Kebetulan hari itu adalah minggu, car
free day. Saatnya menggerakkan badan, plesir, sudah seminggu ini aku di
rumah saja, sibuk memperbaiki atap rumah yang penuh dengan lubang. Ya, udaranya
masih dingin pagi itu, segar, walau matahari telah naik sepenggalah. Tapi entah
kenapa, mendung malah tampak di arak-arakan mega. Apakah hari ini akan hujan?
Entahlah.
Setelah melakukan sedikit pemanasan, dan
memeriksa persediaan makanan juga minuman Diego, anjing kesayanganku, aku
bersiap keluar dengan pakaian seadanya.
Kubuka pintu pagar, dan segera menuju jalan aspal yang sudah tampak seperti permadani dengan segala bau basah
yang khas.
Suasanya tidak seperti biasa, agak sepi, kerna sedang musim penghujan. Mungkin orang-orang sedang sibuk—mempersiapkan
datangnya banjir di rumahnya masing-masing.
Suasana jalan terasa lengang, dan langit
bertambah gelap. Setelah acara jalan-sehat kurasa cukup, aku membeli beberapa
keperluan, lalu berniat balik lagi ke rumah.
Persis seperti dugaanku.
Barusaja berjalan beberapa depa, rinai air
sebiji wijen berjatuhan di atas ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, entah apa yang
sedang terjadi, perempuan bersanggul manikam tengah tersedu sendirian di antara
gerimis lampu stopan. Dengkulnya berdarah, apakah luh atau air
hujan yang sedang berkelamin purba di hamparan kulit arinya.
Di tengah jalur ketapang dan pohon asam,
dari balik daun-daun akasia; suara prenjak yang bertengger di pucuk
ranting-kenari yang kuyub itu, tampak seperti kelopak padma yang
beratap rumbia. Sayang, ia harus pecah oleh suara rintih-kesakitan seorang perempuan yang seperti
menyanyi dan penuh dengan irama itu: “Aduh... aduh...,”
keluhnya. Kebetulan aku sedang berjalan di sekitar situ, menenteng nasi
bungkus, koran, dan air mineral.
Aku menengok ke arahnya.
“Hei kamu. Ya kamu. Halah, malah
nengak-nengok. Ya kamu itu. Oke...”
Aku mendekat, “kamu kenapa?”
“Kepleset,” jawabnya singkat, sembari
lentik jemarinya memencet-mencet pinggir lukanya.
Gerimis yang tadinya rintik, lambat-laun
menjelma menjadi hujan dan kini mengguyur bangjo, aspal, trotoar, juga kami
berdua—tiada ampun. Modarlah saya! Langit pecah di penghujung waktu sebagai
pamungkas, airnya semakin memperjelas bentang layar antara dua gunungan dan rerumputan
pada tubuhnya. Ada getaran khusus, dan urub di sukmaku. Perempuan itu sadar,
aku tak sedang memperhatikan dukacita di lututnya. Ia mengangkat kaosnya
sedikit. Dan aku merasai sedang di posisi yang sangat ruwet: antara ingin menolongnya
segera, atau membiarkan dulu barang satu dua jenak.
“Sudah?” suara perempuan itu.
“Apanya?”
“Lihat-lihatnya, sudah?”
“Sedikit lagi!”
“ Buruan tolongin, kek?!”
Dihinggapi perasaan nanggung dan semacam
rasa pekewuh yang amat merepotkan hati, akhirnya aku membantunya berdiri, membopongnya
ke pinggir jalan, masuk ke dalam halte bus dalam kota. Untung saja perempuan ini agak
lain, memandang kenakalanku dengan rasa maaf, dan dapat menyulap pertemuan tak
sengaja ini menjadi surga.
Dia masih merintih kesakitan. Sambil
meniup-niup lukanya, aku mengalihkan perhatiannya: “Bapakmu sunat di mana?”
“Maksudnya?”
“Kamu cantik.”
“Sudah berapa banyak rayuanmu mendarat di
telinga perempuan?”
“Sudah berapa banyak pria yang kau tolak
dengan cara seperti ini?”
Dia tertawa. Tampak matanya mengkilat
kaca, lehernya cukup, giginya putih rata, dan lensung pipit yang membuat degub
jantungku sebentar berhenti. Ya, perempuan ini memang lain. Ramah, manja, dan
cemekel. Sikapnya yang semanak, ada terpikir memeluknya, tapi itu—kan napsu
namanya. Saya istighfar,ini tidak boleh, dengkul sakit bukan peluk
obatnya. Segera pikiran yang tidak-tidak itu—kutindas, sebab ini
semacam ngeres yang tersembunyi.
Air mineral yang kubawa tadi, kutuang di atas
lukanya. “Aku bersihkan dulu lukamu, biar tidak infeksi.”
“Iya, terimakasih.”
“Cuma terimakasih? Tidak dicium?”
Perempuan itu merebut koran-basah dari
tanganku, “jangan bercanda dong, sakit nih!” Dia memukulkannya ke arah
tanganku. Dan aku hanya tertawa, tak menghindari serangannya.
“Jangan lupa, kasih obat-merah sesampaimu
di rumah.”
“Iya.”
“Rumah kamu jauh? Biar aku antar?!”
“Tidak usah, hanya dua blok dari sini.
Nomer 68.”
“Kok ngasih alamatnya lengkap ? Nyuruh aku
apel?”
“Terserah kamu.”
Aku pura-pura tak mendengar jawabannya.
“Sudah,” aku membuang botol air mineral ke tempat sampah. “Lebih baik kamu
segera pulang, tidak baik lama-lama di tengah hujan.”
“Iya,” dia bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuanku, terpincang-pincang.
Aku segera meninggalkan halte bus itu, dan
melupakan kejadian konyol tadi. Rupanya nasi bungkusku juga terendam air hujan
di dalam kantong plastik hitam. Sambil terus berjalan, aku mencari tong sampah
untuk membuangnya.
Blung!
Nasi pecel seharga lima belas ribu itu
langsung raib. Dan aku meneruskan perjalananku ke rumah. Tapi koran yang
terlanjur basah itu tetap kugenggam, aku tak berniat membuangnya, ada
bekas-tangannya pada koran itu. Sayang jika harus dibuang.
Hujan masih belum reda. Kepalang kuyub, aku terus
jalan tergesa. Dengan langkah cepat, aku merasai ada sesuatu dalam
tubuhku, entah kerna belum sarapan, atau sedang masuk angin: rasanya memang
aneh. Tubuhku agak sedikit ringan, seperti ada yang kurang, atau bahkan hilang. Atau
kerna sebagian dari diriku, ada yang tertinggal di halte bus kota itu?
***
Baru saja tangan kananku membuka pintu pagar,
kerinduan sudah tandas sampai ke tulang. Sebagian lagi sudah kadung menyebar ke
seluruh sum-sum. Di manis gula, di harum mayang, mata rembang dan rindu
yang ungu: tapal batas antara hujan yang bertujuan menyirami pohon, tanah,
serta bunga-bunga di pekarangan rumah—dengan hujan yang hanya ingin menyirami segenap
mahoni, kanigara, dan kenanga di halaman batinku—sangatlah tipis bedanya.
"Masya Allah, hujan jangan marah, semoga hari ini langit berbunga
kupu-kupu."
Selesai dengan gembok pagar, aku terus melangkah, melewati halaman dan pekarangan.
Beriringan dengan derap langkah, wajah gadis itu masih
melayang-layang di udara, memantul di segenap sudut lipatan dan ingatan.
Panji-panji hitam di bantaran genangan air di taman bunga, pohon selasih
semakin rindang dan semakin besar rimpangnya bagai ketela mukibat. Rasanya,
hari ini terasa melankolis, daun-daun tampak lebih lebat dari biasanya, dan aku mencoba tidak menggubrisnya.
Aku terus berjalan menembus taman, menuju pintu utama.
Kumasukkan kunci, dan memegang handle pintu.
Masih separoh tuas itu aku tarik, air rembas,
bermancuran di bawah daun pintu: "Ada apa ini?Aduh, banjir. Pasti
atapnya bocor lagi.” Penasaran, pintu makin kubuka sedikit.
Benar saja, air bah langsung menghantamku, membanjiri
seluruh ruang pekarangan—hingga airnya meluap, menjulang ke atas langit. Aku
terjungkal, tenggelam, bersama dengan—semua perabotan rumah yang juga tampak
tenggelam di dalam air, semua berhamburan keluar, semua.
Di dalam bingung yang amat puncak, satu-satunya yang
kuingat hanyalah wajah gadis di halte bus itu. Aku ingin meminta tolong
kepadanya. Tapi bagaimana caranya?
Aku makin panik, takut kehabisan oksigen, aku berupaya
untuk tetap bernapas. Lho? Aneh! Kenapa aku masih bisa bernapas? Di dalam air? Seperti ikan? Aku tambah keheranan.
Masih dengan keheranan tadi, bersamaan itu ada rasa hangat sekaligus geli di ujung jari kakiku. O, rupanya Diego, anjing piaraanku, ia sedang menjilat-jilat kakiku. Kepalanya
keluar, menyembul ke pintu, sedangkan tubuhnya masih berada di dalam rumah. Ternyata aku belum sempurna membuka pintu, ia membangunkanku dari lamunan. Dan
air bah tadi, yang menenggelamkanku dan barang seisi rumah, ternyata tidak pernah ada, hanya khayalan saja.
Aku masuk.
Diego menggonggong, suaranya melengking
ke seluruh dinding. Aku membiarkannya. Aku betul-betul ingin ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari air
hujan, agar tidak sakit. Baru beberapa langkah memasuki ruang muka; meja, kursi, bupet,
semuanya—berterbangan ke udara, membentur langit-langit dan atap rumah. Tak
hanya itu, tiba-tiba tubuhku juga melayang, seperti kunang-kunang, tak ada
gravitasi. “Ada apa ini?” Tapi segera kutampar-tampar pipiku, sebab aku yakin
ini hanya halusinasi.
Sadar.
Sadar.
Sambil terus melangkah menuju kamar mandi, aku
bertanya-tanya: “Ada apa dengan diriku? Apakah aku sedang jatuh cinta? Ini baru
hari pertama, apakah besok akan berbeda?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar