Senin, 09 Mei 2016

BANANA DAN SEBUAH DRUM




Ngebèn (baca: bermain band), kata itu beberapa puluh tahun yang lalu sangat populer di kalangan anak remaja. Maksudnya, remaja di daerahku. Istilah lain dari main musik bareng.


Awalnya, kata 'nge-band' sangat asing—tapi sekaligus sangat megah—kerna memang kurang familiar bagi kami yang tinggal di desa.

Begini.

Medio ’99-an, aku lulus dari pesantren tingkat Tsanawiyah yang terletak di daerah Lamongan-Bojonegoro. Lalu aku pindah ke pesantren berikutnya, di daerah Gresik untuk melanjutkan ke tingkat Aliyah. Maka tidak heran, jika musik yang kukenal hanya seputar: gambus, samroh, jafin, dan sejenisnya. Tidak ada yang lain. Kecuali memori-memori sebelum masuk pesantren: Rhoma Irama, Ida Laila, Ellya Khadam, Koes Plus, dan lain-lain. Maklum, di tempat tinggalku dulu—penghuninya banyak dari kalangan Madura. Jadi, cuma lagu semacam itu yang sering diputar.

Masih seputar kelulusanku di Tsanawiyah.

Setelah bersalam-salaman dengan teman-teman, dan tentu juga ustadz, sebuah salaman perpisahan, kemudian aku menuju ke Gresik: pesantren yang kuinginkan.

Sampai.

Kami (aku diantar kakakku), menuju pos penjagaan. Di sana para ustadz memberi informasi, bahwa masuk ke pesantren ini—ada tesnya. Setelah melakukan serangkaian persyaratan administrasi, aku diberi izin untuk berbaur dengan rombongan yang lain dengan nomor urut yang terkalung di leher.

Seleksi ujian, dimulai.

Tesnya ada beberapa, aku kurang ingat persisnya. Berkisar tentang Nawa’idul I’lal, Nahwu, Shorof, dan hafalan Al-khulasa Al-fiyah’ (syair berirama tentang tatabahasa Arab dari abad ke-13). Untuk yang terakhir, aku masih ingat sedikit-sedikit tesnya:

Wafii ladunni laduni qola wafii-Qodni waqothni alhadzfu aidhon qod yafii, itu nadzom-alfiyah bait ke berapa?”

Aku diam.

“Bisa membacanya?” lanjut sang pemberi soal, mengarahkan wajahnya kepadaku.

Tapi aku masih tetap diam, kali ini agak kemringet.

Wafii ladunni, lan masyur ing ndalem lafadz ladunni,” beliau mengucapkan itu sambil melepas nomor urut di leherku, dan menggantinya dengan kalung yang lain: semacam tali yang berbahan tali-sepatu, dan bergandul karton-kotak bertulisakan: S.P.A.

Laduni,” beliau melanjutkan, “utawi lafadz laduni nyatane jorof usdina ila-ya’ mutakalim ora nganggo nun wiqoyah.” Sambil bahuku diangkat dengan tangan kanannya, dan aku pun berdiri. “Qola wafii, iku kedik ya’ laduni”. Ia menyodorkan tangan kirinya ke arah pintu, sedangkan yang lain menarik bahuku, seperti menyuruhku—mengikuti petunjuk tangan kirinya. “Qodni, lan ing dalem lafadz qodni.” Sekarang aku mengikutinya, sambil dirangkulnya bahuku—berjalan menuju pintu bersama dengannya. “Waqothni, lan lafadz qothni.” Sekarang kami berdua berada di ambang pintu. “Alhadzfu, utawi ngebuang nun.” Ia mengajakku menuju ruang kelas sebelah. “Aidhon, maneh (lagi).” Dan kami berdua sudah berada di kelas sebelah. “Qod yafii, iku kadang nohoni ya’ hadzfu.” Beliau menekan bahuku, menyuruhku duduk di bangku terdepan. Di papan tertulis: S.P.A (Sekolah Persiapan Aliyah).

Persis, aku tidak lulus.

Tentu saja saya sedih.

Sekolah persiapan membutuhkan waktu satu tahun, secara faktual, sama saja aku tidak naik kelas. Di samping itu, di S.P.A, aku harus melakukan banyak kegiatan agar bisa memasuki jenjang Aliyah: dari subuh hingga ba’da Isya’, SPA harus menjalani serangkaian kegiatan belajar.

Selasai satu tahun di S.P.A, aku minta keluar dari pesantren. Aku masih kecewa atas ketidaklulusanku. Ditambah lagi, kelakuan satu Ustadz yang membuatku tidak kerasan. Namanya Ustadz Rofi’i, asal Bawean. Kulitnya hitam, galaknya seperti setan.

“Kamu mau masuk sekolah apa?” tanya bapakku.

“SMA Negeri,” jawabku singkat.

“Baik, tapi kamu harus serius. Pelajaran pesantren dan di luar—itu berbeda. Kamu harus mengurangi main dan terutama nonton televisi. Bisa?” beliau menegaskan niatku.

Aku hanya merespon dengan anggukan.

Keesokan hari, televisi yang biasa bertengger di atas bupet, lenyap. Mungkin bapakku telah menjualnya untuk biaya daftar sekolahku. Aku setengah menyesal, sedih. Tapi sudah menjadi keputusan.
***

Hari masuk sekolah telah dimulai. Akhirnya ada sekolah yang mau menerimaku. Tentu dengan beberapa syarat administrasi dan serangkaian tes. Hari pertama, Pak Doni (guru olahraga), membawaku ke dalam kelas—memberiku waktu untuk mengenalkan diri. Sikapnya semanak, tak seperti Ustadz Rofi’i.

Di sekolahku yang baru, ruang kelasnya lumayan besar. Ada empat baris bangku dan meja, membujur ke belakang tujuh banyaknya untuk setiap baris. Satu, dua, dan tiga dari depan—diisi oleh siswi, beberapa saja siswanya. Setiap bangku, diisi dua orang. Yang paling belakang, tampak dari wajahnya, kumpulan begundal. Sedangkan di belakangku, tempat aku berdiri, adalah papan. Ada dua. Di atas papan, foto presiden: Gus Dur, dan wakilnya Megawati. Sedangkan meja guru, jika dilihat dari tempat duduk para murid, ia ada di depan sebelah kiri. Tempatnya bersih, lantainya berbahan keramik berwrna putih. Dindingnya juga putih, dihiasi beberapa foto pahlawan nasional dan pahlawan revolusi.

“Ayo, nak. Perkenalkan dirimu.” Kata Pak Doni, mempersilahkan.

“Nama saya Jalaluddin Fuad. Panggil saja, Jalal.”

“Sudah punya pacar, mas?” seorang siswi bertanya dengan suara genit. Namanya Maysaroh. Panggilannya May, suaranya bagus.

Aku tersipu malu.

“Mas, bisa nge-band?” celetuk seorang siswa berbadan gendut, sambil memeragakan tangannya—yang seakan-akan sedang memegang gitar. Laki-laki itu memperkenalkan namanya: Banana, nama sebenarnya Panji Lokananta. Kelahiran Bali.

Aku menggeleng. “kalau terbangan, (baca: rebana) saya bisa.” Seisi kelas, semua tertawa. Ada yang cekikikan sambil memegang perutnya, ada yang terbahak sambil memukul-mukul meja, ada juga yang saking gemasnya, menjambak-jambak rambut temannya.

“Dung-tak-gedung-bres... dung-tak-gedung-bres...” Banana mengejekku, masih dengan tangan yang memeragakan—bagaimana alat musik itu dipergunakan. Yang lain masih cekikikan.

Tawa bernada ejekan itu, menggema sepanjang hari.

Hari pertama gagal total, tidak ada kesan yang menyenangkan. Sepanjang hari mereka mengejekku dengan: dung-tak-gedung-bres... dung-tak-gedung-bres.
***

Beberapa minggu berselang, Banana mulai bertingkah. Dia melepas topinya, lalu berputar menghamipiri bangku kami semua: “pat-pat... pat-pat...” katanya, kepada setiap teman laki-laki maupun perempuan. Ada yang mengeluarkan uang seribuan dari kantongnya, ada yang dua ribu. Tergantung strata sosialnya. Mereka meletakkan uang di topi Banana. Tiba pada giliranku, bangku-pojok paling belakang, dia menyeringai: “pat-pat... pat-pat...” sambil meragakan tangannya yang seolah sedang memegang gitar.

“Pat-pat?” aku mengernyitkan dahi, bingung dengan istilah itu.

“Patungan... patungan...” Sambil menaik-turunkan alis. “Ngeben,” lanjutnya.

“Kapan?”

“Nanti, pulang sekolah.”

Dengan berat hati, aku menarik satu-satunya uang kertas yang ada di saku celanaku.
***

Kami menuju ke studio musik dengan cara masing-masing. Tidak semua punya motor. Ada yang nggandol mobil pick-up, boncengan tiga di satu motor, dan ada juga yang naik angkot.

Kami sampai. Empunya studio-musik bertanya: “Booking jam berapa, mas?”

“Sekarang,” jawab Banana, sambil menunjuk papan putih yang berisi jadwal penyewa: tanggal, jam, dan nama si pemesan. Nama band kami: Soekirman Band, di ambil dari nama satpam sekolah. Entah siapa yang memberi nama itu.

Kami masuk.

Masing-masing langsung memegang alat musik yang dikuasainya: Banana bass, Ahe’ gitar melodi, Londo gitar ritem, dan Lempeng pada vocal. Kecuali drum, tidak ada yang mengisi.

“Ayo,” kata Banana.

“Aku ndak bisa, Na.”

“Sudah, tidak apa-apa. Sembarang saja.”

Terpaksa, aku mengikuti permintaan Banana. Drum itu terletak paling belakang, jika menurut pintu masuk. Aku duduk, mengamati semua bagian pada alat itu. Yang lain memainkan alat musiknya, aku tetap asik dengan ketertegunanku. Kupukul satu-per satu instrumen itu dengan kayu, baru kemudian hari aku mengenalnya dengan nama: stick drum.

Tak... tak... “Itu snare drum,” Banana memberiku keterangan. “Pukul dua instrumen yang ada di atasnya”: dong-dong... dong-dong... “Lha, itu namanya Tom-tom. Yang paling kanan, berdiri sendirian itu, coba kamu pukul!”: Dem..dem...dem... “Itu, flour tom. Coba pedal yang ada di kaki kananmu. Coba kamu ijnak?!”: Dep...dep...dep...dep... “itu bass drum.”

“Yang ini?” aku memukul dua lempengan kuning (bagian bawah terlentang, dan satunya tengkurap) yang ada di sebelah kiriku: Sssstttt... sssssttttt...

“Itu hit-hat. Dia tersambung dengan pedal yang ada di kaki kirimu.” jawab Banana, sabar. Cash... cash... cash... “ini,” Banana sambil memukul-mukul lempengan besi-kuning yang ada di depan sebelah kiriku, dengan stick-drum—yang baru ia ambil dari tangan kananku: “Ini namanya crash symbal. Sedangkan satunya,”: tangsss... tangsss... Bananan memukul lempengan kuning disebelahnya, “Ini namanya ride symbal. Ingat baik-baik bunyinya.” Lalu mereka lanjut, tanpa diriku.
***

Sepulang dari studio musik, aku menceritakan kegiatan baruku kepada bapak. Aku mengungkapkan perihal kesulitanku terhadap dunia baru: sebuah alat musik yang sebelumnya tak pernah aku lihat, tapi aku ingin mempelajarinya, dan ingin menguasainya. Sebab sbagai remaja, aku juga ingin keren, tho?

“Ilmu ghaib saja,” jawab bapakku, “bagi orang Jawa, bisa dipelajari. Belajar melihat Jin, gondoruwo, tuyul, sampai mengusai tenaga dalam. Apalagi cuma ilmu katon (baca: terlihat). Gampang!” lanjut bapakku, membesarkan hatiku.

Setelah itu, bapakku pergi. Meninggalkanku, sendirian di teras rumah. Beliau masuk ke dalam.

Aku mengerti maksud bapak. Tadinya, niat mengadu kepada bapak—agar beliau bersedia memberiku fasilitas tambahan berupa lès musik drum. Melihat gelagatnya, aku jadi ingat, baru saja beliau menjual televisi untuk biaya sekolahku. Pasti beliau sedang tidak punya uang. Maka aku mencari cara lain.

Ahkirnya, cara lain itu—ketemu.

Selesai shalat maghrib, aku menuju rumah Cak Dul Salim. Seorang pemain drum, orkes dangdut melayu. Tak jarang wajahnya muncul di CD bajakan bersama band-nya.

Aku sudah di rumah Cak Dul.

“Tumben kemari? Ada apa?”

“Cak, ajari aku main drum.”

“Waduh, harus praktek langsung. Tidak bisa pakai teori.” Sambil menyalakan sebatang rokok, dengan terus menatap ke arah mukaku.

Mak thek.

Aku tahu maksud Cak Dul Salim, aku harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menyewa studio musik. Satu jam, lima belas ribu. Sedangkan teman-teman sekolahan saja, nge-band, patungan satu kelas. Jelas aku tidak mampu.

“Teorinya saja, Cak.” tawarku kepada Cak Dul Salim.

“Begini, kamu belajar kotek’an (memukul-mukul kayu, mengikuti irama musik) saja. Ikuti saja irama, dan nadanya. Itu teori ketukan, ritme. Jangan sampai terlalu cepat, jangan sampai tertinggal. Harus pas.”

“Cuma itu saja, Cak?”

“Ya tidak. Kamu belajar mengingat-ingat bunyi setiap instrumen pada drum. Jika kamu sudah merasa hapal, coba kamu iringi musik yang sedang kamu putar dari tape. Dengarkan terlebih dahulu, bagaimana ketukannya, dan instrumen apa saja yang dipukulnya, lalu ikuti.”

Sip. Ini cara paling murah.

Besoknya, aku mempraktekkn saran Cak Dul Salim: Kotek’an. Ibu marah. Katanya, kotek’an bisa membuat hutang bertambah (banyak). Reaksi ibu atas kelakuanku, malah aku manfaatkan untuk mem-bribik-nya: meminta sejumlah uang untuk membeli stick drum. Berhasil.

Hari-hari berikutnya, setiap pulang sekolah, aku mempraktikkan anjuran Cak Dul Salim: menata bantal, menjejer-jejernya—seolah ia adalah sebuah drum. Aku tutup pintu kamar, aku nyalakan tape, aku dengarkan musiknya, memperhatikan setiap ketukan drumnya. Kira-kira sudah hapal, aku ulangi musiknya, lalu mengiringi musik dengan memukul-mukul bantal sambil mata terpejam.

Lancar. Aku sudah mulai pede.

Merasa sudah menguasai drum, aku agak berani—mengajak teman-teman untuk nge-band. Tentu saja patungan, sama seperti biasa. Dengan badan agak tegap, aku memasuki studio musik. Langsung menuju belakang, duduk. Memukul-mukul setiap instrumen.

Jreng...

Masing-masing mulai memainkan alat musiknya—membentuk harmoni yang sangat padu. Ketika datang giliranku, ambyar. Ternyata, memukul bantal dan memukul drum itu tidak sama. Mereka terus memainkan alat musiknya. Sedangkan aku makin panik, keringetan, ndredeg. Banana menoleh ke arahku, manggut-manggut dan tersenyem. Sepertinya ia memaklumiku, mempersilahkanku untuk masuk, mengiringi musik kapan saja, terserah bagian mana yang aku bisa.

Jam sewa telah habis.

Banana menghiburku, merangkul pundakku ketika aku berjalan dengan kepala tertunduk dan lesu—melewati pintu studio musik. “Sudah, tidak usah sedih. Besok kita coba lagi.” Sebenarnya bukan sedih yang aku rasakan, tapi malu.

Waktu berjalan, peristiwa memalukan itu telah berselang beberapa hari.

Belum sembuh rasa maluku, Banana mengajakku nge-band lagi. Awalnya aku enggan, sebab ada yang lebih berbakat daripada aku. Namanya Dani, bapaknya pemilik orkes melayu. Dia anak ajaib. Ketukan drumnya halus, banyak orang yang suka dengan caranya memainkan drum. Tapi Banana bersikukuh. Aku ikut.

Kami sudah berada di dalam studio musik.

Tapi tetap saja ndredeg, meskipun kali ini aku agak lumayan, bisa mengikuti sedikit-sedikit. Berikutnya lagi, kemampuanku tambah lumayan. Jadwal latihan kami tambah. Biasanya satu minggu satu kali, sekarang dalam satu minggu bisa tiga sampai empat kali. Dan setiap latihan, hanya memainkan satu lagu. Setiap personil harus menyempurnakan permainannya. Lagu pertama yang kukuasai adalah Pelagi dari Boomerang (1999). Lalu: Sobat, Begitu Indah, dan Mahadewi dari Padi (1999). Aku juga mencoba lagu-lagu lain dari band yang sedang nge-hits saat itu: Dewa, Sheila On 7, dan banyak lagi. Tak puas hanya bermain di studio, Banana mengajak kami untuk bermain di luar. Di daerahku, jika datang perayaan tujuh belas agustus, biasanya ada acara ben-benan. Setiap peserta yang ingin tampil, dipungut biaya—lima belas ribu untuk dua lagu. Kami patungan, orang lima. Ada juga acara-acara yang dibuat oleh sekolah-sekolah lain, ada ben-bennannya juga, kami juga ikut. Acara-acara seperti itu sangat membatu mental kami saat di atas panggung. Di luar acara resmi (tujuh belas agustusan) dan acara sekolah, kami juga ikut acara komuitas-komunitas musik. Bayar juga. Tapi tidak masalah. Nama kami mulai dikenal oleh beberapa sekolah, terutama para siswinya. Dan itu bagian yang paling penting.

Mendengar keseriusan kami dalam bidang musik, pihak sekolah mengumumkan berita penting: beberapa bulan lagi, di THR (Taman Hiburan Rakyat, Jl. Kusuma Bangsa, Tambaksari – Surabaya)—akan diadakan lomba musik. Peserta hanya diperuntukkan bagi siswa-siswi tingkat SMA untuk wilayah Surabaya. Setiap sekolah, harus mengirim paling banyak dua peserta terbaik. Kami girang. Selepas pengumuman itu, Ahe’ mengumpulkan kami semua, mungkin ingin memberikan arahan dan tips agar bisa lolos seleksi sekolah:

“Jalal,” kata Ahe’ memanggilku.

“Ya?”

“Kami sudah sepakat, ingin mengganti posisimu dengan Dani. Maaf!”

Rasanya seperti disamber bledek. Padahal selama ini nampaknya baik-baik saja. Aku juga serius setiap latihan, dan kemampuanku makin hari menunjukkan peningkatan.

“Lho, sebentar... sebentar. Kapan kalian mengambil kesepakatan? Kenapa aku tidak dimintai pendapat?” Banana memprotes.

“Maaf, Na. Kami lihat, kamu dekat sekali dengan Jalal. Atas pertimbangan itu, kami tidak minta pendapatmu.” Jawab Londo. Sedangkan Lempeng, hanya diam. Tidak ikut bicara.

“Baik kalau begitu, aku juga itu keluar bersama Jalal.” Ruang kelas menghangat. Tidak lama berselang, murid lain berdatangan, jam istirahat telah selesai.
***

Ketika sedang bersih-bersih di halaman rumah, Banana datang dengan motor vespanya. Ia mendekatiku, lalu mengambil sesuatu dari tas-punggungnya.

“Ini, dengarkan, lihat, dan pelajari.” Banana mengeluarkan CD bajakan bertulis: NIRVANA.

“Maksudnya apa?” aku masih bingung.

“Kita nge-band lagi,” lalu ia pamit, menghilang diantara pohon dan jalan aspal.
***

Keesokan harinya, seusai pulang sekolah, aku sengaja mendatangi kelas Banana. Di IPS-III, sedangkan aku di kelas IPA-I.

“Gimana, sudah kamu dengarkan?” tanya Banana kepadaku.

“Sudah,” jawabku singkat.

“Bisa?” sambil menaik-turunkan alisnya, seperti dulu.

Aku menggeleng.

Lantas Banana meraih pundakku, “kita ke rumah temanku,” bisiknya di telingaku.

“Siapa?”

“Kopi, anak Manukan. Kita ke sana, sekarang. Kamu harus belajar dengannya!”

Lalu kami berangkat dengan vespa merahnya. Kira-kira setengah jam, kami sudah sampai di studio musik.

“Katanya ke rumah temanmu?”

“Dia ada di dalam, yang punya studio.”

Vespa dijagang-tengah, lalu kami berdua masuk. Di depan, seorang lelaki  berambut lurus, dan berkulit gelap, menyambut kami. Dalam hati, mungkin itu anak yang bernama 'Kopi'. Jika melihat warna kulitnya, aku menduga, itulah muasal julukan namanya: Kopi.

“Ayo, mari... mari masuk. Atau kita langsung saja?” sambut Kopi.

“Langsung saja,” jawab Banana.

Kami masuk.

“Mau latihan lagu apa?” Kopi melihat ke arahku.

“Terserah saja, mas. Yang gampang-gampang saja dulu.”

“Oke. Kita main lagu Smell like teen spirit-nya Nirvana. Dari album Nevermind, tahun 1991.”

Tak lama, Banana memainkan gitarnya. Intro. Dan Kopi menyambut dengan hentakan drumnya. Edan, bagus sekali permainan mereka berdua, apalagi Kopi. Tak salah jika Banana mengajakku untuk belajar kepada Kopi. Tangannya sangat cepat, dan kakinya sangat kuat.

Aku hanya memperhatikan dua orang itu dari bangku di sudut ruangan.

Aku kagum. Baru kali ini aku melihat Banana menyanyi. Siang itu, aku hanya jadi penonton. Yang bermain hanya dua orang: Kopi pada drum, dan Banana pada gitar dan vocal. Tanpa bass.

Besok dan besoknya, dan besoknya lagi, aku selalu diajak Banana ke studionya Kopi. Aku disuruh belajar dengannya. Sampai bisa, dan lancar.
***

“Jalal,” kata Banana,  “ini, kenalkan, namanya Curut, anak IPS-II.”

Kami bersalaman.

“Jalal, Curut akan mengisi posisi pada bass di band baru kita. Sedangkan aku mengisi gitar dan vocal, kamu di drum. Sekarang, kamu yang memimpin band kita.”

Aku hanya diam.

“Apa nama band kita, Lal?” tanya Banana.

“Sastra.”
***

Posisi bass yang diisi Curut, hanya bertahan beberapa bulan saja. Lalu aku menggantinya dengan Ais, anak IPS-I, dan itu juga bertahan hanya tiga bulan. Lalu kami kedatangan Jabrik, anak IPS-IV:  Bertubuh kurus, hitam manis. Suaranya serak, dan panjang. Lalu Banana memutuskan untuk mengisi posisi bass, kembali saat pertamakali nge-band dulu. Ini formasi terakhir kami: Jabrik pada vocal dan gitar, Banana pada bass, dan aku pada drum.

Dengan formasi terakhir, kami jadi lebih sering manggung di luar. Kami sering ikut dalam acara yang bertema musik underground. Alhamdulillah sukses, band kami cukup diperhitungkan.

Diperhitungkan itu, sering diundang di acara-acara sekolah. Dibayar nasi kotak. Atau acara-acara kampung, seperti tujuh belasan, dibayar terimakasih. Pernah juga, band kami menang lomba di SMK Berdikari—yang terletak di Jalan Keputran-Surabaya. Ketika menjelang naik panggung, Jabrik dan Banana minum arak khas Surabaya: cukrik. Mereka keranjingan di atas panggung. Hingga puncaknya, Jabrik terjatuh dari atas panggung, dan mematahkan gitar fasilitas penyelenggara lomba (baca: SMK Berdikari). Kami menang juara satu. Hadiah lomba berupa uang sebesar enam ratus ribu, sedangkan biaya kerusakan-gitar sebesar tujuh ratus ribu. Kami memutuskan lari, tidak mengambil hadiah kami. Selesai main, kami langsung pulang, sambil membopong Jabrik yang sudah tak sadarkan diri.

Ada lagi kejadian, waktu kami diundang sebagai bintang tamu di salah satu kampus swasta (baca: Universitas Wijayakusuma). Kami dijanjikan akan dibayar sebesar tiga ratus lima puluh ribu. Lagi-lagi, Jabrik dan Banana berulah. Mereka berdua, entah saking semangatnya melihat penonton berjoged kegirangan, Jabrik dan Banana—meniru gayanya Kurt Cobain dan Christ Novoselic—ketika diatas panggung: membanting-banting gitar dan bass. Penonton bersorak, panitia mendelik. Selesai dari panggung, panitia memanggil kami. Atas perbuatan itu, kami diminta pertanggungjawaban: limaratus ribu. Kami minus seratus lima puluh ribu setelah dikurangi bayaran kami. Karena tidak punya uang, masing-masing menitipkan kartu pelajar sebagai jaminan. Dan kartu itu tidak pernah kami ambil.

Waktu dan nasib berjalan seperti biasa. Sedangkan UAN, kurang tiga bulan lagi. Lomba band tingkat Surabaya akan di selenggarakan setelah masa tegang itu. Kami masih sering berkumpul, bahkan masih terus nge-band. Bagi kami, belajar itu bukan di rumah, tapi di sekolah. Di rumah, ya kami main. Saat main, kami serius. Dalam dua jam, di studio musik, kami bisa membawakan lagu Nirvana dari semua albumnya hingga tamat: Bleach (1989), Nevermind (1991), Insecticide (1992), dan Inutero (1993).

UAN selesai, kami lulus.

Kemudian kami mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba musik. Bekas band kami dulu, juga ikut. Posisi bass, digantikan oleh Pentol. Sedangkan drum, diisi oleh Dani. Yang lain masih sama. Dan, band mereka sudah berganti nama: Aurum, nama kimia dari emas (Au).

Dari kwalitas personilnya, Sastra tidak bisa mengungguli Aurum. Ahe’ adalah gitaris andalan sekolahan kami, Jabrik takkan mampu menyainginya. Betotan bass si Pentol, lebih mantap daripada Banana. Dan hentakan drum si Dani, lebih mencengangkan daripada kemampuanku. Di atas kertas, kami tidak akan bisa mengalahkannya.

“Jalal, kau pemimpin band ini. Kita mengandalkanmu. Berstrategilah!” kata Banana.

“Kita minta tolong Maysaroh untuk jadi vokalis. Gimana?”

“Boleh.”

“Untuk sementara, kira ganti genre.”
***

Acara seleksi di mulai, diikuti oleh seluruh kelas: satu, dua, dan tiga. Aurum lolos dengan lagu: Endapkan Laraku – Naff (2003). Sedangkan Sastra, membawakan lagu yang berjudul: Salah – Potret (1997). Dan kami berdua lolos sebagai wakil dari sekolah. Lanjut ke tingkat kecamatan, kami membawakan lagu: Sk8er Boy – Avril Lavigne (2002). Aurum membawakan lagu: In My Place – Coldplay (2002). Lolos lagi. Tingkat kota, kami membawakan lagu Bring Me to Life – Evanessence (2003). Sastra lolos hingga ke final, juga Aurum. Satu peserta lagi dari SMA 8.

Satu minggu setelah pengumuman para finalis, akhirnya datang juga hari yang kami nantikan. Aku meminta teman-teman komunitas-undergroun untuk datang ke acara lombaku. Sedangkan Maysaroh, aku sudah tidak memakainya lagi. Kami kembali ke formasi semula, tanpa May.

Sebelum berangkat, aku pamit ke bapak dan ibuku. Yang mengejutkan, bapakku memintaku duduk sebelum berangkat ke acara lomba:

“Kita tidak memiliki darah-keturunan pemusik. Ini,” tangan bapakku menyodorkan amplop yang dilengkapi dengan kop surat dari salah satu universitas negeri di Depok.

“Pak, ini terakhir. Beri aku kesempatan menyelesaikannya.”

“Ya sudah,” lalu aku mencium tangannya, lantas pergi.

Di depan rumahku, kedua temanku menunggu cemas. Melihat kedatanganku, dengan membawa tas yang berisi stick-drum, mereka tersenyum. Mereka segera menghidupkan motornya. Aku naik di vespa Banana, kemudian tancap ke lokasi lomba.

Kami sampai.

Ternyata lomba sudah di mulai. Untung saja kami kebagian nomer urut tiga. Pertama, Aurum Band. Terdengar suara tepuk tangan yang menggemuruh. Setiap band, memainkan—masing-masing tiga lagu.

Kini giliran peserta yang ke dua: SMA 8. Band mereka sangat bagus, aku sampai minder melihatnya.

Selesai.

Kini giliran kami, Sastra Band. Di atas panggung, aku melihat teman-teman dari komunitas undergroun melambai-lambaikan tangan. Aku membalasnya.

“Okeeehh...” kata pembawa acara. "Penampilan dari band yang terakhir: Sastraaaaaa...”

Penonton diam. Banana memainkan bass-nya. Meliuk-liuk, intro lagu Blew milik Nirvana—dari album Bleach (1989). Penonton histeris. Sudah skenario, teman dari komunitas underground memang aku minta meramaikan suasana.

Dan, ketika drum masuk, aku melihat—hampir seluruh penonton berlompat-lompatan. Keranjingan. Ada perasaan merinding merasukiku, separuh kekuatanku bertambah. Ya, menjadi pemain drum memiliki kebahagiaan tersendiri. Sebab akulah satu-satunya personil yang bisa melihat semua pemandangan: dari anggota band, hingga penonton. Dan setelah ini, apapun hasilnya, aku tidak akan menyesalinya. Indah sekali pemandangan malam ini.

Selesai.

Panitia acara mengumumkan pemenang dua: “jatuh kepadaaa... S...M...A... De-La-Pan...” penonton bersorak sorai, hatiku ded-degan.

Selanjutnya.

“Juara ke pertama, jatuh kepadaaaaa....” Jabrik dan Banana meremas pundakku. Kami saling berangkulan. “Sastraaa Beeeeeeennnn.”

Aku teriak, bersujud, setengah tidak percaya. Aku menangis. Banana menarikku, dibantu Jabrik—mereka menggendongku. Banana berlari sambil memikulku, lalu berhambur di tengah-tengah penonton. Di atas, tanganku ditarik-tarik oleh penonton. Aku terjatuh, kepalaku membentur tanah. Tapi rasa senang mengalahkan rasa sakitku. Aku tertawa, walau kepalaku pusing. Aku bergulung-gulung di atas tanah. Terlentang, kemudian tengkurap. Tiba-tiba, dari arah belakang, ada yang mencambuk punggungku. Aku merintih. Dan cambukan itu datang lagi. Kali ini aku mengarahkan pandanganku ke arah si penyambuk.

Tar... 

Aku dicambuk lagi.

Sambil merintih, mataku berputar-putar seperti orang bangun tidur. Aku berusaha memperhatikan sosok yang mencambukku: bergamis putih, peci juga putih, dan berkulit hitam. Setengah sadar, ia mencambukku lagi sembari teriak: “Bangun! ayo bangun S-P-A. Sekarang waktunya sholat subuh.” Dan jelas, itu suara Ustadz Rofi’i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar