Selasa, 12 Juli 2016

OPOR




Tangan kanannya menenteng tas-keranjang berwarna biru, tangan kirinya menggandeng tanganku. Erat. Hingga kesekian langkah kakinya, dan butir-butir keringat di dinding dahinya, akhirnya kami sampai di dapur dan selalu disambut dengan bau khas seperti biasanya: asap kemarin yang tertempel di mana-mana.

Pada keranjang biru itu, ibu mengeluarkan isi belanjaan. Pertama, ayam, lalu dipotong-potong sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Jumlah potongan sudah sesuai, selanjutnya ayam digoreng setengah matang. Satu orang, mendapat jatah satu potong ayam. Kemudian tiba saat memperlakukan bumbu: bawang merah, bawang putih, kemiri, dan kunir—diuleg hingga halus dan lembut. Setelah itu ditumis hingga matang. Ketika menumis bumbu-bumbu, ditengah-tengahnya, ibu memasukkan daun jeruk dan serai. Semerbaklah ia ke seluruh ruang dapur. Selesai. Ibu memasukkan ayam setengah matang tadi ke dalam bumbu, kemudian disusul dengan menuangkan santan cair di dalamnya.

Ah...

Di meja makan, di antara kumandang takbir dan ketupat; kami, sekeluarga, menyantapnya bersama-sama. Aku selalu mendapat bonus tambahan kerna menemani ibu pergi ke pasar: dua potong ceker ayam. Hmmm... opor ayam buatan ibu memang tak ada duanya.
***



Selasa legi. Terang bulan. Lengkung khatulistiwa berbias kesumba di tepian langit, di ujung atas sebelah sana. Belum lagi dikepung kembang api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir yang selalu terdengar amat menyayat—dibanding tangis-sesenggukan mata batin siapapun.

Masih jauh dari pagi. Cuaca berubah. Yang tadinya langit ndadari, kini gelap tanpa sisa di galur dadaku. Katamu deras? Tidak. Malam itu hanya hujan biasa. Hujan yang tak mampu menghapus guratan tangisku. Hujan yang hangat, yang campur dengan air mata. Tirta kaskaya yang lebih kacau dari yang kita rasa. Apa yang diucapkan oleh denyut ubun-ubunmu pada lebaran-ketiga di masa perantauan, di kota orang? Badanku hangat, bukan demam, hanya rasa geram seorang buruh-pabrik menjelang lebaran. Keramaian kota yang berangsur sunyi seperti ini mesti menghadirkan nuansa yang aneh. Yakni sebuah keakraban yang telah beranak-pinak di jantung hati kami, buah yang ditelurkan oleh kota yang selalu tampak sibuk membenahi diri. Ya, hanya dirinya sendiri. Yaitu kota yang selalu membangun jembatan, tapi tak ada air di bawahnya. Itu kenapa setiapkali hujan, kota ini mesti digenangi air. Banjir. Seperti Nabi Nuh, membangun kapal, lalu banjir datang. Jembatan-jembatan itu pun sama. Mereka menamai ‘tol’ pada jembatan-jembatan itu, sungguh nama yang aneh. Maha Besar Allah yang telah menciptakan lupa, sehingga orang kecil sepertiku tak gentar mengulangi kegetiran semacam ini setiap menjelang hari raya, hari kemenangan untuk sebagian orang dan hari keruwetan untuk sebagian lainnya: sibuk beli hp, beli  perhiasan, motor kreditan, carteran mobil dan berbagai kebanggan lain yang dibuat-buat.

Aku tak sanggup berperilaku seperti itu. Jika pun aku pulang, itu hanya ingin bertemu ibu. Beliau sudah sepuh. Selain itu, juga aroma beranda yang entah mesti terasa lembab yang selalu kurindukan. Dan tentu saja opor, racikan sakti tangan ibuku sendiri.

Benar kata orang, hanya makanan yang membuat para perantau merasa pulang. Sudah tiga kali ini aku tak bisa pulang, tapi untung saja ada orang baik yang selalu menyelenggarakan open house setiap hari raya di rumahnya. Kami, buruh pabrik yang mendiami rumah petak-petak di sini selalu diundang. Hidangannya khas: opor dan ketupat. Tidak hanya itu, kami selalu diberi uang setiap acara makan-makan usai. Tapi entah kenapa yang diundang hanya penghuni kos laki-laki saja. Itu yang membuat anggapan miring tentang Ibu Ningsih. Padahal orangnya baik. Bertubuh besar, bongsor, berisi, dan berkulit putih. Rambutnya ikal sebahu. Statusnya janda, cerai mati. Asli Jawa Timur.

Perkenalanku dengan Ibu Ningsih sudah cukup lama, sekira tiga tahun yang lalu. “Ayo, Had, makan-makan.” Kata Andika, teman satu pabrik yang tinggal di sebelah kamarku—ketika kami sama-sama tak pulang lebaran, mengajakku berkunjung ke rumah Ibu Ningsih.

“Ayo lho, mas, jangan sungkan. Nambah yang banyak makannya.”

“Iya, Bu Ningsih.”

“Kok manggil ibu, sih. Memang saya sudah kelihatan tua, ya?”

“Tidak, bu. Justru masih kelihatan seger.” Aku menjawabnya malu-malu.

“Kalau begitu, panggil saja Mbak Ningsih, biar lebih akrab.”

Setelah kunjungan pertamaku di rumah Mbak Ningsih, entah kenapa aku merasa ada yang belum selesai. Kukira hanya aku saja yang merasakannya. Tidak tahu apakah memang kebetulan atau bagaimana, beberapa hari kemudian, Mbak Ningsih mendatangi kamar kos-ku.

Dari luar, terdengar ketukan pintu. Pelan. Sambil menyebut-nyebut namaku.

Kerna sedang libur, aku sengaja menggunakan waktu untuk benar-benar istirahat. Aku tak plesir ke mana-mana. Tidak biasa-biasanya, mendengar ketukan pintu itu, aku kedhandapan membetulkan letak sarung lalu segera menarik slot membukakan pintu.

“Mas Hadi, bisa ke rumah?”

Nggih, mbak. Ada apa ya, kok saya diminta ke rumah Njenengan?”

“Anu, saya minta tolong buat bersih-bersih rumah.”

Aku mengiyakan permintaannya. Bukan kerna apa-apa. Sebagai seorang pensiunan, janda pula, aku tahu Mbak Ningsih tinggal sendiri di rumah. Mungkin untuk menghibur diri, beliau sering menyisakan uangnya untuk membeli ikan di pasar—memberi makan kucing-kucing. Bukan kucing bagus, tapi kucing kampung. Jadi, kebiasaan Mbak Ningsih setelah pergi ke pasar, beliau menyiapkan makanan untuk kucing di depan rumahnya.

Selagi menyiapkan makanan, kucing-kucing berkumpul di depan rumahnya sambil mengeong. Hampir serentak. Suaranya berisik dan terdengar aneh. Begitu Mbak Ningsih keluar menemui mereka, kucing-kucing langsung diam.

“Hush... mbok ya sabar.” Katanya.

Kucing itu seperti mengerti apa yang dikatakan Mbak Ningsih. Jika tak berlebihan, Mbak Ningsih (maaf) seperti mewarisi beberapa sempalan keagungan Nabi Sulaiman dan Nabi Muhammad. Penyayang kucing, dan sekaligus seperti bisa memahami perasaan dan bahasa kucing. Begitu janda kinyis itu keluar dan mengatakan ‘hush’, kucing-kucing kampung itu langsung diam.
***


Tentu saja kedatangan Mbak Ningsih ke kamar kos-ku, membuatku agak kaget. Beberapa hari ini aku memang memikirkannya, tiba-tiba dia datang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Setelah beberapa menit, lebih kurang tiga puluh menitan, setelah membersihkan diri, aku menuju ke rumah Mbak Ningsih. Tidak jauh. Rumahnya ada di ujung jalan utama kampung ini. Rumahnya besar, dua tingkat. Pagarnya tinggi, kokoh dan besar—warna tembaga yang kecoklatan.

Rupanya sahibul bait telah menungguku di luar pagar.

“Maaf Mbak, lama.”

“Tidak apa-apa. Mari, masuk.” Mbak Ningsih membuka pagar, kemudian segera menggemboknya. Kami berjalan beriringan sambil ngobrol tentang apa saja.

Kami tidak masuk rumah utama. Tapi menuju taman bagian belakang, melalui samping—yang tampak didominasi dengan warna hijau. Sungguh rindang dan asri. Di taman belakang, ada dapur yang didesain terbuka: beratap, dan tembok yang hanya setinggi setengah badan manusia. Pas di belakang dapur itu, ada kamar mandi. Kecil.

“Itu,” Mbak Ningsih menunjuk ke arah toilet kecil itu.

“Baik, Mbak.”

“O, ya. Semua peralatan (untuk bersih-bersih) ada di dapur.”

“Siap, Mbak.”

Tuan rumah masuk ke dalam, aku mengambil peralatan, menuju toilet. Ketika kubuka, bau busuk langsung menyusup ke dalam hidungku yang terdalam. Ada bekas seperti makanan yang dimuntahkan. Taik berwarna kocklat kehitaman yang tercecer di mana-mana: di dalam kakus, di lantai, dan tidak sedikit yang ada di dinding. Taik itu tampak sudah kering dengan bentuk yang macam-macam: melingkar, memanjang, dan cair. Mataku dan indera penciumanku juga menangkap genangan cairan yang baunya sangat mencekik tenggorokan. Kepalaku langsung pening, makanan dalam perutku rasanya naik hingga ke bagian dada, aku sungguh ingin muntah.

Dengan menahan napas, aku langsung menarik selang dan memutar kran yang terletak pas di depan toilet jorok itu. Aku semprot semuanya, dengan mata terpejam.

Cukup lama aku menyiramnya, mata kubuka, dan kotoran-kotoran itu sudah tampak memudar. Setelah itu, aku menyiramkan pembersih porslen hampir ke seluruh ruangan. Sudah. Aku gosok hingga bersih, lalu kusiram lagi.

Selesai.

Mbak ningsih keluar, menemuiku tanpa kuberitahu—pekerjaanku telah selasi. Seperti sudah memperkirakan, berapa lama aku akan mengerjakannya.

“Ini,” Mbak Ningsih menyodorkan sejumlah uang.

“Lho, apa ini Mbak?”

“Ini partisipasi atas waktumu, yang kau gunakan untuk membantuku.”

“Membantu kok dibayar, Mbak?! Peristiwa membantunya tidak boleh dibeli, sebab namanya membantu ya membantu. Titik.”

“Sudahlah, terima saja.” Mbak Ningsih memasukkan uang tadi di saku celanaku. Aku rasai sesuatu yang aneh. Tangannya seperti menyentuh sesuatu yang sangat kubanggakan. Ini pengalaman berarti buatku.

“Ayo,” kata sang Tuan Rumah. Sepertinya aku disuruhnya pulang, tak ada pekerjaan lanjutan.

Setelah kejadian itu, aku sering diminta Mbak Ningsih datang ke rumahnya untuk bersih-bersih. Minimal tiga hari sekali, dan paling lama satu minggu sekali. Aku melakukan itu dengan senang hati. Tapi Mbak Ningsih selalu memberiku imbalan. Beliau tidak memanfaatkanku, tidak menggunakan kedekatan kami untuk merugikan satu sama lain. Tentang perasaanku kepadanya, mungkin ini hanya sepihak. Aku merasa Mbak Ningsih agak genit kepadaku. Tapi, setiap kesempatan berkunjung ke rumahnya, untuk bersih-bersih, tidak ada kejadian apapun antara aku dan janda yang pasuryan-nya cemlorot itu.

Hingga menjelang hari raya berikutnya, aku masih juga tak bisa pulang. Gaji bulanan, dan penghasilan tambahan yang kudapat dari Mbak Ningsih habis untuk biaya berobat ibuku dan biaya sekolah adik-adikku. Untung saja Mbak Ningsih selalu menyelenggarakan open house untuk para perantau yang merindukan nuansa hangat sebuah rumah dalam artian yang sesungguhnya. Bagaimana tidak? Setelah Salat Ied, tanpa dikomando terlebih dahulu, kami langsung menuju ke rumah Mbak Ningsih. Di rumahnya, Mbak Ningsih sudah menunggu kami dengan berbagai macam jajanan: pastel abon, lemper isi daging, dan lain-lain. Menu intinya sudah jelas opor.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ibu, dan semoga ini bukanlah sebuah pernyataan yang khianat, bumbu opor masakan Mbak Ningsih benar-benar hmm... Kuahnya gurih dan kental. Ditambah taburan bawang goreng di atasnya, meskipun tak pernah kutemui bekas ayam di sana: paha, swiwi, dan ceker; opor Mbak Ningsih hampir merubah pendirianku bahwa opor ibu tidak ada duanya.

Suasana lebaran di rumah Mbak Ningsih benar-benar pelipur lara untuk para perantau sepertiku. Kehangatannya, obrolan-obrolannya, dan rasa persaudaraannya begitu terasa. Rumah Mbak Ningsih benar-benar menjadi rumah kedua di saat lebaran.
***


Waktu terus berjalan seperti biasanya.

Tapi ada yang aneh, suasana penghuni rumah-sewa di tempatku tidak seperti biasanya. Mereka jadi sering membicarakan Mbak Ningsih. Kami tidak lagi saling akrab. Dan lebih parahnya lagi, ada yang sengaja pindah kos tanpa alasan yang jelas. Aku merasai semua mata tertuju padaku, seperti membicarakanku di belakang.

Tidak hanya itu, selain orang sebaik Mbak Ningsih mulai digunjingkan orang-orang yang dahulunya sering ia tolong, kucing-kucing pun kini sudah mulai tidak ada yang meminta makan kepadanya. Biasanya, setiap pagi, mereka datang, kucing akan bergerombol dan memeong di depan pagar Mbak Ningsih. Tapi sekarang hanya satu-dua, jumlahnya semakin lama semakin sedikit.

Kasihan Mbak Ningsih.

Dalam situasi seperti ini, rasanya aku ingin melindunginya. Sempat aku ingin mengatakan: “Isi jeroan ini, kau pilih saja cara yang bagaimana untuk kunyatakan? Yang busurnya tegak atau yang rebah? Yang kubidik dengan mata atau yang langsung kurentang ke telenging batinmu?” Tapi aku selalu ragu untuk mengatakan, takut bertepuk sebelah tangan.

Berada pada situasi memilih antara setia kawan dan rasa terimakasih, saya ingin menjadi pendamai. kerna khairul umuuri ausatuha, sebaik-baik perbuatan adalah yang tengah-tengah. Aku ingin mengklarifikasi persoalan yang padat ini. Aku ingin melakukan rekonsiliasi. Terlebih dulu aku ingin mengajak bicara Andika, teman sekaligus tetangga kos-ku. Dia yang pertamakali memperkenalkanku kepada Mbak Ningsih, kuharap dia solusi.

Tapi tidak mudah.

Setiap aku datang, menghampiri Andika yang sedang duduk di depan teras kamar kos-nya, dia selalu memasukkan jari tangannya ke dalam mulut agar muntah. Dia seperti itu tidak sekali-dua kali, sering. Kerna aku merasa tidak pernah ia terima untuk berkunjung, akhirnya aku merasa, Andika memang tidak mau menerima kedatanganku. Kepada yang lain pun sama. Ini sangat menghina.

Hingga lebaranku yang ke tiga, keadaan masih sama.

Selepas Salat Ied, aku datang ke rumah Mbak Ningsih, seperti biasanya. Tapi, lebaran kali ini acara open house sepi. Tidak seperti satu atau dua tahun yang lalu.

“Ayo, Had, dimakan opornya.”

“Iya Mbak, termakasih.”

“Yang lain ke mana ya, Had?”

“Mudik, Mbak.”

“Ya sudah kalau begitu. Sini, aku ambilkan opor buatmu.”

“Tidak usah repot-repot, Mbak. Biar saya ambil sendiri opornya.”

“Tidak apa-apa. Kamu mau bagian yang mana?”

“Saya ceker saja, Mbak.”

Mbak Ningsih menatapku sadis dan tersenyum sinis, “kucing mana punya ceker, Had.” Jawabnya singkat.


Aku kaget, langsung ke luar rumah Mbak Ningsih tanpa pamit. Sepanjang perjalanan, kepalaku rasanya pusing. Diantara kembang api, petasan, bunyi bedug, arak-arakan manusia, dan kumandang takbir; aku berusaha memuntahkan isi perutku dengan memasukkan jari tanganku ke dalam mulut. Benar, opor ayam buatan ibu memang tak ada duanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar