Selasa, 20 Desember 2016

BUNG, MENGAPA GERANGAN DI SANA?


Oleh: Fajar Saputro


Bung, hari ini aku hendak mengunjungi tempat peristirahatanmu.
Menuju selatan, berbekal kembang setaman dan juga rindu.

Satu jam... dua jam...
Jauh nian, bung?

Kau dibuang, atau disemayamkan?
Sengaja dijauhkan, agar kau dilupakan?!

Tapi tidak bisa!

Sudah 71 tahun negeri ini telah engkau proklamirkan,
dan seketika itu juga kita menjadi bangsa yang merdeka. Siapa yang tak tahu itu?

Tapi begini, bung.
Meskipun kini engkau telah tiada, wajahmu, bung, gambarmu, masih menghiasi baliho dan spanduk-spanduk di manapun berada.

Terutama saat pemilu.
Potretmu dicentelkan di pohon, ditempelkan di tiang-tiang listrik seperti iklan badut dan sedot WC.

Maafkan mereka, bung.
Maafkan mereka yang dengan sengaja berak dan berdahak di negeri yang pernah mati-matian engkau perjuangkan.

Sungguhpun nama dan wajahmu dijual-jual, mereka takkan pernah berani berkata:
Heeeh... kekejera kaya manuk branjangan, kopat-kapita kaya ulo tapak angin... Hei, Landa! Iki dadaku!

Tapi itu dulu.
Kini kau hanya patung yang berdiri di pertigaan lampu setopan sambil mengapit tongkatmu.

Mengapa gerangan di sana?
Mengapa berdiri di sana, bung?

Apakah kau di suruh orang-orang itu untuk menyambut para pelancong yang datang ke kotamu, seraya mengucapkan:
“selamat datang di kota Blitar”?

Turun, bung!
Engkau bukan Dwarapala.


Demi Allah, bung, turunlah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar