermain dengan kelompoknya masing-masing. bolanya dari plastik, gawangnya dari sandal atau batu yang diletakkan dua meter di sisi kanan dan kiri sang penjaga gawang. Kami main bola hingga jam dua pagi, lalu beristirahat, tidur di langgar hingga saat sahur datang.

Pada suatu hari, seharian Ridwan tak menampakkan batang hidungnya. Ngaji, main engkle, mendengar ceramah KH. Zainuddin Mz di langgar, salat maghrib bersama, salat tarawih, hingga tadarraus. Kami berdua tidak bertemu Ridwan samasekali. Hingga saat main bola di jalan raya, aku dan Norman saja yang ikut serta. Tanpa Ridwan. Jam dua, kami menuju langgar untuk beristirahat. Sesampainya di sana, aku melihat Ridwan sesenggukan, sepertinya sedang berdo’a di tempat pengimaman. Saat itu suasana langgar sepi, dan hening. Aku dan Norman memanggilnya, tapi dia tidak merespon. Aku panggil dengan suara lebih keras, dia tetap diam. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampirinya.

“Wan,” kataku sambil menyentuh pundaknya.

Ketika dia menengok, kami melihat wajah Ridwan rata: tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, mulutnya, alisnya, semuanya tidak ada. Semua. Mukanya rata.

Kami berdua kaget, kemudian lari tanpa menengok ke belakang.


Di penghujung acara reoni kami, aku menceritakan kisah itu kepada Ridwan. Ia meresponya hanya dengan mengernyitkan dahi dan sedikit senyum yang terasa kecut.

Wong landa cen asuok.

Minggu, 19 Juni 2016

NEGERI DANAU



Angin bergerak agak kencang. Kemresek daun-daun dan bebunyian reyot batang bambu, juga suara-suara misterius yang ada di baliknya—membuatku merasa—memang ada dimensi-lain di belakang sana: sebuah semesta yang dingin, gelap, hening, dan asing.

“Ah, yang benar Lip?!”

Ssttt... jangan bilang siapa-siapa, ya?! Tadi sore, ketika hendak mengambil air wudhu untuk salat manghrib, rasa penasaranku selama ini—terhadap barongan (rimbunan pohon bambu?) yang telah membelukar di belakang rumah kontrakan itu semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahu alasannya. Sebagai penakut, tentu saja rasa ingin tahu seperti itu tak akan pernah bertahan lama. Ia hanya meletup sementara, kemudian segera menguap—lalu hilang tertiup oleh angin sebab bayangan yang tidak-tidak yang tercipta di kepalaku. Begitu kejadian yang sudah-sudah.

Namun tidak demikian.

Sore itu memang agak sedikit berbeda. Kemriyek wit pring itu seakan menyedotku kuat-kuat untuk munuju ke sana, mendekatinya, dan kemudian masuk—menembus di sebalik rerimbunan yang selalu menimbulkan suara-suara aneh jika malam hari itu. Tanganku seakan ada yang menarik, dan punggungku seperti ada yang mendorong. Nlunyur, aku berjalan begitu saja.

Tindian (baca: Sleep Paralysis / The Old Hag Syndrome). Ya, rasanya seperti itu. Aku sadar jika sedang berjalan, tapi otakku tak bisa mengendalikan atas gerak tubuhku. Perasaanku sudah teriak minta tolong, tapi sia-sia, suaraku tak bisa keluar dari tenggorokanku.

Wajahku keruh, ketakutan.

Bagaimana tidak? Tadinya aku hanya hendak menuju sumur di belakang  untuk membasuh beberapa bagian tubuh, bersesuci, lha kok malah bergerak tanpa kendali—mendekati pohon bambu yang tumbuh-rapat dan tak keruan itu. Sansaya dekat, aku seperti melihat lobang yang menyerupai mulut goa dengan bercak-bercak sinar berwarna biru. Dan tubuhku terhisap ke arah sana. Kemudian entah, aku langsung Mak Lhèp begitu saja.

“Lalu, apa yang terjadi Lip?”

“Ya, aku masuk ke dalam.”

“Iya. Maksudku, di dalam bagaimana keadaannya?”

“Kamu pernah dengar negeri danau?”

“Serius, Lip?”

“Kok malah tanya. Kamu pernah dengar, tidak?”

“Semua orang kampung sini, pasti sudah pernah dengar cerita tentang negeri danau itu, Lip. Itu cerita lama.”
***


Ketika badanku semakin mendekat ke lobang itu, lobang yang menyerupai mulut goa itu, tanganku mencoba untuk menahannya, melawan, meraih-raih benda apa saja agar aku tak masuk ke dalam. Tapi muspro. Aku tak menemukan benda apapun untuk dipegang. Dan ketika tanganku ndlesep, masuk melewati bibir goa, aku merasa seperti masuk di dalam air. Dingin sekali. Pertama-tama yang masuk hanya ujung jariku, lalu masuk lagi hingga batas lengan, dan kemudian seluruh badan.

Anehnya lagi, jika setiap jengkal tubuhku masuk ke dalam, seperti ada suara ‘nyes... nyes... nyes...’. Suaranya mirip ketika besi-panas yang terkena air: nyes... nyes... nyes... Ada buih dan bunyi di permukaan kulitku. Suara itu terus terdengar hingga seluruh tubuhku masuk ke dalam.

Dan, ketika di dalam, aku merasakan sebuah keadaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku diam, masih bingung dengan peristiwa tak lazim tadi: terhisapnya tubuhku ke dalam lobang, dan entah bagaimana caranya aku bisa berada di tempat-asing semacam ini.

“Apakah ini yang dinamakan negeri danau?” tanyaku dalam batin.

Situasinya persis yang sering dibicarakan oleh orang-orang selama ini; entah di gardu ronda, di warung, di pelataran rumah tetangga: ia adalah sebuah tempat di mana nuansanya seperti di dalam air. Seperti sedang menyelam: dingin, dan setiap benda tampak melayang-layang. Dan juga, sepanjang hari di tempat itu adalah malam. Di tengah langitnya, selalu terjepit sebutir bulan purnama yang membuat hati siapa saja yang memandang cahaya bulat itu menjadi biru. Rumput di seluruh hamparan tanahnya terasa sangat lembut, seperti kapas. Setiapkali ia tersentuh oleh kulit, akan mengeluarkan cahaya kuning seperti kunang-kunang. Anginnya berkelebat sedang, siapapun saja akan tahu bahwa yang berwarna putih—yang bergerak-gerak dan berputar-putar di atas udara adalah angin. Pohon-pohonnya sangat besar dan berwarna hitam. Ia sungguh seperti lukisan.

Takjub. Aku duduk di atas rumput penuh cahaya itu. Di depanku, sepanjang mata memandang adalah air, membuat semua yang ada di atas langit: bulan, awan, dan bintang-bintang; seperti juga terdapat di danau tanpa ujung itu. Dan sesekali, akan ada suara kapal: trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

“Negeri Danau ini tempat apa, tho?” tanyaku dalam diri.

Suara jengkerik bertebaran di rumput-rumput. Juga katak, kumandang mereka saling bersahutan segema orkestra. Pohonnya, walalupun selalu tampak hitam di semesta yang harinya selalu malam, setiapkali berbuah, ia mesti mengeluarkan cahaya warna-warni serupa cemara pohon natal. Indah sekali.

Ya, memang indah. Mataku tak henti-hentinya memandang setiap sudut tempat ini. Tapi entah kenapa, mripat-ku selalu memandang jauh ke arah danau. Seperti ada bayangan hitam yang bergerak-gerak. Aku usap kedua mataku dengan lengan, untuk memastikan apa yang sedang kulihat: seperti bayangan orang. Ia seperti melepaskan sesuatu ke dalam air. Dan setiap kali itu pula, kapal melintas dan terdengar bunyi trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

Penasaran, aku meneriakinya, “hey, siapa itu?” aku sambil melambaikan tangan.

“Lip...”

“Kamu bisa diam, tidak—jika ada orang cerita? Aku mau cerita klimaks-nya! Jangan main potong pembicaraan orang, kebiasaan!”

“Lip... bangun, Lip.”

Aku membalikkan kepala ke arah temanku: seperti ada cahaya yang menyilaukan, dan juga lamat-lamat terdengar gemuruh jalan dan pasar.

“Lip, bangun. Itu, ada orang yang mau beli mainanmu.” Lanjutnya.

Aku langsung mak sranthal kedandhap-dandhap. Sambil mengucek mata, aku juga mengelap mulutku yang dirembesi air liur. Rupanya aku tadi tidur.

“Ha-ha-ha... mimpi lagi, Lip? Kamu ngigau kencang sekali: hey, siapa itu... hey, siapa itu...”

Kuperhatikan di sekitar, tak ada satu orang pun. Dia memang sering menggodaku, membangunkanku ketika tidur. Aku duduk, memperbaiki rasa kaget dengan mengatur napasku. Kumandang adzan terdengar, para lelaki berjalan, sebagian ada yang berlarian. Mereka semua sedang menuju arah yang sama: masjid. Di tengah kekosongan akibat bangun tidur yang buru-buru tadi, sayup-sayup aku mendengar suara yang berasal dari pengeras suara. Katanya, “Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman. Nabi terakhir,” ialah nabi yang ini dan nabi yang itu. Suara itu terdengar sangat bersemangat, keras, dan bertenaga; seperti ingin menjelaskan tentang berita termutakhir dan terbaru—di mana orang lain belum ada yang tahu. Berita yang sangat penting, dan hanya ia yang tahu. Orang yang suaranya terdengar di mana-mana itu bercerita dengan nada berapi-api, seakan Muhammad Rasulullah baru diangkat sebagai Nabi baru kemarin malam.

“Kamu mau pulang, atau masih tetap di sini?” tanya temanku.

“Memangnya kenapa?” aku sambil mengemasi barang daganganku.

“Mbok nunggu aku salat jum’at dulu, aku nitip daganganku.”

“Ya, aku tungguin barang daganganmu.”

Temanku berlalu, menuju masjid, sedangkan aku tetap membereskan sebagian barang daganganku. Ya, cuma dagangan kecil-kecilan. Bagi mereka yang lahir pada medio ’80-an sampai ’90-an, pasti masih familiar dengan benda ini: perahu otok-otok. Mainan anak-anak yang terbuat dari seng. Bapakku yang mengajariku membuat perahu otok-otok ini, beliau pedagang mainan anak-anak.

Ceritanya panjang. Tapi intinya, setelah menikah, aku memutuskan untuk keluar dari rumah orang tua, hidup terpisah, dan bersedia bekerja apa saja. Awalnya aku pernah mencoba peruntungan berkeliling sebagai jasa tambal panci, atau peralatan dapur apapun yang bocor. Semenjak barang-barang dari Cina menggempur pasaran, harga peralatan dapur menjadi murah, jasaku sudah tak dibutuhkan lagi. Aku ganti pekerjaan lain. Selama beberapa bulan, aku pernah mecoba peruntungan untuk berdagang ‘kasur kapuk’, tapi juga tidak laku, mungkin definisi tempat tidur hari ini adalah di spring bed. Kemudian aku ganti pekerjaan lagi: jadi tukang wenter kain, isi korek, jual minyak tanah, jual burung emprit yang bulunya kuberi warna, jual keong yang cangkangnya kulukis dengan cat minyak, dan banyak lagi. Tapi semuanya gagal. Dunia ini seperti tak menginginkanku lagi. Sebab, setiap apa yang kuusahakan, tidak ada yang berhasil. Berhasil yang kumaksud di sini bukan tentang hal yang besar-besar, ya minimal cukup buat makan sehari-hari.

Akhirnya aku ganti pekerjaan lagi. Ya ini, jual perahu otok-otok, hand made–warisan dari bapakku.  Cara membuatnya cukup mudah. Pertama-tama, aku membeli ‘seng’ dalam bentuk lembaran. Setelah itu, misalnya satu lembar adalah satu meter persegi, aku memotongnya menjadi tiga bagian lalu membentangkannya dan kubuat pola dengan spidol di atas seng-seng. Selesai. Aku gunting mengikuti garis spidol. Beres. Aku lipat seng tadi sesuai pola sehingga membentuk bangung yang kuinginkan.  Agar satu samalain lengket, tidak kembali ke bentuk semula (setelah dilipat), aku soder dengan timah.

Satu meter persegi seng tadi, digunakan untuk membuat tiga bagian kapal: Pertama, lambung kapal (hull). Bagian ini dibuat untuk menyediakan daya apung (bouyancy), ia merupakan dasar perhitungan stabilitas rancang-bangun pada sebuah kapal yang berbentuk huruf ‘V’. Kedua, geladak (deck), adalah lantai kapal. Nah, di atas deck, biasanya diberi anjungan (bridge) atau ruang komando. Ia berfungsi sebagai asesoris saja. Nanti di atas anjungan, biasanya kuberi orang-orangan supaya terlihat seperti ada pengemudinya. Ketiga, instrumen inti. Dia terletak di atas hull dan di bawah deck, posisinya ada di dalam. Instrumen inti ini ada beberapa lapis bagian:  Satu, pipa yang menyerupai knalpot. Ia berfungsi sebagai gas pembuangan sekaligus pendorong. Pipa yang berfungsi sebagai knalpot ini terhubung dengan plat ‘seng’ yang dibentuk seperti mangkok. Dua, untuk bahan bakar. Bisa berupa mangkok kecil yang diberi kapas, diletakkan di atas mangkok plat-knalpot tadi. Tiga, pipa kecil yang diletakkan di depan anjungan. Bisa dibentuk menyerupai bom-meriam kecil, agar tampak lebih estetis. Pipa ini dimasukkan hingga tembus ke bagian dalam kapal. Dan, ketika kapal telah diberi bahan bakar, biasanya minyak kelapa, ketika api dinyalakan, kapal akan berjalan dengan sendirinya dan pipa ini akan bergerak ke atas dan ke bawah sehingga menimbulkan bunyi: trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

Ini adalah keahlianku yang terakhir.

Itu kenapa aku mengupayakannya dengan sungguh-sungguh. Aku mempromosikannya di mana-mana: di gardu ronda, di warung, di pelataran rumah tetangga, dan lain sebaginya. Aku bercerita, bahwa kapal otok-otokku berbeda dengan yang lain: kuberi cat warna-warni dan memiliki huruf ‘ND’ di lambung kapalnya, arena air yang besar, beberapa mili minyak kelapa yang kuberi gratis untuk bahan bakar.

Awalnya, aku agak optimis berdagang kapal otok-otok. Sebab, mainan ini pernah booming pada masanya. Siapa tahu akan terulang lagi, heh? Maka dari itu, aku memilih berdagang di depan sebuah sekolah dasar, dekat masjid, kira-kira satu jam dari kontrakanku. Pikirku, anak-anak pasti suka mainan. Lokasi yang strategis, bukan? Selain pertimbangan itu, aku juga berinovasi: memberi latar gambar pada lapak daganganku dengan sebuah lukisan yang aku buat sendiri. Sebuah gambar-danau yang sangat besar—di mana airnya dicermini rambulan dan benda-benda langit lain. Pohon dengan buah warna-warni. Dan di seberang danau itu, ada sebuah daratan yang berhampar rumput dengan cahaya kekuningan. Di atasnya, seperti ada orang yang sedang duduk, menatap ke arah kolam yang kubuat untuk arena kapal otok-otok.

Tapi, sejauh ini nasibku tak kunjung berubah.

Sudah beberapa bulan ini tak satu pun daganganku laku. Jangankan laku, untuk berhenti dan dilihat saja pun tidak. Anak-anak hari ini lebih suka bermain gadget, smartphone. Sebuah benda berbentuk kotak yang membuat setiap orang selalu tertunduk di hadapannya. Benda yang sejatinya untuk connecting people, tapi mbleset menjadi unconnecting people. Sebuah benda yang dapat menjerumuskan seseorang menjadi asosial, dan autis. Sebuah benda yang mengaburkan tradisi silaturahim, dan kehangatan bercengkrama. Ya, tapi mereka kan cuma anak-anak, tidak mengerti akibat yang akan ditimbulkan benda itu. Ini sepenuhnya adalah tanggung jawab orang tua. Mereka agak kurang tepat menterjemahkan kasih-sayang. Apa yang anaknya minta, harus dikasih. Biar sama dengan teman-temannya yang lain. Dan ada yang konyol, benda-benda seperti itu kadang juga sering diberikan oleh orang tuanya untuk memamerkan status sosial di depan orang lain. Tapi ini—kan memang jaman modern, segala sesuatu memang harus cepat. Jaman di mana setiap orang gampang menjadi resah. Paketan habis, resah. Orang tulis status, kesindir. Orang upload foto, kepingin. Dan sebagainya dan sebagainya.

Ya, memang terasa nada sinisme. Atau mungkin aku yang memang tidak pernah mampu mengikuti cepatnya sebuah perubahan zaman, aku ditinggal lalu digilas oleh nasib. Bagaimana mau mengikuti perkembangan, lha wong buat makan saja kadang-kadang ada kadang-kadang sama sekali. Zaman berkembang atau tidak, aku tidak pernah tahu. Yang aku tahu, aku harus bertahan hidup tanpa harus meminta-minta. Aku gunakan seluruh kebisaanku. Dan mungkin kebetulan kebisaanku sudah tidak dipakai oleh zaman ini.

Mulyadi, temanku yang sedang salat jum’at, yang menitipkan barang dagangannya kepada untuk ditinggal di masjid itu, sering menasehatiku: Sabar, Lip. Sabar.

Halah Mul, Mul, aku setiap hari berdiri, jalan, duduk, sampai tidur selalu beralas sabar. Ngerti apa kamu tentang sabar? Kamu tahu bagaimana rasanya—dua lapak yang bersandingan, tapi hanya lapakmu saja yang selalu dikerumuni anak-anak untuk membeli daganganmu? Setiap hari kamu bisa berbincang dengan anak-anak itu sembari kau menggodanya dengan menirukan gaya bicara anak-anak yang mendatangi lapak daganganmu?

Yang mereka lihat mungkin aku miskin, tak punya uang kerna daganganku tak laku. Tapi, di pucuk hatiku, persoalan utamaku adalah kesepian. Tak ada orang yang sekadar tanya, atau basa-basi menawar daganganku. itu pun sudah cukup bagiku. Diajak bicara orang itu, rasanya seperti diguyur air di tengah kemarau yang kering. Orang susah sepertiku sudah biasa menghadapi penderitaan; tak makan dan tak minum bukan persoalan besar.

Andai kata aku adalah seorang Nabi, dengan persoalanku seperti sekarang ini Tuhan pasti akan menurunkan sebuah ayat: Jika kamu memilih untuk mengajak berbicara kepada orang-orang yang sedang kesepian, ketahuilah bahwa sesungguhnya yang kesepian itu adalah Aku.

Tapi, ya manusia biasa. Manusia di bawah garis kebiasaan: entah nasibnya, persoalannya, rejekinya, dan banyak lagi.

“Lip,” sebuah tangan mendarat di pundakku.

Aku menggerakkan leher, “Mul, sudah selesai salatmu?”

“Sudah, Lip. Terimakasih sudah menjaga daganganku.”

Aku hanya tersenyum.

“Mau ke mana lagi, Lip?”

“Pulang, Mul.”

“Tidak menunggu sampai jam pulang sekolah saja, Lip?”

Aku tersenyum, dan menggelengkan kepala. Lalu, bergegas merapikan kapal-kapal dan kumasukkan ke dalam ronjotan (dua keranjang kayu di belakang motor?) sebelah kiri. Lukisan aku lepas talinya dari pengikat, dua pohon, lalu kulipat dan kumasukkan keranjang di sebelah kanan. Kolam untuk arena kapal otok-otok, terbuat dari pelampung karet yang berisi udar: airnya kubuang, lalu melepaskan katup udaranya. Selesai. Kulipat dan kumasukkan ke dalam keranjang sebelah kanan.

“Mul, aku duluan ya?!”

“Oke, Lip, hati-hati di jalan. Sampai jumpa.”

Aku hidupkan motor bututku, lalu jalan dengan kecepatan seadanya menuju kontrakan. Sampai. Sebuah rumah kayu dengan atap yang sangat rendah. Halamannya berupa tanah, sering dalam keadaan basah; diisi oleh beberapa tiang jemuran, kandang ayam, dan rumah burung dara. Motor kuparkir. Kolam plastik kujemur untuk mengeringkan airnya. Lalu aku masuk, membuka gembok pintu. Kapal otok-otok kumasukkan ke dalam rumah. Lukisan juga kukeluarkan dari keranjang, ku masukkan ke dalam rumah. Kubentangkan pas di dipan dipan tempat aku tidur: agar aku dapat melihatnya sebelum dan sesudah tidur. Buat pajangan, memanis rumah yang kumuh ini. Selesai aku pasang lukisan itu, aku merebahkan badan.

Baru saja membaringkan badan, entah cuma bayangan atau halusinasiku saja, aku merasa sosok orang yang terdapat dalam lukisan itu, yang sedang duduk di tengah hamparan itu seperti bergerak dan melambai-lambaikan tangan. Dari arahnya, terdengar suara: “Hey, siapa itu? Kemarilah, duduk di sini bersamaku!”

Terdengar gesekan daun-daun bambu di belakang rumah kontrakanku; derit batang-batang pohon bambu, dan sesekali suara angin yang terdengar cukup kencang. Masih terdengar agak mengerikan. Aku bangun dari tidur, meraih tangan yang terulur di depan wajahku sambil berkata: “Kemarilah, duduk di sini bersamaku!”
***


Pagi itu, Mul hendak berangkat ke SD—tempat ia membuka lapak dagangannya bersampa Alip. Untuk menuju ke sana, dia harus melewati kontrakan Alip. Alih-alih ingin mengajak berangkat bersama, di kontrakan Alip sudah ramai dengan orang-orang yang berdiri di halaman.

Mulyadi turun dari motornya.

“Ada apa ini, Mas?”

“Itu, si Alip beberapa hari ini tidak keluar kamar. Juga tercium bau busuk di dalam.”

“Lalu, bagaimana mas?”

“Ini lagi lapor Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, dan Polsek. Mau dipastikan bersama-sama.”


Mulyadi langsung menembus kerumunan orang yang memadati halaman kontrakan Alip. Sampai di depan pintu, tercium bau yang sangat menyengat. Mulyadi menggedor pintu: “Lip, buka pintunya Lip.” Walau dalam hati Mul berkata, “orang yang merasa tak dibutuhkan lagi, ia akan merasa lebih baik mati.” 

Senin, 06 Juni 2016

KÈNNYA RANDU DAHLIA


O, kagyat risang kapirangu rinangkul kinempit-empit, duh sang retnaning bawana. Bagaimana ini? Tentang cinta yang kadung bertunas di pangkal dadaku? Yang selalu menjadikanku lelaki salah tingkah, yang selalu sendeku di hadapanmu, di tatapan matamu yang lindri-anjait itu. Sedangkan pada kulitmu semayam kelir surga: dikuas warna kapuranta, yang kuningnya langsat dengan hiasan-tipis lapisan coklat. Semoga Gusti Pengeran kang Akarya Jagad—jemarinya—senantiasa melintasi alismu yang naggal-sepisan itu, yang tengahnya cekungan telaga, yang pinggirnya dikepung ilalang. Juwita yang dari tubuhnya selalu terkuak campuran wangi kenanga dan arum ndalu. Juga di bawahmu, rasa tanah tertentu di telapak kakimu; senadyan sedang musim kering dan retak-retak, ia akan tetap basah dan menerbitkan aroma air kelapa yang manis sekali. Serta nada yang keluar dari bibirmu, mesti terdengar asyik dan purba.
***

Tangis bayi melengking memenuhi ruangan. Hari itu masih pagi, tepat ketika jamaah salat subuh—bubar, pulang ke rumah mereka masing-masing.

Di sebalik pintu yang tak begitu tertutup rapat, Hamid sesekali menguping, ingin tahu—apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu—dan sesekali juga ia mengganti telinganya dengan mata yang memaksa mengintip-intip di antara lobang-lobang kecil pada daun jendela.

“Tuan Hamid!” panggil seorang perawat. Sedangkan Hamid masih asyik mengintip.

“TUAN HAMID!!!” suara perawat yang kebetulan sedang kebagian shift malam itu, yang tubuhnya tambun itu, agak sedikit mengeras.

“Eh,” Hamid kaget, “saya, Sus. Bagaimana? Perempuan?” alihnya.

“Laki-laki.” Masih dengan nada ketus.

Tanpa menggubris rasa-geram yang sedang dialami  perempuan yang mengenakan rok-terusan-putih itu, ia menerobos masuk ke dalam ruangan yang sedari-tadi ia intip.

Hamid ngluyur begitu saja.

Masih saja ia tersenyum-lebar jika mengingat kejadian konyol tadi. Sebuah kejadian beberapa puluh tahun yang lalu—ketika istrinya melahirkan anaknya yang ke tiga, yakni anak laki-laki pertama di dalam struktur rumahtangga kecilnya.

Ia berjalan menuju beranda, pelan—dengan membawa sebungkus rokok yang ia genggam, dan berayun-ayun seiring langkah kakinya yang sepuh itu. Sampai. Hamid duduk. Belum genap rasa jenak dengan duduknya, tiba-tiba saja air simpul, rembes di sudut mripatnya yang burung hantu. Mungkin ada yang tandas hingga ke jantung sukmanya. Sebab, sedaritadi udara yang ia hisap, yang terhirup hanyalah bunyi.

Ia membetulkan letak duduknya, mengatur napasnya. “Bagaimana ini?” Katanya, pelan.

Rokok yang tadi ada di tangan kanannya, kini ia letakkan di tangan kirinya. Kemudian, tangan kanannya meraih telepon genggam yang tergeletak di samping cangkir kopi. Sepertinya ia ingin menelpon seseorang. Dan, mungkin, seseorang itu adalah anaknya sendiri. Seorang anak yang pernah lahir tiga puluh satu tahun yang lalu, pada sebuah fajar.

Ya. Dalam senyap, orang tua, sekokoh apapun tulang batinnya, ia takkan pernah sanggup ditinggalkan anaknya—sendiri. “Jika rinduku tak keliru, dan tresna ini juga tak berdosa, lalu, apa nama untuk airmata seduka ini?” katanya.

Seperti ada yang merajang perasaannya, gering rasanya, dan itu membuat Hamid semakin ragu untuk menelepon anaknya, dengan berbagai macam alasan: takut mengganggu anaknya yang sedang sibuk, khawatir yang mengangkat telpon adalah menantunya, takut sedang istirahat, dan lain sebagainya-dan lain sebaginya. Rindu itu sulit, ia memiliki hukumnya sendiri. Dan, menyiksa dengan caranya sendiri. Meskipun demikian, lengan dan segenap jemarinya tetap ingin meraih telepon genggam miliknya, tapi tak pernah berhasil tersentuh oleh tangannya.

Istrinya keluar, duduk di beranda, di sebelah kursinya.

Tapi, tak satu kata pun yang mereka bicarakan. Keduanya sama-sama memandang kosong jauh ke depan. Hingga waktu dan beberapa hitungan yang ada di dalamnya sudah tampak berwarna coklat dan tua. Itu berarti, pagi telah runtuh dan langit menginjak saat di sore hari. Langit lingsir, angin berembus kencang, Hamid menepis-nepis sarung motif kotak-kotaknya yang berdebu.

Sambil mengusir debu, lelaki itu sesekali memandangi istrinya yang di setiap helai rambutnya mulai tampak dirambati uban. Ujung jarinya juga disarangi penyakit asam-urat. Dalam diam, sungguh ia ingin mencari sebab di mata istrinya yang sembab: penuh dengan mendung dan hampir saja rinai,  siap menjelma menjadi tambak pada kelopak matanya yang mengabur. Dalam hati ia bertanya, “masihkah engkau mawar kepadaku, kekasih?”

Sayang, ia tak sampai hati menyatakannya. Hamid menyalakan rokok di tangan kirinya.

Istrinya seperti sedang mengendus-endus bau, dan sesekali melihat ke arah Hamid.

Dalam kemuncak kisut pada kulitnya, lelaki tua itu bertanya: apakah ini yang dinamakan karma?

Tetiba saja Hamid diterpa bayang-bayang yang mengajaknya mundur ke belakang. Ia seperti melihat ibunya yang sedang duduk-sendiri di sebuah beranda yang sangat ia kenal. Di kursi itu ibunya diam, mungkin sedang memikirkan dirinya. Tampak tangannya sering gemetar kerna sebab usia. Kulitnya lebih mudah diserang kedinginan—entah sebab angin ataupun air. Keadaannya persis seperti Hamid sekarang: duduk, dingin, dan sendiri.

“Kasihan sekali ibu.” kata Hamid.

“Ya, seperti nasibmu sekarang.” Kata suara yang mucul dari kulitnya.

Memang. Karma cepat sekali datangnya. Ia dulu pernah meninggalkan ibunya untuk membangun rumah tangga barunya atas nama kemandirian. Sekarang, anaknya yang lahir ketika fajar itu, juga melakukan hal yang sama.

“Sebenarnya semua ini salahku. Suatu hari, di tengah perdebatan kami berdua, aku berkata kepadanya: kau boleh mengaku menang, jika suatu hari nanti anakmu lebih hebat dari anakku.”

“Dari kecil, kau suruh anakmu belajar. Setelah mereka mempelajari semuanya dengan baik, giliran kamu yang tidak siap menerima perubahan anakmu atas ilmu-ilmu yang ia pelajari.”

“Aku sangat merindukannya, kini.”

“Rasa rindumu sekarang ini, sama seperti rasa rindu ibumu yang pernah kau tinggal sendirian di rumah.”

“Aku sangat merasa bersalah.” Sambung Hamid.

“Itulah yang namanya dosa, yaitu rasa bersalah yang datang dan mengguncang di saat kita merasa sendirian.” Kata kulit arinya, lagi.

“Ya, aku tahu itu. Itu kenapa aku ingin meminta maaf?”

“Tentang apa?”

“Tentang semua masa laluku: minuman keras, judi, dan kenakalan-kenakalan lainnya—atau tentang apapun yang pernah terjadi di luar pengawasannya.”

“Kenapa kau melakukan ini semua?”

“Anakku sedang menanti kelahiran anak pertamanya.”

“Lalu?”

“Jika suatu hari nanti anaknya tumbuh dewasa, dan kemudian menikah, apakah anakku juga akan mengalami hal yang sama seperti yang kualami sekarang ini?”

“Kesepian?”

“Ya!”

“Rasa bersalah?”

“Ya!”
***


Masih di ruang paling muka, beranda rumahnya, dering telepon genggam terdengar ke mana-mana: “Halo,” kata istrinya. “Apa? Sebentar, sebentar. Ini kebetulan semuanya ada di rumah. Ibu loudspeaker dulu.”

Kemudian perempuan itu meletakkan handphone di meja, pas di tengah-tengah kerumunan anak-anaknya.

“Halo. Ya... ya. Anakmu perempuan atau laki-laki?” Tanya sang ibu, yang lain berebut tempat-terdekat di sumber suara. “Perempuan? Alhamdulillah. Siapa namanya?” tanyanya lagi.

“Kènnya Randu Dahlia,” suara laki-laki di sebalik telepon.

“Normal atau sesar?” tanya yang lain.

“Sesar.”

“Kènnya Randu Dahlia artinya apa, mas?” tanya yang lain lagi.

“Kènnya itu bahasa Jawa, artinya perempuan baik-baik. Randu itu wit kapuk, pohon kapas. Nama latinnya Ceiba pentandra. Konon, nama ‘Ceiba’ merupakan simbol suci dalam mitologi bangsa Maya. Pohon ini dipercaya sebagai pohon yang sangat tinggi, sehingga—jika kita menaikinya, kita akan sampai di puncak langit. Sedangkan Dahlia, adalah bunga yang paling indah. Aku memberi nama itu kepadanya, jika nanti ia dewasa, dan kemudian menikah, semoga dia menjadi perempuan yang dapat mengantar keluarganya hingga ke langit dan menemukan keindahan yang paling indah.”

“Bagus sekali nak, namanya. Sekarang, berdo’alah, kami yang mengamini dari sini.”

“Do’a apa ya, bu?”

“Yang baik menurutmu.”

“Aku suka dengan do’a milik Douglas MacArthur, seorang jendral Amerika Serikat.”

“Berdo’alah.”

“Tuhanku, bentuklah putriku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya...”

“Amin.”

“Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan. Manusia yang sabar dan tabah dalam kekalahan. Tetap jujur dan rendah hati dalam kemenangan.”

“Amin.”

“Bentuklah putriku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya dan tidak tenggelam dalam angan-angannya saja. Seorang puteri yang sadar bahwa mengenal Engkau dan (mengenal) dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.

Tuhanku, aku mohon, janganlah pimpin putriku di jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan. Biarkan puteriku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.

Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi; sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan memimpin orang lain.

Berikanlah hamba seorang puteri yang mengerti makna tawa-ceria tanpa melupakan makna tangis-duka. Puteri yang berhasrat untuk menggapai masa depannya yang cerah, namun tak pernah melupakan masa lampau.

Dan, setelah semua itu menjadi miliknya, berikan dia cukup rasa humor—sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh namun tetap mampu menikmati hidupnya.

Tuhan, berilah ia kerendahan hati agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki pada sumber kearifan, kelemah-lembutan, dan kekuatan yang sempurna.

Dan, jika pada akhirnya semua itu dapat terwujud, aku, bapaknya, dengan lantang akan berkata: hidupku tidaklah sia-sia.”


“Amin. Indah sekali do’amu, nak. Sekarang, pimpinlah aku dan adik-adikmu mengirim al-fatiha untuk Ayahmu.”