Senin, 16 Mei 2016

PINGIT (Ara, Terataiku... Bag. II)




Jarak kita hanya terpaut 337 km, atau hanya 8 jam jika aku ingin mengunjungimu. Tapi raguku masih ingin secangkir kopi, memejam sebentar sambil menikmati barang se-gendhing rebab gading dari semesta.

Kehampaan sebagaimana adanya, selebihnya, adalah kerut bibirmu yang selalu menghujani kenangan. Kau memang pemanah paling tepat, seakan sudah terbiasa memburu sasaran. 


Kamu yang selalu di atap langit, mengepungku dengan gelombang lesung pipimu, menjangkau tepi yang paling ujung. Ke jauh yang paling nun.

Kamu yang lebih besar daripada gunung, selalu menantangku-mendaki pada seluruh liku jurang bukit hidupmu. Memilih jalur, menjalarkan berlalunya debu-debu dan batu.

Kamu yang segelap rimba, mengejutkan dugaan, sesat kiblat yang murni dan perawan, damai yang mengancam, waspada yang terus terjaga.

kamu sedalam hati, lebih luas dari samudera, mengirim getaran yang tak butuh tumpangan untuk sampai ke tujuan.


Dengan cara manalagi, cahayu, menghindari rindu yang tak lebih kuat dari tambak jerami, sedang pesonamu banjir bandang lautan lepas.
***

Rembulan sedang kuning kepodhang, maka tak perlu waktu berdetik-detik sesaji parasmu, tiba-tiba, senyummu simpul di bantalku. Kulitmu yang pualam, Hhhhhh... ratusan kali kita bergelap-gelap untuk mencari terang.

Memang tak segemebyar hujan di langit, kekasih, tapi kau menyangkal bahwa itu hanya embun yang jatuh di sudut matamu—yang dinginnya menusuk walau tak segempita sepi kita menunggu—kini menguliti kesombonganku.


“Apa istimewanya airmata?” Katamu. Kekasih, sungguh kusaksikan kau mengucapnya dengan getaran. Setidaknya, sependek yang kuingat, kau dengan rembesan yang hampir basah.

“Kekuatannya,” jawabku. “Semakin jarang kau menggunakannya, ia semakin istimewa,” sambil terus menatap wajahmu yang terhampar anggrek bulan, sedap malam, gandapura, maja, dan nagasari.

Kau melanjutkan: “buatmu, aku hanya ilalang yang tak mungkin menjadi padi.”

Aku diam tak menjawab.

Sebab, kurasa, engkau juga tahu aku selalu mencuri saat melawan sempit—hingga tigabelas ikal rambutku, sampai lumut di galur dadaku, sudah ilalang disilang kakiku menunggu—asam bergaram riwayat kita.

Angin malam punggung gunung, mengibar-ngibarkan inang ke inang mengguyur waktu dan ikebana. Kau bertanya, lagi: “kapan aku dan kamu, akan menjadi kita?”

O, perempuan bermata perunggu. Lihatlah derkuku terpingkal-pingkal di ranting cempaka. Disaksikan guci keturi, galauku terjepit dahan-dahan nangka raksasa. Terompet dan tambur peperangan berkumandang di batinku yang menampung bah, luap yang membanjiri hari-hariku—juga jelajah di setiap jengkal kulit arimu.

Tapi, diamku, kau makin muntab lir kinetab.

Di bawah ketapang, burung-burung beriringan ke Utara. Ha-ha-ha... wajahmu itu lho, wajahmu itu... mari kita selesaikan saja di atas dipan. Dengan begitu, kau bisa menggulingku hingga bergulung-gulung sampai matahari mekar semerbak kenanga.

Lalu, sejenak kita terlupa. Kemudian berhenti oleh sebab kata-kata:

“Terataiku, aku akan segera menikah.”

“Jadi, tinggal berapa saat kita?”

“Entahlah, kekasih....”

“Lalu kenapa kau malam ini menyambangiku?”

“Kami sedang memingitkan diri”.

“Pingit?”

“Ya.”

“Apa itu?”

Aku menahan jawabanku cukup lama, kemudian beberapa menit setelah diamku, aku melirik ke arah matamu yang sudah lelap sebab desah yang kau nikmati begitu keras.

Begini, terataiku. ‘Pingit’ berasal dari bahasa Sansekerta, artinya: rahasia, yang tak ditampakkan. Sebagian orang Jawa, khususnya yang masih percaya, dalam kesadarannya menganggap—bahwa ada sebuah realitas yang mengarah pada pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, dan alam adikodrati. Bahwa dalam suatu gerak fisika, selalu diiringi dengan realitas metafisika.

Pada peristiwa ini, aku selalu ingat dengan Kidung Rumeksa ing Wengi, bait ke-2 kalimat terakhir: “...sakèhing wisa tawa sato galak tutut kayu aèng lemah sangar songing landhak guwaning wong lemah miring myang pakiponing merak.” Yang artinya: Berbagai racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

Kekasih, kalimat yang berbunyi: berbagai racun, mengingatkanku tentang penyakit sipilis, raja singa, dan AIDS—yang akan, dan bisa tawar—jika melalui cara dan proses yang benar. Sedangkan kalimat: binatang menjadi jinak, adalah unsur hayawan (nafsu) yang ada di dalamnya—akan menjadi jinak jika melalui serangkaian proses yang halal.

Liang landak, gua orang, tanah miring, sarang merak, dan kandang badak; merupakan simbol organ perempuan. Sedangkan kata ‘kayu’ yang dalam bahasa arab ‘hayyu’ (hidup), merupakan serapan dari: hawa-hawwah-hayyah-hayyin-hayyu, masih merujuk pada simbol perempuan. Maka tidak salah jika, ada unen-unen mengatakan: women the ray of god. Kata ‘ray’ dalam bahasa Inggris memiliki arti: pancaran cahaya, bisa jadi mirip dengan kata ‘rai’ dalam Jawa yang berarti: pasuryan, penyerupaan surya, bersinar, atau wajah. Women the ray of god berarti, perempuan adalah wajah Tuhan.

Tentu saja, ini hanya sebuah tafsir personal, kekasih. Tapi intinya, bagi sebagian orang, proses pernikahan adalah peristiwa budaya yang memiliki dimensi spiritual. Pergantian status dari lajang menuju kawin ini, akan membawa energi-energi baru di dalamnya.

Seperti halnya dengan sistem pergantian hari yang sudah menjadi kesadaran kolektif masyarakat, bahwa sistem lunar pada penanggalan Jawa dan hijriah—menggunakan waktu senja, surup, atau maghrib sebagai tanda pergantian hari baru. Masa transisi antara hari lama menuju hari baru inilah yang kerap disebut dengan masa re-orientasi, di mana alam akan menjelang waktu baru.

Dalam bahasa budaya, yang aku maksud adalah Jawa, menyebutnya sebagai: kahanan wingit, bisa diartikan sebagai kondisi suci. Ada juga yang menyebutnya: candi-ala. Mungkin, berasal dari kata ‘sandyakala’. Sandya artinya samar-samar.

Kekasih, kamu masih ingat, ketika masih kecil dulu—tidak boleh keluar rumah ketika maghrib? Lalu, serentak, para orang tua memunculkan makhluk mitologis dengan sosok raksasa yang bernama Bathara Kala. Setalah itu, kata wingit mengalami perubahan menjadi singit yang identik dengan kata seram. Padahal, ketika singit menjadi kata kerja, ia ditambah dengan akhiran -an menjadi: singitan, artinya sembunyi.

Di kampungmu, dulu, bagaimana, kekasih? Di kampungku, ketika senja datang, tidak jarang bayi menangis, dan orang tua mengalami kegelisahan—walau bersifat sementara. Setiap kali bertanya kepada orang tuaku: “fenomena apakah itu, kenapa bayi-bayi itu menangis?” Mereka menjawab: “sawan, takut kepada keganasan Bathara Kala.” Dalam peristiwa menjelang pernikahan, ia sama dengan masa bergantinya waktu, ada masa reorientasinya juga—yang disebut: sawan manten.

Beberapa lama kemudian, kekasih, akhirnya aku mengerti, bahwa ‘kala’ adalah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti ‘waktu, sedangkan ‘bathara’ kiasan yang setara dengan kata ‘penguasa, berarti penguasa waktu. Bahwa pada transisi masa lama menuju masa baru, ada ‘masa kosong’—di mana orang perlu berjaga, menyusuri kesadaran.

Kata bapakku, kekasih, masa kosong itu bernama ‘mongso suwung’—dimana hari lama akan ‘tiada’—kemudian ‘meng-ada’ lagi dalam tempo yang tidak bisa dikira. Di masa yang ‘blank’ itulah orang percaya, bahwa manusia juga akan mengalami ‘gejolak psikologis’. Segala rasa campur aduk, sehingga perlu ditata bersama.

Begitu juga dalam hubungan pra-pernikahan, untuk menghindari sawan manten, keduanya perlu waktu untuk menyendiri dan reflektif
***

Kekasih, kulihat kau masih begitu pulas. Pagi akan datang, sedangkan besok adalah hari sabtu, waktu untukku dan untukmu pulang ke rumahtangga kita masing-masing.

Sambil membenarkan letak selimutmu yang tersingkap, aku kecup keningmu dengan dalam. Lalu pergi ketika kau masih bermimpi, seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar