O, kagyat
risang kapirangu rinangkul kinempit-empit, duh sang retnaning bawana. Bagaimana
ini? Tentang cinta yang kadung bertunas di pangkal dadaku? Yang selalu
menjadikanku lelaki salah tingkah, yang selalu sendeku di hadapanmu, di tatapan matamu yang lindri-anjait itu. Sedangkan pada kulitmu semayam kelir surga: dikuas warna kapuranta, yang kuningnya langsat dengan
hiasan-tipis lapisan coklat. Semoga Gusti
Pengeran kang Akarya Jagad—jemarinya—senantiasa melintasi alismu yang naggal-sepisan itu, yang tengahnya
cekungan telaga, yang pinggirnya dikepung ilalang. Juwita yang dari tubuhnya
selalu terkuak campuran wangi kenanga dan arum
ndalu. Juga di bawahmu, rasa tanah tertentu di telapak kakimu; senadyan sedang musim kering dan
retak-retak, ia akan tetap basah dan menerbitkan aroma air kelapa yang manis
sekali. Serta nada yang keluar dari bibirmu, mesti terdengar asyik dan purba.
***
Tangis bayi melengking memenuhi ruangan. Hari itu
masih pagi, tepat ketika jamaah salat subuh—bubar, pulang ke rumah mereka
masing-masing.
Di sebalik pintu yang tak begitu tertutup rapat,
Hamid sesekali menguping, ingin tahu—apa yang sedang terjadi di dalam ruangan
itu—dan sesekali juga ia mengganti telinganya dengan mata yang memaksa
mengintip-intip di antara lobang-lobang kecil pada daun jendela.
“Tuan Hamid!” panggil seorang perawat. Sedangkan
Hamid masih asyik mengintip.
“TUAN HAMID!!!” suara perawat yang kebetulan sedang
kebagian shift malam itu, yang
tubuhnya tambun itu, agak sedikit mengeras.
“Eh,” Hamid kaget, “saya, Sus. Bagaimana?
Perempuan?” alihnya.
“Laki-laki.” Masih dengan nada ketus.
Tanpa menggubris rasa-geram yang sedang dialami perempuan yang mengenakan rok-terusan-putih
itu, ia menerobos masuk ke dalam ruangan yang sedari-tadi ia intip.
Hamid ngluyur
begitu saja.
Masih saja ia tersenyum-lebar jika mengingat
kejadian konyol tadi. Sebuah kejadian beberapa puluh tahun yang lalu—ketika
istrinya melahirkan anaknya yang ke tiga, yakni anak laki-laki pertama di dalam
struktur rumahtangga kecilnya.
Ia berjalan menuju beranda, pelan—dengan membawa sebungkus
rokok yang ia genggam, dan berayun-ayun seiring langkah kakinya yang sepuh itu. Sampai. Hamid duduk. Belum genap rasa jenak dengan duduknya, tiba-tiba
saja air simpul, rembes di sudut mripatnya yang burung hantu. Mungkin ada
yang tandas hingga ke jantung sukmanya. Sebab, sedaritadi udara yang ia hisap,
yang terhirup hanyalah bunyi.
Ia membetulkan letak duduknya, mengatur napasnya. “Bagaimana
ini?” Katanya, pelan.
Rokok yang tadi ada di tangan kanannya, kini ia letakkan
di tangan kirinya. Kemudian, tangan kanannya meraih telepon genggam yang
tergeletak di samping cangkir kopi. Sepertinya ia ingin menelpon seseorang.
Dan, mungkin, seseorang itu adalah anaknya sendiri. Seorang anak yang pernah lahir
tiga puluh satu tahun yang lalu, pada sebuah fajar.
Ya. Dalam senyap, orang tua, sekokoh apapun tulang batinnya, ia takkan pernah sanggup ditinggalkan anaknya—sendiri. “Jika rinduku tak keliru, dan tresna ini juga tak berdosa, lalu, apa nama untuk airmata seduka ini?” katanya.
Ya. Dalam senyap, orang tua, sekokoh apapun tulang batinnya, ia takkan pernah sanggup ditinggalkan anaknya—sendiri. “Jika rinduku tak keliru, dan tresna ini juga tak berdosa, lalu, apa nama untuk airmata seduka ini?” katanya.
Seperti ada yang merajang perasaannya, gering rasanya,
dan itu membuat Hamid semakin ragu untuk menelepon anaknya, dengan berbagai macam alasan:
takut mengganggu anaknya yang sedang sibuk, khawatir yang mengangkat telpon
adalah menantunya, takut sedang istirahat, dan lain sebagainya-dan lain sebaginya. Rindu itu sulit, ia memiliki hukumnya sendiri. Dan, menyiksa dengan caranya sendiri. Meskipun demikian, lengan dan segenap jemarinya
tetap ingin meraih telepon genggam miliknya, tapi tak pernah berhasil tersentuh
oleh tangannya.
Istrinya keluar, duduk di beranda, di sebelah
kursinya.
Tapi, tak satu kata pun yang mereka bicarakan.
Keduanya sama-sama memandang kosong jauh ke depan. Hingga waktu dan beberapa
hitungan yang ada di dalamnya sudah tampak berwarna coklat dan tua. Itu
berarti, pagi telah runtuh dan langit menginjak saat di sore hari. Langit
lingsir, angin berembus kencang, Hamid menepis-nepis sarung motif
kotak-kotaknya yang berdebu.
Sambil mengusir debu, lelaki itu sesekali memandangi istrinya yang di
setiap helai rambutnya mulai tampak dirambati uban. Ujung jarinya juga disarangi penyakit asam-urat. Dalam diam, sungguh ia ingin mencari sebab di mata istrinya
yang sembab: penuh dengan mendung dan hampir saja rinai, siap
menjelma menjadi tambak pada kelopak matanya yang mengabur. Dalam hati ia
bertanya, “masihkah engkau mawar kepadaku, kekasih?”
Sayang, ia tak sampai hati menyatakannya. Hamid
menyalakan rokok di tangan kirinya.
Istrinya seperti sedang mengendus-endus bau, dan
sesekali melihat ke arah Hamid.
Dalam kemuncak kisut pada kulitnya, lelaki tua itu
bertanya: apakah ini yang dinamakan karma?
Tetiba saja Hamid diterpa bayang-bayang yang
mengajaknya mundur ke belakang. Ia seperti melihat ibunya yang sedang duduk-sendiri
di sebuah beranda yang sangat ia kenal. Di kursi itu ibunya diam, mungkin
sedang memikirkan dirinya. Tampak tangannya sering gemetar kerna sebab usia.
Kulitnya lebih mudah diserang kedinginan—entah sebab angin ataupun air. Keadaannya persis seperti Hamid sekarang: duduk, dingin, dan sendiri.
“Kasihan sekali ibu.” kata Hamid.
“Ya, seperti nasibmu sekarang.” Kata suara yang
mucul dari kulitnya.
Memang. Karma cepat sekali datangnya. Ia dulu
pernah meninggalkan ibunya untuk membangun rumah tangga barunya atas nama
kemandirian. Sekarang, anaknya yang lahir ketika fajar itu, juga melakukan hal
yang sama.
“Sebenarnya semua ini salahku. Suatu hari, di
tengah perdebatan kami berdua, aku berkata kepadanya: kau boleh mengaku menang,
jika suatu hari nanti anakmu lebih hebat dari anakku.”
“Dari kecil, kau suruh anakmu belajar. Setelah mereka
mempelajari semuanya dengan baik, giliran kamu yang tidak siap menerima
perubahan anakmu atas ilmu-ilmu yang ia pelajari.”
“Aku sangat merindukannya, kini.”
“Rasa rindumu sekarang ini, sama seperti rasa rindu
ibumu yang pernah kau tinggal sendirian di rumah.”
“Aku sangat merasa bersalah.” Sambung Hamid.
“Itulah yang namanya dosa, yaitu rasa bersalah yang
datang dan mengguncang di saat kita merasa sendirian.” Kata kulit arinya, lagi.
“Ya, aku tahu itu. Itu kenapa aku ingin meminta
maaf?”
“Tentang apa?”
“Tentang semua masa laluku: minuman keras, judi,
dan kenakalan-kenakalan lainnya—atau tentang apapun yang pernah terjadi di luar
pengawasannya.”
“Kenapa kau melakukan ini semua?”
“Anakku sedang menanti kelahiran anak pertamanya.”
“Lalu?”
“Jika suatu hari nanti anaknya tumbuh dewasa, dan
kemudian menikah, apakah anakku juga akan mengalami hal yang sama seperti yang
kualami sekarang ini?”
“Kesepian?”
“Ya!”
“Rasa bersalah?”
“Ya!”
***
Masih di ruang paling muka, beranda rumahnya, dering
telepon genggam terdengar ke mana-mana: “Halo,” kata istrinya. “Apa? Sebentar,
sebentar. Ini kebetulan semuanya ada di rumah. Ibu loudspeaker dulu.”
Kemudian perempuan itu meletakkan handphone di meja, pas di tengah-tengah
kerumunan anak-anaknya.
“Halo. Ya... ya. Anakmu perempuan atau laki-laki?”
Tanya sang ibu, yang lain berebut tempat-terdekat di sumber suara. “Perempuan?
Alhamdulillah. Siapa namanya?” tanyanya lagi.
“Kènnya Randu Dahlia,” suara laki-laki di
sebalik telepon.
“Normal atau sesar?” tanya yang lain.
“Sesar.”
“Kènnya Randu Dahlia artinya apa, mas?”
tanya yang lain lagi.
“Kènnya itu bahasa Jawa, artinya
perempuan baik-baik. Randu itu wit kapuk,
pohon kapas. Nama latinnya Ceiba
pentandra. Konon, nama ‘Ceiba’ merupakan simbol suci dalam mitologi bangsa
Maya. Pohon ini dipercaya sebagai pohon yang sangat tinggi, sehingga—jika kita
menaikinya, kita akan sampai di puncak langit. Sedangkan Dahlia, adalah bunga
yang paling indah. Aku memberi nama itu kepadanya, jika nanti ia dewasa, dan
kemudian menikah, semoga dia menjadi perempuan yang dapat mengantar keluarganya
hingga ke langit dan menemukan keindahan yang paling indah.”
“Bagus sekali nak, namanya. Sekarang, berdo’alah,
kami yang mengamini dari sini.”
“Do’a apa ya, bu?”
“Yang baik menurutmu.”
“Aku suka dengan do’a milik Douglas MacArthur,
seorang jendral Amerika Serikat.”
“Berdo’alah.”
“Tuhanku, bentuklah putriku menjadi manusia yang
cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya...”
“Amin.”
“Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam
ketakutan. Manusia yang sabar dan tabah dalam kekalahan. Tetap jujur dan rendah
hati dalam kemenangan.”
“Amin.”
“Bentuklah putriku menjadi manusia yang berhasrat
mewujudkan cita-citanya dan tidak tenggelam dalam angan-angannya saja. Seorang puteri
yang sadar bahwa mengenal Engkau dan (mengenal) dirinya sendiri adalah landasan
segala ilmu pengetahuan.
Tuhanku, aku mohon, janganlah pimpin putriku di
jalan yang mudah dan lunak. Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan
dan godaan, kesulitan dan tantangan. Biarkan puteriku belajar untuk tetap
berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar untuk mengasihi mereka yang
tidak berdaya.
Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi;
sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum mempunyai kesempatan memimpin orang
lain.
Berikanlah hamba seorang puteri yang mengerti makna
tawa-ceria tanpa melupakan makna tangis-duka. Puteri yang berhasrat untuk
menggapai masa depannya yang cerah, namun tak pernah melupakan masa lampau.
Dan, setelah semua itu menjadi miliknya, berikan
dia cukup rasa humor—sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh namun tetap
mampu menikmati hidupnya.
Tuhan, berilah ia kerendahan hati agar ia ingat
akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki pada sumber kearifan,
kelemah-lembutan, dan kekuatan yang sempurna.
Dan, jika pada akhirnya semua itu dapat terwujud,
aku, bapaknya, dengan lantang akan berkata: hidupku tidaklah sia-sia.”
“Amin. Indah sekali do’amu, nak. Sekarang,
pimpinlah aku dan adik-adikmu mengirim al-fatiha untuk Ayahmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar