Senin, 18 Juli 2016

“VAKSIN PALSU” KUNTA WIJAYANDHANU

Leng-leng ramya ningkang sasangka kumenar mangrenga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ingkang umah mas lwir murub ring langit...

Hmm...

Syahdan di suatu masa yang tidak menentu: kadang-kadang tenang dan kadang-kadang ribut, lahirlah Jabang Tetuka, buah cinta dari seorang panenggak (Pembareb – Panenggak – Premadi – Wuragil), yakni anak nomor dua dari Pandhu Dewanata yang bernama Bima dengan seorang putri dari Parabu Tremboko yang nomor dua juga—bernama Dewi Arimbi. Jabang Tetuka lahir sebagai raksasa, tubuhnya besar—itu adalah bukti bahwa pemerintahan hari ini memang sangat mensejahterakan rakyatnya. Bersamaan dengan itu, United Nations Children’s Emergency Fund (Unicef) menempatkan Pringgandani pada posisi keenam sebagai negara yang memiliki jumlah terbanyak bayi yang tidak divaksinasi atau belum mendapatkan imunisasi lengkap. Ditambah lagi prediksi dari World Health Organization (WHO) bahwa 1,5 juta nyawa meregang setiap tahun akibat kurangnya vaksinasi. Maka, berdasarkan dari dua keterangan itu, Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Pringgandani (IDP) melakukan upaya pemerataan imunisasi.

Ceprot. Bayi lahir, dan masih mengemban tali pusar yang ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning gurinda. Tidak mempan diputus dengan senjata apapun. Ya, apapun.

Mendapati persoalan ini, Pandawa-Lima plus Kresna melakunan rembug tuwa. Dan didapatlah kesimpulan bahwa Arjuna yang diutus untuk meminta solusi kepada dewa atas persoalan tali pusar ini. Pilihan itu tidak serta-merta: selain klimis, rapi, bersih, berkulit putih, pokoknya good looking; Arjuna memiliki prejengan layakya seorang dokter. Tak lama dari peristiwa rembugan itu, Premadi berangkat, bertapa di suatu tempat yang mungkin—pada hari ini lokasi itu sudah dijadikan RS. Harapan Bunda. Tapi, pada saat bersamaan, Adipati Karna juga bertapa di tempat yang sama.

Raras kang halenggah neng dampar kencana sumorot prabanya lir Bhatara Endra, gumelar hangebaki kang samya sumewa tinon kadi samodra pasang  kang samya trapsila nganti wijilingkang pangandika sang bupati...

Bhatara Indra akhirnya mengutus Bhatara Narada untuk menemui Arjuna. Karena wajah keduanya bak pinang dibelah dua, yang ditemui Bhatara Narada adalah Adipati Karna.

“Hentikan tapamu, Ngger!”

Karna membuka matanya, meletakkan kedua tangannya di atas lutut—yang sudah beberapa lamanya tertelangkup di dada.

“Ini,” Bhatara Narada menyerahkan Kunta Wajayandhanu kepada Karna, “gunakan untuk memotong tali pusar Gatotkaca.”

Karna menerima pusaka itu dengan kedua tangannya. Tak beberapa lama, karena tugas dari Bhatara Indra selesai, menyerahkan Kunta Wajayandhanu kepada yang berhak, Bhatara Narada melesat ke atas langit. Di tengah lesatnya, Bhatara Narada sempat melihat ke arah bawah—dan melihat ada dua orang yang mirip wajahnya sedang berada pada lokasi yang sama namun berlainan tempat: Pertama, seorang yang sedang berjalan meninggalkan palungguhan diantara semak-belukar dan sedang menenteng Kunta Wajayandhanu. Kedua, pemuda yang sedang duduk bersila di dekat telaga.

Merasa ragu, dan telah melakukan kekeliruan, Bhatara Narada turun (lagi) dan menemui anak muda yang sedang bersila.

“Siapa namamu, Ngger?”

“Sahaya Arjuna.”

Sambil menepok jidatnya, “Masya Allah.”

Lha, ngapa tha deen?

“Aku keliru!”

“Keliru piye, mas?”

“Aku telah salah memberikan Kunta Wajayandhanu kepada yang bukan berhak. Cepat! Kejarlah dia!”

Lha, niki estri napa jaler—kok ber-hak?”

“Bedebah! Aja gojegan, iki lagi serius! Kejar!!!”

Secepat kilat Arjuna beranjak dari tempat duduknya, dan mengejar Karna. Terjadi tertempuran, tapi hasilnya imbang. Arjuna tidak berhasil merebut Kunta Wajayandhanu, melainkan hanya warangkanya saja.

Dan, warangka inilah yang kemudian dijadikan alat untuk memotong tali pusar Gatotkaca. Berhasil. Selain itu, warangka Kunta Wajayandhanu juga awor ke dalam tubuh balita Gatotkaca menjadi imunisasi bagi dirinya yang kemudian menjelma: kotang antakusuma, caping basunanda, pada kacarma, terompa padakatyarma, taliwanda, surengpati, gelung supit urang, dan lain-lain dan lain-lain. Benda-benda itulah yang membuatnya bisa terbang, otot kawat balung wesi, dan sebagainya—hingga Gatotkaca berusia dewasa.

Tapi itu tampak luar—Gatotkaca ksatria kuat tiada ciri.

Sejatinya, imunisasi vaksin palsu, yakni masuknya warangka Kunta ke dalam tubuh Gatotkaca—bukan Kunta Wajayandhanu itu sendiri, Gatotkaca memiliki kelemahan atau cacat pada dirinya. Itu terbukti pada hari ke-14 perang Baratayuda, Gatotkaca tumbang oleh Kunta Wajayandhanu milik Karna.

Lalu pertanyaan selanjutnya, siapa yang harus dipersalahkan dalam peristiwa imunisasi warangka ini, bukan Kunta Wajayandhanu?

Ya, ndak tau. Coro dikon mikir duwur-duwur isa pecah ndase. Tapi, begini: Jika melihat kencenderungan produk-produk yang beredar pada masyarakat, misalnya, muculnya istilah: KW 1, KW 2, KW 3, dan KW Super—dan itu sudah menjadi kelumrahan publik; maka kasus vaksin palsu ini harusnya tidak perlu dipersoalkan. Ingat istilah: ana rega ana rupa.

Atau

Kita bisa telusuri dari rangkaian mata rantai transaksi ini: bisa saja pihak manajemen kayangan, yang dalam hal ini diwakili oleh Bhatara Narada adalah pihak yang bertanggungjawab karena telah salah memberi wewenang kepada CV. Adipati Karna. Kedua, Arjuna yang wajahnya mirip dokter itu. Dia seharusnya sudah tahu kalau yang masuk ke dalam tubuh Gatotkaca  bukanlah Kunta Wajayandhanu melainkan warangkanya. Terakhir, bisa jadi yang salah adalah Bhatara Indra selaku pihak yang setara Menteri Kesehatan, “kenapa dia tidak turun sendiri—memberikan Kunta Wajayandhanu kepada Arjuna?”.

Ada juga yang berpendapat, bahwa munculnya kasus ini ke permukaan membuka mata semua pihak bahwa memang banyak lubang-lubang dalam pemerintahan. Persoalan ini membuat kita lebih teleiti dan dapat dijadikan sebagai alat untuk memaksa pemerintah agar memberikan yang terbaik terutama dalam hal kesehatan rakyat.

Sik, sorry. Untuk yang terakhir saya tidak sepakat. Persoalan ini, sekalipun ada faktor-faktor obyektif dalam kasus vaksin palsu yang menggerakkan dialektika, proses ini tidak bisa menghilangkan tanggungjawab orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada semacam ketegangan yang selalu timbul antara kekuatan objektif sejarah dan tanggungjawab moral pelakunya. Balita yang menjadi korban, dan sekaligus orang tua, tak pelak lagi, besar manfaatnya untuk bahan koreksi dan perbaikan dalam dunia kesehatan kita. Sekalipun demikian, pelaku kejahatan vaksin palsu tidak dapat mengkalim dirinya atau diklaim sebagai pencipta anititesis yang berguna bagi dunia kesehatan. Pada titik ini, oknum vaksin palsu harus diperlakukan sebagai makhluk moral dan subyek hukum yang wajib memberikan pertanggungjawaban tentang salah-benar perbuatannya, suatu hal yang tidak bisa dilakukan secara dialektis, tetapi hanya dapat diuraikan dan diperiksa secara logis.


Dhog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar