Senin, 01 Agustus 2016

KOLOR



“Luas total negara kita ini berapa—tho, sebenarnya?” Tiba-tiba saja Aris membuka percakapan di tengah hamparan langit malam. Mereka berdua, Aris dan Dwi, merebahkan tubuhnya di atas atap rumah-kontrakan milik Dwi—dengan kaos yang mereka buntal menjadi bantal. Disaksikan seng, asbes, dan antena televisi; kedua karib itu memancarkan nuansa keakraban yang hangat sekali.

“Kalau dihitung semua, daratan sekaligus lautan, kira-kira lima juta-an kilo meter persegi.” Jawab Dwi, datar. Matanya masih memandang langit yang jauh.

“Kalau luas daratannya saja?” Sambung Aris.

“Hampir dua juta kilo meter persegi.”

“Berapa jumlah penduduk Indonesia?”

“Dua ratus lima puluh juta-an. Memangnya kenapa?”

“Ini logika jongos saja, ya. Kira-kira, kalau seluruh luas tanah Indonesia itu dibagi rata, masing-masing dari kita akan dapat berapa? Gimana cara kamu menghitungnya?”

“Ya, gampang. Pertama-tama, kita harus sepakat bahwa masing-masing orang yang akan mendapat jatah-tanah tersebut, dalam bentuk satuan meter. Artinya, satuan kilo meter persegi tadi—nantinya harus dijadikan dalam satuan meter. Ngitungnya, begini: luas daratan Indonesia dibagi jumlah penduduk, lalu hasilnya dikalikan satu juta.”

“Hasilnya berapa?”

Dwi sejenak diam, matanya terpejam.

Suwimen tho, ngitungmu?”

“Mmm... kalau dibulatkan, setiap orang mendapat jatah tujuh ribu meter-an.”

“Heh, ya tho?!”

“Apanya yang ya tho?”

“Lha, ya. Kita ini kok bisa tidak punya tempat tinggal? Tanah berapa-berapa—kek, kan lumayan daripada nomaden.”

“Kata Mahatma Gandhi, bumi ini bisa memenuhi kebutuhan setiap orang, namun tidak bisa memenuhi kebutuhan satu orang yang serakah.”

Kali ini Aris terlihat semangat. Ia merubah posisinya yang tadinya tiduran, sekarang duduk. Nada suaranya sedikit naik, tinggi. “Mungkin bumi ini kurang luas dan kurang besar untuk menampung orang-orang semacam kita plus orang-orang serakah. Jadinya ya begini ini, kita tidak kebagian apa-apa. Mungkin, jika kita hidup di planet Jupiter, planet yang paling besar itu, bisa jadi orang semacam kita masih sempat kebagian tanah-tanah sedikit.”

“Di Jupiter kita tidak bisa hidup, Ris. Mati. Setiap planet itu punya pra-syarat untuk dapat ditinggali manusia.”

“Kenapa begitu, Wi’?” Aris merebahkan tubuhnya ke posisi semula, memasukkan tangan kanannya ke dalam kolor, garuk-garuk.

“Satu, jarak planet tidak boleh terlalu dekat dan terlalu jauh dari matahari. Sebab, batas toleransi suhu pada sebuah planet tidak boleh lebih dari 150ᵒ Fahrenheit atau 65,5ᵒ Celcius.”

“Dua.”

“Airnya cukup. Baik yang terkandung di tanahnya, ataupun di udara.”

“Tiga.”

“Sinar matahari yang cukup, dibutuhkan untuk pembakaran pada tubuh hewan maupun manusia. Pembakaran inilah yang dapat menimbulkan tenaga. Sinar matahari yang cukup itu berguna sebagai sirkulasi ambil-buang kandungan CO2 dan O2—dari dalam udara  ke udara.

“Empat.”

“Planet tersebut harus dilapisi ozon atau O3, yang berfungsi sebagai pelindung dan penyaring  mata manusia dari gelombang-gelombang pendek.”

“Lima.”

“Ukuran planet. Jika terlalu kecil, gravitasinya juga kecil, mengakibatkan benda apapun yang ada di dalamnya mudah lolos—keluar dari planet itu. Jika terlalu besar, gravitasinya pun juga akan besar. Hal ini bisa menyebabkan—akan banyak pula yang diikat oleh gravitasi planet tersebut yang puncaknya akan berakibat berlebihnya debit air di tanah maupun di udara planet itu.”

“Terlalu lembab, gitu?”

“Persis. Selain itu, jika atom hidrogen yang jumlahnya banyak itu, manakala bersatu dengan unsur lainnya, akan menimbulkan amoniak dalam yang jumlah yang besar pula. Maka, planet tersebut sudah tidak sehat untuk ditinggali.”

“Oke. Enam.”

“Planet tersebut, katakanlah Jupiter, harus memiliki kandungan yang cukup untuk: tepung, gula, minyak, protein, dan lemak. Itu semua, apa-apa saja yang mengandung karbohidrat tadi, dibutuhkan manusia untuk mendapatkan energi.”

 “Tujuh.”

“Adanya zat beracun dalam jumlah dan ukuran yang cukup dan tidak membahayakan.”

“Delapan.”

“Sudah!”

“Sudah? Gitu aja?”

“Iya. Sudah.”

“Ya sudah, aku pulang dulu. Mumet ndasku. Kamu memang tidak bisa diajak berandai-andai, tidak tahu caranya refreshing dengan berimajenasi.” Aris beranjak dari tempat rebahnya, undurdiri, sambil meraupkan tangan kanannya ke muka Dwi. Tangan yang sudah ia siapkan sedaritadi, di dalam kolor sambil garuk-garuk.

Dwi yang matanya masih menatap langit, tidak membalas perlakuan temannya. Barulah setelah beberapa lama, ia sadar apa yang diraupkan temannya tadi. “Jangkrik,” katanya.
***

Sambil menuruni satu per-satu anaktangga yang terbuat dari bambu, Aris terkekeh, “biar rileks otaknya, ndak tegang terus.” Hingga kaki kirinya jenak menginjak tanah, tawanya berhenti, handphone dalam saku celana jeans-nya berbunyi. Dilihatnya pada layar gawai, panggilan dari istrinya: “Halo?”

“Pak, pulang jam berapa?”

“Lima menit lagi juga sampai.”

“Jangan lama-lama, Pak!”

Telepon dimatikan, Aris meneruskan langkah kakinya menuju rumah menyusuri gang-gang sempit yang kanan dan kirinya ditempati berdempet-dempet hunian yang tak keruan tataletaknya: pintu depan berhadapan dengan kamar-mandi tetangga, pos kamling yang dialih-fungsikan menjadi tempat cukur rambut, dan jemuran baju hingga daleman yang pathing-crenthel  di mana-mana. Sebenarnya, jarak dari rumah Dwi menuju rumahnya—cukup dekat, tidak sampai lima menit. Hanya saja Aris memang sengaja memilih jalan berputar-putar untuk memperlambat sampai di rumah. Bagaimana tidak, setiapkali ia datang , istrinya seketika itu menjelma menjadi “ibu tiri” bagi dirinya: nyuruh cuci piring, nge-pel, jemur baju, dan lain-lain. “Lha, dia ngapain saja seharian di rumah?” gerutu Aris setiap hari. Belum lagi mendengar rengekannya yang tiada habisnya: minta dibelikan baju, daster, BH, dan celana dalam yang modelnya bermacam-macam. Mulai dari yang berenda, bergambar, model G-string, pokoknya beraneka ragam. Istri Aris adalah orang yang sangat hapal dengan barang-barang miliknya. Jika hilang satu lembar saja, dia akan ngamuk, mengacak-acak seisi rumah. Kalau sudah begitu, rumah yang lebih mirip disebut kapal pecah itu, dibereskan oleh Aris. Pokoknya aneh-aneh saja kelakukannya. Sebagai pegawai rendahan, gaji Aris hanya cukup untuk makan dan keperluan rumah saja. Tapi, istrinya tidak mau mengerti. Baginya, pokoknya harus ada. Ya, namanya juga perempuan, penggerak industri bisnis, makhluk yang kegemarannya bersaing. Aris yakin, apa-apa saja yang ingin dibelinya itu bukan untuk tampil cantik di depan suaminya, tetapi para isri tetangga. Padahal sudah sering Aris mengingatkannya, “lho, kemarin kan baru beli?”

Dengan nada muntap, ia selalu menjawab: “Bapak belinya kekecilan, sudah tidak muat di badanku!”

“Lho, kok malah aku yang disalahkan?! Aku membelikan itu semua kan sesuai permintaanmu. Pertama ukuran ‘M’, beberapa bulan kemudian ganti ukuran menjadi ‘L’, lalu kamu minta ukuran ‘XL’.” Kadang-kadang, entah habis nonton sinetron apa, kamu minta ganti ukuran ‘M’. Ya jelas ndak muat.”

“Heh, pak, dengar ya?! Badanku ini gemuknya gemuk air, bukan daging. Bahkan hampir tidak ada lemaknya. Kamu tahu apa alasannya? Kerna sering menahan airmata! Hidup sama kamu itu lebih banyak susahnya daripada senangnya.”

Pada keributan yang kesekian, kemarahan Aris memuncak. Atas nama laki-laki, suami, dan sekaligus kepala rumahtangga—aris membentak istrinya. Dan apa yang terjadi sudah bisa ditebak: istrinya menangis. Jika sudah seperti itu, apapun persoalannya, suamilah yang bersalah. Sejatinya, perempuanlah yang membuat negara ini lemah: membentuk laki-laki penurut dengan memberinya gelar suami idaman. Maka, atas pengalaman-pengalam tersebut,  Arismalas ribut. Dia lebih  memilih untuk menghindar. Pulang sengaja diperlambat, mampir ke rumah Dwi terlebih dahulu, berharap sesampainya nanti di rumah, istrinya sudah tidur. Tapi tidak pernah kesampaian. Perempuan sebesar beruang itu selalu menunggunya di teras dengan beberapa toples cemilan dan handphone di atas meja. Jika Aris datang tak tepat waktu, misalnya bilang lima menit akan sampai di rumah dan ternyata tidak, istrinya akan menelepon lagi. Begitu kelakuannya seharian: pagi telpon, siang sms, malam telepon lagi. kalau tidak dibalas sms-nya, atau tidak diangkat telpon darinya, sesampainya di rumah istrinya langsung marah. Tidak jarang ia akan melempari Aris dengan rengginang, kacang, marning; pokoknya apapun yang ada di dalam toples akan dileparnya. Kalau isinya habis, toplesnya yang dilempar.

Sebenarnya Aris sudah jenuh dengan kelakuan istrinya. Selain kelakuannya yang menyebalkan itu, akhir-akhir ini istrinya sering mengeluhkan pendapatan Aris yang kurang untuk kehidupan rumahtangganya. “Mbok cari penghasilan tambahan, pak?!”

“Mau cari penghasilan di mana lagi, bu?”

“Jualan soto kan bisa?! Resep soto keluargamu kan juga bisa dijual.”

“Jualannya kapan, bu?

“Ya pulang kerja. Kamu langsung bisa buka lapak dipinggir jalan sana. Kulihat lumayan ramai kalau malam.”

Kepada Dwi-lah Aris sering menceritakan persoalan-persoalan rumahtangganya. Sebagai teman, ia cukup baik. Nasihat-nasihatnya tidak provokatif. Dwi selalu memberi saran agar Aris sabar menjalani kehidupan berumahtangga. Ya, memang betul kata Dwi: harus sabar. Kalau tidak, sudah dari dulu Aris menceraikan istrinya. Padahal perempuan itu dulunya tidak begitu, bisa dikatakan perempuan yang nriman. Waktu pacaran, dia tahu Aris hanyalah seorang anak kampung, bukan kalangan orang berada. “Aku ini anak desa lho, dik?!” Dengan tersipu dan pipinya yang memerah, perempuan itu menjawab: “Ah, tidak apa-apa mas. Aku senang suasana desa yang damai dan sejuk. Bau tanahnya, suara jengkerik, dan embun di pagi harinya tidak akan pernah bisa kutemui ketika di kota.” Setelah menginjak dua tahun masa pernikahan, saat lebaran, Aris mengajaknya mudik: “Males, ah, di desamu becek, sepi, tidak ada mini-market.”

“Modarlah saya, Wi’.Heh? Gimana coba perasaanmu sebagai suami?”

“Ya, yang sabar Ris.” Jawab Dwi.

“Bagaimana agar bisa jadi orang  sabar untuk menghadapi perempuan semacam ini, Wi’?”

“Caranya? Ya kamu harus bersabar. Itu satu-satunya  cara agar kamu bisa jadi orang yang sabar.”

Ya... ya... ya... aku memang harus bisa bersabar menghadapi persoalan ini, batin Aris. Bagaimanapun dia adalah istriku, orang yang dulunya pernah kucintai. Lagi pula, ketika aku melamarnya, mertuaku menanyakan sesuatu kepadaku: “apakah kau betul-betul mencintai anakku, nak Aris?”

“Iya, pak. Saya betul-betul mencintai anak bapak.”

“Baiklah kalau begitu. Tapi, ingatlah pertanyaanku itu dengan baik. Sebab, aku akan menanyakan hal yang sama kepadamu ketika hubungan-pernikahan kalian sedang memasuki masa-masa yang paling buruk.”

Dan sekarang, kedua mertuanya sudah mati sebelum sempat menanyakan hal yang sama beberapa tahun yang lalu ketika Aris datang untuk melamar.
***

“Wi’ kita cari tambahan, yuk?”

“Nah, aku juga mau ngomong begitu sama kamu.”

Aris tersenyum puas. Matanya berkaca-kaca. “Berarti, pada tingkat pertama kita mufakat. Agar musyawar-mufakat ini menjadi paripurna, pertanyaan selanjutnya, mau jual apa kita?”

“Nah, itu pertanyaannya.”

“Bagaimana kalau kita jualan soto saja? Kebetulan, bapakku adalah penjual soto di kampung. Laris. Lha, aku mau pakai resep keluargaku itu. Gimana?”

“Wah, boleh itu. Tapi aku belum pernah dagang soto sebelumnya.”

“Ya nanti kita bagi tugas. Aku yang meracik bumbu, memasaknya, dan menuangkan setiap kuah soto itu ke dalam mangkuk pembeli. Sedangkan bagianmu, mengantar soto yang telah kuracik dan bersih-bersih.

“Mufakat!” Dwi mengulurkan tangan, mengajak lawan bicaranya salaman.

“Tapi aku mau improvisasi sedikit, Wi’”

“Maksudnya?”

“Pakai penglaris.”

Ndak mau ah!”

Lha, piye tho cah gemblung iki? Argumentasinya dong? Jangan main bilang ‘ndak mau ah’ saja!”

“Ya, menurutku tidak logis saja. Tidak masuk akal.”

“Kalau tidak masuk akal, kenapa kamu tidak masukkan ke hati?”

Dwi bereaksi dengan menggelengkan kepalanya.

“Gini lho,” Aris mengambil handphone dari saku celananya, memotret Dwi. “Berapa PIN BBM kamu, biar aku kirim foto ini.”

Handphone-ku jadul, Ris, monophonyc, mana ada aplikasi BBM-nya?!”

“Nah, itu maksudku. Misal handphone kamu sekelas dengan punyaku, ada aplikasi BBM-nya, berarti bisa aku kirim gambar ini ke handphone kamu?”

“Bisa.”

“Pertanyaannya adalah, kok bisa gambar yang tadinya dari handphone-ku bisa sampai ke handphone-mu? Lha, wong kita tidak melihat bagaimana proses berpindahnya?”

Dwi diam.

“Anggap saja berpindahnya foto dari tempat satu ke tempat lain adalah peristiwa gaib, Wi’. Maksudku adalah, setiap diri membutuhkan aplikasi. Dan aplikasi itu bernama iman. Jika tidak, semua hal yang tidak bisa kau jangkau dengan pikiranmu, kau bilang tidak masuk akal.”
***

Napas Aris dan Dwi berdesakan—keluar dari lobang hidung mereka. Berdua, sedang duduk di sebuah pohon besar untuk memperbaiki napasnya. Keringat mereka pun bercucuran. Perjalanan mendaki bukit masih separuh perjalanan. Hari itu, matahari telah naik di pucuk ubun-ubun. Itu berarti, waktu telah menginjak saat siang hari. Dwi meraih botol mineral yang tergeletak di samping kiri—tempat Aris duduk. Botol berkapasitas satu setengah liter itu ditenggak hingga tinggal setengah. “Masih berapa jauh lagi perjalanan kita, Ris?”

“Kalau jalan kita santai, menjelang maghrib kita sudah sampai di sana.”

Kocap kacarita, mereka berdua akhirnya sampai di sebuah rumah dengan penerangan yang ala kadarnya. Pagarnya bambu, halamannya luas, arsitektur bangunannya bergaya Jawa. Rumah itu tampak kuno sekali, sendirian di puncak bukit—menambah nuansa mistis dalam hati Aris dan Dwi. Baru saja langkah kakinya melewati pagar bambu, angin berembus pelan, membuat bulu-kuduk mereka berdiri. Deg-degan, tapi mereka tetap menerobos masuk hingga sampai di depan pintu. Belum sempat mengetuk pintu, sang pemilik rumah keluar, seperti sudah tahu akan ada tamu. Orangnya kurus, sepuh, berpakaian serba hitam.

“Ada maksud apa kalian datang kemari?” kata lelaki berdastar hitam di depan pintu.

“Anu, mbah. Kami ada keperluan.”

“Masuklah.” Lelaki itu masuk ke dalam rumah, kemudian disusul oleh Aris dan Dwi.

Di dalam, di dinding kayu sang pemilik rumah, tertempel banyak sekali benda-benda: foto salah satu presiden Indonesia, wayang kulit, dan yang paling banyak adalah pusaka-pusaka. Dari keris hingga tombak. Sepi, mungkin ia tinggal sendiri di rumah yang di setiap sudut ruangnya mengepul asap dupa. Aromanya sangat menyengat indera penciuman.

“Duduk!” lelaki tua itu mempersilahkan Aris dan Dwi di suatu ruangan. “Apa keperluan kalian datang kemari?”

“Penglaris, mbah.” Kata Aris.

“Mau dagang apa?”

“Makanan, mbah, soto.”

“Baik. Itu mudah. Tapi ada syaratnya?!”

“Apa syaratnya, mbah?”

“Apa kalian sanggup memenuhi syaratnya?”

“Sanggup, mbah. Asalkan, setiap orang yang memakan soto saya merasakan nikmat dan selalu ingin kembali datang.”

“Hal apa yang paling nikmat di dunia ini menurut kalian?”

“Kawin, mbah.” Aris sambil tersipu menjawabnya.

“Persis. Syaratnya adalah, kalian ambil celana dalam perempuan yang masih perawan. Jika ia adalah  seorang bunga desa, khasiatnya akan semakin bagus. Ingat, harus celana dalam milik perawan. Jika kalian sudah mendapatkannya, mandikan kolor itu dengan bunga di tujuh sumur.”

“Kenapa harus di mandikan di tujuh sumur, mbah?” kata Dwi.

“Air adalah sumber kehidupan. Menurut tradisi Jawa, air itu bermacam-macam jenisnya: warih, tirta, sagara, guskara, kedhung, grojogan, bun, dan sumur. Sedangkan sumur, ada tujuh macamnya: Pertama, sumur kanoman, kata dasarnya ‘enom’ artinya muda. Dua, sumur kasepuhan, berasal dari kata ‘sepuh’ artinya tua. Tiga, sumur jati, artinya hakiki. Empat, sumur agung atau kamulyan yang artinya kemuliaan. Lima, sumur tegang-pati—kereta basa (akronim) dari tega ing pati yang artinya tidak takut menghadapi peristiwa kematian. Enam, sumur kejayan, artinya kejayaan. Tujuh, sumur jalatunda—dalam terminologi bahasa Arab berasal dari dua suku kata: jalla, artinya jelas atau terang. Nida, dalam shigat mudhara’ah dibaca ‘yunda’ yang artinya terpanggil. Ketika dengan ta’ dhomir mukhottob—‘yunda’ menjadi ‘tunda’ yang artinya engkau yang terpanggil. Bukankah niat kalian datang kemari agar pelangganmu terpanggil untuk membeli makananmu?”

“Iya, mbah.”

“Perlu kalian tahu, ada dua makhluk pengikut Bhatara Kala yang tidak pernah berhasil dibasmi oleh Ki Sapujagat: Kala Lumur, berdiam di dapur. Dan Kala Lumut, berdiam di sumur. Dia yang akan membantumu agar hajadmu kabul.”
***

Gerobak sudah jadi, dan soto pun sudah siap untuk dijajakan. Hari itu adalah hari pertama Aris dan Dwi mencoba peruntungannya menjadi pedagang, cari penghasilan tambahan. Celana dalam, syarat yang diberikan oleh dukun dari puncak bukit itu, juga sudah siap. Aris tempelkan, dipaku di dalam periuk kuah soto. Berangkat dari rumah Dwi, mereka berdua mendorong gerobak dengan sepenuh pengharapan dan segenap kepercayaan dirinya.

Sesuai dengan rencana, gerobak yang mereka dorong—berhenti di seberang lapangan, di atas trotoar. Lokasi yang mereka pilih adalah pusat keramaian: masjid, sekolahan, dan ruko-ruko; semua berkumpul di tempat itu. Di sana juga banyak penjual makanan, tapi hanya Aris dan Dwi saja yang menjajakan soto.

Satu jam pertama, hanya satu-dua orang saja yang datang membeli soto mereka. Dan selama itu pula istri sebesar beruang itu tak henti-hentinya menelepon suaminya. Pada jam-jam berikutnya, para pembeli mulai berdatangan tiada henti. Hanya dalam tempo tak lebih dari empat jam, soto habis terjual.

Hari berikutnya, sama. Bahkan semakin laris. Kali ini sebelum Aris dan Dwi datang di lokasi, para pelanggan sudah antri menunggu. Dagangan mereka laris-manis.


Getok tular, soto Aris dan Dwi mulai semarak didatangi pelanggan. Seakan tiada hari tanpa makan soto. Ada satu orang yang makannya dua porsi, ada yang mengajak seluruh anggota keluarganya, ada yang makan dengan rekan kerjanya, ada yang dibungkus. Ramai sekali. Sampai-sampai, Aris dan Dwi tidak sempat duduk hanya sekadar untuk beristirahat. Di tengah kesibukan dan permintaan pembeli yang beraneka macam, lagi-lagi, handphone-nya berbunyi, telepon dari istrinya: “Halo, pak, celana dalamku kok hilang satu, ya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar