Senin, 02 Mei 2016

PAK SAKERA



Hari itu terik, entah kenapa rintik juga datang. Hujan panas, hujan yang panas. Orang bilang, air yang diiringi matahari adalah sebuah pertanda—akan ada tumpas-kelor antar dua ksatria.

Ya, sebagian lesatnya bertubi-tubi menggerimisi seorang lelaki yang sedang menghela napas-panjang di antara pematang dan ladang. Ia seperti mendengar kluruk ayam jago di dasar rongga dadanya sendiri. Siapa yang tak tahu, ia adalah orang baik, sering berbuat baik, dan menginginkan kebaikan. Tapi, memang benar damai itu memiliki pangkal, namun salah satunya adalah perang.

Tanpa alas kaki, ia menusuri jajaran tebu dengan memanggul clurit di pundaknya. Berbaju dan bercelana serba hitam, juga destar pada kepalanya. Kumisnya bapang, hitam kelam dan tebal.

Ialah Sadiman, nama pemberian orangtuanya. Pak Sakera, orang lebih sering menyebutnya. Ia terus berjalan, penuh dengan kemarahan.

Gerimis tengah hari ini sejatinya embun yang terlambat turun, sebab salah seorang ksatria bangun kesiangan. Memangnya, apa yang telah terjadi semalam?
***

“Heh, kamu mau apa?" Aziz terkejut, lehernya dikalungi sebilah clurit oleh seseorang dari arah belakang.

“Gerakanmu makin melambat, Ziz.” Sambil mengendurkan cengkraman tangannya pada leher Aziz.

“Sadiman, kamukah itu?”

“Ha-ha-ha...”

Aziz membalikkan kepalanya, perlahan.

“Ha-ha-ha...” Sakera membujurkan tangannya, lalu disambut Aziz. Mereka berpelukan, erat sekali. Berdua, adalah saudara seperguruan.

“Ada apa kamu datang malam-malam begini? ”

“Aku lari dari kejaran polisi”.

Aziz bergegas menuju ke arah pintu yang masih terbuka. Sambil clingak-clinguk, ia segera menutup pintunya pelan dan sangat rapat. “Kamu yakin," kata Aziz, "ketika datang ke sini—tidak ada yang mengikutimu?”

“Apa yang kamu takutkan, Ziz?”

“Sekarang banyak sekali mata-mata. Banyak sekali bumiputra yang menjadi pengkhianat. Mereka bekerja untuk pemerintah Hindia. Mari, silahkan duduk, nanti kita lanjutkan ceritamu itu.”
***

Malam itu seperti ketawang yang mengalun, air-air menerobos daun-daun, ranting, dahan, batang lalu menggaung di akar. Bergetaran butir tirta kaskaya di tanah, lalu pecah oleh suara bayi laki-laki yang dibawa sepasang suami-istri mlarat dan klungsu di sebuah beranda.

Sang pemilik rumah keluar. Di tuntun oleh anaknya, Sadiman. Perempuan ningrat nan dermawan, berpakaian kebaya, tergopoh-gopoh sambil mengusap-usap matanya: “Na’imah, saudaraku, engkaukah itu?”

“Maukah kamu menolongku, Badriyah?”. Kata Na'imah, tamu perempuannya.

“Apapun, katakanlah.” Jawab Si Pemilik Rumah.

“Aku mohon, asuhlah anak ini. Kami tidak mampu menafkahinya lagi.”

“Siapa nama bayi itu?”

“Kau boleh memanggilnya, Brodin.“
***

Di tangan Badriyah, Sadiman tumbuh menjadi pemuda yang sangat disegani banyak orang—hingga ia dipercaya menjadi mandor di salah satu perusahan ladang tebu. Ia sangat bijak, baik, dan disukai banyak orang. Dari situlah Sadiman dipanggil Pak Sakera, yang berarti orang yang sangat ramah. Sedangkan Brodin, tumbuh menjadi balita yang sangat periang.

Waktu terus berjalan.


Layaknya laki-laki pada umumnya, Pak Sakera pun menikah. Ia menikah dengan perempuan cantik sulaman benang perak: Marlena. Usianya masih sangat muda.

Tidak lama dari peristiwa bahagia itu, Badriyah, ibu Sakera, meninggal dunia. Entah, apakah ini kesedihan yang dipersiapkan untuk Sakera, atau justru nasib Brodin yang selalu ditinggal ibunya. Yang jelas, bagi Brodin, ini adalah peristiwa kehilangannya yang ke dua.

Brodin. Bocah yang belum begitu genap masa dewasanya itu, akhirnya diasuh oleh Sakera. Ia dilatih beladiri, diajak bekerja mengawasi ladang untuk waktu yang cukup lama. Hingga genap kedewasaan Brodin, ia pun tumbuh menjadi lelaki tangguh seperti Sakera. Ia menjadi wakil Sakera dalam berbagai kesempatan.

Awalnya, semua berjalan lancar.

Sampai pada akhirnya, suatu hari selepas masa panen, Sakera bertarung dengan centeng-centeng suruhan pemilik perusahaan yang memaksa warga untuk menjual tanahnya dengan harga murah. Dengan clurit, centeng-centeng itu meregang nyawa. Selepas itu, Sakera lari—walau akhirnya tertangkap dan dipenjarakan kompeni. Tentu saja ini adalah sebuah pukulan untuk banyak orang, terutama Marlena. Di usianya yang masih terlalu muda, ia harus berpisah dengan suaminya.
***

Hari itu terik, entah kenapa rintik juga datang. Hujan panas, hujan yang panas. Sedangkan jauh di bawah langit, di bawah sebuah atap rumah, Brodin terkejut dari tidurnya. Ia melompat, bergegas bangun dari ambin.

“Mau ke mana kau, Din?” kata Marlena yang spontan terjingkat, kaget, reflek, tangan kanannya memegangi lengan Brodin yang tampak panik dan buru-buru.

“Kita kesiangan.”

Marlena bangun, lalu menarik kain sekenanya—yang tercecer di atas ambin—sisa pergulatannya semalam. “Lewat belakang saja, Din.” Kata Marlena.

Klek.. Klek... Kunci pintu dibuka.

Begitu daun pintu terbuka setengah, sudah banyak orang-orang lalu-lalang menuju ke ladang. Melihat dua sejoli yang berada di ambang pintu, seluruh mata mengarah pada pasangan zina itu.

Tentu saja terlalu banyak kabar tak sampai. Mungkin itu sebabnya angin tampak sibuk, kesana-kemari begitu kencang hingga ke telinga Sakera.

Mandor ladang tebu lari dari penjara.

“Marlenaaaaaaaaa....” Sakera mendang pintu, lalu menghancurkan seisi rumah. Sedangkan Marlena hanya beku dan gemetar di sudut ruangan. “Bagaimana ini bisa terjadi, Marlena?”

“Kamu juga tahu, orang yang kukenal-dekat hanya Brodin. Dialah tempatku berkeluh-kesah. Awalnya hanya pembicaraan empat mata. Lalu berlanjut bicara dari hati ke hati. Selanjutnya, siapa yang tahu, yang jelas kami tergoda untuk bermain. Main hati.”

“Tapi kenapa Marlena, kenapa?”.

“Kamu harus tahu, dan mengerti—bagaimana dinginnya malam—ketika ditinggal (suami) sendirian, Sadiman.”

Mendengar pengakuan Marlena, Sakera merah padam. Ia membanting setiap barang yang tersentuh oleh tangannya. Ia mengangkat ambin, lalu membalik dan membantingnya—dan mencari-cari sesuatu yang ternyata adalah sebilah clurit yang berada di bawahnya. Ketemu. Dengan mata yang basah, ia mencari Brodin.

“Diiiiiiin! Keluar!”

Di dalam, ternyata Brodin sudah mempersiapkan dirinya. Ia sedang mengasah cluritnya.

“Din, ago’an poteya tolang, atembbeng poteya mata.” (Din, lebih baik mati, daripada harus menanggung malu.

Enggih, man, sepporannah.” (Iya, [pa]man, maafkan saya.)

“Din, mon lo’ bengal acarok, je’ ngakoh reng Medureh.” (Din, jika tak berani bertarung [carok], jangan mengaku sebagi orang Madura.)

Enggih, man. Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembbi. Toreh...” (Saya mengerti, paman. Laki-laki mati[nya] carok, orang perempuan mati melahirkan. Silahkan...)

Selepas kalimat terakhir Brodin, Sakera mengayunkan clurit ke arah dadanya, membai-buta. Brodin mundur ke belakang, hingga clurit Sakera tak lagi menjangkaunya. Ketika ayunan itu luput dan mengarah ke bawah, Brodin memajukan kakinya—menyasar wajah Sakera. Dengan sigap, tangan kiri Sakera menghalau serangan tiba-tiba itu.

Tang...

Berkali-kali kedua senjata itu bertemu. Keduanya mundur, lalu maju dengan gerakan yang berbeda. Mundur lagi, dan maju dengan serangan yang berbeda lagi, dan lagi. Begitu seterusnya.

Mungkin karena faktor usia, atau mungkin stamina yang menurun
karena lama di dalam penjara, Sakera tampak kelelahan. Saat itulah Brodin seperti mendapat semangat-lebih untuk menggempurkan serangan lebih rapat dan cepat. Sakera kewalahan. Brodin mengayunkan clurit ke arah kepala Sakera, dengan cepat Sakera menempatkan cluritnya sebelum senjata Brodin.

Tang....

Saking kerasnya, dayakejut dari serangan itu, Sakera terdorong ke belakang—hingga tersudut di sebuah pohon besar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Brodin. Ia mengarahkan cluritnya lagi ke arah leher, Sakera menahannya. Saling dorong terjadi. Hampir saja clurit Brodin menyentuh kulit Sakera. Wajah mereka saling berhadapan, jarak mereka sangat dekat dan masih saling dorong dengan sekuat tenaga.

Kehabisan nafas.

Dalam desah, Brodin mendengar Sakera menyebut nama ibunya: Badriyah. Sebuah nama yang seumurhidupnya—tidak mungkin dilupakannya. Brodin menarik napas, namun setarikan napas itu sudah cukup untuk Sakera mendorong Brodin dan dilanjutkan—mengayunkan clurit ke arah leher musuhnya.

Thel...
***

“Sadiman, saudara seperguruanku. Sampai hari ini, aku belum pernah membunuh seorangpun. Sedangkan kamu, sudah sering melakukannya. Apakah kamu tidak merasa dihantui orang-orang yang telah kamu bunuh itu?” tanya Aziz.

“Tidak. Sebab apa yang aku lakukan bukanlah kejahatan-pembunuhan. Jadi, seusai bertarung, aku meminum darah musuhku—yang masih tertempel di cluritku. Begitu caranya agar kau tak dihantui.”

“Hmmm... bagaimana rasanya?”

“Ya seperti darah manusia.”

“Lalu?”

“Dengan clurit ini juga, aku membunuh kompeni-kompeni yang memeras darah warga.”

“Kamu bawa senjata itu ke mana-mana?”

“Tentu saja. Kamu harusnya tahu, tulang rusuk sebelah-kiri seorang laki-laki itu kurang satu, maka clurit adalah pelengkapnya. Keadaan yang carut-marut seperti sekarang ini, tidak bisa kita serahkan semua persoalan kepada Tuhan. Ada hal-hal yang harus kita selesaikan sendiri, itu kenapa kita butuh clurit, Ziz.”

“Iya. Tapi kamu juga perlu tahu situasi sekarang ini, bahwa para pengkhianat berkeliaran di mana-mana. Dan juga, banyak mata-mata suruhan polisi yang bertebaran di segala penjuru. Mereka sengaja dipelihara, untuk mengawasi orang-orang semacam kamu. Karena bagi pemerintah, kamu orang yang bersalah dan melanggar hukum.”

“Aku melanggar apa?”

“Kamu membunuh polisi, dan Brodin.”

“Satu, mereka berbuat seenaknya kepada rakyat dengan merampas tanah. Jika dalam membela mereka—aku disalahkan, aku tidak peduli. Karena benar atau salah, ini adalah tanah airku. Dua, kamu percaya dengan hukum kompeni? Bagaimana cara mereka menghukum orang yang telah mengganggu rumahtangga kita? Atau bahkan merusak rumahtangga kita?”

Aziz hanya diam.

“Mengganggu istri orang, bagi orang Madura, adalah pelanggaran besar yang tidak bisa dimaafkan. Tapi bagi pemerintah, itu hanya masalah kecil yang hukumannya ringan. Kamu kan orang Madura juga, bagaimana cara menebus rasa malu? Carok, Ziz, Carok.”

“Baik, aku sangat mengerti perasaanmu, kawan. Tapi aku minta maaf, aku harus menangkapmu.”

Polisi-Kompeni berdatangan dari segala sudut ruangan, mengarahkan bedil ke arah Sakera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar