Minggu, 19 Juni 2016

NEGERI DANAU



Angin bergerak agak kencang. Kemresek daun-daun dan bebunyian reyot batang bambu, juga suara-suara misterius yang ada di baliknya—membuatku merasa—memang ada dimensi-lain di belakang sana: sebuah semesta yang dingin, gelap, hening, dan asing.

“Ah, yang benar Lip?!”

Ssttt... jangan bilang siapa-siapa, ya?! Tadi sore, ketika hendak mengambil air wudhu untuk salat manghrib, rasa penasaranku selama ini—terhadap barongan (rimbunan pohon bambu?) yang telah membelukar di belakang rumah kontrakan itu semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahu alasannya. Sebagai penakut, tentu saja rasa ingin tahu seperti itu tak akan pernah bertahan lama. Ia hanya meletup sementara, kemudian segera menguap—lalu hilang tertiup oleh angin sebab bayangan yang tidak-tidak yang tercipta di kepalaku. Begitu kejadian yang sudah-sudah.

Namun tidak demikian.

Sore itu memang agak sedikit berbeda. Kemriyek wit pring itu seakan menyedotku kuat-kuat untuk munuju ke sana, mendekatinya, dan kemudian masuk—menembus di sebalik rerimbunan yang selalu menimbulkan suara-suara aneh jika malam hari itu. Tanganku seakan ada yang menarik, dan punggungku seperti ada yang mendorong. Nlunyur, aku berjalan begitu saja.

Tindian (baca: Sleep Paralysis / The Old Hag Syndrome). Ya, rasanya seperti itu. Aku sadar jika sedang berjalan, tapi otakku tak bisa mengendalikan atas gerak tubuhku. Perasaanku sudah teriak minta tolong, tapi sia-sia, suaraku tak bisa keluar dari tenggorokanku.

Wajahku keruh, ketakutan.

Bagaimana tidak? Tadinya aku hanya hendak menuju sumur di belakang  untuk membasuh beberapa bagian tubuh, bersesuci, lha kok malah bergerak tanpa kendali—mendekati pohon bambu yang tumbuh-rapat dan tak keruan itu. Sansaya dekat, aku seperti melihat lobang yang menyerupai mulut goa dengan bercak-bercak sinar berwarna biru. Dan tubuhku terhisap ke arah sana. Kemudian entah, aku langsung Mak Lhèp begitu saja.

“Lalu, apa yang terjadi Lip?”

“Ya, aku masuk ke dalam.”

“Iya. Maksudku, di dalam bagaimana keadaannya?”

“Kamu pernah dengar negeri danau?”

“Serius, Lip?”

“Kok malah tanya. Kamu pernah dengar, tidak?”

“Semua orang kampung sini, pasti sudah pernah dengar cerita tentang negeri danau itu, Lip. Itu cerita lama.”
***


Ketika badanku semakin mendekat ke lobang itu, lobang yang menyerupai mulut goa itu, tanganku mencoba untuk menahannya, melawan, meraih-raih benda apa saja agar aku tak masuk ke dalam. Tapi muspro. Aku tak menemukan benda apapun untuk dipegang. Dan ketika tanganku ndlesep, masuk melewati bibir goa, aku merasa seperti masuk di dalam air. Dingin sekali. Pertama-tama yang masuk hanya ujung jariku, lalu masuk lagi hingga batas lengan, dan kemudian seluruh badan.

Anehnya lagi, jika setiap jengkal tubuhku masuk ke dalam, seperti ada suara ‘nyes... nyes... nyes...’. Suaranya mirip ketika besi-panas yang terkena air: nyes... nyes... nyes... Ada buih dan bunyi di permukaan kulitku. Suara itu terus terdengar hingga seluruh tubuhku masuk ke dalam.

Dan, ketika di dalam, aku merasakan sebuah keadaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku diam, masih bingung dengan peristiwa tak lazim tadi: terhisapnya tubuhku ke dalam lobang, dan entah bagaimana caranya aku bisa berada di tempat-asing semacam ini.

“Apakah ini yang dinamakan negeri danau?” tanyaku dalam batin.

Situasinya persis yang sering dibicarakan oleh orang-orang selama ini; entah di gardu ronda, di warung, di pelataran rumah tetangga: ia adalah sebuah tempat di mana nuansanya seperti di dalam air. Seperti sedang menyelam: dingin, dan setiap benda tampak melayang-layang. Dan juga, sepanjang hari di tempat itu adalah malam. Di tengah langitnya, selalu terjepit sebutir bulan purnama yang membuat hati siapa saja yang memandang cahaya bulat itu menjadi biru. Rumput di seluruh hamparan tanahnya terasa sangat lembut, seperti kapas. Setiapkali ia tersentuh oleh kulit, akan mengeluarkan cahaya kuning seperti kunang-kunang. Anginnya berkelebat sedang, siapapun saja akan tahu bahwa yang berwarna putih—yang bergerak-gerak dan berputar-putar di atas udara adalah angin. Pohon-pohonnya sangat besar dan berwarna hitam. Ia sungguh seperti lukisan.

Takjub. Aku duduk di atas rumput penuh cahaya itu. Di depanku, sepanjang mata memandang adalah air, membuat semua yang ada di atas langit: bulan, awan, dan bintang-bintang; seperti juga terdapat di danau tanpa ujung itu. Dan sesekali, akan ada suara kapal: trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

“Negeri Danau ini tempat apa, tho?” tanyaku dalam diri.

Suara jengkerik bertebaran di rumput-rumput. Juga katak, kumandang mereka saling bersahutan segema orkestra. Pohonnya, walalupun selalu tampak hitam di semesta yang harinya selalu malam, setiapkali berbuah, ia mesti mengeluarkan cahaya warna-warni serupa cemara pohon natal. Indah sekali.

Ya, memang indah. Mataku tak henti-hentinya memandang setiap sudut tempat ini. Tapi entah kenapa, mripat-ku selalu memandang jauh ke arah danau. Seperti ada bayangan hitam yang bergerak-gerak. Aku usap kedua mataku dengan lengan, untuk memastikan apa yang sedang kulihat: seperti bayangan orang. Ia seperti melepaskan sesuatu ke dalam air. Dan setiap kali itu pula, kapal melintas dan terdengar bunyi trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

Penasaran, aku meneriakinya, “hey, siapa itu?” aku sambil melambaikan tangan.

“Lip...”

“Kamu bisa diam, tidak—jika ada orang cerita? Aku mau cerita klimaks-nya! Jangan main potong pembicaraan orang, kebiasaan!”

“Lip... bangun, Lip.”

Aku membalikkan kepala ke arah temanku: seperti ada cahaya yang menyilaukan, dan juga lamat-lamat terdengar gemuruh jalan dan pasar.

“Lip, bangun. Itu, ada orang yang mau beli mainanmu.” Lanjutnya.

Aku langsung mak sranthal kedandhap-dandhap. Sambil mengucek mata, aku juga mengelap mulutku yang dirembesi air liur. Rupanya aku tadi tidur.

“Ha-ha-ha... mimpi lagi, Lip? Kamu ngigau kencang sekali: hey, siapa itu... hey, siapa itu...”

Kuperhatikan di sekitar, tak ada satu orang pun. Dia memang sering menggodaku, membangunkanku ketika tidur. Aku duduk, memperbaiki rasa kaget dengan mengatur napasku. Kumandang adzan terdengar, para lelaki berjalan, sebagian ada yang berlarian. Mereka semua sedang menuju arah yang sama: masjid. Di tengah kekosongan akibat bangun tidur yang buru-buru tadi, sayup-sayup aku mendengar suara yang berasal dari pengeras suara. Katanya, “Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman. Nabi terakhir,” ialah nabi yang ini dan nabi yang itu. Suara itu terdengar sangat bersemangat, keras, dan bertenaga; seperti ingin menjelaskan tentang berita termutakhir dan terbaru—di mana orang lain belum ada yang tahu. Berita yang sangat penting, dan hanya ia yang tahu. Orang yang suaranya terdengar di mana-mana itu bercerita dengan nada berapi-api, seakan Muhammad Rasulullah baru diangkat sebagai Nabi baru kemarin malam.

“Kamu mau pulang, atau masih tetap di sini?” tanya temanku.

“Memangnya kenapa?” aku sambil mengemasi barang daganganku.

“Mbok nunggu aku salat jum’at dulu, aku nitip daganganku.”

“Ya, aku tungguin barang daganganmu.”

Temanku berlalu, menuju masjid, sedangkan aku tetap membereskan sebagian barang daganganku. Ya, cuma dagangan kecil-kecilan. Bagi mereka yang lahir pada medio ’80-an sampai ’90-an, pasti masih familiar dengan benda ini: perahu otok-otok. Mainan anak-anak yang terbuat dari seng. Bapakku yang mengajariku membuat perahu otok-otok ini, beliau pedagang mainan anak-anak.

Ceritanya panjang. Tapi intinya, setelah menikah, aku memutuskan untuk keluar dari rumah orang tua, hidup terpisah, dan bersedia bekerja apa saja. Awalnya aku pernah mencoba peruntungan berkeliling sebagai jasa tambal panci, atau peralatan dapur apapun yang bocor. Semenjak barang-barang dari Cina menggempur pasaran, harga peralatan dapur menjadi murah, jasaku sudah tak dibutuhkan lagi. Aku ganti pekerjaan lain. Selama beberapa bulan, aku pernah mecoba peruntungan untuk berdagang ‘kasur kapuk’, tapi juga tidak laku, mungkin definisi tempat tidur hari ini adalah di spring bed. Kemudian aku ganti pekerjaan lagi: jadi tukang wenter kain, isi korek, jual minyak tanah, jual burung emprit yang bulunya kuberi warna, jual keong yang cangkangnya kulukis dengan cat minyak, dan banyak lagi. Tapi semuanya gagal. Dunia ini seperti tak menginginkanku lagi. Sebab, setiap apa yang kuusahakan, tidak ada yang berhasil. Berhasil yang kumaksud di sini bukan tentang hal yang besar-besar, ya minimal cukup buat makan sehari-hari.

Akhirnya aku ganti pekerjaan lagi. Ya ini, jual perahu otok-otok, hand made–warisan dari bapakku.  Cara membuatnya cukup mudah. Pertama-tama, aku membeli ‘seng’ dalam bentuk lembaran. Setelah itu, misalnya satu lembar adalah satu meter persegi, aku memotongnya menjadi tiga bagian lalu membentangkannya dan kubuat pola dengan spidol di atas seng-seng. Selesai. Aku gunting mengikuti garis spidol. Beres. Aku lipat seng tadi sesuai pola sehingga membentuk bangung yang kuinginkan.  Agar satu samalain lengket, tidak kembali ke bentuk semula (setelah dilipat), aku soder dengan timah.

Satu meter persegi seng tadi, digunakan untuk membuat tiga bagian kapal: Pertama, lambung kapal (hull). Bagian ini dibuat untuk menyediakan daya apung (bouyancy), ia merupakan dasar perhitungan stabilitas rancang-bangun pada sebuah kapal yang berbentuk huruf ‘V’. Kedua, geladak (deck), adalah lantai kapal. Nah, di atas deck, biasanya diberi anjungan (bridge) atau ruang komando. Ia berfungsi sebagai asesoris saja. Nanti di atas anjungan, biasanya kuberi orang-orangan supaya terlihat seperti ada pengemudinya. Ketiga, instrumen inti. Dia terletak di atas hull dan di bawah deck, posisinya ada di dalam. Instrumen inti ini ada beberapa lapis bagian:  Satu, pipa yang menyerupai knalpot. Ia berfungsi sebagai gas pembuangan sekaligus pendorong. Pipa yang berfungsi sebagai knalpot ini terhubung dengan plat ‘seng’ yang dibentuk seperti mangkok. Dua, untuk bahan bakar. Bisa berupa mangkok kecil yang diberi kapas, diletakkan di atas mangkok plat-knalpot tadi. Tiga, pipa kecil yang diletakkan di depan anjungan. Bisa dibentuk menyerupai bom-meriam kecil, agar tampak lebih estetis. Pipa ini dimasukkan hingga tembus ke bagian dalam kapal. Dan, ketika kapal telah diberi bahan bakar, biasanya minyak kelapa, ketika api dinyalakan, kapal akan berjalan dengan sendirinya dan pipa ini akan bergerak ke atas dan ke bawah sehingga menimbulkan bunyi: trotok tok tok tok... trotok tok tok tok... trotok tok tok tok...

Ini adalah keahlianku yang terakhir.

Itu kenapa aku mengupayakannya dengan sungguh-sungguh. Aku mempromosikannya di mana-mana: di gardu ronda, di warung, di pelataran rumah tetangga, dan lain sebaginya. Aku bercerita, bahwa kapal otok-otokku berbeda dengan yang lain: kuberi cat warna-warni dan memiliki huruf ‘ND’ di lambung kapalnya, arena air yang besar, beberapa mili minyak kelapa yang kuberi gratis untuk bahan bakar.

Awalnya, aku agak optimis berdagang kapal otok-otok. Sebab, mainan ini pernah booming pada masanya. Siapa tahu akan terulang lagi, heh? Maka dari itu, aku memilih berdagang di depan sebuah sekolah dasar, dekat masjid, kira-kira satu jam dari kontrakanku. Pikirku, anak-anak pasti suka mainan. Lokasi yang strategis, bukan? Selain pertimbangan itu, aku juga berinovasi: memberi latar gambar pada lapak daganganku dengan sebuah lukisan yang aku buat sendiri. Sebuah gambar-danau yang sangat besar—di mana airnya dicermini rambulan dan benda-benda langit lain. Pohon dengan buah warna-warni. Dan di seberang danau itu, ada sebuah daratan yang berhampar rumput dengan cahaya kekuningan. Di atasnya, seperti ada orang yang sedang duduk, menatap ke arah kolam yang kubuat untuk arena kapal otok-otok.

Tapi, sejauh ini nasibku tak kunjung berubah.

Sudah beberapa bulan ini tak satu pun daganganku laku. Jangankan laku, untuk berhenti dan dilihat saja pun tidak. Anak-anak hari ini lebih suka bermain gadget, smartphone. Sebuah benda berbentuk kotak yang membuat setiap orang selalu tertunduk di hadapannya. Benda yang sejatinya untuk connecting people, tapi mbleset menjadi unconnecting people. Sebuah benda yang dapat menjerumuskan seseorang menjadi asosial, dan autis. Sebuah benda yang mengaburkan tradisi silaturahim, dan kehangatan bercengkrama. Ya, tapi mereka kan cuma anak-anak, tidak mengerti akibat yang akan ditimbulkan benda itu. Ini sepenuhnya adalah tanggung jawab orang tua. Mereka agak kurang tepat menterjemahkan kasih-sayang. Apa yang anaknya minta, harus dikasih. Biar sama dengan teman-temannya yang lain. Dan ada yang konyol, benda-benda seperti itu kadang juga sering diberikan oleh orang tuanya untuk memamerkan status sosial di depan orang lain. Tapi ini—kan memang jaman modern, segala sesuatu memang harus cepat. Jaman di mana setiap orang gampang menjadi resah. Paketan habis, resah. Orang tulis status, kesindir. Orang upload foto, kepingin. Dan sebagainya dan sebagainya.

Ya, memang terasa nada sinisme. Atau mungkin aku yang memang tidak pernah mampu mengikuti cepatnya sebuah perubahan zaman, aku ditinggal lalu digilas oleh nasib. Bagaimana mau mengikuti perkembangan, lha wong buat makan saja kadang-kadang ada kadang-kadang sama sekali. Zaman berkembang atau tidak, aku tidak pernah tahu. Yang aku tahu, aku harus bertahan hidup tanpa harus meminta-minta. Aku gunakan seluruh kebisaanku. Dan mungkin kebetulan kebisaanku sudah tidak dipakai oleh zaman ini.

Mulyadi, temanku yang sedang salat jum’at, yang menitipkan barang dagangannya kepada untuk ditinggal di masjid itu, sering menasehatiku: Sabar, Lip. Sabar.

Halah Mul, Mul, aku setiap hari berdiri, jalan, duduk, sampai tidur selalu beralas sabar. Ngerti apa kamu tentang sabar? Kamu tahu bagaimana rasanya—dua lapak yang bersandingan, tapi hanya lapakmu saja yang selalu dikerumuni anak-anak untuk membeli daganganmu? Setiap hari kamu bisa berbincang dengan anak-anak itu sembari kau menggodanya dengan menirukan gaya bicara anak-anak yang mendatangi lapak daganganmu?

Yang mereka lihat mungkin aku miskin, tak punya uang kerna daganganku tak laku. Tapi, di pucuk hatiku, persoalan utamaku adalah kesepian. Tak ada orang yang sekadar tanya, atau basa-basi menawar daganganku. itu pun sudah cukup bagiku. Diajak bicara orang itu, rasanya seperti diguyur air di tengah kemarau yang kering. Orang susah sepertiku sudah biasa menghadapi penderitaan; tak makan dan tak minum bukan persoalan besar.

Andai kata aku adalah seorang Nabi, dengan persoalanku seperti sekarang ini Tuhan pasti akan menurunkan sebuah ayat: Jika kamu memilih untuk mengajak berbicara kepada orang-orang yang sedang kesepian, ketahuilah bahwa sesungguhnya yang kesepian itu adalah Aku.

Tapi, ya manusia biasa. Manusia di bawah garis kebiasaan: entah nasibnya, persoalannya, rejekinya, dan banyak lagi.

“Lip,” sebuah tangan mendarat di pundakku.

Aku menggerakkan leher, “Mul, sudah selesai salatmu?”

“Sudah, Lip. Terimakasih sudah menjaga daganganku.”

Aku hanya tersenyum.

“Mau ke mana lagi, Lip?”

“Pulang, Mul.”

“Tidak menunggu sampai jam pulang sekolah saja, Lip?”

Aku tersenyum, dan menggelengkan kepala. Lalu, bergegas merapikan kapal-kapal dan kumasukkan ke dalam ronjotan (dua keranjang kayu di belakang motor?) sebelah kiri. Lukisan aku lepas talinya dari pengikat, dua pohon, lalu kulipat dan kumasukkan keranjang di sebelah kanan. Kolam untuk arena kapal otok-otok, terbuat dari pelampung karet yang berisi udar: airnya kubuang, lalu melepaskan katup udaranya. Selesai. Kulipat dan kumasukkan ke dalam keranjang sebelah kanan.

“Mul, aku duluan ya?!”

“Oke, Lip, hati-hati di jalan. Sampai jumpa.”

Aku hidupkan motor bututku, lalu jalan dengan kecepatan seadanya menuju kontrakan. Sampai. Sebuah rumah kayu dengan atap yang sangat rendah. Halamannya berupa tanah, sering dalam keadaan basah; diisi oleh beberapa tiang jemuran, kandang ayam, dan rumah burung dara. Motor kuparkir. Kolam plastik kujemur untuk mengeringkan airnya. Lalu aku masuk, membuka gembok pintu. Kapal otok-otok kumasukkan ke dalam rumah. Lukisan juga kukeluarkan dari keranjang, ku masukkan ke dalam rumah. Kubentangkan pas di dipan dipan tempat aku tidur: agar aku dapat melihatnya sebelum dan sesudah tidur. Buat pajangan, memanis rumah yang kumuh ini. Selesai aku pasang lukisan itu, aku merebahkan badan.

Baru saja membaringkan badan, entah cuma bayangan atau halusinasiku saja, aku merasa sosok orang yang terdapat dalam lukisan itu, yang sedang duduk di tengah hamparan itu seperti bergerak dan melambai-lambaikan tangan. Dari arahnya, terdengar suara: “Hey, siapa itu? Kemarilah, duduk di sini bersamaku!”

Terdengar gesekan daun-daun bambu di belakang rumah kontrakanku; derit batang-batang pohon bambu, dan sesekali suara angin yang terdengar cukup kencang. Masih terdengar agak mengerikan. Aku bangun dari tidur, meraih tangan yang terulur di depan wajahku sambil berkata: “Kemarilah, duduk di sini bersamaku!”
***


Pagi itu, Mul hendak berangkat ke SD—tempat ia membuka lapak dagangannya bersampa Alip. Untuk menuju ke sana, dia harus melewati kontrakan Alip. Alih-alih ingin mengajak berangkat bersama, di kontrakan Alip sudah ramai dengan orang-orang yang berdiri di halaman.

Mulyadi turun dari motornya.

“Ada apa ini, Mas?”

“Itu, si Alip beberapa hari ini tidak keluar kamar. Juga tercium bau busuk di dalam.”

“Lalu, bagaimana mas?”

“Ini lagi lapor Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, dan Polsek. Mau dipastikan bersama-sama.”


Mulyadi langsung menembus kerumunan orang yang memadati halaman kontrakan Alip. Sampai di depan pintu, tercium bau yang sangat menyengat. Mulyadi menggedor pintu: “Lip, buka pintunya Lip.” Walau dalam hati Mul berkata, “orang yang merasa tak dibutuhkan lagi, ia akan merasa lebih baik mati.” 

1 komentar:

  1. Best Casino Near Me (Las Vegas) - Mapyro
    Best Casinos 충주 출장샵 Near Me (Las Vegas) · 4. Golden Nugget. 888 공주 출장샵 Casino Way, Las Vegas, NV 89109 구리 출장샵 · 5. Treasure 상주 출장마사지 Island Resort & 안산 출장마사지 Casino, Las Vegas, NV.

    BalasHapus