Angin bergerak agak kencang. Kemresek daun-daun dan bebunyian reyot batang bambu, juga suara-suara misterius yang ada di baliknya—membuatku merasa—memang ada dimensi-lain di belakang sana: sebuah semesta yang dingin, gelap, hening, dan asing.
“Ah, yang benar Lip?!”
Ssttt... jangan bilang siapa-siapa, ya?! Tadi sore,
ketika hendak mengambil air wudhu untuk salat manghrib, rasa penasaranku selama
ini—terhadap barongan (rimbunan pohon
bambu?) yang telah membelukar di belakang rumah kontrakan itu semakin
menjadi-jadi. Aku tidak tahu alasannya. Sebagai penakut, tentu saja rasa ingin
tahu seperti itu tak akan pernah bertahan lama. Ia hanya meletup sementara,
kemudian segera menguap—lalu hilang tertiup oleh angin sebab bayangan yang tidak-tidak
yang tercipta di kepalaku. Begitu kejadian yang sudah-sudah.
Namun tidak demikian.
Sore itu memang agak sedikit berbeda. Kemriyek wit pring itu seakan menyedotku
kuat-kuat untuk munuju ke sana, mendekatinya, dan kemudian masuk—menembus di
sebalik rerimbunan yang selalu menimbulkan suara-suara aneh jika malam hari itu.
Tanganku seakan ada yang menarik, dan punggungku seperti ada yang mendorong. Nlunyur, aku berjalan begitu saja.
Tindian (baca: Sleep
Paralysis / The Old Hag Syndrome). Ya, rasanya seperti itu. Aku sadar jika sedang
berjalan, tapi otakku tak bisa mengendalikan atas gerak tubuhku. Perasaanku
sudah teriak minta tolong, tapi sia-sia, suaraku tak bisa keluar dari
tenggorokanku.
Wajahku keruh, ketakutan.
Bagaimana tidak? Tadinya aku hanya hendak menuju
sumur di belakang untuk membasuh
beberapa bagian tubuh, bersesuci, lha kok
malah bergerak tanpa kendali—mendekati pohon bambu yang tumbuh-rapat dan
tak keruan itu. Sansaya dekat, aku seperti
melihat lobang yang menyerupai mulut goa dengan bercak-bercak sinar berwarna
biru. Dan tubuhku terhisap ke arah sana. Kemudian entah, aku langsung Mak Lhèp
begitu saja.
“Lalu, apa yang terjadi Lip?”
“Ya, aku masuk ke dalam.”
“Iya. Maksudku, di dalam bagaimana keadaannya?”
“Kamu pernah dengar negeri danau?”
“Serius, Lip?”
“Kok malah tanya. Kamu pernah dengar, tidak?”
“Semua orang kampung sini, pasti sudah pernah dengar
cerita tentang negeri danau itu, Lip. Itu cerita lama.”
***
Ketika badanku semakin mendekat ke lobang itu,
lobang yang menyerupai mulut goa itu, tanganku mencoba untuk menahannya, melawan,
meraih-raih benda apa saja agar aku tak masuk ke dalam. Tapi muspro. Aku tak menemukan benda apapun
untuk dipegang. Dan ketika tanganku ndlesep,
masuk melewati bibir goa, aku merasa seperti masuk di dalam air. Dingin sekali.
Pertama-tama yang masuk hanya ujung jariku, lalu masuk lagi hingga batas
lengan, dan kemudian seluruh badan.
Anehnya lagi, jika setiap jengkal tubuhku masuk ke
dalam, seperti ada suara ‘nyes... nyes... nyes...’. Suaranya mirip ketika besi-panas
yang terkena air: nyes... nyes... nyes... Ada buih dan bunyi di permukaan
kulitku. Suara itu terus terdengar hingga seluruh tubuhku masuk ke dalam.
Dan, ketika di dalam, aku merasakan sebuah keadaan
yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku diam, masih bingung dengan peristiwa
tak lazim tadi: terhisapnya tubuhku ke dalam lobang, dan entah bagaimana
caranya aku bisa berada di tempat-asing semacam ini.
“Apakah ini yang dinamakan negeri danau?” tanyaku
dalam batin.
Situasinya persis yang sering dibicarakan oleh
orang-orang selama ini; entah di gardu ronda, di warung, di pelataran rumah
tetangga: ia adalah sebuah tempat di mana nuansanya seperti di dalam air.
Seperti sedang menyelam: dingin, dan setiap benda tampak melayang-layang. Dan
juga, sepanjang hari di tempat itu adalah malam. Di tengah langitnya, selalu
terjepit sebutir bulan purnama yang membuat hati siapa saja yang memandang
cahaya bulat itu menjadi biru. Rumput di seluruh hamparan tanahnya terasa
sangat lembut, seperti kapas. Setiapkali ia tersentuh oleh kulit, akan
mengeluarkan cahaya kuning seperti kunang-kunang. Anginnya berkelebat sedang,
siapapun saja akan tahu bahwa yang berwarna putih—yang bergerak-gerak dan
berputar-putar di atas udara adalah angin. Pohon-pohonnya sangat besar dan
berwarna hitam. Ia sungguh seperti lukisan.
Takjub. Aku duduk di atas rumput penuh cahaya itu.
Di depanku, sepanjang mata memandang adalah air, membuat semua yang ada di atas
langit: bulan, awan, dan bintang-bintang; seperti juga terdapat di danau tanpa ujung
itu. Dan sesekali, akan ada suara kapal: trotok tok tok tok... trotok tok tok
tok... trotok tok tok tok...
“Negeri Danau ini tempat apa, tho?” tanyaku dalam diri.
Suara jengkerik bertebaran di rumput-rumput. Juga katak,
kumandang mereka saling bersahutan segema orkestra. Pohonnya, walalupun selalu
tampak hitam di semesta yang harinya selalu malam, setiapkali berbuah, ia mesti
mengeluarkan cahaya warna-warni serupa cemara pohon natal. Indah sekali.
Ya, memang indah. Mataku tak henti-hentinya
memandang setiap sudut tempat ini. Tapi entah kenapa, mripat-ku selalu
memandang jauh ke arah danau. Seperti ada bayangan hitam yang bergerak-gerak. Aku
usap kedua mataku dengan lengan, untuk memastikan apa yang sedang kulihat:
seperti bayangan orang. Ia seperti melepaskan sesuatu ke dalam air. Dan setiap
kali itu pula, kapal melintas dan terdengar bunyi trotok tok tok tok... trotok
tok tok tok... trotok tok tok tok...
Penasaran, aku meneriakinya, “hey, siapa itu?” aku
sambil melambaikan tangan.
“Lip...”
“Kamu bisa diam, tidak—jika ada orang cerita? Aku
mau cerita klimaks-nya! Jangan main potong pembicaraan orang, kebiasaan!”
“Lip... bangun, Lip.”
Aku membalikkan kepala ke arah temanku: seperti ada
cahaya yang menyilaukan, dan juga lamat-lamat terdengar gemuruh jalan dan
pasar.
“Lip, bangun. Itu, ada orang yang mau beli mainanmu.”
Lanjutnya.
Aku langsung mak
sranthal kedandhap-dandhap. Sambil mengucek mata, aku juga mengelap mulutku
yang dirembesi air liur. Rupanya aku tadi tidur.
“Ha-ha-ha... mimpi lagi, Lip? Kamu ngigau kencang
sekali: hey, siapa itu... hey, siapa itu...”
Kuperhatikan di sekitar, tak ada satu orang pun. Dia
memang sering menggodaku, membangunkanku ketika tidur. Aku duduk, memperbaiki
rasa kaget dengan mengatur napasku. Kumandang adzan terdengar, para lelaki berjalan,
sebagian ada yang berlarian. Mereka semua sedang menuju arah yang sama: masjid.
Di tengah kekosongan akibat bangun tidur yang buru-buru tadi, sayup-sayup aku
mendengar suara yang berasal dari pengeras suara. Katanya, “Nabi Muhammad
adalah nabi akhir zaman. Nabi terakhir,” ialah nabi yang ini dan nabi yang itu.
Suara itu terdengar sangat bersemangat, keras, dan bertenaga; seperti ingin
menjelaskan tentang berita termutakhir dan terbaru—di mana orang lain belum ada
yang tahu. Berita yang sangat penting, dan hanya ia yang tahu. Orang yang
suaranya terdengar di mana-mana itu bercerita dengan nada berapi-api, seakan
Muhammad Rasulullah baru diangkat sebagai Nabi baru kemarin malam.
“Kamu mau pulang, atau masih tetap di sini?” tanya
temanku.
“Memangnya kenapa?” aku sambil mengemasi barang daganganku.
“Mbok nunggu aku salat jum’at dulu, aku nitip
daganganku.”
“Ya, aku tungguin barang daganganmu.”
Temanku berlalu, menuju masjid, sedangkan aku tetap
membereskan sebagian barang daganganku. Ya, cuma dagangan kecil-kecilan. Bagi
mereka yang lahir pada medio ’80-an sampai ’90-an, pasti masih familiar dengan
benda ini: perahu otok-otok. Mainan anak-anak yang terbuat dari seng. Bapakku
yang mengajariku membuat perahu otok-otok ini, beliau pedagang mainan
anak-anak.
Ceritanya panjang. Tapi intinya, setelah menikah,
aku memutuskan untuk keluar dari rumah orang tua, hidup terpisah, dan bersedia bekerja
apa saja. Awalnya aku pernah mencoba peruntungan berkeliling sebagai jasa
tambal panci, atau peralatan dapur apapun yang bocor. Semenjak barang-barang
dari Cina menggempur pasaran, harga peralatan dapur menjadi murah, jasaku sudah
tak dibutuhkan lagi. Aku ganti pekerjaan lain. Selama beberapa bulan, aku
pernah mecoba peruntungan untuk berdagang ‘kasur kapuk’, tapi juga tidak laku, mungkin
definisi tempat tidur hari ini adalah di spring
bed. Kemudian aku ganti pekerjaan lagi: jadi tukang wenter kain, isi korek,
jual minyak tanah, jual burung emprit yang bulunya kuberi warna, jual keong
yang cangkangnya kulukis dengan cat minyak, dan banyak lagi. Tapi semuanya
gagal. Dunia ini seperti tak menginginkanku lagi. Sebab, setiap apa yang
kuusahakan, tidak ada yang berhasil. Berhasil yang kumaksud di sini bukan tentang
hal yang besar-besar, ya minimal cukup buat makan sehari-hari.
Akhirnya aku ganti pekerjaan lagi. Ya ini, jual
perahu otok-otok, hand made–warisan
dari bapakku. Cara membuatnya cukup
mudah. Pertama-tama, aku membeli ‘seng’ dalam bentuk lembaran. Setelah itu,
misalnya satu lembar adalah satu meter persegi, aku memotongnya menjadi tiga
bagian lalu membentangkannya dan kubuat pola dengan spidol di atas seng-seng.
Selesai. Aku gunting mengikuti garis spidol. Beres. Aku lipat seng tadi sesuai
pola sehingga membentuk bangung yang kuinginkan. Agar satu samalain lengket, tidak kembali ke
bentuk semula (setelah dilipat), aku soder dengan timah.
Satu meter persegi seng tadi, digunakan untuk
membuat tiga bagian kapal: Pertama, lambung kapal (hull). Bagian ini dibuat
untuk menyediakan daya apung (bouyancy), ia merupakan dasar perhitungan
stabilitas rancang-bangun pada sebuah kapal yang berbentuk huruf ‘V’. Kedua, geladak
(deck), adalah lantai kapal. Nah, di atas deck, biasanya diberi anjungan
(bridge) atau ruang komando. Ia berfungsi sebagai asesoris saja. Nanti di atas
anjungan, biasanya kuberi orang-orangan supaya terlihat seperti ada
pengemudinya. Ketiga, instrumen inti. Dia terletak di atas hull dan di bawah
deck, posisinya ada di dalam. Instrumen inti ini ada beberapa lapis
bagian: Satu, pipa yang menyerupai
knalpot. Ia berfungsi sebagai gas pembuangan sekaligus pendorong. Pipa yang
berfungsi sebagai knalpot ini terhubung dengan plat ‘seng’ yang dibentuk
seperti mangkok. Dua, untuk bahan bakar. Bisa berupa mangkok kecil yang diberi
kapas, diletakkan di atas mangkok plat-knalpot tadi. Tiga, pipa kecil yang
diletakkan di depan anjungan. Bisa dibentuk menyerupai bom-meriam kecil, agar
tampak lebih estetis. Pipa ini dimasukkan hingga tembus ke bagian dalam kapal.
Dan, ketika kapal telah diberi bahan bakar, biasanya minyak kelapa, ketika api
dinyalakan, kapal akan berjalan dengan sendirinya dan pipa ini akan bergerak ke
atas dan ke bawah sehingga menimbulkan bunyi: trotok tok tok tok... trotok tok
tok tok... trotok tok tok tok...
Ini adalah keahlianku yang terakhir.
Itu kenapa aku mengupayakannya dengan
sungguh-sungguh. Aku mempromosikannya di mana-mana: di gardu ronda, di warung,
di pelataran rumah tetangga, dan lain sebaginya. Aku bercerita, bahwa kapal
otok-otokku berbeda dengan yang lain: kuberi cat warna-warni dan memiliki huruf
‘ND’ di lambung kapalnya, arena air yang besar, beberapa mili minyak kelapa
yang kuberi gratis untuk bahan bakar.
Awalnya, aku agak optimis berdagang kapal
otok-otok. Sebab, mainan ini pernah booming pada masanya. Siapa tahu akan
terulang lagi, heh? Maka dari itu, aku memilih berdagang di depan sebuah
sekolah dasar, dekat masjid, kira-kira satu jam dari kontrakanku. Pikirku,
anak-anak pasti suka mainan. Lokasi yang strategis, bukan? Selain pertimbangan
itu, aku juga berinovasi: memberi latar gambar pada lapak daganganku dengan
sebuah lukisan yang aku buat sendiri. Sebuah gambar-danau yang sangat besar—di
mana airnya dicermini rambulan dan benda-benda langit lain. Pohon dengan buah
warna-warni. Dan di seberang danau itu, ada sebuah daratan yang berhampar
rumput dengan cahaya kekuningan. Di atasnya, seperti ada orang yang sedang
duduk, menatap ke arah kolam yang kubuat untuk arena kapal otok-otok.
Tapi, sejauh ini nasibku tak kunjung berubah.
Sudah beberapa bulan ini tak satu pun daganganku
laku. Jangankan laku, untuk berhenti dan dilihat saja pun tidak. Anak-anak hari
ini lebih suka bermain gadget, smartphone. Sebuah benda berbentuk kotak yang
membuat setiap orang selalu tertunduk di hadapannya. Benda yang sejatinya untuk
connecting people, tapi mbleset menjadi unconnecting people. Sebuah benda yang dapat menjerumuskan
seseorang menjadi asosial, dan autis. Sebuah benda yang mengaburkan tradisi
silaturahim, dan kehangatan bercengkrama. Ya, tapi mereka kan cuma anak-anak,
tidak mengerti akibat yang akan ditimbulkan benda itu. Ini sepenuhnya adalah
tanggung jawab orang tua. Mereka agak kurang tepat menterjemahkan kasih-sayang.
Apa yang anaknya minta, harus dikasih. Biar sama dengan teman-temannya yang
lain. Dan ada yang konyol, benda-benda seperti itu kadang juga sering diberikan
oleh orang tuanya untuk memamerkan status sosial di depan orang lain. Tapi ini—kan
memang jaman modern, segala sesuatu memang harus cepat. Jaman di mana setiap
orang gampang menjadi resah. Paketan habis, resah. Orang tulis status,
kesindir. Orang upload foto, kepingin. Dan sebagainya dan sebagainya.
Ya, memang terasa nada sinisme. Atau mungkin aku
yang memang tidak pernah mampu mengikuti cepatnya sebuah perubahan zaman, aku
ditinggal lalu digilas oleh nasib. Bagaimana mau mengikuti perkembangan, lha wong buat makan saja kadang-kadang
ada kadang-kadang sama sekali. Zaman berkembang atau tidak, aku tidak pernah
tahu. Yang aku tahu, aku harus bertahan hidup tanpa harus meminta-minta. Aku
gunakan seluruh kebisaanku. Dan mungkin kebetulan kebisaanku sudah tidak
dipakai oleh zaman ini.
Mulyadi, temanku yang sedang salat jum’at, yang
menitipkan barang dagangannya kepada untuk ditinggal di masjid itu, sering
menasehatiku: Sabar, Lip. Sabar.
Halah Mul, Mul, aku setiap hari berdiri, jalan,
duduk, sampai tidur selalu beralas sabar. Ngerti
apa kamu tentang sabar? Kamu tahu bagaimana rasanya—dua lapak yang
bersandingan, tapi hanya lapakmu saja yang selalu dikerumuni anak-anak untuk
membeli daganganmu? Setiap hari kamu bisa berbincang dengan anak-anak itu
sembari kau menggodanya dengan menirukan gaya bicara anak-anak yang mendatangi
lapak daganganmu?
Yang mereka lihat mungkin aku miskin, tak punya
uang kerna daganganku tak laku. Tapi, di pucuk hatiku, persoalan utamaku adalah
kesepian. Tak ada orang yang sekadar tanya, atau basa-basi menawar daganganku.
itu pun sudah cukup bagiku. Diajak bicara orang itu, rasanya seperti diguyur
air di tengah kemarau yang kering. Orang susah sepertiku sudah biasa menghadapi
penderitaan; tak makan dan tak minum bukan persoalan besar.
Andai kata aku adalah seorang Nabi, dengan persoalanku
seperti sekarang ini Tuhan pasti akan menurunkan sebuah ayat: Jika kamu memilih
untuk mengajak berbicara kepada orang-orang yang sedang kesepian, ketahuilah
bahwa sesungguhnya yang kesepian itu adalah Aku.
Tapi, ya manusia biasa. Manusia di bawah garis
kebiasaan: entah nasibnya, persoalannya, rejekinya, dan banyak lagi.
“Lip,” sebuah tangan mendarat di pundakku.
Aku menggerakkan leher, “Mul, sudah selesai
salatmu?”
“Sudah, Lip. Terimakasih sudah menjaga daganganku.”
Aku hanya tersenyum.
“Mau ke mana lagi, Lip?”
“Pulang, Mul.”
“Tidak menunggu sampai jam pulang sekolah saja,
Lip?”
Aku tersenyum, dan menggelengkan kepala. Lalu,
bergegas merapikan kapal-kapal dan kumasukkan ke dalam ronjotan (dua keranjang kayu di belakang motor?) sebelah kiri. Lukisan
aku lepas talinya dari pengikat, dua pohon, lalu kulipat dan kumasukkan
keranjang di sebelah kanan. Kolam untuk arena kapal otok-otok, terbuat dari
pelampung karet yang berisi udar: airnya kubuang, lalu melepaskan katup
udaranya. Selesai. Kulipat dan kumasukkan ke dalam keranjang sebelah kanan.
“Mul, aku duluan ya?!”
“Oke, Lip, hati-hati di jalan. Sampai jumpa.”
Aku hidupkan motor bututku, lalu jalan dengan
kecepatan seadanya menuju kontrakan. Sampai. Sebuah rumah kayu dengan atap yang
sangat rendah. Halamannya berupa tanah, sering dalam keadaan basah; diisi oleh
beberapa tiang jemuran, kandang ayam, dan rumah burung dara. Motor kuparkir.
Kolam plastik kujemur untuk mengeringkan airnya. Lalu aku masuk, membuka gembok
pintu. Kapal otok-otok kumasukkan ke dalam rumah. Lukisan juga kukeluarkan dari
keranjang, ku masukkan ke dalam rumah. Kubentangkan pas di dipan dipan tempat
aku tidur: agar aku dapat melihatnya sebelum dan sesudah tidur. Buat pajangan,
memanis rumah yang kumuh ini. Selesai aku pasang lukisan itu, aku merebahkan
badan.
Baru saja membaringkan badan, entah cuma bayangan
atau halusinasiku saja, aku merasa sosok orang yang terdapat dalam lukisan itu,
yang sedang duduk di tengah hamparan itu seperti bergerak dan
melambai-lambaikan tangan. Dari arahnya, terdengar suara: “Hey, siapa itu?
Kemarilah, duduk di sini bersamaku!”
Terdengar gesekan daun-daun bambu di belakang rumah
kontrakanku; derit batang-batang pohon bambu, dan sesekali suara angin yang
terdengar cukup kencang. Masih terdengar agak mengerikan. Aku bangun dari
tidur, meraih tangan yang terulur di depan wajahku sambil berkata: “Kemarilah,
duduk di sini bersamaku!”
***
Pagi itu, Mul hendak berangkat ke SD—tempat ia
membuka lapak dagangannya bersampa Alip. Untuk menuju ke sana, dia harus
melewati kontrakan Alip. Alih-alih ingin mengajak berangkat bersama, di
kontrakan Alip sudah ramai dengan orang-orang yang berdiri di halaman.
Mulyadi turun dari motornya.
“Ada apa ini, Mas?”
“Itu, si Alip beberapa hari ini tidak keluar kamar.
Juga tercium bau busuk di dalam.”
“Lalu, bagaimana mas?”
“Ini lagi lapor Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, dan
Polsek. Mau dipastikan bersama-sama.”
Mulyadi langsung menembus kerumunan orang yang
memadati halaman kontrakan Alip. Sampai di depan pintu, tercium bau yang sangat
menyengat. Mulyadi menggedor pintu: “Lip, buka pintunya Lip.” Walau dalam hati
Mul berkata, “orang yang merasa tak dibutuhkan lagi, ia akan merasa lebih baik
mati.”
Best Casino Near Me (Las Vegas) - Mapyro
BalasHapusBest Casinos 충주 출장샵 Near Me (Las Vegas) · 4. Golden Nugget. 888 공주 출장샵 Casino Way, Las Vegas, NV 89109 구리 출장샵 · 5. Treasure 상주 출장마사지 Island Resort & 안산 출장마사지 Casino, Las Vegas, NV.