Jawa bisa dikatakan memiliki tradisi lisan yang
cukup baik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih kuatnya ingatan kolektif
masyarakat tentang legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat. Ada budaya tutur tinular, getok tular, dan woro-woro
untuk pentransferan sebuah informasi. Jenis komunikasi di dalam masyarakat pun diklasifikasikan
dalam beberapa: rembug, omong tuwa, wadhul, ngrasani, dan
sebagainya-dan sebaginya. Dari sinilah kisah-kisah masalalu meninggalkan
jejaknya. Meskipun tak ajeg, kerna ciri
sebuah informasi-lisan tergantung daya serap sang penerima dan kelengkapan
cerita sang informan, tidak heran jika terdapat varian-varian cerita pada kisah
yang sama.
Adalah alun-alun, salah satu ruang publik di masa
lampau yang kerap digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitas profan, juga
untuk memperoleh informasi dari kekuasaan atau arahan pelaksanaan dari hukum-hukum universum pada
kehidupan sehari-hari—kerna sejatinya alun-alun merupakan simbol harmonisasi
antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kawula (rakyat) dengan Gusti (raja). Alun-alun juga disebut sebagai paseban, tempat di mana tamu-tamu menghadap (seba) dan juga
menunggu. Jika rakyat ingin mengadukan sesuatu kepada raja, dia akan pepe (berjemur) di paseban hingga ditemui oleh utusan dari keraton. Namun, ketika
sistem kerajaan dan feodalisme diganti dengan sistem presidensial, alun-alun beralih
fungsi menjadi ruang-hijau-kota saja.
Beralih-fungsinya sebuah alun-alun, membuat ia tak lagi menjadi pusat informasi
masyarakat. Ia tetap dilestarikan hanya sebagai renik, asesoris tata-ruang kota.
Ada juga lokasi yang dijadikan ajang tukar
informasi antar sesama kawula alit,
terutama kaum laki-laki: gardu, yakni representasi munculnya negara kolonial (khususnya)
di Jawa pada abad ke-19. Pada saat yang sama, gardu juga digambarkan sebagai
suatu bentuk pertahanan bagi etnis Tionghoa yang hidup selama masa penuh
kekacauan, saat kekerasan diarahkan kepada mereka. Peristiwa demi peristiwa
membuat gardu terikat pada politik ruang. Beralih fungsi hingga hari ini,
merupakan akibat dari penyesuaian terhadap praktik-praktik sosial dan proyek
politik yang membuatnya mereorganisasi ruang kota dan desa. Awalnya gardu
bukanlah gardu, ia lebih dikenal dengan nama gapura yang hanya ada di
tempat-tempat kekuasan, misalnya keraton, di mana setiap pintu dijaga oleh
beberapa prajurit. Sebelum masa kolonial, Asia Tenggara pada umumnya dan Jawa
pada khususnya, belum memiliki kesadaran dan prinsi-prinsip teritorial. Barulah
ketika Jawa berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels yang
berasal dari Prancis, dan di bawah Gubernur Rafles pada peralihan Pemerintah
Inggris, juga saat berlangsungnya peristiwa tanam paksa (culture
stelsel)—melahirkan kesadaran teritorial akibat campur-baurnya rezim-rezim
penguasa. Ketika Daendels mengerjakan proyek jalan untuk menyambungkan seluruh
wilayah-wilayah di pulau Jawa (Anyer sampai Banyuwangi) yang dikenal dengan
nama (proyek): Jalan Pos Besar atau Groote
Postweg, istilah gardu baru muncul yang diambil dari bahasa Prancis: garde—untuk membagi wilayah kekuasaan
Belanda ke dalam ruang-ruang yang terdemarkasi dengan sebutan karesidenan. Bentuk gardu diadopsi dari pendopo, yang diletakkan di setiap
perbatasan wilayah yang kemudian oleh penggunanya (biasanya adalah musafir dan
pedagang) dimanfaatkan sebagai tempat untuk beristirahat (rest area) ketika
sedang melakukan perjalanan jauh. Keadaan Jawa ketika itu masih rawan perampokan,
maka para pedagang yang beristirahat di gardu menyewa centeng dan tukang pukul
untuk berjaga. Inilah cikal-bakal di mana gardu identik dengan kegiatan
keamanan. Setelah Indonesia (baca: Jawa) berpindah ke tangan Jepang, dengan
idilogi Pan-Asia-nisme-nya yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan seluruh Asia
di bawah kepemimpinan Jepang guna menghadapi Perang Asia-Pasifik. Alih-alih
ingin mempersatukan rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme Barat, seluruh
masyarakat-sipil dimobilisasi dan dilatih pendidikan militer. Agar niatan
pemerintah Jepang lancar, maka dibentuklah tonarigumi
(sistim RT/RW) sebagai bentuk pengawasan terhadap ketertiban dan loyalitas
kepada Jepang. Gardu yang saat itu berganti nama Keibodan, menjadi pusat kegiatan intelejen untuk mengawasi dan
memastikan segala tindak-tanduk yang ada di tonarigumi.
Jepang takluk dari sekutu, situasi Indonesia rusuh, gardu menjelma menjadi
pos-pos komando yang dijaga oleh TNI. Diberlakukan surat jalan bagi setiap
pelancong, dan setiap pos komando akan memberi stempel pada surat jalan
tersebut. Rezim berganti, gardu dijaga oleh Hansip (pertahanan sipi). Kata
‘pertahanan’ di sana menunjukkan kegiatan intelejen yang dilakukan oleh
Pemerintah Orde Baru untuk mengawasi semua kegiatan masyarakat. Orang yang
lahir paling lambatnya pada medio 80’an, masih bisa merasakan—rasa takutnya
“ngarasani” penguasa walaupun di dalam rumahnya sendiri. Soeharto lengser,
kerusuhan dan penjarahan terjadi di mana-mana—terutama kepada warga keturunan.
Gardu selain sebagai tempat keamanan, juga dijadikan ajang untuk mengembalikan
nama Soekarno oleh Megawati dan PDI-P. Pasca ’98, hampir seluruh gardu
bergambar Soekarno dan Kepala Banteng. Dan setelah situasi menjadi stabil,
warga keturunan cenderung tinggal di perumahan-perumahan elite dengan sistem keamanan yang ketat. Gardu digunakan oleh
security hanya sebagai tempat berjaga, tanpa melibatkan warga untuk ronda atau
siskamling. Sedangkan di area padat penduduk, warga kelas menengah ke bawah,
gardu kerap beralih fungsi: dikontrakkan untuk dijadikan tempat cukur rambut,
rumah sewa, sekolahan TK, dan lain sebagainya—otomatis jarang sekali ada
kegiatan ronda yang dilakukan warga secara bergantian.
Komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang
sangat fundamental dalam kehidupan manusia yang berfungsi sebagai kontrol lingkungan, adaptasi, dan
transformasi warisan sosialisai. Bergesernya
fungsi alun-alun dan gardu hingga dewasa ini, membuat kebutuhan ruang untuk berkomunikasi—pindah
ke tempat lain yang hari ini dijadikan pusat kerumunan: cafe, dan warung kopi.
Dua tempat ini sejatinya sama secara fungsional, tetapi berbeda kasta kerna
segmen pangsa pasarnya. Dari perbedaan itu, maka cafe yang notabene untuk
strata ekonomi “khusus” dibekali peralatan dan perlengkapan tertentu: tempat
yang bersih, lokasi yang nyaman, peralatan yang modern, ruang yang dingin, dan
free wifi.
Berbeda cafe, berbeda pula dengan warung kopi.
Kebetulan, saya lahir di Surabaya dari kalangan klas menengah ke bawah.
Surabaya secara teritori terletak di wilayah pantai (paling) utara di mana
pantura terkenal dengan racikan kopinya yang khas dengan rasa yang cukup keras.
Maka tidak heran jika di Surabaya—warung kopi tumbuh subur hampir di setiap lokasi
dengan sebutan ‘GIRAS’. Konon, giras adalah akronim dari ‘legi-keras’—diambil
dari karakter kopi yang dimilikinya. Dan di tempat inilah para kaum laki-laki
berkumpul dan menghabiskan waktu luang dengan variasi usia yang beragam: tua,
dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Profesi pendatang juga macam-macam:
ustadz, tukang kredit, debt collector,
montir, mahasiswa hingga pelajar. Tema yang dibicarakan tidak tentu, tergantung
siapa yang ingin menceritakan persoalan yang sedang dihadapinya: bisa tentang
keluarganya, tetangganya, atasannya, gurunya, pacarnya, sampai masalah agama.
Budaya nongkrong di warung kopi kemudian disebut cangkruk, yang berarti duduk di warung kopi dengan waktu yang cukup
lama. Di sinilah keakraban terjalin, informasi dikumpulkan kemudian menyebar ke
seluruh penjuru. Bisa dikatakan, warung kopi adalah pusat informasi bagi setiap
warga.
Kemudian, kekira tahun 1998, saya pindah ke daerah
Gresik. Di tempat baru saya ini juga memiliki budaya warung kopi. Tapi warung
kopi di Gresik agak lain, dia merepresentasikan sebuah erotisme: kopi pangku. Kata ‘pangku’ secara harafiyah berarti
duduk di atas paha. Jadi, yang dimaksud dengan ‘kopi pangku’ adalah warung
kopi, bisa dikatakan remang-remang, yang banyak dikunjungki oleh sopir-sopir.
Konsep warung kopi ini menjadi viral kerna menawarkan sesuatu yang berbeda, yakni
pelayan perempuan genit dan fasilitas karaoke. Ramailah dia didatangi
pengunjung-pengunjung. Tak hanya sopir, kini kopi pangku sudah bisa diakses
oleh umum.
Sudah jamaknya, apa-apa yang populer di kalang
menengah ke atas, dalam hal ini adalah cafe, akan ditiru oleh klas di bawahnya
dengan kwalitas yang minimal. Maka, laiknya jamur, warung kopi kini bermunculan
di mana-mana, dan hampir dapat ditemui di manapun tempat. Warung kopi gaya baru
menggabungkan beberapa konsep: cafe, giras, dan kopi pangku. Hari ini, warung
kopi di radius tempat tinggalku mesti memiliki fasilitas wifi, dan karaoke.
Mereka bersaing dengan ugal-ugalan, dan meninggalkan tradisi juga ruh warung
kopi itu sendiri.
Kenapa demikian?
Bisa kita lihat di warung-warung kopi, semua
pengunjungnya tidak ada yang bercengkerama, ngobrol, diskusi, atau apalah—kegiatan
yang bersifat komunal. Mereka justru lebih memilih berasyik-masyuk dengan
gadget masing-masing, jikapun ada satu atau dua orang yang ngobrol, itu dapat
dipastikan sedang membahas status teman facebooknya. Kalau tidak internetan game online, mereka karaoke—curhat
malu-malu yang disampaikan melalui lagu.
Taek!
Ya, ini adalah budaya taek!
Jika ruang-ruang publik dipenuhi oleh orang-orang
“autis” semacam ini, bagaimana kita sebagai bangsa bisa bersatu? Lha, wong ngobrol saja ndak pernah?! Kita tentu tidak bisa
melawan arus massa yang menginginkan kecanggihan gadget, tapi apa iya harus di
semua tempat? Ada warnet game online
yang kini sudah menggusur eksistensi rental PS dan warnet pra-game online, dan telk*m
corner. Apakah di semua tempat kita harus internetan?
Kembalikan marwah warung kopi ke posisi semula!
Biarkan dia tetap menjadi gelanggang komunikasi bagi setiap warga dan pusat
informasi seperti dulu. Jangan biarkan warung kopi mengalami hal yang sama
seperti gardu dan alun-alun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar