Leng-leng
ramya ningkang sasangka kumenar mangrenga rum ning puri, mangkin tan pasiring
halep ingkang umah mas lwir murub ring langit...
Hmm...
Syahdan di suatu masa yang tidak menentu:
kadang-kadang tenang dan kadang-kadang ribut, lahirlah Jabang Tetuka, buah cinta dari seorang panenggak (Pembareb – Panenggak – Premadi – Wuragil), yakni anak
nomor dua dari Pandhu Dewanata yang bernama Bima dengan seorang putri dari
Parabu Tremboko yang nomor dua juga—bernama Dewi Arimbi. Jabang Tetuka lahir
sebagai raksasa, tubuhnya besar—itu adalah bukti bahwa pemerintahan hari ini
memang sangat mensejahterakan rakyatnya. Bersamaan dengan itu, United Nations
Children’s Emergency Fund (Unicef) menempatkan Pringgandani pada posisi keenam
sebagai negara yang memiliki jumlah terbanyak bayi yang tidak divaksinasi atau
belum mendapatkan imunisasi lengkap. Ditambah lagi prediksi dari World Health
Organization (WHO) bahwa 1,5 juta nyawa meregang setiap tahun akibat kurangnya
vaksinasi. Maka, berdasarkan dari dua keterangan itu, Kementrian Kesehatan
bekerjasama dengan Ikatan Dokter Pringgandani (IDP) melakukan upaya pemerataan
imunisasi.
Ceprot. Bayi lahir, dan masih mengemban tali pusar
yang ora tedhas tapak paluning pandhe
sisaning gurinda. Tidak mempan diputus dengan senjata apapun. Ya, apapun.
Mendapati persoalan ini, Pandawa-Lima plus Kresna
melakunan rembug tuwa. Dan didapatlah
kesimpulan bahwa Arjuna yang diutus untuk meminta solusi kepada dewa atas
persoalan tali pusar ini. Pilihan itu tidak serta-merta: selain klimis, rapi,
bersih, berkulit putih, pokoknya good
looking; Arjuna memiliki prejengan layakya seorang dokter. Tak lama dari
peristiwa rembugan itu, Premadi
berangkat, bertapa di suatu tempat yang mungkin—pada hari ini lokasi itu sudah dijadikan
RS. Harapan Bunda. Tapi, pada saat bersamaan, Adipati Karna juga bertapa di
tempat yang sama.
Raras kang
halenggah neng dampar kencana sumorot prabanya lir Bhatara Endra, gumelar
hangebaki kang samya sumewa tinon kadi samodra pasang kang samya trapsila nganti wijilingkang
pangandika sang bupati...
Bhatara Indra akhirnya mengutus Bhatara Narada
untuk menemui Arjuna. Karena wajah keduanya bak pinang dibelah dua, yang
ditemui Bhatara Narada adalah Adipati Karna.
“Hentikan tapamu, Ngger!”
Karna membuka matanya, meletakkan kedua tangannya
di atas lutut—yang sudah beberapa lamanya tertelangkup di dada.
“Ini,” Bhatara Narada menyerahkan Kunta
Wajayandhanu kepada Karna, “gunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca.”
Karna menerima pusaka itu dengan kedua tangannya.
Tak beberapa lama, karena tugas dari Bhatara Indra selesai, menyerahkan Kunta
Wajayandhanu kepada yang berhak, Bhatara Narada melesat ke atas langit. Di
tengah lesatnya, Bhatara Narada sempat melihat ke arah bawah—dan melihat ada
dua orang yang mirip wajahnya sedang berada pada lokasi yang sama namun berlainan
tempat: Pertama, seorang yang sedang berjalan meninggalkan palungguhan diantara semak-belukar dan sedang menenteng Kunta
Wajayandhanu. Kedua, pemuda yang sedang duduk bersila di dekat telaga.
Merasa ragu, dan telah melakukan kekeliruan,
Bhatara Narada turun (lagi) dan menemui anak muda yang sedang bersila.
“Siapa namamu, Ngger?”
“Sahaya Arjuna.”
Sambil menepok jidatnya, “Masya Allah.”
“Lha, ngapa tha deen?”
“Aku keliru!”
“Keliru piye, mas?”
“Aku telah salah memberikan Kunta Wajayandhanu
kepada yang bukan berhak. Cepat! Kejarlah dia!”
“Lha, niki estri napa jaler—kok ber-hak?”
“Bedebah! Aja gojegan, iki lagi serius! Kejar!!!”
Secepat kilat Arjuna beranjak dari tempat duduknya,
dan mengejar Karna. Terjadi tertempuran, tapi hasilnya imbang. Arjuna tidak
berhasil merebut Kunta Wajayandhanu, melainkan hanya warangkanya saja.
Dan, warangka inilah yang kemudian dijadikan alat
untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Berhasil. Selain itu, warangka Kunta
Wajayandhanu juga awor ke dalam tubuh balita Gatotkaca menjadi imunisasi bagi
dirinya yang kemudian menjelma: kotang antakusuma, caping basunanda, pada
kacarma, terompa padakatyarma, taliwanda, surengpati, gelung supit urang, dan
lain-lain dan lain-lain. Benda-benda itulah yang membuatnya bisa terbang, otot
kawat balung wesi, dan sebagainya—hingga Gatotkaca berusia dewasa.
Tapi itu tampak luar—Gatotkaca ksatria kuat tiada
ciri.
Sejatinya, imunisasi vaksin palsu, yakni masuknya
warangka Kunta ke dalam tubuh Gatotkaca—bukan Kunta Wajayandhanu itu sendiri,
Gatotkaca memiliki kelemahan atau cacat pada dirinya. Itu terbukti pada hari
ke-14 perang Baratayuda, Gatotkaca tumbang oleh Kunta Wajayandhanu milik Karna.
Lalu pertanyaan selanjutnya, siapa yang harus
dipersalahkan dalam peristiwa imunisasi warangka ini, bukan Kunta Wajayandhanu?
Ya, ndak tau.
Coro dikon mikir duwur-duwur isa pecah ndase. Tapi, begini: Jika melihat
kencenderungan produk-produk yang beredar pada masyarakat, misalnya, muculnya
istilah: KW 1, KW 2, KW 3, dan KW Super—dan itu sudah menjadi kelumrahan
publik; maka kasus vaksin palsu ini harusnya tidak perlu dipersoalkan. Ingat
istilah: ana rega ana rupa.
Atau
Kita bisa telusuri dari rangkaian mata rantai
transaksi ini: bisa saja pihak manajemen kayangan, yang dalam hal ini diwakili
oleh Bhatara Narada adalah pihak yang bertanggungjawab karena telah salah
memberi wewenang kepada CV. Adipati Karna. Kedua, Arjuna yang wajahnya mirip dokter itu. Dia seharusnya sudah tahu kalau yang masuk ke dalam tubuh Gatotkaca
bukanlah Kunta Wajayandhanu melainkan
warangkanya. Terakhir, bisa jadi yang salah adalah Bhatara Indra selaku pihak yang
setara Menteri Kesehatan, “kenapa dia tidak turun sendiri—memberikan Kunta
Wajayandhanu kepada Arjuna?”.
Ada juga yang berpendapat, bahwa munculnya kasus
ini ke permukaan membuka mata semua pihak bahwa memang banyak lubang-lubang
dalam pemerintahan. Persoalan ini membuat kita lebih teleiti dan dapat
dijadikan sebagai alat untuk memaksa pemerintah agar memberikan yang terbaik terutama
dalam hal kesehatan rakyat.
Sik, sorry. Untuk yang terakhir saya tidak sepakat.
Persoalan ini, sekalipun ada faktor-faktor obyektif dalam kasus vaksin palsu
yang menggerakkan dialektika, proses ini tidak bisa menghilangkan tanggungjawab
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada semacam ketegangan yang selalu
timbul antara kekuatan objektif sejarah dan tanggungjawab moral pelakunya.
Balita yang menjadi korban, dan sekaligus orang tua, tak pelak lagi, besar manfaatnya
untuk bahan koreksi dan perbaikan dalam dunia kesehatan kita. Sekalipun
demikian, pelaku kejahatan vaksin palsu tidak dapat mengkalim dirinya atau
diklaim sebagai pencipta anititesis yang berguna bagi dunia kesehatan. Pada titik
ini, oknum vaksin palsu harus diperlakukan sebagai makhluk moral dan subyek hukum
yang wajib memberikan pertanggungjawaban tentang salah-benar perbuatannya,
suatu hal yang tidak bisa dilakukan secara dialektis, tetapi hanya dapat
diuraikan dan diperiksa secara logis.
Dhog.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar