Minggu, 03 Juli 2016

ONGKOS PULANG



Setelah melakukan kegiatan rutin di kantor, hari itu, kebetulan aku ingin menilik beberapa rumah yang kusewakan kepada para pekerja. Hanya pemeriksaan rutin. Jaraknya tidak jauh, letaknya pas di belakang rumahku; lebih-kurang lima belas menitan jika ditempuh dengan berjalan kaki. Selesai memeriksa keadaan, aku balik ke rumah.

Sampai.

Laju roda berhenti tepat di depan halaman. Kunci mobil kuputar ke arah kiri, dan mesin berjenis diesel pun berhenti. Masih di dalam mobil, kulihat di sebalik kaca, seorang lelaki, muda, sedang duduk di kursi teras yang berjumlah empat biji yang sama bentuknya. Sekilas, sepertinya aku mengenal anak muda itu. Dipagari berbagai daun dari jenis bunga-bunga, ia tampak hening-bersandar sembari tertunduk di sana. Aku keluar, dengan membawa dua tas yang kuletakkan di jok belakang: satu tas berisi lapatop dan printer portable, tas yang lain berisi data-data. Aku berjalan menuju ke arahnya, laki-laki itu berdiri menyambut kedatanganku, mengulurkan tangan.

“Assalamualaikum...” sapanya.

“Waalaikumsalam... E, Koy, lawan siapa pian? Seorangan, ja?

“Sorang, Pak Haji.”

“Napa habar, Koy?”

“Waras, Pak Haji.”

“Ayo, silakan duduk.” Akoy tampak sungkan duduk di hadapanku. “Sudah lawas mahadang?”

“Hanyar ja, Pak Haji.”

Setelah terhidang dua gelas teh hangat untuk kami berdua, tentu saja aku ingin beramah tamah terlebih dahulu dengan Akoy, begitu orang menyebut namanya. Sebenarnya, secara personal, aku tak begitu mengenalnya. Tapi aku tahu jika Akoy bekerja di tempatku selama ini. Jika tidak salah, awalnya dia dipekerjakan sebagai checker: yaitu orang yang menghitung jumlah dump-truck yang berisi angkutan—yang keluar-masuk dari tambang dan kemudian melewati jembatan timbang untuk menuju ke pelabuhan. Itu pekerjaan awalnya. Setelah itu, kerna hasil beberapa laporan dia adalah anak yang sangat rajin, dan dapat dipercaya, akhirnya aku meminta dia untuk belajar menjadi master loading (orang yang mengatur letak muatan ketika dimasukkan ke dalam kapal tongkang?)—dan  seterusnya-dan seterusnya.

Setelah beberapa lama kami berbincang, Akoy pamit undurdiri. Kulihat angka pada arloji, rupanya memang sudah larut malam. Aku persilakan ia, dan mengantarnya hingga ke ambang teras. Akoy berjalan sangat pelan, tak menoleh lagi. Kasihan anaki itu. Obrolan-obrolan yang berlangsung tadi, saking tersentuhnya, terbersit banyak sekali kata dan kalimat di kepalaku. Kisahnya, tak sanggup kupendam sendiri.

Begini:


Kekasih,

Seperti katamu, maka surat ini aku tulis dengan tanganku sendiri agar—ketika kau membacanya, akan terasa olehmu—betapa penuh lekuk-liku rinduku kepadamu. Maka, kuawali surat ini ketika genap dua tahun kita tak saling bertemu, saat waktu menunjukkan pada jam pukul 01.00 Wita. Batulicin menuju Banjarmasin. Berdesak-desak di dalam angkutan mobil, rupanya di luar hujan. Selintas tadi aku dengar klakson-klakson dari arah berlawanan lalu sunyi.

Hmmm... lalu sunyi.

Sekian lama hidup di tengah hutan, di atas tanah berhamparan emas hitam, bagaimana kabar Indonesia? Apa kabar orang-orang semacam aku ini, kekasih? Di depan sana berisik, di sebelah pacaran, sedangkan aku memilih ketiduran merindukanmu.

Langit malam sehabis tangis, hitam seperti masa depan; pantas saja sedaritadi yang tampak hanya jalanan basah mengilaukan lampu-lampu merkuri, rerimbunan alas di kanan kiri, suara ban mobil pada genangan air. Membayangkan ketika aku datang ke tempat ini untuk pertamakali: A, waktu itu Dayat, temanku, menawariku sebuah pekerjaan. Ia mengajakku bekerja—yang katanya dapat merubah nasib, di luar pulau, mencari penghidupan yang lebih baik di tanah Banua. Sebagai keseriusannya, Ia mengirimiku sejumlah uang meski hanya cukup untuk perjalanan dari Pelabuhan Tanjung Emas ke Pelabuhan Trisakti. Tidak lebih. Meskipun demikian, pikirku lumayan. Sudah baik hati Dayat membantu sebagian bebanku menuju tanah perjanjian. Walapun aku harus melanjutkan perjalanan melalui jalur darat sejauh 263 km, lebih kurang 5 jam’an. Lalu dilanjutkan dengan dua kali naik sepid (baca: speed boat)—tak mengapa, semoga ini adalah awal yang baik untuk perubahan besar dalam hidupku.

O, ya, kekasih. Aku masih ingat genangan pada matamu, ketika cerobong asap bertiup, kau melepas jam tanganmu, pemberian bapakmu. Katamu: “Gunakan, jika kau ingin pulang.”

Aku hanya tersenyum, tak menjawab, sebab tak terbersit sedikitpun untuk pulang tanpa membawa apa-apa.

Dug.

Sepid berhenti di suatu tempat yang sangat sunyi. Terkaan demi terkaan mulai hadir di kepala. Dayat menyambutku dengan lambaian, tapi tanpa selembar senyum pun pada bibirnya. Harapanku berbalik seratus delapan puluh derajad dengan kenyataan di depan mata. Seperti perkedel, hatiku ambyar kemana-mana. Sambil memanggul tas, dan menenteng kardus yang berisi oleh-oleh dari kampungku, kakiku menjejak tanah meninggalkan lantai sepid dengan suasana hati kecewa—yang segera sadar bahwa sesungguhnya Dayat sedang mencari kawan untuk masa gelap di tempat seasing ini. Dayat dibuang oleh karma atas perbuatannya, dan ia mengajakku.

Ketika pertamakali berniat untuk merantau, yang kupegang adalah janji-janji Dayat tentang sebuah pekerjaan dengan berbagai fasilitas dan hunian untuk pegawai. Gaji yang besar, prestise yang akan kusandang, dan berbagai cuilan-cuilan surga yang selalu ia ceritakan kepadaku. Tapi, kenyataan berbicara lain. Begitu turun dari sepid, di depan mataku hanyalah belantara gung liwang-liwung, dan berjajar pohon-pohon liar yang saling membelit dengan perdu dan semak perawan.

Dayat mengulurkan tangan, “bagaimana perjalananmu?”

Aku menyambut uluran tangannya dengan senyum yang sedikit kupaksa.

Dengan segenap rasa pegal di seluruh badanku, Dayat mengajakku berjalan menuju rumahnya, sebuah rumah sewa, jaraknya cukup jauh dari pelabuhan kecil ini. Akhirnya kami berdua sampai. Rumah yang dimaksud Dayat adalah rumah panggung yang berbahan kayu, memiliki hanya satu kamar saja, tanpa tv dan barang elektronik lainnya, juga satu ruang  dengan atap terbuka—yang biasa digunakan untuk mandi dan cuci-cuci. Malam itu, di bawah temaram lampu dan serbuan nyamuk-nyamuk, aku tidur beralas kecewa.

Dan beberapa bulan pun telah berlalu.

Hari itu terasa dingin sekali. Di luar hujan. Sesekali, di tengah tidurku, aku mendengar suara benturan yang sangat keras. Antara kayu dengan kayu, seperti dibanting. Cepat-cepat aku lari ke arah muka, ternyata pintu sudah terbuka sebab terdorong oleh angin. Seperti yang sudah kubilang, di luar sedang hujan. Saat itu aku sadar, di dalam rumah, sejatinya aku sedang sendirian. Dayat pergi, entah ke mana.

Nasib ini, mana mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Itulah alasan kenapa Tuhan menyematkan gengsi pada diri laki-laki, mungkin agar aku dapat melupakan tangisku sendiri—agar terus dapat memelihara harapan yang sudah kadung terbit di rerimbunan angan-anganmu.

Sedari awal kita bertemu, kita sepakat untuk membangun berlapis-lapis kesadaran bahwa harapan haruslah besar, tapi hasil tak bisa kita paksakan. Pada titik itulah kita harus berpasrah, sangat berbeda dengan menyerah.
***

Mobil terus melaju, ugal-ugalan. Membangunkanku dari tidur atas gambar-gambar wajahmu. Jam tangan menunjukkan pukul 05.00 Wita. Sama seperti saat itu, pada suatu hari, perutku ngamuk tak keruan. Wajar saja, seharian ini hanya kuisi dengan beberapa teguk air. Stok ‘Supermi isi dua’ milikku hanya tinggal satu, rencananya akan kumakan ketika sarapan pagi sebelum pergi ke pelabuhan untuk mencari pekerjaan (baru). Dalam keadaan seperti ini, maafkan aku yang telah mendua: selain merindukanmu, ingatanku diam-diam juga mengenang rasa nasi yang kumakan beberapa hari yang lalu. Kebetulan tetanggaku sedang ada hajat, memperingati seratus hari kepergian putranya kerna sakit demam berdarah. Di antara gigil dan haru sahibul hajat, aku menyembunyikan rasa girang.

Lheg.

Kurasai dingin sekali di dalam lambung, nikmat. Air liur dalam mulut—aku tekan sedalam-dalamnyanya perutku—untuk mengingat nasi-slametan beberapa hari yang lalu. Hmmm... sepertinya rasa dingin itu masih tersisa hingga tubuhku gemetar. Sebagai penyandang penyakit maag, getar itu adalah tanda bahwa aku sudah sangat kelaparan. Kulirik arloji pemberianmu, masih pukul 05.00 Wita. Tanpa pikir panjang, ‘Supermi isi dua’ semata-wayang itu—riwayatnya harus kusudahi pada subuh ini, di atas kompor sumbu milikku. Tak tahan jika aku harus menunggu saat jam sarapan.

‘Supermi isi dua’ raib begitu saja.

Tapi, sebelum merebusnya, kupandangi arlojimu dalam-dalam. Sungguh ini bukan bualan. Tiba-tiba saja, lewat detakkannya, aku menemukan harapan.

Piring aku cuci, lalu kujepitkan ia di sela-sela dinding kayu, dalam keadaan berdiri. Rampung, aku siap-siap berangkat.

Di atas atap-atap jerami yang basah, langit dikelir biru. Samar-samar jalan-jalan desa sudah mulai tampak. Semoga saja ‘Supermi isi dua’ ini bisa bertahan seharian. Setelah membersihkan diri, aku bergegas menuju ke pelabuhan.

Pintu kututup, lalu berjalan penuh dengan rasa kenyang.

Atas nikmat pagi ini, pulihnya tenagaku dari rasa lapar, aku ingin berterimakasih kepada pemerintah yang telah mengimpor biji gandum melalui BULOG, kemudian diolah oleh PT. Bogasari sebanyak 70%, lalu PT. Bogasari diakuisisi oleh PT. Indofood. Kepada BULOG dan PT. Indofood aku sangat-sangat berterimakasih, tapi yang utama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebab mereka hanya perantara.

Sebelum merantau ke pulau ini, sering aku dengar beberapa orang yang berkampanye: mengajak masyarakat untuk tidak mengkonsumsi mie instan. Alasannya macam-macam. Dari alasan kesehatan, sampai kepada isu-isu politik-ekonomi tentang penjajahan pihak luar negeri di balik impor gandum dan produk mie instan.

Masalah kesehatan, konon, mengkonsumsi mie instan dapat mengakibatkan mutasi-gen atau transgenesis. Ini diakibatkan dari bumbu-rasa pada mie instan tersebut. Misalnya rasa ayam bawang, maka tubuh mempersiapkan dirinya untuk mengolah ayam bawang. Tapi kerna yang diolah adalah mie, bukan ayam bawang, maka sel mengadaptasi dirinya—bahwa ayam bawang adalah berbentuk lonjong-panjang. Di dalam DNA manusia terdapat gen yang memiliki kode-kode genetik tertentu, bentuknya kira-kira seperti anak tangga. Setiap anak tangga memiliki kode yang berpasang-pasangan: garis anak tangga atas, misalnya dengan kode A, maka garis anak tangga bawah, harus berkode B. Maka, jika ketika makanan yang kita makan memberi informasi yang salah, kode A malah bertemu dengan kode C, akan berakibat pada penurunan kwalitas gen. Jika diaplikasikan pada proses pembuahan, reproduksi, maka mengkonsumsi mie instan dapat berakibat gagalnya gen ketika  membentuk jaringan, yang puncaknya akan gagal membentuk organ. Sangat berbahaya untuk regenerasi dan keturunan. Belum masalah-masalah lain yang ditimbulkan.

Persoalan di level politik-ekonomi, Indonesia bukan negara penghasil gandum. Harus impor. Maka, ketergantungan terhadap gandum, dapat berakibat fatal jika suatu saat terjadi embargo— dari pihak luar—yang menghentikan suplai produknya di tengah permintaan yang sangat banyak. Akan terjadi inflasi.

Halah... halah... halaaahh... preketek!!!

Yang memprakarsai kampanye itu adalah orang kaya, pantas jika mereka tidak doyan makan mie instan. Aku? Yang miskin ini, mana bisa menghindar? Padahal amanahnya jelas pada Pasal 34 Ayat 1 UUD 45: fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Aku orang miskin, dan ditelantarkan teman di tempat asing ini. Harusnya negara hadir untuk memeliharaku. Tidak usah muluk-muluk, memelihara di sini maksudku cukup dengan ongkos pulang ke kampung saja. Atau, jika tidak, berilah aku pekerjaan.

Tapi, negara memang tidak akan hadir kecuali mengenai urusan pungutan pajak dan retribusi. Negara tidak pernah hadir dalam kasus remeh milik orang miskin sepertiku. Padahal, katanya, equality before the law, semua sama di depan hukum. Iya, di depan hukum memang semua sama. Yang beda itu ketika di belakang hukum. Tinggal siapa yang mampu dan mau ‘wani piro’—maka kelarlah urusannya.

Dan, kerna fakir miskin dan anak terlantar tidak pernah dipelihara oleh negara, maka mereka (baca: fakir miskin dan anak terlantar) kini dipelihara oleh Indofood.
***

Ketika sampai di pelabuhan, suasananya masih sepi. Kira-kira masih jam 06.00 Wita. Aku duduk di tepi dermaga. Mungkin lima atau tujuh menitan aku duduk, sebuah mobil berhenti pas di depanku. Pintu belakang terbuka, seorang berperawakan kecil dan tambun keluar dari sana. Rupanya Pak Haji Sabran, pengusaha batubara. Aku berdiri, menyambutnya.

“Sedang apa kamu di sini?”

“Cari pekerjaan, Pak Haji.”

“Bisa baca-tulis?”

“Bisa, Pak Haji.”

“Ajak dia jadi checker,” perintah Pak Haji Sabran kepada sopirnya. Dan sopirnya pun langsung mengangguk, pelan.

Merasa diterima, aku langsung meraih tangan Pak Haji Sabran, menciumnya sembari mengucapkan terimakasih yang tak ada habis-habisnya.
***

Beberapa bulan kemudian, kekasih, Pak Haji Sabran mempercayaiku menjadi Master Loading. Itu, orang yang berperan dalam pengawasan proses bongkar-muat—muatan curah untuk memastikan kegiatan tersebut berjalan efisien. Artinya, seorang master Master Loading harus mengetahui titik dalam stabilitas kapal: pusat gravitasi, pusat daya apung, dan mata center; agar ketika proses muat, tongkang tidak patah kerna letak muatan yang tidak seimbang. Waktu yang digunakan lebih cepat dalam proses bongkar atau muat, dan yang paling penting—muatan aman selama perjalanan laut.

Pada jabatan baru ini, akhirnya aku mengenal mekanisme kegiatan bisnis juraganku dan seluk-beluk yang terjadi di dalamnya.

Pak Haji Sabran adalah pengusaha batubara yang biasa didatangi oleh utusan perusahaan yang membutuhkan batubara untuk mesin pabriknya. Majikanku ini punya lahan tambang. Tapi, jika spesifikasi batubara miliknya tidak sesuai dengan permintaan user, dia bisa mengambil batubara milik perusahaan besar di sini. Tentu saja secara diam-diam. Caranya cukup mudah: proses pengangkutan dilakukan malam hari, tentu saja dengan kompensasi ekonomi untuk orang dalam. Lalu muatan itu di bawa ke pelabuhan dengan sepengetahuan oknum polsek sekitar. Ya setor sejumlah uang. Tidak cukup di situ, bosku juga melibatkan oknum-oknum yang lain: perhutani, babinsa, dan polairut. Semua kecipratan. Yang penting aman. Ini kegiatan gotong-royong, tahu sama tahu.

Rusak memang. Tapi, aku makan dari kegiatan itu. Setengah dari diriku menikmatinya, setengah lagi mengutuknya. Setiap hari.

Dan, beberapa bulan kemudian, entah kerna alasan apa, aparat berdatangan. Menyita semua alat berat yang sedang bekerja. Termasuk perusahaanku. Seluruh kegiatan berhenti untuk waktu beberapa lama.

Uangku habis. Sebagian kukirim ke orang tuaku, sebagian lagi kepadamu untuk ditabung, dan sisanya kugunakan untuk keperluan sehari-hari. Uang yang kugunakan untuk keperluan sehari-hari telah habis. Persediaan ‘Supermi isi dua’ kini tinggal beberapa bungkus saja. Suasana desa kini sepi, tak seperti dulu. Lebih tepatnya mati, tak ada kegiatan. Tidak ada listrik di siang hari. Mesin genset desa, yang diperkunakan untuk mensuplai listrik ke rumah warga, hanya dinyalakan pada jam enam sore hingga jam enam pagi. Tak ada radio, apalagi televisi. Koran pun tak ada. Bagaimana kabar Indonesia, kekasih?

Akhirnya, malam itu aku memberanikan diri datang ke rumah Pak Haji Sabran, majikanku. Jika berjalan kaki, rumah Haji Sabran sekitar lima belas menitan dari kontrakanku. Kontrakanku ya rumah milik Haji Sabran yang disewa-sewakan.

Aku mengetuk pintu, yang membukakan adalah pembantunya. Dia bilang, “Pak Haji belum datang. Tunggu saja di depan.”

Aku duduk di teras rumah, di salah satu kursi. Aku duduk sambil tertunduk, malu, jika kedatanganku kali ini memang ada maksud yang mendesak, minta tolong.

Tak begitu lama, mobil Pak Haji Sabran terdengar memasuki halaman. Beliau berjalan ke arahku sambil menenteng dua tas di bahu kanan dan kirinya. Aku berdiri, kemudian uluk salam.

“Waalaikumsalam... E, Koy, kamu sama siapa? Sendiri saja?

“Sendiri, Pak Haji.”

“Apa kabar, Koy?”

“Baik, Pak Haji.”

“Ayo, silakan duduk. Sudah lama menunggu?”

“Baru saja, Pak Haji.”

“Min,” teriak Pak Haji Sabran. Pembantunya keluar. “Buatkan kami teh hangat.” Pembantu itu mengangguk, lalu segera masuk ke dalam. Tidak beberapa lama, ia keluar dengan dua cangkir gelas di atas nampan.

“Ayo, Koy, diminum!”

Aku menyruput teh hangat itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Koy?”

Aku melepaskan arloji dari lengan kananku, meletakkannya di atas meja. Arloji pemberian kekasihku. “Ini, Pak Haji.”

“E, apa ini Koy?”

“Ini adalah jam pemberian pacar saya, Pak Haji.” Kemudian kuceritakan semua kisahku padanya. Dari Dayat, kedatanganku ke sini, mendapat kerja dari Pak Haji, hingga hari ini.

“Bukannya benda ini sangat penting bagimu?”

“Betul, Pak Haji. Saya datang ke sini untuk meminta bantuan kepada Pak Haji, tapi hidup tidak boleh gratis. Maka, saya serahkan sebagian hati dan harapan saya untuk di tukar ongkos pulang. Saya ingin balik ke kampung saja.”

Pak Haji Sabran mengambil amplop dari tasnya. Tanpa di hitung, beliau langsung menyerahkan kepadaku.

Setelah melanjutkan obrolan, akhirnya aku pamit. Takut kemalaman, ketinggalan sepid. Pak Haji melirik angka pada arloji di atas meja. Lalu berdiri, mengulurkan tangan. “ Ya sudah, selamat jalan. Jangan kecil hati, Koy. Alam ini diciptakan agar kita mengalami. Hanya mengalami. Tidak lebih. Sejatinya kita tak pernah mendapatkan apa-apa, dan kehilangan apa-apa. Itulah ongkos kita pulang. ‘Mengalami’ sejatinya adalah penyaksian, syahadat jika dalam term agama.”

“Terimakasih, Pak Haji.”

Aku cium tangan Pak Haji Sabran, kemudian balik badan, berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang. Maka, kuakhiri suratku kali ini kepadamu. Semoga kita segera bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar