“Luas total negara kita ini berapa—tho, sebenarnya?” Tiba-tiba saja Aris
membuka percakapan di tengah hamparan langit malam. Mereka berdua, Aris dan
Dwi, merebahkan tubuhnya di atas atap rumah-kontrakan milik Dwi—dengan kaos
yang mereka buntal menjadi bantal. Disaksikan seng, asbes, dan antena televisi;
kedua karib itu memancarkan nuansa keakraban yang hangat sekali.
“Kalau dihitung semua, daratan sekaligus lautan,
kira-kira lima juta-an kilo meter persegi.” Jawab Dwi, datar. Matanya masih
memandang langit yang jauh.
“Kalau luas daratannya saja?” Sambung Aris.
“Hampir dua juta kilo meter persegi.”
“Berapa jumlah penduduk Indonesia?”
“Dua ratus lima puluh juta-an. Memangnya kenapa?”
“Ini logika jongos saja, ya. Kira-kira, kalau seluruh
luas tanah Indonesia itu dibagi rata, masing-masing dari kita akan dapat
berapa? Gimana cara kamu menghitungnya?”
“Ya, gampang. Pertama-tama, kita harus sepakat
bahwa masing-masing orang yang akan mendapat jatah-tanah tersebut, dalam bentuk
satuan meter. Artinya, satuan kilo meter persegi tadi—nantinya harus dijadikan
dalam satuan meter. Ngitungnya, begini: luas daratan Indonesia dibagi jumlah
penduduk, lalu hasilnya dikalikan satu juta.”
“Hasilnya berapa?”
Dwi sejenak diam, matanya terpejam.
“Suwimen tho,
ngitungmu?”
“Mmm... kalau dibulatkan, setiap orang mendapat
jatah tujuh ribu meter-an.”
“Heh, ya tho?!”
“Apanya yang ya
tho?”
“Lha, ya. Kita ini kok bisa tidak punya tempat
tinggal? Tanah berapa-berapa—kek, kan lumayan daripada nomaden.”
“Kata Mahatma Gandhi, bumi ini bisa memenuhi
kebutuhan setiap orang, namun tidak bisa memenuhi kebutuhan satu orang yang
serakah.”
Kali ini Aris terlihat semangat. Ia merubah
posisinya yang tadinya tiduran, sekarang duduk. Nada suaranya sedikit naik,
tinggi. “Mungkin bumi ini kurang luas dan kurang besar untuk menampung
orang-orang semacam kita plus orang-orang serakah. Jadinya ya begini ini, kita
tidak kebagian apa-apa. Mungkin, jika kita hidup di planet Jupiter, planet yang
paling besar itu, bisa jadi orang semacam kita masih sempat kebagian tanah-tanah
sedikit.”
“Di Jupiter kita tidak bisa hidup, Ris. Mati.
Setiap planet itu punya pra-syarat untuk dapat ditinggali manusia.”
“Kenapa begitu, Wi’?” Aris merebahkan tubuhnya ke
posisi semula, memasukkan tangan kanannya ke dalam kolor, garuk-garuk.
“Satu, jarak planet tidak boleh terlalu dekat dan
terlalu jauh dari matahari. Sebab, batas toleransi suhu pada sebuah planet
tidak boleh lebih dari 150ᵒ Fahrenheit atau 65,5ᵒ Celcius.”
“Dua.”
“Airnya cukup. Baik yang terkandung di tanahnya,
ataupun di udara.”
“Tiga.”
“Sinar matahari yang cukup, dibutuhkan untuk
pembakaran pada tubuh hewan maupun manusia. Pembakaran inilah yang dapat
menimbulkan tenaga. Sinar matahari yang cukup itu berguna sebagai sirkulasi
ambil-buang kandungan CO2
dan O2—dari dalam
udara ke udara.
“Empat.”
“Planet tersebut harus dilapisi ozon atau O3, yang berfungsi sebagai
pelindung dan penyaring mata manusia
dari gelombang-gelombang pendek.”
“Lima.”
“Ukuran planet. Jika terlalu kecil, gravitasinya juga
kecil, mengakibatkan benda apapun yang ada di dalamnya mudah lolos—keluar dari
planet itu. Jika terlalu besar, gravitasinya pun juga akan besar. Hal ini bisa menyebabkan—akan
banyak pula yang diikat oleh gravitasi planet tersebut yang puncaknya akan
berakibat berlebihnya debit air di tanah maupun di udara planet itu.”
“Terlalu lembab, gitu?”
“Persis. Selain itu, jika atom hidrogen yang
jumlahnya banyak itu, manakala bersatu dengan unsur lainnya, akan menimbulkan
amoniak dalam yang jumlah yang besar pula. Maka, planet tersebut sudah tidak
sehat untuk ditinggali.”
“Oke. Enam.”
“Planet tersebut, katakanlah Jupiter, harus
memiliki kandungan yang cukup untuk: tepung, gula, minyak, protein, dan lemak. Itu
semua, apa-apa saja yang mengandung karbohidrat tadi, dibutuhkan manusia untuk
mendapatkan energi.”
“Tujuh.”
“Adanya zat beracun dalam jumlah dan ukuran yang
cukup dan tidak membahayakan.”
“Delapan.”
“Sudah!”
“Sudah? Gitu aja?”
“Iya. Sudah.”
“Ya sudah, aku pulang dulu. Mumet ndasku. Kamu memang tidak bisa diajak berandai-andai, tidak
tahu caranya refreshing dengan berimajenasi.” Aris beranjak dari tempat
rebahnya, undurdiri, sambil meraupkan tangan kanannya ke muka Dwi. Tangan yang
sudah ia siapkan sedaritadi, di dalam kolor sambil garuk-garuk.
Dwi yang matanya masih menatap langit, tidak
membalas perlakuan temannya. Barulah setelah beberapa lama, ia sadar apa yang
diraupkan temannya tadi. “Jangkrik,” katanya.
***
Sambil menuruni satu per-satu anaktangga yang
terbuat dari bambu, Aris terkekeh, “biar rileks otaknya, ndak tegang terus.” Hingga kaki kirinya jenak menginjak tanah, tawanya berhenti, handphone dalam saku celana jeans-nya berbunyi. Dilihatnya pada
layar gawai, panggilan dari istrinya: “Halo?”
“Pak, pulang jam berapa?”
“Lima menit lagi juga sampai.”
“Jangan lama-lama, Pak!”
Telepon dimatikan, Aris meneruskan langkah kakinya
menuju rumah menyusuri gang-gang sempit yang kanan dan kirinya ditempati
berdempet-dempet hunian yang tak keruan tataletaknya: pintu depan berhadapan
dengan kamar-mandi tetangga, pos kamling yang dialih-fungsikan menjadi tempat
cukur rambut, dan jemuran baju hingga daleman yang pathing-crenthel di
mana-mana. Sebenarnya, jarak dari rumah Dwi menuju rumahnya—cukup dekat, tidak
sampai lima menit. Hanya saja Aris memang sengaja memilih jalan berputar-putar
untuk memperlambat sampai di rumah. Bagaimana tidak, setiapkali ia datang ,
istrinya seketika itu menjelma menjadi “ibu tiri” bagi dirinya: nyuruh cuci
piring, nge-pel, jemur baju, dan lain-lain. “Lha, dia ngapain saja seharian di
rumah?” gerutu Aris setiap hari. Belum lagi mendengar rengekannya yang tiada
habisnya: minta dibelikan baju, daster, BH, dan celana dalam yang modelnya bermacam-macam.
Mulai dari yang berenda, bergambar, model G-string, pokoknya beraneka ragam. Istri
Aris adalah orang yang sangat hapal dengan barang-barang miliknya. Jika hilang
satu lembar saja, dia akan ngamuk, mengacak-acak seisi rumah. Kalau sudah
begitu, rumah yang lebih mirip disebut kapal pecah itu, dibereskan oleh Aris. Pokoknya
aneh-aneh saja kelakukannya. Sebagai pegawai rendahan, gaji Aris hanya cukup
untuk makan dan keperluan rumah saja. Tapi, istrinya tidak mau mengerti.
Baginya, pokoknya harus ada. Ya, namanya juga perempuan, penggerak industri
bisnis, makhluk yang kegemarannya bersaing. Aris yakin, apa-apa saja yang ingin
dibelinya itu bukan untuk tampil cantik di depan suaminya, tetapi para isri
tetangga. Padahal sudah sering Aris mengingatkannya, “lho, kemarin kan baru
beli?”
Dengan nada muntap,
ia selalu menjawab: “Bapak belinya kekecilan, sudah tidak muat di badanku!”
“Lho, kok malah aku yang disalahkan?! Aku
membelikan itu semua kan sesuai permintaanmu. Pertama ukuran ‘M’, beberapa bulan
kemudian ganti ukuran menjadi ‘L’, lalu kamu minta ukuran ‘XL’.” Kadang-kadang,
entah habis nonton sinetron apa, kamu minta ganti ukuran ‘M’. Ya jelas ndak muat.”
“Heh, pak, dengar ya?! Badanku ini gemuknya gemuk
air, bukan daging. Bahkan hampir tidak ada lemaknya. Kamu tahu apa alasannya?
Kerna sering menahan airmata! Hidup sama kamu itu lebih banyak susahnya
daripada senangnya.”
Pada keributan yang kesekian, kemarahan Aris
memuncak. Atas nama laki-laki, suami, dan sekaligus kepala rumahtangga—aris
membentak istrinya. Dan apa yang terjadi sudah bisa ditebak: istrinya menangis.
Jika sudah seperti itu, apapun persoalannya, suamilah yang bersalah. Sejatinya,
perempuanlah yang membuat negara ini lemah: membentuk laki-laki penurut dengan
memberinya gelar suami idaman. Maka, atas pengalaman-pengalam tersebut, Arismalas ribut. Dia lebih memilih untuk menghindar. Pulang sengaja
diperlambat, mampir ke rumah Dwi terlebih dahulu, berharap sesampainya nanti di
rumah, istrinya sudah tidur. Tapi tidak pernah kesampaian. Perempuan sebesar
beruang itu selalu menunggunya di teras dengan beberapa toples cemilan dan handphone di atas meja. Jika Aris datang
tak tepat waktu, misalnya bilang lima menit akan sampai di rumah dan ternyata
tidak, istrinya akan menelepon lagi. Begitu kelakuannya seharian: pagi telpon,
siang sms, malam telepon lagi. kalau tidak dibalas sms-nya, atau tidak diangkat
telpon darinya, sesampainya di rumah istrinya langsung marah. Tidak jarang ia
akan melempari Aris dengan rengginang, kacang, marning; pokoknya apapun yang
ada di dalam toples akan dileparnya. Kalau isinya habis, toplesnya yang
dilempar.
Sebenarnya Aris sudah jenuh dengan kelakuan
istrinya. Selain kelakuannya yang menyebalkan itu, akhir-akhir ini istrinya
sering mengeluhkan pendapatan Aris yang kurang untuk kehidupan rumahtangganya.
“Mbok cari penghasilan tambahan, pak?!”
“Mau cari penghasilan di mana lagi, bu?”
“Jualan soto kan bisa?! Resep soto keluargamu kan
juga bisa dijual.”
“Jualannya kapan, bu?
“Ya pulang kerja. Kamu langsung bisa buka lapak
dipinggir jalan sana. Kulihat lumayan ramai kalau malam.”
Kepada Dwi-lah Aris sering menceritakan
persoalan-persoalan rumahtangganya. Sebagai teman, ia cukup baik. Nasihat-nasihatnya
tidak provokatif. Dwi selalu memberi saran agar Aris sabar menjalani kehidupan
berumahtangga. Ya, memang betul kata Dwi: harus sabar. Kalau tidak, sudah dari
dulu Aris menceraikan istrinya. Padahal perempuan itu dulunya tidak begitu,
bisa dikatakan perempuan yang nriman.
Waktu pacaran, dia tahu Aris hanyalah seorang anak kampung, bukan kalangan
orang berada. “Aku ini anak desa lho, dik?!” Dengan tersipu dan pipinya yang memerah,
perempuan itu menjawab: “Ah, tidak apa-apa mas. Aku senang suasana desa yang
damai dan sejuk. Bau tanahnya, suara jengkerik, dan embun di pagi harinya tidak
akan pernah bisa kutemui ketika di kota.” Setelah menginjak dua tahun masa
pernikahan, saat lebaran, Aris mengajaknya mudik: “Males, ah, di desamu becek,
sepi, tidak ada mini-market.”
“Modarlah saya, Wi’.Heh? Gimana coba perasaanmu sebagai
suami?”
“Ya, yang sabar Ris.” Jawab Dwi.
“Bagaimana agar bisa jadi orang sabar untuk menghadapi perempuan semacam ini,
Wi’?”
“Caranya? Ya kamu harus bersabar. Itu
satu-satunya cara agar kamu bisa jadi
orang yang sabar.”
Ya... ya... ya... aku memang harus bisa bersabar
menghadapi persoalan ini, batin Aris. Bagaimanapun dia adalah istriku, orang
yang dulunya pernah kucintai. Lagi pula, ketika aku melamarnya, mertuaku
menanyakan sesuatu kepadaku: “apakah kau betul-betul mencintai anakku, nak Aris?”
“Iya, pak. Saya betul-betul mencintai anak bapak.”
“Baiklah kalau begitu. Tapi, ingatlah pertanyaanku
itu dengan baik. Sebab, aku akan menanyakan hal yang sama kepadamu ketika
hubungan-pernikahan kalian sedang memasuki masa-masa yang paling buruk.”
Dan sekarang, kedua mertuanya sudah mati sebelum
sempat menanyakan hal yang sama beberapa tahun yang lalu ketika Aris datang
untuk melamar.
***
“Wi’ kita cari tambahan, yuk?”
“Nah, aku juga mau ngomong begitu sama kamu.”
Aris tersenyum puas. Matanya berkaca-kaca. “Berarti,
pada tingkat pertama kita mufakat. Agar musyawar-mufakat ini menjadi paripurna,
pertanyaan selanjutnya, mau jual apa kita?”
“Nah, itu pertanyaannya.”
“Bagaimana kalau kita jualan soto saja? Kebetulan,
bapakku adalah penjual soto di kampung. Laris. Lha, aku mau pakai resep keluargaku
itu. Gimana?”
“Wah, boleh itu. Tapi aku belum pernah dagang soto
sebelumnya.”
“Ya nanti kita bagi tugas. Aku yang meracik bumbu,
memasaknya, dan menuangkan setiap kuah soto itu ke dalam mangkuk pembeli.
Sedangkan bagianmu, mengantar soto yang telah kuracik dan bersih-bersih.
“Mufakat!” Dwi mengulurkan tangan, mengajak lawan
bicaranya salaman.
“Tapi aku mau improvisasi sedikit, Wi’”
“Maksudnya?”
“Pakai penglaris.”
“Ndak mau ah!”
“Lha, piye
tho cah gemblung iki? Argumentasinya dong? Jangan main bilang ‘ndak mau ah’ saja!”
“Ya, menurutku tidak logis saja. Tidak masuk akal.”
“Kalau tidak masuk akal, kenapa kamu tidak masukkan
ke hati?”
Dwi bereaksi dengan menggelengkan kepalanya.
“Gini lho,” Aris mengambil handphone dari saku celananya, memotret Dwi. “Berapa PIN BBM kamu,
biar aku kirim foto ini.”
“Handphone-ku
jadul, Ris, monophonyc, mana ada
aplikasi BBM-nya?!”
“Nah, itu maksudku. Misal handphone kamu sekelas dengan punyaku, ada aplikasi BBM-nya,
berarti bisa aku kirim gambar ini ke handphone
kamu?”
“Bisa.”
“Pertanyaannya adalah, kok bisa gambar yang tadinya
dari handphone-ku bisa sampai ke handphone-mu? Lha, wong kita tidak melihat bagaimana proses berpindahnya?”
Dwi diam.
“Anggap saja berpindahnya foto dari tempat satu ke
tempat lain adalah peristiwa gaib, Wi’. Maksudku adalah, setiap diri
membutuhkan aplikasi. Dan aplikasi itu bernama iman. Jika tidak, semua hal yang
tidak bisa kau jangkau dengan pikiranmu, kau bilang tidak masuk akal.”
***
Napas Aris dan Dwi berdesakan—keluar dari lobang
hidung mereka. Berdua, sedang duduk di sebuah pohon besar untuk memperbaiki
napasnya. Keringat mereka pun bercucuran. Perjalanan mendaki bukit masih
separuh perjalanan. Hari itu, matahari telah naik di pucuk ubun-ubun. Itu
berarti, waktu telah menginjak saat siang hari. Dwi meraih botol mineral yang
tergeletak di samping kiri—tempat Aris duduk. Botol berkapasitas satu setengah
liter itu ditenggak hingga tinggal setengah. “Masih berapa jauh lagi perjalanan
kita, Ris?”
“Kalau jalan kita santai, menjelang maghrib kita
sudah sampai di sana.”
Kocap
kacarita, mereka berdua akhirnya sampai di sebuah rumah dengan penerangan
yang ala kadarnya. Pagarnya bambu, halamannya luas, arsitektur bangunannya
bergaya Jawa. Rumah itu tampak kuno sekali, sendirian di puncak bukit—menambah
nuansa mistis dalam hati Aris dan Dwi. Baru saja langkah kakinya melewati pagar
bambu, angin berembus pelan, membuat bulu-kuduk mereka berdiri. Deg-degan, tapi
mereka tetap menerobos masuk hingga sampai di depan pintu. Belum sempat
mengetuk pintu, sang pemilik rumah keluar, seperti sudah tahu akan ada tamu.
Orangnya kurus, sepuh, berpakaian serba hitam.
“Ada maksud apa kalian datang kemari?” kata lelaki
berdastar hitam di depan pintu.
“Anu, mbah. Kami ada keperluan.”
“Masuklah.” Lelaki itu masuk ke dalam rumah,
kemudian disusul oleh Aris dan Dwi.
Di dalam, di dinding kayu sang pemilik rumah,
tertempel banyak sekali benda-benda: foto salah satu presiden Indonesia, wayang
kulit, dan yang paling banyak adalah pusaka-pusaka. Dari keris hingga tombak. Sepi,
mungkin ia tinggal sendiri di rumah yang di setiap sudut ruangnya mengepul asap
dupa. Aromanya sangat menyengat indera penciuman.
“Duduk!” lelaki tua itu mempersilahkan Aris dan Dwi
di suatu ruangan. “Apa keperluan kalian datang kemari?”
“Penglaris, mbah.” Kata Aris.
“Mau dagang apa?”
“Makanan, mbah, soto.”
“Baik. Itu mudah. Tapi ada syaratnya?!”
“Apa syaratnya, mbah?”
“Apa kalian sanggup memenuhi syaratnya?”
“Sanggup, mbah. Asalkan, setiap orang yang memakan
soto saya merasakan nikmat dan selalu ingin kembali datang.”
“Hal apa yang paling nikmat di dunia ini menurut
kalian?”
“Kawin, mbah.” Aris sambil tersipu menjawabnya.
“Persis. Syaratnya adalah, kalian ambil celana
dalam perempuan yang masih perawan. Jika ia adalah seorang bunga desa, khasiatnya akan semakin
bagus. Ingat, harus celana dalam milik perawan. Jika kalian sudah mendapatkannya,
mandikan kolor itu dengan bunga di tujuh sumur.”
“Kenapa harus di mandikan di tujuh sumur, mbah?”
kata Dwi.
“Air adalah sumber kehidupan. Menurut tradisi Jawa,
air itu bermacam-macam jenisnya: warih, tirta, sagara, guskara, kedhung,
grojogan, bun, dan sumur. Sedangkan sumur, ada tujuh macamnya: Pertama, sumur kanoman, kata dasarnya ‘enom’ artinya
muda. Dua, sumur kasepuhan, berasal
dari kata ‘sepuh’ artinya tua. Tiga, sumur jati,
artinya hakiki. Empat, sumur agung atau kamulyan yang artinya kemuliaan. Lima,
sumur tegang-pati—kereta basa (akronim) dari tega ing pati yang artinya tidak takut menghadapi peristiwa
kematian. Enam, sumur kejayan, artinya
kejayaan. Tujuh, sumur jalatunda—dalam terminologi bahasa Arab berasal dari dua
suku kata: jalla, artinya jelas atau
terang. Nida, dalam shigat mudhara’ah dibaca ‘yunda’ yang
artinya terpanggil. Ketika dengan ta’
dhomir mukhottob—‘yunda’ menjadi ‘tunda’
yang artinya engkau yang terpanggil. Bukankah niat kalian datang kemari agar
pelangganmu terpanggil untuk membeli makananmu?”
“Iya, mbah.”
“Perlu kalian tahu, ada dua makhluk pengikut
Bhatara Kala yang tidak pernah berhasil dibasmi oleh Ki Sapujagat: Kala Lumur,
berdiam di dapur. Dan Kala Lumut, berdiam di sumur. Dia yang akan membantumu
agar hajadmu kabul.”
***
Gerobak sudah jadi, dan soto pun sudah siap untuk
dijajakan. Hari itu adalah hari pertama Aris dan Dwi mencoba peruntungannya
menjadi pedagang, cari penghasilan tambahan. Celana dalam, syarat yang
diberikan oleh dukun dari puncak bukit itu, juga sudah siap. Aris
tempelkan, dipaku di dalam periuk kuah soto. Berangkat dari rumah Dwi, mereka
berdua mendorong gerobak dengan sepenuh pengharapan dan segenap kepercayaan
dirinya.
Sesuai dengan rencana, gerobak yang mereka
dorong—berhenti di seberang lapangan, di atas trotoar. Lokasi yang mereka pilih
adalah pusat keramaian: masjid, sekolahan, dan ruko-ruko; semua berkumpul di
tempat itu. Di sana juga banyak penjual makanan, tapi hanya Aris dan Dwi saja
yang menjajakan soto.
Satu jam pertama, hanya satu-dua orang saja yang
datang membeli soto mereka. Dan selama itu pula istri sebesar beruang itu tak
henti-hentinya menelepon suaminya. Pada jam-jam berikutnya, para pembeli mulai
berdatangan tiada henti. Hanya dalam tempo tak lebih dari empat jam, soto habis
terjual.
Hari berikutnya, sama. Bahkan semakin laris. Kali ini
sebelum Aris dan Dwi datang di lokasi, para pelanggan sudah antri menunggu. Dagangan
mereka laris-manis.
Getok tular,
soto Aris dan Dwi mulai semarak didatangi pelanggan. Seakan tiada hari tanpa
makan soto. Ada satu orang yang makannya dua porsi, ada yang mengajak seluruh
anggota keluarganya, ada yang makan dengan rekan kerjanya, ada yang dibungkus.
Ramai sekali. Sampai-sampai, Aris dan Dwi tidak sempat duduk hanya sekadar
untuk beristirahat. Di tengah kesibukan dan permintaan pembeli yang beraneka
macam, lagi-lagi, handphone-nya
berbunyi, telepon dari istrinya: “Halo, pak, celana dalamku kok hilang satu,
ya?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar