Aku selalu membayangkan jika jeding, bak air kamar mandi adalah
satu-satunya tempat rekreasi yang ada di rumahku. Aku berkhayal jika penampung
air bertèkel (baca: jubin) biru itu, yang terletak di antara sumur dan kakus di
dalam kamar mandi rumahku adalah sebuah kolam renang yang sering kulihat di
televisi milik tetanggaku. Jika hari minggu tiba, ketika libur sekolah, aku
bangun pagi, membersihkan jeding, lalu mengisinya hingga penuh dengan cara
menimba. Entah kekuatan apa yang merasukiku saat itu, bocah SD yang lengan hingga
bahunya hanya selingkaran ibu jari dan telunjuk milik anak-anak—kuat mengisi
bak air sebesar itu sendirian. Aku lebih suka menyebut peristiwa ini dengan the power of children, kekuatan yang
dimiliki anak-anak untuk mewujudkan keinginannya. Sebuah keinginan sederhana.
Satu tèkel pada jeding itu berukuran 20 cm x 20
cm berjajar mendatar sebanyak sepuluh buah, dan bertumpuk ke atas sebanyak lima
buah. Jadi, lebar jeding dua meter dan panjang satu meter. Untuk mencapai satu
tèkel penuh, aku harus menimba sebanyak dua puuluh lima kali. Untuk bisa
membuat penuh satu tèkel, aku bisa menghabiskan sekira tiga puluh menitan.
Setiap tiga puluh menit, aku berhenti, menaburi lantai kamar mandi dengan sabun
colek, aku gosok seluruh lantai, lalu main prosotan. Dirasa cukup, aku
bersihkan buih-buih sabun colek di lantai, lalu menimba lagi hingga penuh.
Lunas pekerjaan mengisi air hingga penuh, aku
mengambil dingklik (kursi kecil
terbuat dari kayu), menaikinya, lalu masuk ke dalam kolam renangku.
Blung.
Setiap awal memasukinya, aku merasa tenggelam
di dalam air. Di dalam, aku seperti sedang berada di alam lain hingga
kesadaranku kembali dan napasku terasa hampir habis. Tanganku meraih-raih bibir
bak air, dapat, lalu kudorong tubuhku hingga muncul di permukaan.
Aku menghirup napas, lalu menenggelamkan
badanku lagi, naik ke atas lagi, dan menenggelamkannya lagi. aku senang. Ada
kegirangan, dan keriangan yang kurasa. Dan yang paling penting, aku bisa
bercerita kepada teman-temanku bagaimana rasanya mandi di kolam renang.
He-he-he.
Hari minggu, tahun 1994, aku mampir ke rumah
tetanggaku untuk menonton televisi. Saat itu kulihat, di televisi, ada seorang
yang memakai peralatan menyelam, lengkap: mengenakan wet suit, google mask atau
kaca google, fins yaitu sepatu yang mirip sirip bebek, BCD (Bouyancy
Compensation Device) yaitu jaket yang dapat di aliri udara, tabung scuba di
punggungnya, dan snorkel yang menancap di dalam mulutnya. Di sebelah kanan
laki-laki penyelam itu ada karang yang berukuran besar, segeromboloan ikan
berenang di belakangnya; tak begitu lama ia menyodorkan tangan kanannya lalu
mengangkat ibu jarinya—bersamaan dengan nada paduan suara: eR-Ce-Te-Ii okeeeeeee.
Tentu saja aku ingin menyelam seperti orang
itu, mungkin anak-anak seusiaku juga. Tapi, untuk yang satu ini, sangat berbeda
dengan kolam renang. Menyelam tidak akan dapat di lakukan di jeding rumah.
***
Telepon genggamku berdering. Sebuah nomer yang
tak kukenal menghubungiku. Dengan nada malas, aku mengangkatnya: “Halo. Siapa
ini?”
“Lho, justru itu saya telpon kamu. Saya ini siapa?”
Aku menarik telpon genggamku dari telinga,
kulihat benda yang sedang kugenggam itu. Lalu kutempelkan lagi hp di telinga.
Terdengar suara terbahak-bahak di sana. “E, cah
bajingan, man robbuka?”
“Ha-ha-ha...”
Dari gaya bicaranya yang semanak, aku tahu dia
adalah temanku. Teman SMA-ku dulu di Surabaya. Temanku yang satu ini secara
natural telah dianugerahi gaya bicara yang nggatheli
dan raut muka yang tak samapta. Tidak bodoh, tapi jauh dari kata pintar. Tapi,
dia adalah seorang yang begja.
Beruntung. Bisa masuk universitas teknik sipil ternama dan lulus tepat waktu.
Dan karena Gusti Owwoh kasihan
kepadanya, kini ia menjadi seorang yang kaya raya.
“Su, mbok ya kamu ikut saya. Bulan depan saya
mau ke Wakatobi.”
“Tebih men, thel?!”
“Terumbu karangnya
masih asli, kehidupan biota lautnya melimpah. Dan yang paling penting, Ndes,
airnya Ndes... Airnya...”
“Wegah! Rasudi aku plesir robedebah kaya kowe.”
“Serius tha?!”
“Sik, prejengan semak-belukar kaya raimu iki
isa renang, ta? Kamu kan lahir kemis kliwon, tidak cocok di air?!”
“Aku sing mbayar, wis. Tak traktir.”
“Wegah!!”
“Kowe nek melu aku ning Wakatobi, tak
unggahke Kaji.”
“Wegah!!!”
“Ayo tha?!”
“Ya wis, Su, Nek kowe meksa terus. Aku tak
kuasa. Ketemu ning ndi?”
“Langsung kepethuk ning kana, ya?”
***
Beberapa minggu kemudian aku berangkat
dari Jakarta, sedangkan temanku, blanthik
sapi yang mengajakku, berangkat dari Surabaya. Kami janjian ketemu di
Bandara Sultan Hasanuddin. Beberapa jam sebelum waktu keberangkatan, aku sudah
siap meninggalkan rumah. Mobil yang sudah sedari tadi mesinnya kupanasi,
kini siap kubawa menuju bandara Soekarno-Hatta. Mungkin satu minggu kendaraan
kuparkir di sana. Semua keperluan sudah kumasukkan ke dalam bagasi, aku tancap
gas meninggalkan rumah. Dalam perjalanan, di dalam mobil, aku mengingat keinginanku
semasa kecil dulu: ingin mencoba—bagaimana rasanya menyelam. Snorkeling.
Setelah kupikir-pikir, walau tidak semua, keinginan dan cita-cita kita pada
akhirnya akan tercapai, tapi tidak dalam waktu yang bersamaan. Kita hanya perlu
bersabar. Dan terus bergerak.
Mak wès.
Aku sudah di bandara Makassar. Minum
kopi di salah satu restoran di dalam bandara. Belum habis batang kedua rokokku,
temanku datang menghampiriku. Maka sesuai jadwal penerbangan, kami melanjutkan
perjalanan udara menuju Bandara Haluoleo (Bandar Udara Wolter Monginsidi)
Kendari. Kemudian lanjut lagi, masih dengan jalur udara, menuju Bandara
Matahora di Wangi-wangi. Setelah itu, kami menuju Wanci untuk mencari
penginapan yang dekat dengan lokasi Pantai Sousu. Dan di sinilah kejadian itu.
Pagi, kami mengawalinya dengan ngobrol ngalor-ngidul serta ditemani kopi dan beberapa batang kretek. Lalu, tanpa mandi terlebih dahulu, kami berdua menuju lokasi snorkeling. Melakukan gerak-gerak pemanasan, lalu menyewa alat. Kami ditemani instruktur selam, gampangannya pelatih. Rampung sesi pengarahan, aku mengenakan peralatan: pertama, wet suit, baju selam. Dia akan tetap menjaga suhu badanku saat di dalam air. Lalu Bouyancy Compensation Device, semacam jaket yang dapat di aliri udara. Kemudian tabung scuba, berisi oksigen, menyediakan udara untukku bernapas dalam air. Snorkel, alat yang kumasukkan ke dalam mulut dan tersambung ke tabung scuba. Fins, kaki katak. Membantu laju dalam air. Kaca google, melindungi mataku dari iritasi air. Kemudian, kami berempat (aku, temanku, instruktur, dan pengendara speedboat) melaju ke tengah laut menggunakan speeboat. “Lho, kamu ga nyewa alat selam?”. Tanyaku pada teman nggatheli itu.
Dia merespon pertanyaanku hanya dengan mengangkat dagu, dan alis yang dinaik-turunkan. Merasa tidak perlu menanggapi kelakuannya, aku langsung lompat ke laut.
Blung.
Tak beberapa lama, dia menyusul.
Melihat keadaan bawah laut, aku teringat ketika masa kecil dulu, ketika menenggelamkan badanku ke dalam jeding. Ada nuansa yang berbeda. Seperti alam lain. Di sini juga: karang, rumput laut, ikan-ikan, dan binatang air lainnya menambah suasana takjub pada rasaku. Sungguh sangat indah sekali pemandangan bawah air. Aku menyelam, masuk lebih dalam lagi. Aku merasakan kesunyian yang teramat sangat. Pada titik ini, aku paham, bahwa batas mati dan hidup sangat tipis sekali. Hidupku kini bergantung pada scuba pada punggungku. Semakin aku masuk ke dalam laut, kesadaranku melayang-layang: semua di dalam sini tampak bergoyang-goyang, juga ada keindahan yang berbeda dibanding daratan, dan seperti ada manipulasi cahaya di dalam laut. Sangat spirituil dan estetik. Aku masuk lebih dalam lagi, sekira 30 meter, cahaya matahari merayap makin tipis. Dasar laut belum tampak oleh mataku. Di dalam kegelapan, seperti ada suara-suara yang kudengar. Jika tidak salah, ia berasal dari dalam diriku yang kemudian tersentuh oleh cahaya tipis matahari yang berada di antara lendir-lendir tubuh ikan-ikan, mereka tampak saling menjalin dan merajut dan melebar ke seluruh samudera membawa suara yang kudengar tadi.
Dalam haru, aku teringat temanku. Aku
berniat, selesai snorkeling kali ini, aku ingin mengucapkan terimakasih atas
pengalaman menajubkan ini.
Aku masuk lebih dalam lagi. Tak
beberapa lama menikmati trumbu karang dan ikan-ikan, sekelebat aku melihat
kawanku menuju ke kedalaman yang kini telah kucapai. Aku nyalakan senter,
kutujukan kepadanya. Dia menoleh ke arahku, dan aku meresponnya dengan
mengacungkan jempol ke arahnya. Seperti eR-Ce-Te-Ii okeeeeeee.
aku menyusulnya.
Tapi ada yang aneh. Aku agak heran, teman yang
kutahu tidak bisa berenang itu, masih tampak asik di bawah laut. Tidak naik ke
permukaan untuk ambil napas. “Kuat sekali napasnya” batinku.
Aku ikuti arah dia menyelam, tampak
dia melakukan gaya yang aneh, semacam keranjingan melihat keindahan bawah laut.
Aku terus ikuti dia, sambil membatin: “Lama sekali dia menyelam, tanpa tabung
scuba? Kuat sekali dia menahan napas?!” Setengah takjub dan setengah rasa khawatir,
aku ikuti dia, aku susul dia, lalu menepuk bagian pundaknya. Aku lepas snorkel
pada mulutku, lalu mengatakan sesuatu kepadanya: “Sejak kapan kamu bisa menyelam? Kuat sekali napasmu, apa rahasianya?”
Diiringi gelembung-gelembung di sekitar mulutnya, dia mengatakan: “Aku kelelep goblok!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar