Sabtu, 07 Mei 2016

TIMUN MAS



Matahari bergerak lambat menuju senja, ampak-ampak kabut yang tadinya semburat, kini menyatu dalam latar langit yang kemuning. Bercak abu-bu warna awan, entah kenapa ada yang semi tiba-tiba. Apa yang sedang ia pikirkan? Rindu memang tak pernah bosan-bosannya turun menyertai gerimis, lalu hujan, benih ditebar menghampar, menghampirinya terus-terusan. Hujan memang masih air yang sama, yang dulu selalu ia sambut dengan sepenuh keriangan, dan kini dengan separuh, mungkin seutuh ketakutan. Rindu mungkin seperti baris berlapis yang putarannya menyesatkan: bila salah satu lapisan berhasil dipecah, maka yang lain akan mengepung. Dan terus-menerus akan selalu begitu. Ia menjebak siapa saja.



Rindu itu kini menimpa Timun Mas, perempuan yang pada suatu sore berdiri disebalik jeruji jendela. Ia selalu saja merasa ada yang terpenjara, walau bersikeras mencari—apa yang sedang membui batinnya? Sedangkan matahari lahan-per lahan tenggelam, menimbulkan gambar berlumut di dalam kepalanya. Sebagian besar, mengerak di dasar hatinya.

Seperti yang aku bilang tadi, Timun Mas adalah namanya. Bayi perempuan yang dulu pernah dipaksa—berdiam diri selama berwindu-windu di pusat sepi, di kesendirian. Timun Mas, bayi perempuan yang tumbuh di dalam menintimun geming ketuban. Sampai pada suatu waktu, ia merasa sebagai janin yang sendiri, dengan segenap kepercayaaan dan seganjil keadaan, di luar sana, ia percaya—pasti ada rindu bertumbuh untuknya. Siapa nyana, selain kedua orang tuanya, ada seorang raksasa yang juga menunggunya.

Hmmm... Timun Mas masih menyandarkan kepalanya pada jeruji besi jendela.

Di keheningan waktu yang jauh di belakang, ia memejam dan terus mengenang lelaki raksasa. Sedangkan dalam waktu yang hampir bersamaan, sepasang langkah kaki sedang menghampiri tubuhnya.

Lalu...

Di tengah renungnya, ia merasa ada tangan yang sedang melingkar di sekitar pinggangnya. Kemudian hidung yang menciumi bagian lehernya, juga terdengar udara yang berdesakan keluar dari lubang napas seseorang, serta bibir yang khas: sepasang bibir tipis yang pandai berbisik, dan lidah yang gampang berliur dan mudah basah.

Timun Mas hanya mengibas-ngibaskan lehernya. Merasa mendapatkan perlawanan lembut, tangan lelaki yang sedari tadi melingkar itu, kini melucuti buntalan wiru kain miliknya. Lalu, rambatan itu membuat senja yang memerah, tersa gelap dan samar-samar.

Entah bayangan apa yang sedang mengusik batinnya,  tubuh Timun Mas mendorong lelaki kekar itu dengan punggungnya. Tapi, tangan itu terus saja merayap ke arah bahu, kemudian membolak-balikkan badan Timun Mas. Tampaknya, berahi telah bertengger di pucuk ranting. Dengan segera, ia mendekatkan badan dan mengulum bibir Timun Mas. Terus, dan terus.

Timun Mas tak membalas. Sehelai gerakan pada bibirnya pun, tidak. Ia hanya memejamkan mata, dalam kesempitan, mungkin ia berusaha mengais-ngais ingatan-manis untuk melumuri bibirnya yang saat ini menjadi bulan-bulanan seorang pria.

Sudah beberapa lama bibirnya basah.

Akhirnya Timun Mas mendorong tubuh laki-laki itu lagi. Namun, ia ditarik kembali. “Mandilah dulu, kang. Kakimu masih penuh dengan lumpur-lumpur sawah. Sekujur tubuhmu penuh dengan peluh, dan beraroma ilalang.” Kata Timun Mas.

“Sebentar saja.” sambil menarik tangan Timun Mas, mendekat.

“Mandilah dulu, agar segar tubuhmu.” Timun Mas menarik tangannya kembali.

“Baiklah.”

Tak lama, laki-laki itu menjauh, hilang di balik dinding dan bilik bambu kamarnya. Sedangkan Timun Mas, merapikan apa-apa saja yang tergeletak di lantai. Membersihkan air-air yang menempel di lehernya, dagunya, dadanya, dan bagian-bagian di lintang pukangnya.

Selesai ia membasuh apa saja yang basah, perempuan emas itu menempelkan kepalanya di jeruji jendela lagi. Merindukan bapak dan ibunya yang sudah mulai sepuh, dan tinggal jauh, berpuluh-puluh desa dari tempat tinggalnya yang sekarang. Kini, Timun Mas telah menikah. Menikah dengan seorang pria yang belum ia kenal sebelumnya, pria pilihan ibu dan bapaknya. Ia dinikahkan setelah sebuah peristiwa.

Ya, selepas peristiwa besar di dalam hidupnya.

Peristiwa itu ia alami di sebuah desa, tempat ia dilahirkan. Tapi, jauh sebelum semua itu, syahdan di suatu masa yang nun, di sebuah desa yang subur tanahnya, jernih airnya dan sangat berlimpah, berjajar bukit-bukit barisan di setiap lekuk-liku jalan setapaknya, serta hijau di seluruh hamparan semestanya, jauh di pemukiman manusia, hiduplah sepasang raseksi dan raksasa. Berdua, mereka tinggal di dalam goa yang dikepung oleh hutan dan semak belukar. Pohonnya tinggi menjulang ke atas langit, hingga matahari pun enggan masuk di dalamnya. Akar-akarnya menyembul ke permukaan, setinggi pohon-pohon kelapa.

Konon, selayaknya manusia pada umumnya, kedua makhluk besar itu pemakan segala, termasuk daging-daging binatang. Mereka berburu hewan-hewan penghuni belantara. Sampai pada akhirnya, sepasang raksasa itu harus berbagi buruan dengan penduduk desa.

Hingga pada suatu waktu, jumlah fauna mulai berkurang. Akhirnya dua makhluk itu turun gunung, menyasar ternak peliharaan penduduk desa.

Satu-dua membuat warga mulai bertanya-tanya. Tiga-empat, curiga. Sisanya, mereka berkumpul dan merencanakan siasat untuk menangkap sang pelaku.

Tertangkap.

Hukuman dijatuhkan. Ada yang melemparinya dengan batu, menyayatnya dengan parang, menghunusnya dengan tombak, dan melumurinya dengan minyak-tanah kemudian menyulutnya dengan api sumbu—hingga makhluk itu menjadi arang. Penduduk desa merasa lega. Tunai sudah kekhawatiran akan binatang-binatang ternak di kandang masing-masing.

Tapi, ada yang luput dari pengetahuan warga. Beberapa tahun yang lalu, raseksi telah melahirkan seorang putra.
***

Masih pada waktu yang sangat jauh. Konon, bayi raksasa itu mampu bertahan hidup dan terus tumbuh. Tubuhnya tinggi dan besar, rambutnya panjang berkibar-kibar, dan kulitnya gelap kehijau-hijauan—sebab tempat tinggalnya lembab, menumbuhkan lumut di sekujur kulit arinya. Tak ada yang bisa memastikan di mana tempat-tinggal makhluk besar itu. Namun, menurut kabar angin, ia adalah makhluk—yang konon—gemar dengan daging-daging muda, apalagi perempuan. Dan tidak sedikit yang bilang, ia raksasa pecandu hasrat yang lintang pukang dan terus-terusan membuat gidig bulu kuduk para keluarga yang memiliki anak perawan. Begitu desas-desus yang sudah lama tersiar.

Dan katanya lagi, gadis remaja yang hilang adalah ulahnya. Sebagian besar orang bilang, para pemudi usia belia itu dimakan oleh raksasa.

Bisa jadi demikian...

Sebab, tak banyak jumlah perempuan di desa itu. Hanya beberapa saja, itu pun hanya yang berusia baya. Lebih banyak lelakinya.

Tapi, bukankah setiap makhluk berhak salah—agar tahu mana yang benar? Seperti malam itu, angin tiba-tiba sangat dingin sekali. Saat itulah raksasa merasa kesepian dan sendirian. Tidak biasa-biasanya, ia seperti mendengar ribuan suara perempuan. Hatinya gelisah, dan deg-deg'kan.

Raksasa itu merubah posisi tidurnya: ke kanan dan ke kiri, tapi tidak juga bisa memjamkan mata. Tengkurap, sama saja.

Dibalikkan badannya lagi, kini dalam posisi terlentang, kepalanya yang berada di depan pintu goa. Saat itulah, samar-samar ia melihat-sekilas cahaya purnama. Merasa ada yang aneh, ia duduk. Ia rasa semakin aneh pada dirinya, kemudian ia berdiri, dan keluar mencari asal cahaya.

Di depan pintu goa, yang ia lihat hanya jalan setapak yang terperciki cahaya yang tampak begitu jelas dan terang. Lalu, ia ikuti jalan bercahaya itu hingga pada sebuah air terjun yang sangat deras. Kemudian ia duduk, bersila, merasakan keheningan yang begitu sangat. Suara-suara perempuan di dalam kepalanya—tiba-tiba hilang. Mungkin karena itulah, raksasa itu memantapkan niatnya untuk bertapa.

Waktu berjalan tak terasa.

Mungkin sudah satu tahun, dua, bahkan tiga atau lebih, raksasa itu masih bersendakap. Hingga pada puncak samadinya, seseosok makhluk bercahaya turun untuk membangunkannya dari tapa: “Apa yang hendak kau cari?”

“Entahlah. Mungkin aku hanyakesepian saja.”

“Lalu, apa yang kamu inginkan?”

“Cinta.” Jawab raksasa.

Makhluk bercahaya itu tersenyum, lalu memberikan sebuah biji: “Tanamlah biji ini, maka kamu akan mendapat apa saja yang kamu ingini.”
***

Bertapa dalam waktu yang cukup lama, membuat perutnya terasa sangat lapar. Lalu ia melompat dari tempat yang didudukinya, melesat—mencari binatang buruan hingga di bibir hutan. Tidak ketemu. Ia berhenti, melihat keadaan di sekitarnya.

Tidak disangka, ia mendapati sepasang suami-istri, berusia setengah baya—sedang bercocok-tanam sambil. Kedua pasangan itu berbincang-bincang satusama lain: “Seumpama kita memiliki anak, mungkin hidup kita tidak sesepi ini ya, pak?” kata Si Perempuan.

“Iya, bu. Jika saja kita dapat dikaruniai seorang anak di tengah keluarga kita, aku akan melakukan apapun. Apapun, bu.” timpal Sang Suami.

Mendengar perbincangan haru itu, Raksasa mendekat. Tentu saja, sepasang suami istri itu ketakutan.

“Jangan takut.” kata raksasa.

“Kamu mau apa?”

“Sungguh kamu mau melakukan apapun, jika diberi seorang anak?”

“Tentu saja.” Masih dengan perasaan yang menggigil.

“Ini,“ raksasa menyodorkan sebuah biji, “tanamlah.”

Diterima.

“Tapi, ingat janjimu: kalian akan melakukan apa saja. Sebab, pada usianya yang ke tujuh belas, aku akan menjemputnya.”
***

Sehari setelah peristiwa itu, antara percaya dan tolakan dalam batinnya, mereka akhirnya sepakat untuk menanam biji pemberian raksasa dengan sepenuh harapannya. Ia sirami, pupuki, dan memberinya pagar dari kayu bambu. Dalam waktu yang relatif singkat, biji itu tumbuh dengan baik. Selayaknya usia kehamilan, sembilan bulan dan sepuluh hari, biji itu menjelma buah timun yang menyiratkan cahaya keemasan. Setelah buah terlepas dari tangkainya, sepasang suami-istri itu membelah buah timun—hadiah yang ia terima dari raksasa.

Sret.

Terdengar tangis seorang bayi perempuan. Hitam rambutnya, tembaga warna matanya, dan putih seluruh kulitnya. Dan diberinya nama: Timun Mas.

Dan

Waktu berjalan seperti biasa. Lima belas tahun kini usia gadis itu. Ia tumbuh menjadi remaja yang sangat jelita.

Waktu berjalan lagi.

Genap enam belas usia anak gadisnya, pria sepuh itu pamit kepada anak dan istrinya. Sang istri hanya mengangguk, tak banyak bicara. Sedangkan putrinya, melontarkan banyak sekali pertanyaan.

“Aku ingin bertapa, jagalah ibumu.”

Dan waktu berjalan lagi.

Kurang lebih satu tahun sang bapak pergi bertapa. Hingga menjelang usianya yang ke tujuh belas, kepala rumah tangga itu datang. Alangkah senang anak dan istrinya, mendapati lelaki itu pulang dengan selamat. Kelihatan agak kurus, tapi tampak begitu sehat. Siang itu, mereka memutuskan untuk tidak berladang. Menghabiskan waktu untuk bercengkrama, dan menuturkan banyak sekali cerita. Tak luput, kisah tentang asal-usul Si Timun Mas.

“Ini, nak. Aku membawakanmu lima buah biji, dari hasilku bertapa.”

“Untuk apa, pak?” tanya Timun Mas.

“Pada genap usiamu yang ke tujuh belas, seorang raksasa jahat akan menjemputmu. Larilah, jangan sampai engkau tertangkap. Dan kembalilah kepada kami dengan selamat.“

Timun Mas hanya diam, menyimak setiap tuah bapaknya.

“Pertama,“ lanjut bapaknya, “adalah garam. Benda ini akan menimbulkan samudra jika kau menghempaskannya ke tanah. Dua, biji cabe. Ia akan menjelma menjadi pohon cabe-besar dan penuh dengan duri. Tiga, adalah buah timun. Sesiapa yang memakannya, akan tertidur dengan pulas. Empat, terasi udang. Ia akan menimbulakn lumpur yang akan menarik makhluk di atasnya. Semua benda ini, berguna untuk menghalangi raksasa itu. Jika ia terjatuh ke tanah, ia akan berubah menjadi hamparan yang dapat menghalangi laju raksasa itu.”

“Satu biji lainnya, untuk apa, pak?”

“Satu biji ini, dapat membawamu terbang, melesat ke angkasa. Kamu dapat melakukan apa saja dengan biji ini, termasuk memutar waktu.”
***

Hari yang telah dinantikan telah datang. Raksasa keluar dari goa, menuju bibir hutan—menjemput janjinya.

Bleng... bleng... bleng...

Langkah kakinya terasa dari kejauhan. Semakin lama, makhluk itu terasa dekat. Timun Mas keluar. Kini, di hadapan Timun Mas, berdiri sesosok makhluk besar dengan sorot mata setajam elang. Wanita mana yang tahan dengan mata semacam itu? Dadanya berdegup sangat kencang.

“Siapa namamu?” kata Timun mas.

“Orang menjulukiku, Buto Ijo”

“Sepertinya kamu bukan makhluk jahat, tak seperti kata orang.”

“Biarlah mereka mengenalku seperti itu. Aku memang jahat, dan itu baik. Aku takkan menjadi baik, dan itu tidak jahat. Aku datang kemari, hanya untuk mengambil milikku.”

Layaknya anak berbakti pada umumnya, yang setia dan tunduk pada orang tuanya, Timun Mas perang dalam diam. “Maaf,“ Timun Mas menimpal, “orang tuaku tak memperbolehkanku untuk kau tangkap.”

Sejenak semesta menjadi hening.

“Kalau begitu,“ kata Buto Ijo,  “larilah. Cinta memang tidak boleh dikejar, sebab ia bukan buruan.”

Selepas kalimat terakhir Buto Ijo,Timun Mas lari. Buto Ijo menyusulnya. Mereka berkejar-kejaran. Karena tubuh Timun Mas hanya seukurun manusia biasa, Raksasa itu hampir saja menangkapnya. Segera, Timun Mas mengambil biji cabe, lalu melemparkannya ke tanah. Maka, tumbuhlah pohon-pohon cabe raksasa. Pohon-pohon itu lebih tinggi dari tubuh Buto Ijo. Tak ayal, makhluk besar itu kesulitan untuk lepas dari perangkap, sebab pohon-pohon itu mengeluarkan duri.

Setelah beberapa lama, Buto Ijo akhirnya berhasil keluar. Lalu, dengan sekuat tenaga, Buto Ijo berupaya menyusul ketertinggalannya.

“Kau tidak lelah mengejarku, Buto Ijo?” Timun Mas, Sambil terus berlari.

“Istirahat bisa aku lakukan kapan saja, Timun Mas. Pas kiamat juga bisa.”

Timun Mas tersenyum, dan terus berlari. Tapi, lagi-lagi, ia hampir saja tertangkap. Lalu, ia melemparkan biji dari kantongnya lagi. Biji timun. Bumi terguncang, pohon-pohon timun tumbuh dengan ajaib. Sangat besar, menghalangi langkah kaki sang raksasa. Saking menyemak dan membelukarnya pohon-pohon timun raksasa itu, Buto Ijo memakan semua buah-buah itu. Lalu, ia terlelap pulas. Sedangkan Timun Mas, terus berlari.

Merasa perangkapnya berhasil, Timun Mas menghentikan laju kakinya. Dan, saat itulah, tiba-tiba ada yang hilang di hatinya. Sesuatu yang bergerak, tidak langsung dapat dihentikan. Begitu hukum alamnya. Timun Mas merasa kesepian. Ia akhirnya duduk di atas batu, tidak lari untuk menghindar dari kejaran.

Lama ia duduk, lamat-lama terdengar laju langkah kaki. Raksasa datang. Lalu ia lari menghindar, agar tampak menghindar.

“Kenapa kau berhenti, Timun Mas? Kau menungguku? Kenapa? Merasa kehilangan? Ha-ha-ha...”

Timun Mas tak menggubris. Ia terus berlari kencang, walau alam tahu bahwa ada senyum di bibirnya. Ia terus berlari, namun kali ini Timun Mas benar-benar kelelahan. Ia berupaya sangat keras untuk menghindar: melakukan gerakan zig-zag. Tapi tetap saja, ia hampir tertangkap. Merasa terdesak, Ia mengeluarkan benda pemberian bapaknya dari dalam kantong, lalu melemparkannya. Kali ini, tanah yang kering—lambat laun basah dan menjelma lumpur. Buto Ijo nekat, tetap menerjangnya. Ketika posisi raksasa hijau itu mencapai tengah, pelan-pelan ia tertarik ke dalam lumpur. Buto Ijo tenggelam.

Antara panik bercampur sedih, Timun Mas lari mendekati lumpur. Buto Ijo tak juga muncul. Timun Mas histeris, segala rasa campur aduk jadi satu: menyesal dan menyalahkan diri sendiri. Menyesal, karena ia merasa—dirinyalah penyebab kematian Buto Ijo. Menyalahkan diri, karena ia merasa telah melemparkan benda yang salah. Padahal, bisa saja ia memilih benda yang lain untuk dilempar, atau bahkan tak usah samasekali.

Pada puncak kebimbangannya, Timun Mas mengeluarkan satu benda ajaib dari dalam kantongnya. Ya, benda yang menurut bapaknya dapat melesatkan tubuhnya ke angkasa. Ia lemparkan benda itu, lalu memunculkan selendang yang bercahaya yang melingkar di pinggulnya. Tak begitu lama, ia melesat ke angkasa. Timun Mas berkeinginan memutar waktu, bermaksud kembali ke beberapa saat sebelum Buto Ijo tenggelam. Dengan cara memutari bumi berlawanan dengan arah rotasi, Timun Mas hendak menuju masa lalu. Dia berkeliling selama beberapa kali. Ketika sudah merasa cukup, berada di waktu yang diingkan, Timun Mas turun lagi ke bumi.

Dia sekarang berada di atas batu, duduk, mundur beberapa saat sebelum Buto Ijo ditenggelamkan oleh lumpur.

Lama ia duduk, lamat-lama terdengar laju langkah kaki. Raksasa datang. Lalu ia lari menghindar.

“Kenapa kau berhenti, Timun Mas? Kau menungguku? Kenapa? Merasa kehilangan? Ha-ha-ha...”

Timun Mas menoleh, tersenyum, kemudian lari lebih kencang. Antara percaya dan tidak, ia memeriksa isi kantongnya. Timun Mas merogoh ke dalam. Ternyata, terasi udang yang dapat menjelma menjadi lumpur itu, masih ada di dalam kantong. Ia tak mengambilnya. Tapi, ketika hendak menarik tangannya keluar dari kantong, tak sengaja, garam ajaib, pemberian bapaknya, ikut keluar dan tercecer di atas tanah. Maka, terciptalah laut-samudra. Buto Ijo yang selama ini hidup di gunung, kebingungan ketika berada di tengah-tengah air. Ia berusaha keluar, menggerakkan seluruh tangan dan kakinyan untuk mencapai daratan, tapi ia tidak berhasil. Buto Ijo tenggelam di tengah samudera, dan Timun Mas hanya tertegun menyaksikan pemandangan itu.

Kali ini ia tak histeris, hanya air matanya yang selalu mengalir tanpa henti. Di bibir pantai ia berpikir, bagaimanapun cara menghindarinya, kematian adalah ketetapan yang final. Seampuh apapun kekuatan manusia mempermainkan ruang, juga waktu, kematian ternyata tidak terpengaruh oleh dua faktor itu. Bukan perkara umur atau di mana makhluk itu hidup, sebab kematian memiliki cara sendiri: dia berjalan pada sistem yang tidak senada dengan kaidah kehidupan, dan terus akan menjadi misteri.

Menuju jalan pulang, Timun Mas berusaha mengingat-ingat kata bijak untuk menyurutkan kesedihannya: bahwa rejeki, mati, dan jodoh—bukanlah urusan manusia. Dia mencoba meraba-raba, nasib yang dialami Buto Ijo: jangan-jangan, Tuhan memberikan jatah hidup di dunia ini tidak berdasarkan umur, melainkan berdasarkan jumlah detak jantung. Mungkin saja Buto Ijo diberi seratus juta detak jantung, tapi, seberapapun usia Buto Ijo sekarang, itu akan bergantung kepada sebarapa boros dan hemat Buto Ijo mengolah detak jantungnya. Bisa jadi, karena sering deg-degan atau cemas, jatah detak jantung akan cepat habis, hingga di usia muda—orang meninggal dunia.

Atau...

Beginilah cara Tuhan menciptakan kenangan.  Yakni, menciptanya dari kisah cinta di masa lalu. Tapi, bukankah cinta itu hanya ada sekali, kemudian sisanya, hanya sekadar menjalani hidup?
***

Timun Mas masih memandangi senja di balik jeruji jendela, sedangkan suaminya baru saja membersihkan-badan sesuai keinginannya. Ia mendapati sang istrinya masih termenung, seperti memikirkan sesuatu.

Lalu laki-laki itu mendekat, berbisik di dekat telinga Timun Mas: “Apakah benar, jika seorang perempuan memejamkan mata—ketika sedang bercumbu dengan suaminya, itu berarti si perempuan sedang mengenang mantan kekasihnya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar