Jumat, 26 Agustus 2016

TEKNOLOGI YANG MUBAZIR!




Bagaimana reaksi Anda ketika menerima sebuah pesan-singkat yang berbunyi, masa aktif kuota internet Anda akan segera berakhir? Tentu saja, untuk kita yang sudah terlanjur “menggantungkan diri” pada era digital hari ini, tidak akan rela melewatkan-waktu barang sedetik pun tanpa terkoneksi dengan jejaring internet. Kemajuan teknologi dan internet menawarkan kepada para penggunanya, bahwa dunia akan ada di genggaman. Siapa yang tidak mau? Informasi mengenai apa saja, yang terjadi di belahan dunia mana saja—dalam hitungan detik—dapat ditenggak oleh siapapun tanpa syarat. Selama tiga puluh dua tahun Indonesia dikuasai oleh rezim Orde Baru, dan selama itu pula masyarakat di-drive alam bawah sadarnya untuk menerima informasi-informasi yang hanya dikehendaki oleh penguasa waktu itu. Runtuhnya otoritarianisme Soeharto pada tahun 1998, menghadirkan fenomena baru di tengah masyarakat dimana semua orang dengan berbagai status sosial dan tingkat pendidikan—gemar mendiskusikan isu-isu politik. Saat itu, semua pihak merasa dirinya adalah pakar yang paling mengetahui keadaan negara Indonesia. Dan sebagaimana kita ketahui, pada awal masa reformasi, tema politik masih merupakan tema klas tertentu dalam kasta ekonomi. Inilah titik-awal kenapa masyarakat secara psikologis tidak lagi ingin ketinggalan tentang berita terbaru. Bersamaan dengan itu, munculnya bibit-bibit narsistik-eksploitatif dalam diri masing-masing.

Supply and demand, teknologi menjawab permintaan masyarakat. Laiknya konversi minyak-tanah ke tabung-gas, tak ada yang dapat mencegah perubahan.

Munculnya produk manufaktur berupa smartphone untuk pertamakali, langsung disambut oleh konsumerisme masyarakat. Puncaknya, Indonesia mendapat predikat Blackberry Nation dari negara lain. Bagaimana tidak? Para pengguna perkakas ini sangat responsif ketika mendengar bunyi ‘PING!’, keranjingan; itu kenapa gadget selalu diletakkan di dekatnya: ketika makan, tidur, hingga ke toilet pun mereka masih menggenggamnya. Pada titik ini, manusia sebagi konsumen dan teknologi sebagai produsen, membentuk hubungan yang saling membutuhkan dan menguntungkan. Dalam sisi akad dagang, persoalan ini clear. Tidak ada masalah.

Pada awal kemunculannya, smartphone  memang (sempat) membuat masyarakat seperti mengalami sebuah ekstase, yaitu semacam temenggengen, perasaan antara percaya dan tidak percaya—bahwa pada akhirnya di jaman modern seperti ini ada benda yang bisa mengalahkan kesaktian keris buatan Empu Gandring: murah, mudah, cepat; tinggal klik sana dan klik sini segala informasi langsung tersedia. Sakti bukan? Betapa beruntungnya generasi hari ini, difasilitasi oleh teknologi yang begitu canggih sehingga dapat memudahkan yang susah, mendekatkan yang jauh, dan connecting people cukup dengan dua jempol saja.

Saya masih ingat pada medio ’90-an, ketika demam ‘band’ merasuki hampir di setiap pergaulan remaja. Sebagai anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang pada masa itu, saya pun ikut-ikutan mengikuti arus zaman. Tapi sebagai anak yang hidup di lingkungan pedesaan, tentu saja internet masih asing di telinga kami. Hanya bermodal kaset-pita, tape, stick, dan bantal yang saya susun berdasarkan tata-letak istrumen; saya belajar memainkan alat musik ‘drum’ dengan cara yang sangat tradisional. Kaset-pita saya masukkan, lalu tekan tombol ‘play’ pada tape, sambil memejamkan mata, mulailah saya mendengarkan musik itu dengan saksama: dari memperhatikan tempo, ketukan, hingga instrumen manasaja yang sedang dipukul. Tidak cukup sekali-dua kali mendengarkannya, tapi berkali-kali! Setelah hapal, saya ulangi lagu tersebut sambil memukul-mukul bantal—berimajenasi bahwa yang sedang saya pukul adalah sebuah drum. Saya menduga, apa yang saya lakukan ini tidak jauh beda dengan teman-teman yang lain. Hingga pada akhirnya, ketika masing-masing personil sudah merasa siap (dengan cara latihannya sendiri-sendiri), kami mempraktekkannya di studio musik dengan instrumen sungguhan. Hasilnya lumayan. Kami pernah memenangkan lomba hingga tingkat Kecamatan dengan metoda seperti itu.

Pada hari ini, saya memiliki keyakinan bahwa generasi sekarang tidak akan mengalami kesulitan-kesulitan seperti yang kami alami dulu. Sekarang semua bisa ditonton di youtube. Mudah. Apalagi sudah ada tekonologi musik berbasis elektronik, sungguh merupakah sebuah kemajuan yang memudahakan.

Maka, seharusnya generasi muda hari ini lebih canggih dibandingkan generasi sebelumnya. Canggih di sini ukurannya harus jelas: berupa prestasi, penemuan spektakuler, dan karya-karya yang menajubkan—berbanding lurus dengan kemudahan-kemudahan yang mereka nikmati. Input dan output minimal harus sama. Tapi pada kenyataannya berbeda. Mereka semacam mengalami kebingungan psikologis terhadap data-data yang berhamburan di dunia maya. Seperti hidangan yang beraneka macam dan sangat banyak jumlahnya, mereka malah bingung apa yang hendak dimakan.

Dugaan saya, kemudahan yang diberikan oleh benda canggih ini sejatinya tidak pernah berbanding-lurus dengan kreativitas yang dihasilkan. Sebut saja fenomena broadcase message (BC)—ketika lebaran atau hari besar lainnya. Hilir-mudiknya BC di gawai kita pada waktu-waktu tertentu yang saya sebutkan tadi,  hampir seluruhnya adalah hasil copas (copy-paste): didapat dari temannya, lalu dikirimkan lagi ke teman lainnya hanya dengan mengganti nama pengirimnya saja.

Tidak berhenti sampai di situ.

Tradisi share-link berita online yang sering kita saksikan dewasa ini. Hanya membaca judul berita, tidak membaca isi, alih-alih agar tampak intelek dan uptodate, para penyebar informasi kerap memberi tambahan kalimat-kalimat pada dinding media sosialnya dengan nada-nada geram—seturut dengan penyebar yang sebelumnya. Dan celakanya, perilaku konyol ini menimbulkan efek viral.

Tidak bijaknya penggunaan internet, tentu saja tidak berdiri sendiri. Produk-produk berteknologi tinggi ini tersebar di masyarakat tanpa ada sosialisasi dan pembekalan cara-bijak menggunaannya terlebih dahulu. Sebenarnya, ada hal-hal yang harus dipahami para pengguna internet dengan pertanyaan ini: “kenapa Internet browsing kita istilahkan dengan ‘berselancar di dunia maya?’ Bukan menyelam?”

Seperti sudah kita ketahui, bahwa peristiwa berselancar adalah kegiatan yang ada di permukaan laut. Di permukaan tidak akan ada ikan, terumbu karang, dan biota laut lainnya. Tapi kita harus mengakui, bahwa laut adalah tempat yang begitu luas. Dari tempat ini harusnya kita memiliki kesadaran untuk menyusuri jalan ke sungai besar, lalu ke sungai kecil, dan pada akhirnya kita akan sampai pada sumber murninya: air gunung. Dengan kata lain, internet yang saya istilahkan sebagai laut, sejatinya adalah jalan untuk menemukan sumber awal. 

Atau saya memakai analogi lain. Anggap saja data-data yang berhamburan di dunia maya adalah macam-macam bahan bangunan: semen, bata, pasir, dan lain-lain. Jika bahan-bahan tersebut tidak dimanfaat sebagaimana mestinya, atau tidak segera dikreasikan menjadi sebuah bangunan; maka batu-bata tadi hanyalah tumpukan, pasir berkubik-kubik itu hanya gunungan. Sebab, pepatah Cina pernah mengatakan: hanya dengan membaca resep, tidak lantas membuat seseorang menjadi juru masak yang handal.

Internet tentu saja adalah hal positif, minimnya kesadaran untuk manfaatkan secara tepat guna—membuat yang terkuak hanya hal-hal negatifnya. Saya beri contoh teknologi penanak nasi magic-jar. Tergerusnya alat tradisional, misalnya ‘dandang’ (Jawa), tidak dikarenakan alasan menangnya sebuah tradisi pengetahuan yang lebih tinggi, melainkan lebih kerna alasan-alasan praktis keseharian yang sepele. Alat penanak elektrik itu misalnya, menawarkan keinstanan, kepraktisan, kecepatan, kesangkilan, setangkup dengan berubahnya ritme kerja masyarakat yang, katanya, menuntut kita untuk serba cepat. Instan. Justru yang tidak disadari adalah, kehadiran produk penanak nasi elektrik ini berakibat pada memudarnya tradisi leluhur yang turun-temurun sudah diwariskan. Sebut saja: ngedang, ngukus, ngliwet, ngaru, dan lain-lain—yang hari ini sudah tidak dikenali generasi muda. Tergantikannya sebuah tradisi lama ke tradisi baru adalah peristiwa biasa. Tapi, jika ditinggalkan kerna alasan yang remeh, lebih instan misalnya, adalah perilaku abai. Sembrono. Itu bisa kita lihat pada warung-warung tradisional yang menjajakan makanan—yang cara mengolahnya masih dengan cara lama: pengapiannya masih dengan arang, memasak nasinya dengan dandang, dan lain sebagainya—ternyata masih mendapatkan tempat di hati sebagian masyarakat. Ketika saya bertanya kepada salah satu pengunjung, kenapa memilih makan di warung tersebut? kebanyakan dari mereka menjawab: “rasanya lebih enak, dan sehat.” Apakah arti dari ini semua? Menurut hemat saya, hal-hal yang masih tradisional, sebenarnya masih banyak yang diminati. Tapi warung semacam ini bisa dihitung dengan jari, tidak seperti makanan capat saji yang tersebar di semua tempat.

Sama seperti makanan. Media informasi berbasis internet hari ini seperti saat kita menikmati junk food: praktis, cepat, dan instan. Kerap saya temukan beberapa media online yang mendistribusikan berita hanya bermodal ‘capture’ yang didapat dari media sosial sang pencetus informasi—tanpa adanya proses jurnalisme yang benar. Mereka menyuguhkan kualitas informasi dengan data mikro dan minim. Situasi seperti inilah yang sedang digemari masyarakat: beritanya tidak ruwet, tulisannya pendek, tidak usah dalam-dalam, dan kalau bisa berita online itu menampilkan berita setiap detik. Isi dari informasinya sama, juga tidak apa-apa. Dan alhasil, beberapa media cetak, yang notabene media dengan informasi yang lengkap, harus berhenti terbit kerna sudah tidak diminati. Sebut saja: Sinar Harapan, Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, dan Harian Bola.

Rontoknya daya kritis dan analisa masyarakat, membuat ‘benar’ dan ‘salah’-menurut publik, dapat dikendalikan dan ditentukan di ruang ini. Semoga masih ingat dengan akun Twitter @TrioMacan2000 yang konon memiliki follower hampir menyentuh angka 300.000. Akun ini sempat ramai dan menjadi bahan pembicaraan kerna sering nge-tweet tentang skandal korupsi yang ada di negeri ini. Masyarakat tentu saja girang, merasa menjadi pintar kerna mengetahui skandal besar. Terlepas perbuatan @TrioMacan2000 mulia atau biadab, yang jelas, saya semakin yakin akan jungkir-baliknya logika masyarakat hari ini: “bagaimana bisa akun anonim seperti @TrioMacan2000, bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat yang riil, nyata?!”

Dengan kata lain, memiliki gawai canggih dengan pelbagai fiturnya, hanya semacam memberi ruang kepada masyarakat yang memiliki daya-beli untuk menyelenggarakan narsis nasional di dunia maya: pasang foto sedang makan apa dengan siapa, atau menulis status sedang ini dengan si itu. Mubazir! Pada puncaknya, narsistik-eksploitatif masyarakat tergambarkan secara nyata ketika ada sebuah insiden kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Medan pada tahun 2015 lalu, tersebar gambar di media sosial dua perempuan sedang berpose di depan kamera ponselnya, tepat di lokasi kejadian dengan latarbelakan pesawat yang hancur. Miris. Bagi mereka, apapun kejadiannya, entah suasana bahagia atau duka sekalipun, dalam momen tersebut yang paling penting adalah dirinya. Itu baru satu contoh, masih banyak contoh lainnya.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, sebuah kejadian tidak terjadi kerna sebab tunggal.

Harusnya pemerintah juga hadir di dalam persoalan ini. Hadir disini artinya sangat luas. Pemerintah harus menjamin apa-apa saja yang dikonsumsi masyarakat, dalam hal ini adalah informasi di internet, mesti dipastikan sedang dalam pengawasannya: aman, sehat, dan tepat guna. Saya yakin untuk kelas negara, harusnya permasalahan ini sangat mudah untuk diatasi. Saya tidak tahu apakah logika saya ini benar atau salah. Saya mendapatkan ide ini ketika sedang mengurus pindahan domisili. Otomatis saya juga harus ganti KTP. Kerna sistem sudah E-KTP, saya tidak perlu foto dan mengisi data—sama seperti mengurus KTP baru. Semua data sudah ada, serba computerize.

Nah!

Seharusnya ada peraturan yang mengatur kepemilikan email: satu orang hanya dapat memiliki satu email, atau maksimal dua. Untuk membuat email, orang harus mengisi serangkaian data dimana data tersebut harus sesuai dengan KTP. Antara perusahaan email dan negara, mesti menjalin hubungan kerjasama, satu dengan lainnya harus saling mengkonfirmasi: apakah betul data yang dimasukkan sudah sesuai dengan data pribadinya. Jika data pribadi yang dimasukkan salah, atau sengaja dibuat salah, maka dia tidak diperkenankan memiliki email. Jika sudah seperti itu, misalnya tidak memiliki email, ia hanya bisa mengakses data-data untuk konsumsi anak-anak. Dengan cara seperti ini, saya rasa dapat meminimalisir bermunculannya akun-akun anonim dalam media sosial: facebook, twitter, instagram, path, BBM, WA, Line, dan lain-lain.

Untuk blog dan website juga demikian. Jika milik pribadi, harus berdasarkan KTP. Jika milik sebuah perusahaan, harus sesuai dengan surat perusahaan yang telah di–sah-kan oleh notaris dan institusi terkait. Karya tulis yang ada di kolom atau portal ini juga harus melewati beberapa mekanisme laiknya sebuah karya tulis: mencantumkan sumber, uji plagiat, dan lain sebagainya. Sistem ini sudah dipraktekkan oleh kampus-kampus besar, dimana hasil skripsi mahasiswa harus dikirim ke pihak kampus dalam bentuk softfile yang nantinya juga bisa diakses oleh mahasiswa lain sebagai rujukan dan referensi. Datanya akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja menulis di dunia maya tidak harus tema berat, semuanya bisa hanya saja informasi itu dijamin kebenarannya.

Meskipun demikian, apa-apa saja yang saya sebutkan di atas akan menimbulkan persoalan: tidak adanya privasi, kerna semua tindakan diawasi oleh negara. Melanggar HAM. Belum lagi ada kekhawatiran manakala data yang kita masukkan, digunakan oleh pihak ketiga. Di sinilah peran penting pemerintah. Dia harus menjamin bahwa semua data pribadi, aman dari pihak ketiga.

Jika bisa menciptakan sistem ini, saya rasa inilah the real connecting people, menjalin hubungan di dunia-maya akan serasa nyata kerna tidak khawatir bahwa yang sedang berkomunikasi dengan kita adalah akun anonim. Satu dengan lainnya akan menjaga sikap, sebab mendatagkan konsekwensi logis atas segala tindakannya. Itu yang pertama.

Yang kedua.

Masyarakat mendapatkan data-data yang akurat. Hal ini dapat membawa nuansa positif: masyarakat benar-benar bisa belajar di manapun berada. Pararel dengan itu, tentu dapat menimbulkan daya kritis pada masyarakat, dan menambah daya analisa masyarakat yang semakin  tajam. Pada titik ini, media online yang notabene milik lembaga bisnis, akan mengikuti permintaan  penggunanya. Masyarakat tambah pintar, informasi (baru) yang diberikan harus lebih pintar.

Memang terasa sangat tidak mungkin, dan bahkan konyol memiliki harapan yang demikian agar dapat diaplikasikan  pada suatu negara yang belum siap dengan gempuran teknologi, dalam hal ini adalah Indonesia. Lalu, apakah opsi-kedua jika hal yang saya sebutkan di atas tidak bisa diterapkan kerna macam-macam alasan?

Untuk menjawab pertanyaan ini sangat mudah.

Negara tidak perlu melakukan apa-apa, biarkan saja keadaannya seperti sekarang ini. Toh mereka baik-baik saja. Kalaupun ada keluhan-keluhan mengenai dampak gawai berbasis internet, sampai muncul meme yang berbunyi: “the world must easier when apple and blackberry were still a fruit”, itu bukan berarti mewakili suara hati pada keseluruhan masyarakat—kan? Tapi, saya masih tetap berharap ada upaya-upaya yang pro-rakyat di antara ke-abai-an dan pembiaran ini, yaitu: kalau bisa, harga paket kuota internet diturunkan!

Itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar