Senin, 11 Juli 2016

#POEM (1)

O, cahayu, puan bermata perunggu. Apakah benar itu engkau, yang rambutnya sekar rinonce, yang mesti semerbak--mobat-mabit tak tentu kiblat. Bahwa cinta, bahwa denyut, dan detak dari nadimu berulang kali--yang semayam di antara kecambah dan kolong kenanga ini sudah kadung menjimat di batin dalam pasang sepiku.

Engkaupun syahdu, itu tampak dari kaca di matamu yang gegap walau tetap sahaja.

Bleger-mu tak maujud beberapa hari ini. Maka selama itu, ada yang kembang kempis di jantungku, rindu bertikai tak pernah jerih.

Kemarin, cahayu, sangat rindang rinduku padamu, di senja kenangan jingga langitmu yang lebih gegas ketimbang gema.

Sebelum langit menggulung tikar, namamu menggelayut di ranting hujan. Air berhenti, tapi genangnya terbengkalai di mana-mana adalah terjemahan dari tangismu dulu yang embun di daun kelor.

Hujan. Apakah betul itu adalah saat agar bisa kutuang air mata, yang lebih asin dari lautan yang menggigilkan rindu menggagalkan lupa--lingga ke yoni, langit berbunga di pucuk mahoni.

Apapun itu, yang meleleh di sudut mripatmu akan menjadi sajak seluas senja. Di ujung karna tembang terakhir, aku semakin tak kuasa dibekuk rindu, pada perpisahan kita yang lebih lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar