Tangan kanannya menenteng tas-keranjang berwarna
biru, tangan kirinya menggandeng tanganku. Erat. Hingga kesekian langkah
kakinya, dan butir-butir keringat di dinding dahinya, akhirnya kami sampai di
dapur dan selalu disambut dengan bau khas seperti biasanya: asap kemarin yang
tertempel di mana-mana.
Pada keranjang biru itu, ibu mengeluarkan isi
belanjaan. Pertama, ayam, lalu dipotong-potong sesuai dengan jumlah anggota
keluarga. Jumlah potongan sudah sesuai, selanjutnya ayam digoreng setengah
matang. Satu orang, mendapat jatah satu potong ayam. Kemudian tiba saat
memperlakukan bumbu: bawang merah, bawang putih, kemiri, dan kunir—diuleg
hingga halus dan lembut. Setelah itu ditumis hingga matang. Ketika menumis
bumbu-bumbu, ditengah-tengahnya, ibu memasukkan daun jeruk dan serai.
Semerbaklah ia ke seluruh ruang dapur. Selesai. Ibu memasukkan ayam setengah matang
tadi ke dalam bumbu, kemudian disusul dengan menuangkan santan cair di dalamnya.
Ah...
Di meja makan, di antara kumandang takbir dan
ketupat; kami, sekeluarga, menyantapnya bersama-sama. Aku selalu mendapat bonus
tambahan kerna menemani ibu pergi ke pasar: dua potong ceker ayam. Hmmm... opor
ayam buatan ibu memang tak ada duanya.
***
Selasa legi. Terang bulan. Lengkung khatulistiwa berbias
kesumba di tepian langit, di ujung atas sebelah sana. Belum lagi dikepung kembang
api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir yang
selalu terdengar amat menyayat—dibanding tangis-sesenggukan mata batin
siapapun.
Masih jauh dari pagi. Cuaca berubah. Yang tadinya
langit ndadari, kini gelap tanpa sisa
di galur dadaku. Katamu deras? Tidak. Malam itu hanya hujan biasa. Hujan yang
tak mampu menghapus guratan tangisku. Hujan yang hangat, yang campur dengan air
mata. Tirta kaskaya yang lebih kacau
dari yang kita rasa. Apa yang diucapkan oleh denyut ubun-ubunmu pada lebaran-ketiga
di masa perantauan, di kota orang? Badanku hangat, bukan demam, hanya rasa
geram seorang buruh-pabrik menjelang lebaran. Keramaian kota yang berangsur
sunyi seperti ini mesti menghadirkan nuansa yang aneh. Yakni sebuah keakraban
yang telah beranak-pinak di jantung hati kami, buah yang ditelurkan oleh kota
yang selalu tampak sibuk membenahi diri. Ya, hanya dirinya sendiri. Yaitu kota
yang selalu membangun jembatan, tapi tak ada air di bawahnya. Itu kenapa
setiapkali hujan, kota ini mesti digenangi air. Banjir. Seperti Nabi Nuh,
membangun kapal, lalu banjir datang. Jembatan-jembatan itu pun sama. Mereka menamai
‘tol’ pada jembatan-jembatan itu, sungguh nama yang aneh. Maha Besar Allah yang
telah menciptakan lupa, sehingga orang kecil sepertiku tak gentar mengulangi
kegetiran semacam ini setiap menjelang hari raya, hari kemenangan untuk
sebagian orang dan hari keruwetan untuk sebagian lainnya: sibuk beli hp, beli perhiasan, motor kreditan, carteran mobil dan
berbagai kebanggan lain yang dibuat-buat.
Aku tak sanggup berperilaku seperti itu. Jika pun
aku pulang, itu hanya ingin bertemu ibu. Beliau sudah sepuh. Selain itu, juga
aroma beranda yang entah mesti terasa lembab yang selalu kurindukan. Dan tentu
saja opor, racikan sakti tangan ibuku sendiri.
Benar kata orang, hanya makanan yang membuat para perantau
merasa pulang. Sudah tiga kali ini aku tak bisa pulang, tapi untung saja ada
orang baik yang selalu menyelenggarakan open
house setiap hari raya di rumahnya. Kami, buruh pabrik yang mendiami rumah
petak-petak di sini selalu diundang. Hidangannya khas: opor dan ketupat. Tidak
hanya itu, kami selalu diberi uang setiap acara makan-makan usai. Tapi entah
kenapa yang diundang hanya penghuni kos laki-laki saja. Itu yang membuat
anggapan miring tentang Ibu Ningsih. Padahal orangnya baik. Bertubuh besar,
bongsor, berisi, dan berkulit putih. Rambutnya ikal sebahu. Statusnya janda,
cerai mati. Asli Jawa Timur.
Perkenalanku dengan Ibu Ningsih sudah cukup lama,
sekira tiga tahun yang lalu. “Ayo, Had, makan-makan.” Kata Andika, teman satu
pabrik yang tinggal di sebelah kamarku—ketika kami sama-sama tak pulang
lebaran, mengajakku berkunjung ke rumah Ibu Ningsih.
“Ayo lho, mas, jangan sungkan. Nambah yang banyak
makannya.”
“Iya, Bu Ningsih.”
“Kok manggil ibu, sih. Memang saya sudah kelihatan
tua, ya?”
“Tidak, bu. Justru masih kelihatan seger.” Aku
menjawabnya malu-malu.
“Kalau begitu, panggil saja Mbak Ningsih, biar
lebih akrab.”
Setelah kunjungan pertamaku di rumah Mbak Ningsih,
entah kenapa aku merasa ada yang belum selesai. Kukira hanya aku saja yang
merasakannya. Tidak tahu apakah memang kebetulan atau bagaimana, beberapa hari
kemudian, Mbak Ningsih mendatangi kamar kos-ku.
Dari luar, terdengar ketukan pintu. Pelan. Sambil
menyebut-nyebut namaku.
Kerna sedang libur, aku sengaja menggunakan waktu
untuk benar-benar istirahat. Aku tak plesir ke mana-mana. Tidak biasa-biasanya,
mendengar ketukan pintu itu, aku kedhandapan
membetulkan letak sarung lalu segera menarik slot membukakan pintu.
“Mas Hadi, bisa ke rumah?”
“Nggih,
mbak. Ada apa ya, kok saya diminta ke rumah Njenengan?”
“Anu, saya minta tolong buat bersih-bersih rumah.”
Aku mengiyakan permintaannya. Bukan kerna apa-apa. Sebagai
seorang pensiunan, janda pula, aku tahu Mbak Ningsih tinggal sendiri di rumah.
Mungkin untuk menghibur diri, beliau sering menyisakan uangnya untuk membeli
ikan di pasar—memberi makan kucing-kucing. Bukan kucing bagus, tapi kucing kampung.
Jadi, kebiasaan Mbak Ningsih setelah pergi ke pasar, beliau menyiapkan makanan
untuk kucing di depan rumahnya.
Selagi menyiapkan makanan, kucing-kucing berkumpul
di depan rumahnya sambil mengeong. Hampir serentak. Suaranya berisik dan terdengar
aneh. Begitu Mbak Ningsih keluar menemui mereka, kucing-kucing langsung diam.
“Hush... mbok ya sabar.” Katanya.
Kucing itu seperti mengerti apa yang dikatakan Mbak
Ningsih. Jika tak berlebihan, Mbak Ningsih (maaf) seperti mewarisi beberapa
sempalan keagungan Nabi Sulaiman dan Nabi Muhammad. Penyayang kucing, dan sekaligus
seperti bisa memahami perasaan dan bahasa kucing. Begitu janda kinyis itu
keluar dan mengatakan ‘hush’, kucing-kucing kampung itu langsung diam.
***
Tentu saja kedatangan Mbak Ningsih ke kamar kos-ku,
membuatku agak kaget. Beberapa hari ini aku memang memikirkannya, tiba-tiba dia
datang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Setelah beberapa menit, lebih kurang tiga puluh
menitan, setelah membersihkan diri, aku menuju ke rumah Mbak Ningsih. Tidak
jauh. Rumahnya ada di ujung jalan utama kampung ini. Rumahnya besar, dua
tingkat. Pagarnya tinggi, kokoh dan besar—warna tembaga yang kecoklatan.
Rupanya sahibul
bait telah menungguku di luar pagar.
“Maaf Mbak, lama.”
“Tidak apa-apa. Mari, masuk.” Mbak Ningsih membuka
pagar, kemudian segera menggemboknya. Kami berjalan beriringan sambil ngobrol
tentang apa saja.
Kami tidak masuk rumah utama. Tapi menuju taman
bagian belakang, melalui samping—yang tampak didominasi dengan warna hijau.
Sungguh rindang dan asri. Di taman belakang, ada dapur yang didesain terbuka:
beratap, dan tembok yang hanya setinggi setengah badan manusia. Pas di belakang
dapur itu, ada kamar mandi. Kecil.
“Itu,” Mbak Ningsih menunjuk ke arah toilet kecil
itu.
“Baik, Mbak.”
“O, ya. Semua peralatan (untuk bersih-bersih) ada
di dapur.”
“Siap, Mbak.”
Tuan rumah masuk ke dalam, aku mengambil peralatan,
menuju toilet. Ketika kubuka, bau busuk langsung menyusup ke dalam hidungku
yang terdalam. Ada bekas seperti makanan yang dimuntahkan. Taik berwarna
kocklat kehitaman yang tercecer di mana-mana: di dalam kakus, di lantai, dan
tidak sedikit yang ada di dinding. Taik itu tampak sudah kering dengan bentuk
yang macam-macam: melingkar, memanjang, dan cair. Mataku dan indera penciumanku
juga menangkap genangan cairan yang baunya sangat mencekik tenggorokan.
Kepalaku langsung pening, makanan dalam perutku rasanya naik hingga ke bagian
dada, aku sungguh ingin muntah.
Dengan menahan napas, aku langsung menarik selang
dan memutar kran yang terletak pas di depan toilet jorok itu. Aku semprot
semuanya, dengan mata terpejam.
Cukup lama aku menyiramnya, mata kubuka, dan
kotoran-kotoran itu sudah tampak memudar. Setelah itu, aku menyiramkan
pembersih porslen hampir ke seluruh ruangan. Sudah. Aku gosok hingga bersih,
lalu kusiram lagi.
Selesai.
Mbak ningsih keluar, menemuiku tanpa
kuberitahu—pekerjaanku telah selasi. Seperti sudah memperkirakan, berapa lama
aku akan mengerjakannya.
“Ini,” Mbak Ningsih menyodorkan sejumlah uang.
“Lho, apa ini Mbak?”
“Ini partisipasi atas waktumu, yang kau gunakan
untuk membantuku.”
“Membantu kok dibayar, Mbak?! Peristiwa membantunya
tidak boleh dibeli, sebab namanya membantu ya membantu. Titik.”
“Sudahlah, terima saja.” Mbak Ningsih memasukkan
uang tadi di saku celanaku. Aku rasai sesuatu yang aneh. Tangannya seperti
menyentuh sesuatu yang sangat kubanggakan. Ini pengalaman berarti buatku.
“Ayo,” kata sang Tuan Rumah. Sepertinya aku
disuruhnya pulang, tak ada pekerjaan lanjutan.
Setelah kejadian itu, aku sering diminta Mbak
Ningsih datang ke rumahnya untuk bersih-bersih. Minimal tiga hari sekali, dan
paling lama satu minggu sekali. Aku melakukan itu dengan senang hati. Tapi Mbak
Ningsih selalu memberiku imbalan. Beliau tidak memanfaatkanku, tidak
menggunakan kedekatan kami untuk merugikan satu sama lain. Tentang perasaanku
kepadanya, mungkin ini hanya sepihak. Aku merasa Mbak Ningsih agak genit
kepadaku. Tapi, setiap kesempatan berkunjung ke rumahnya, untuk bersih-bersih,
tidak ada kejadian apapun antara aku dan janda yang pasuryan-nya cemlorot
itu.
Hingga menjelang hari raya berikutnya, aku masih
juga tak bisa pulang. Gaji bulanan, dan penghasilan tambahan yang kudapat dari
Mbak Ningsih habis untuk biaya berobat ibuku dan biaya sekolah adik-adikku.
Untung saja Mbak Ningsih selalu menyelenggarakan open house untuk para perantau yang merindukan nuansa hangat sebuah
rumah dalam artian yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Setelah Salat Ied, tanpa
dikomando terlebih dahulu, kami langsung menuju ke rumah Mbak Ningsih. Di rumahnya,
Mbak Ningsih sudah menunggu kami dengan berbagai macam jajanan: pastel abon,
lemper isi daging, dan lain-lain. Menu intinya sudah jelas opor.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ibu, dan
semoga ini bukanlah sebuah pernyataan yang khianat, bumbu opor masakan Mbak
Ningsih benar-benar hmm... Kuahnya gurih dan kental. Ditambah taburan bawang goreng
di atasnya, meskipun tak pernah kutemui bekas ayam di sana: paha, swiwi, dan ceker; opor Mbak Ningsih
hampir merubah pendirianku bahwa opor ibu tidak ada duanya.
Suasana lebaran di rumah Mbak Ningsih benar-benar
pelipur lara untuk para perantau sepertiku. Kehangatannya, obrolan-obrolannya,
dan rasa persaudaraannya begitu terasa. Rumah Mbak Ningsih benar-benar menjadi
rumah kedua di saat lebaran.
***
Waktu terus berjalan seperti biasanya.
Tapi ada yang aneh, suasana penghuni rumah-sewa di
tempatku tidak seperti biasanya. Mereka jadi sering membicarakan Mbak Ningsih.
Kami tidak lagi saling akrab. Dan lebih parahnya lagi, ada yang sengaja pindah
kos tanpa alasan yang jelas. Aku merasai semua mata tertuju padaku, seperti
membicarakanku di belakang.
Tidak hanya itu, selain orang sebaik Mbak Ningsih
mulai digunjingkan orang-orang yang dahulunya sering ia tolong, kucing-kucing
pun kini sudah mulai tidak ada yang meminta makan kepadanya. Biasanya, setiap
pagi, mereka datang, kucing akan bergerombol dan memeong di depan pagar Mbak
Ningsih. Tapi sekarang hanya satu-dua, jumlahnya semakin lama semakin sedikit.
Kasihan Mbak Ningsih.
Dalam situasi seperti ini, rasanya aku ingin
melindunginya. Sempat aku ingin mengatakan: “Isi jeroan ini, kau pilih saja
cara yang bagaimana untuk kunyatakan? Yang busurnya tegak atau yang rebah? Yang
kubidik dengan mata atau yang langsung kurentang ke telenging batinmu?” Tapi
aku selalu ragu untuk mengatakan, takut bertepuk sebelah tangan.
Berada pada situasi memilih antara setia kawan dan
rasa terimakasih, saya ingin menjadi pendamai. kerna khairul umuuri ausatuha, sebaik-baik
perbuatan adalah yang tengah-tengah. Aku ingin mengklarifikasi persoalan
yang padat ini. Aku ingin melakukan rekonsiliasi. Terlebih dulu aku ingin
mengajak bicara Andika, teman sekaligus tetangga kos-ku. Dia yang pertamakali
memperkenalkanku kepada Mbak Ningsih, kuharap dia solusi.
Tapi tidak mudah.
Setiap aku datang, menghampiri Andika yang sedang
duduk di depan teras kamar kos-nya, dia selalu memasukkan jari tangannya ke
dalam mulut agar muntah. Dia seperti itu tidak sekali-dua kali, sering. Kerna
aku merasa tidak pernah ia terima untuk berkunjung, akhirnya aku merasa, Andika
memang tidak mau menerima kedatanganku. Kepada yang lain pun sama. Ini sangat
menghina.
Hingga lebaranku yang ke tiga, keadaan masih sama.
Selepas Salat Ied, aku datang ke rumah Mbak
Ningsih, seperti biasanya. Tapi, lebaran kali ini acara open house sepi. Tidak seperti satu atau dua tahun yang lalu.
“Ayo, Had, dimakan opornya.”
“Iya Mbak, termakasih.”
“Yang lain ke mana ya, Had?”
“Mudik, Mbak.”
“Ya sudah kalau begitu. Sini, aku ambilkan opor
buatmu.”
“Tidak usah repot-repot, Mbak. Biar saya ambil
sendiri opornya.”
“Tidak apa-apa. Kamu mau bagian yang mana?”
“Saya ceker saja, Mbak.”
Mbak Ningsih menatapku sadis dan tersenyum sinis,
“kucing mana punya ceker, Had.” Jawabnya singkat.
Aku kaget, langsung ke luar rumah Mbak Ningsih
tanpa pamit. Sepanjang perjalanan, kepalaku rasanya pusing. Diantara kembang
api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir; aku
berusaha memuntahkan isi perutku dengan memasukkan jari tanganku ke dalam mulut.
Benar, opor ayam buatan ibu memang tak ada duanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar