Senin, 20 Juni 2016

TAK SEINDAH PUASA DI MASA LALU



Dari kiri, namanya Norman, karibku semasa kecil. Dia anak yang pendiam, teratur, lurus, dan on the track. Itu kenapa selepas SMA, ketika anak-anak yang lain masih ingin menuntaskan pencarian jatidirnya, masa depan Norman sudah tertata: melamar pekerjaan sebagai CPNS, dan diterima. Yang paling kanan, Ridwan, juga teman baikku. Dia adalah anak yang usil, pemberontak, setia kawan, tukang bolos sekolah, sering terlibat tawuran, dan memiliki bakat-mengkilat dalam beberapa hal. Kini Ridwan bekerja dan hidup di negeri Belanda bersama istrinya. Di tengah, yang kebanyakan gaya, aku. Bertiga, kami adalah sahabat karib untuk waktu beberapa lama di masa yang sangat jauh.

Sebenarnya Norman dan Ridwan adalah teman sekolah kakak perempuanku, mereka berada satu tingkat di atasku. Kerna sering main ke rumah untuk tugas-tugas sekolah, aku jadi mengenal mereka. Tapi, tradisi patriarkis a la pesisiran tidak pernah memungkinkan untuk bisa akrab-berteman dengan perempuan, pada akhirnya nasiblah yang mengkaribkan kami bertiga.

Rumah Norman berada di Sukodono Gg. I, rumah Ridwan di Sukodono Gg. II, sedangkan aku tinggal di Nyamplungan Gg. IX. Ketiga lokasi itu masih termasuk dalam Kelurahan Ampel, kawasan Masjid Ampel Surabaya.

Sampai pada akhirnya, kami harus berpisah. Rumahku pindah, dan kami tidak pernah bertemu lagi untuk waktu yang sangat lama.

Tapi, entah ada angin apa—tiba-tiba saja kami terhubung kembali. Kebetulan Ridwan pulang ke Indonesia dan mengajak kedua temannya (aku dan Norman) untuk duduk bersama, cangkruk.

Lokasi yang dipilih Ridwan adalah TP (baca: Tunjungsn Plaza), dan kami berdua tahu—kenapa Ridwan memilih tempat itu untuk momen nglumpuke balung pisah.

Ceritanya begini.

Ketika itu kami sudah mengklaim diri kami sebagai ABG, duduk di bangku SMP, jadi sepantasnya main yang-yangan. Sebab alasan itulah selama bulan puasa, kami bertiga sering menghabiskan waktu untuk mejeng di mall. Saat itu belum ada JMP (baca: Jembatan Merah Plaza), lokasi itu masih berfungsi sebagai terminal. Satu-satunya mall yang paling prestise adalah TP. Alih-alih ingin mencari gebetan, cemceman, selepas lohor kami janjian ketemu di suatu tempat kemudian berjalan kaki menuju terminal dan dilanjutkan menaiki bus jurusan TP.

Sampai.

Kami masuk, dan selalu dalam suasana hati yang penuh dengan rasa takjub. Bagaimana tidak, lha wong cecunguk semacam kami ini hanya memiliki ongkos untuk pulang-pergi, tapi ketika sampai dan berhadapan dengan sebuah pintu kaca besar, pintu itu mau membuka dan kemudian menutupkan untuk kami. Awal-awal melewati pintu itu aku selalu deg-degan, kalau-kalau dia tahu—kami tidak pernah bawa uang. Sempat terselip kekhawatiran pintu kaca itu tidak mau terbuka kerna telah membaca niat kami— masuk TP mall hanya mau lihat-lihat saja, tidak akan pernah beli apa-apa. Dua-tiga kali melewatinya dengan rasa was-was dan menutupi kantong celana dengan telapak tangan, agar tidak ketahuan jumlah uang yang kusimpan, akhirnya aku jadi terbiasa dan lancar.

Bleng.

Kami masuk, dan Ridwan yang paling bersemangat. Matanya langsung mecicil, menggerayangi seluruh ruang mall. Ketika menemukan incaran, cewek yang berjalan sendirian, atau maksimal yang bertiga, kami langsung mengikutinya, atau lebih tepatnya mengejar. Ya tentu saja ndak pernah dapat kenalan. Mata kami mengincar seperti pencopet, setiap kali kami ingin mendekatinya, mereka selalu menjauh. Jadi ndak pernah ketemu. Kegagalan demi kegagalan membuat kami mengadakan evaluasi di level penampilan. Pernah kami bergaya mengikat sleyer di dengkul, melipat sisi kiri celana sebatas lutut, membuka dua kancing baju, pakai minyak rambut, pakai topi menutupi rambut, hingga cukur rambut; tapi hasilnya sama. Tapi konyolnya, kami melakukan itu sepanjang bulan puasa. Asu.

Ridwan tertawa ketika aku menceritakan kejadian-kejadian itu, Norman cengar-cengir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menunggu adzan maghrib, aku mengajak dua sahabatku itu untuk berhenti sejenak dengan cerita-cerita di masa lalu, aku menanyakan sesuatu kepada Ridwan. Rada serius:

“Wan, kamu kan sudah sukses, kenapa tidak pindah saja dari Sukodono yang kumuh itu? Mbok kamu cari lokasi-hunian yang layak untuk keluargamu.”

“Suasana Ampel, Put, tidak akan ada di mana pun tempat.” Jawab Ridwan.

“Yak, betul.” Sambut Norman. Dia juga sudah pindah dari kawasan masjid Ampel, satu tahun yang lalu.

Sebenarnya, sebagai orang yang telah merasakan pindah rumah lebih lama daripada Norman dan Ridwan, memang benar ada perasaan seperti itu. Apalagi pas puasa seperti ini, nuansa Ampel lebih meresap hingga ke pori-pori. Terlebih ketika usia kami belum mengenal apa itu yang-yangan. Melalui pengeras suara yang berada di menara masjid Ampel, setiap hari—langit dan udara di sekitar kampung dipenuhi oleh suara Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi. Dengan pelaguan bergaya mujawwad, surah Al-Hujurat dan Ar-Rahman selalu menemani hari-hari kami di kampung itu. Ada juga cengkok yang bergaya Abdul Basith Abdusshomad, biasanya dilantunkan oleh Ustadz Abdul Aziz Muslim untuk membacakan surah Ath-Thoriq dan Al-A’la. Juga surah Al-Hadid yang dibacakan oleh Noor Asyiah Jamil. Tapi Syaikh Mahmud Khalil Al-Khusairi sepertinya lebih dekat dengan setiap warga kampung—kerna suaranya selalu menentukan waktu buka puasa dan imsak kami. Melalui shalawat Tarhim, “ash-shalatu wassalamu ‘alaik. Ya, imamal mujahidin... Ya Rasulullah...” setelah itu kami bisa menghitung dengan cara masing-masing. Setelah terdengar kata ‘Ya Rasulullah...’, kami tinggal menghitung: satu, dua, tiga dalam hati, maka setelah itu—bedug akan terdengar melalui pengeras suara. Jika saat berbuka, ketika bedug berkumandang, kami langsung menyantap makanan tanpa harus menunggu adzan maghrib terlebih dahulu. Ketika saat sahur, suara bedug adalah batas akhir waktu sahur.

Ketika itu kami sangat titen terhadap hal-hal yang berkaitan dengan batas waktu. Seperti di langgar-langgar di sekitar masjid Ampel, sebelum shalawat tarhim berkumandang, ceramah KH. Zainuddin Mz diperdengarkan melalui TOA. Dan saat-saat seperti itu yang membuat kami merasa lega: setelah seharian bertahan dengan panas suhu Surabaya dalam keadaan puasa, suara KH. Zainuddin Mz semacam kabar dari sorga yang mengatakan “bedug maghrib sebentar lagi.”

Puasa di kampung Ampel memang sangat aktif dan produktif. Artinya, puasa bukan alasan untuk bermalas-malasan. Dari pagi hingga pagi lagi selalu saja ada kegiatan.

Biasanya begini.

Bangun tidur ba’da sahur, kami berangkat ke sekolah. Jam satu siang kami pulang. Kira-kira jam tiga sore, kami berangkat ke langgar untuk mengaji. Pulang mengaji, tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu, kami melepas sarung, lalu bermain bersama-sama: engkle, sebuah permainan dengan media gambar pada area tanah yang didominasi bentuk kotak-kotak. Juga ‘gaco’, benda yang berasal dari pecahan genteng—yang dibentuk—dan digunakan untuk alat yang di lempar-lempar pada gambar di area tanah yang telah digarisi kotak-kotak tersebut. Kerna di tempatku sudah tidak ada tanah, jalan kampung adalah satu-satunya lokasi yang tak ditumbuhi rumah, ia kami gunakan sebagai tempat bermain walau sudah berupa beton dan aspal. Untuk membuat garis dan kemudian membentuk bangun kota-kotak, kami menggunakan kapur—yang kami kumpulkan dari sisa penggunaan di sekolah ataupun di langgar tempat kami mengaji. Kalau kapur tidak ada, kami menggunakan kreweng untuk membuat garis-garis tersebut.

Cara bermain engkle cukup mudah: kita tinggal lemparkan gaco ke dalam kotak, lalu melompat-lompat memasuki kotak dengan kaki satu. Meskipun mudah, permainan ini cukup menguras tenaga di bulan puasa. Itu kenapa kami memainkannya di sore hari menjelang maghrib. Jenis permainan engkle sangat beragam; sebut saja engkle gunung, engkle sewu, engkle pesawat, dan lain-lain. Engkle sendiri bukan nama tunggal. Ambillah contoh di daerah Gresik, menyebut permainan ini dengan nama ‘deblekan’. Di Jombang, orang mengenalnya dengan nama ‘sonda’. Di Probolinggo orang menyebutnya ‘bendan’. Mungkin daerah lain punya nama sendiri untuk permainan ini. Kerna jenis permainannya banyak, jika bosan, kami tinggal ganti permainannya. Engkle dipilih sebagai permainan menjelang buka puasa, dibanding permainan yang lain, engkle merupakan satu-satunya permainan yang relatif tidak menggerus tenaga terlalu banyak,  dan tentunya jenis permainan yang masih ada sifat maskulin-nya.

TOA terdengar kemresek, itu tanda bahwa petugas sedang mempersiapkan sesuatu pada pengeras suara. Tak begitu lama, ceramah KH. Zainuddin Mz menggelegar seantero kampung. TOA langgar adalah tanda untuk kami agar berhenti bermain. Tentu saja itu bukan aturan tertulis. Berhenti bermain ketika ceramah adalah kesepakatan yang tak pernah kami diskusikan. Pokoknya, suara TOA berbunyi, maka secara otomatis seluruh kegiatan anak-anak akan berhenti.

Sebelum mengenakan sarung kembali, terlebih dahulu kami membuang gaco-gaco, lalu membersihkan garis-garis engkle dari kapur. Selesai. Kami menuju langgar, duduk di beranda, mendengarkan dengan saksama—ceramah KH. Zainuddin Mz. Tapi namanya juga dikerjakan manual, apalagi orang tua, sering yang diperdengarkan adalah ceramah yang kemarin, atau ceramah dua hari yang lalu. sampai-sampai, kami hapal redaksinya:

“...para muslimin dan muslimat yang dirahmati oleh Allah. Setelah perang badar usai, Nabi pernah berkata kepada para sahabatnya: bahwa masih akan ada perang yang lebih besar lagi, yakni perang melawan diri sendiri.”

Di kemudian hari, dalam ingatan kolektif kejawaanku, cermah dari KH. Zainuddin Mz itu mirip dengan kisah di dalam cerita pewayangan: menurut laku jatrining dumadi, perang itu ada beberapa jenis. Misal, perang antara bapak melawan anak, di dalam dunia pewayangan di namakan Gojali Suta—yakni pertarungan antar Kresna melawan Boma, anaknya sendiri. Perang antar saudara, Bharatayuda. Atau perang antar keyakinan, yakni perang batin Dewi Sinta ketika diculik Rahwana—di Alengka selama 13 tahun. Selama itu Sinta selalu bertanya: apakah Rama masih setia kepadanya? Sinta perang dengan batinnya. Kembali kepada perang melawan diri sendiri, itu sama seperti perangnya Bima melawan plasentanya sendiri yang mewujud sebagai Jayadrata. Sebuah perang tumpas kelor, perang yang membuat Bima kewalahan, dan akhirnya Kresna ikut turun tangan.

Ingatan-ingatan tentang masa lalu ketika puasa di kampung asal yang nuansanya tak terlupakan kerna terlampau indah itu, membuatku ingin mengait-ngaitkan makna puasa menurut jalur etimologi.

Berada di dalam posisi rasional yang tidak-canggih, saya (hanya bisa) percaya bahwa kata ‘pasa’ merupakan hasil serapan dari bahasa sansekerta yang berbunyi ‘paza’ yang berarti: batas, belenggu, ikatan. Dalam pemaknaan kontekstual, ‘paza’ menurut khasanah sanskrit dapat dijabarkan sebagai usaha mengikat jiwa dari suasana yang bukan dirinya. Laku ‘paza’ yang dimaksud di dalam sanskrit adalah bagaimana cara memahami parameter atas dan bawah. Itu dapat teraplikasi pada batas lapar, batas kenyang, marah, sedih, bahagia, batas keinginan, dan batas-batas tentang sesuatu yang belum terdapat di dalam diri kita. Puasa adalah tentang batas.

Ceramah KH. Zainuddin Mz rampung, shalawat tarhim terdengar di penjuru kampung. Masing-masing dari kami pulang untuk melaksanakan buka puasa bersama keluarga di rumah.
***


Salah seorang waiters mendatangi kami, menyerahkan tiga menu makanan untuk kami masing-masing.

“Puasa, tho?” tanyaku.

“Setan di bulan puasa ini, sudah diikat semua. Masak masih tergoda untuk tidak puasa?” kata Ridwan.

Norman tidak menggubris kami, dia tampak serius memandangi daftar menu makanan. Biasanya, dari komunikasi sepele seperti itu, dapat berakhir dengan perdebatan yang sangat sengit. Itu sudah menjadi kebiasaanku dengan Ridwan.

“Saya teh panas ya, mbak.” Kata Norman.

“Sama, mbak, tiga.” Sambung Ridwan.

“Makannya, pak?” tanya waiters.

“Sop buntut, tiga.” Kataku.

Kemudian waiters mengulangi apa-apa saja yang kami pesan, lalu dia pergi ke belakang.

Obrolan kami bertiga berlanjut. Kami buka dengan obrolan tentang menu makanan favorit saat berbuka puasa. Kami bertiga sangat menikmati hari itu, mengenang masa lalu ketika apple dan blacberry masih nama jenis buah-buahan, belum menjadi smartphone.

Norman suka dengan kolak pisang, Ridwan setrup kolang-kaling, sedangkan menu buka puasa favoritku adalah kolak qurma. Makanan itu biasanya yang kami makan ketika bedug maghrib tiba. Tidak langsung dengan makanan berat. Selesai berbuka, kami ramai-ramai pergi ke langgar untuk salat maghrib berjamaah. Selepas salat maghrib kami pulang, makan. Setelah itu balik lagi ke langgar untuk menunggu saat salat tarawih. Rampung, kami tadarrus, bergantian. Suasananya ramai sekali. Tidak jarang terdengar suara candaan kami di ujung pengeras suara langgar. Para orang dewasa maklum, tidak ada yang tersinggung. Suasananya meriah sekali. Justru kami sangat suka dengan nuansa puasanya, bukan lebaran. Lebaran tidak jarang membuat kami sedih. Tidak ada yang ribut dengan pakaian idul fitri, dan gebyar makanan untuk disantap ketika buka puasa. Semuanya biasa saja. Tapi tidak dengan saat puasa, ia sangat istimewa.

Ketika bulan puasa, kehidupan seperti ada di malam hari. Tidak ada rasa takut dan ngeri. Sebab, kami semua tahu bahwa ketika memasuki bulan puasa, segala setan-setanan: jin, demit, siluman, ifrit; semua diikat oleh Tuhan. Jadi, kami merasa aman-aman saja.

Maka, sepelas tadarrus, kami beramai-ramai bermain bola di jalan raya. Satu jalur jalan kami tutup dengan bangku kayu panjang. Setiap kampung bermain dengan kelompoknya masing-masing. bolanya dari plastik, gawangnya dari sandal atau batu yang diletakkan dua meter di sisi kanan dan kiri sang penjaga gawang. Kami main bola hingga jam dua pagi, lalu beristirahat, tidur di langgar hingga saat sahur datang.

Pada suatu hari, seharian Ridwan tak menampakkan batang hidungnya. Ngaji, main engkle, mendengar ceramah KH. Zainuddin Mz di langgar, salat maghrib bersama, salat tarawih, hingga tadarraus. Kami berdua tidak bertemu Ridwan samasekali. Hingga saat main bola di jalan raya, aku dan Norman saja yang ikut serta. Tanpa Ridwan. Jam dua, kami menuju langgar untuk beristirahat. Sesampainya di sana, aku melihat Ridwan sesenggukan, sepertinya sedang berdo’a di tempat pengimaman. Saat itu suasana langgar sepi, dan hening. Aku dan Norman memanggilnya, tapi dia tidak merespon. Aku panggil dengan suara lebih keras, dia tetap diam. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampirinya.

“Wan,” kataku sambil menyentuh pundaknya.

Ketika dia menengok, kami melihat wajah Ridwan rata: tidak ada matanya, tidak ada hidungnya, mulutnya, alisnya, semuanya tidak ada. Semua. Mukanya rata.

Kami berdua kaget, kemudian lari tanpa menengok ke belakang.


Di penghujung acara reoni kami, aku menceritakan kisah itu kepada Ridwan. Ia meresponya hanya dengan mengernyitkan dahi dan sedikit senyum yang terasa kecut.

Wong landa cen asuok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar