Oleh:
Fajar Saputro
Bung,
hari ini aku hendak mengunjungi tempat peristirahatanmu.
Menuju
selatan, berbekal kembang setaman dan juga rindu.
Satu
jam... dua jam...
Jauh
nian, bung?
Kau
dibuang, atau disemayamkan?
Sengaja
dijauhkan, agar kau dilupakan?!
Tapi
tidak bisa!
Sudah
71 tahun negeri ini telah engkau proklamirkan,
dan
seketika itu juga kita menjadi bangsa yang merdeka. Siapa yang tak tahu itu?
Tapi
begini, bung.
Meskipun
kini engkau telah tiada, wajahmu, bung, gambarmu, masih menghiasi baliho dan
spanduk-spanduk di manapun berada.
Terutama
saat pemilu.
Potretmu
dicentelkan di pohon, ditempelkan di tiang-tiang listrik seperti iklan badut
dan sedot WC.
Maafkan
mereka, bung.
Maafkan
mereka yang dengan sengaja berak dan berdahak di negeri yang pernah mati-matian
engkau perjuangkan.
Sungguhpun
nama dan wajahmu dijual-jual, mereka takkan pernah berani berkata:
“Heeeh... kekejera kaya manuk branjangan,
kopat-kapita kaya ulo tapak angin... Hei, Landa! Iki dadaku!”
Tapi
itu dulu.
Kini
kau hanya patung yang berdiri di pertigaan lampu setopan sambil mengapit
tongkatmu.
Mengapa
gerangan di sana?
Mengapa
berdiri di sana, bung?
Apakah
kau di suruh orang-orang itu untuk menyambut para pelancong yang datang ke
kotamu, seraya mengucapkan:
“selamat
datang di kota Blitar”?
Turun,
bung!
Engkau
bukan Dwarapala.
Demi
Allah, bung, turunlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar