Minggu, 04 September 2016

KEMBALIKAN MARWAH WARUNG KOPI SEKARANG JUGA!




Jawa bisa dikatakan memiliki tradisi lisan yang cukup baik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih kuatnya ingatan kolektif masyarakat tentang legenda, dongeng, dan cerita-cerita rakyat. Ada budaya tutur tinular, getok tular, dan woro-woro untuk pentransferan sebuah informasi. Jenis komunikasi di dalam masyarakat pun diklasifikasikan dalam beberapa: rembug, omong tuwa, wadhul, ngrasani, dan sebagainya-dan sebaginya. Dari sinilah kisah-kisah masalalu meninggalkan jejaknya. Meskipun tak ajeg, kerna ciri sebuah informasi-lisan tergantung daya serap sang penerima dan kelengkapan cerita sang informan, tidak heran jika terdapat varian-varian cerita pada kisah yang sama.

Adalah alun-alun, salah satu ruang publik di masa lampau yang kerap digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitas profan, juga untuk memperoleh informasi dari kekuasaan atau arahan  pelaksanaan dari hukum-hukum universum pada kehidupan sehari-hari—kerna sejatinya alun-alun merupakan simbol harmonisasi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Kawula (rakyat) dengan Gusti (raja).  Alun-alun juga disebut sebagai paseban,  tempat di mana tamu-tamu menghadap (seba) dan juga menunggu. Jika rakyat ingin mengadukan sesuatu kepada raja, dia akan pepe (berjemur) di paseban hingga ditemui oleh utusan dari keraton. Namun, ketika sistem kerajaan dan feodalisme diganti dengan sistem presidensial, alun-alun beralih fungsi menjadi ruang-hijau-kota  saja. Beralih-fungsinya sebuah alun-alun, membuat ia tak lagi menjadi pusat informasi masyarakat. Ia tetap dilestarikan hanya sebagai renik, asesoris tata-ruang kota.

Ada juga lokasi yang dijadikan ajang tukar informasi antar sesama kawula alit, terutama kaum laki-laki: gardu, yakni representasi munculnya negara kolonial (khususnya) di Jawa pada abad ke-19. Pada saat yang sama, gardu juga digambarkan sebagai suatu bentuk pertahanan bagi etnis Tionghoa yang hidup selama masa penuh kekacauan, saat kekerasan diarahkan kepada mereka. Peristiwa demi peristiwa membuat gardu terikat pada politik ruang. Beralih fungsi hingga hari ini, merupakan akibat dari penyesuaian terhadap praktik-praktik sosial dan proyek politik yang membuatnya mereorganisasi ruang kota dan desa. Awalnya gardu bukanlah gardu, ia lebih dikenal dengan nama gapura yang  hanya ada di tempat-tempat kekuasan, misalnya keraton, di mana setiap pintu dijaga oleh beberapa prajurit. Sebelum masa kolonial, Asia Tenggara pada umumnya dan Jawa pada khususnya, belum memiliki kesadaran dan prinsi-prinsip teritorial. Barulah ketika Jawa berada di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Daendels yang berasal dari Prancis, dan di bawah Gubernur Rafles pada peralihan Pemerintah Inggris, juga saat berlangsungnya peristiwa tanam paksa (culture stelsel)—melahirkan kesadaran teritorial akibat campur-baurnya rezim-rezim penguasa. Ketika Daendels mengerjakan proyek jalan untuk menyambungkan seluruh wilayah-wilayah di pulau Jawa (Anyer sampai Banyuwangi) yang dikenal dengan nama (proyek): Jalan Pos Besar atau Groote Postweg, istilah gardu baru muncul yang diambil dari bahasa Prancis: garde—untuk membagi wilayah kekuasaan Belanda ke dalam ruang-ruang yang terdemarkasi dengan sebutan karesidenan. Bentuk gardu diadopsi dari pendopo, yang diletakkan di setiap perbatasan wilayah yang kemudian oleh penggunanya (biasanya adalah musafir dan pedagang) dimanfaatkan sebagai tempat untuk beristirahat (rest area) ketika sedang melakukan perjalanan jauh. Keadaan Jawa ketika itu masih rawan perampokan, maka para pedagang yang beristirahat di gardu menyewa centeng dan tukang pukul untuk berjaga. Inilah cikal-bakal di mana gardu identik dengan kegiatan keamanan. Setelah Indonesia (baca: Jawa) berpindah ke tangan Jepang, dengan idilogi Pan-Asia-nisme-nya yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan seluruh Asia di bawah kepemimpinan Jepang guna menghadapi Perang Asia-Pasifik. Alih-alih ingin mempersatukan rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme Barat, seluruh masyarakat-sipil dimobilisasi dan dilatih pendidikan militer. Agar niatan pemerintah Jepang lancar, maka dibentuklah tonarigumi (sistim RT/RW) sebagai bentuk pengawasan terhadap ketertiban dan loyalitas kepada Jepang. Gardu yang saat itu berganti nama Keibodan, menjadi pusat kegiatan intelejen untuk mengawasi dan memastikan segala tindak-tanduk yang ada di tonarigumi. Jepang takluk dari sekutu, situasi Indonesia rusuh, gardu menjelma menjadi pos-pos komando yang dijaga oleh TNI. Diberlakukan surat jalan bagi setiap pelancong, dan setiap pos komando akan memberi stempel pada surat jalan tersebut. Rezim berganti, gardu dijaga oleh Hansip (pertahanan sipi). Kata ‘pertahanan’ di sana menunjukkan kegiatan intelejen yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk mengawasi semua kegiatan masyarakat. Orang yang lahir paling lambatnya pada medio 80’an, masih bisa merasakan—rasa takutnya “ngarasani” penguasa walaupun di dalam rumahnya sendiri. Soeharto lengser, kerusuhan dan penjarahan terjadi di mana-mana—terutama kepada warga keturunan. Gardu selain sebagai tempat keamanan, juga dijadikan ajang untuk mengembalikan nama Soekarno oleh Megawati dan PDI-P. Pasca ’98, hampir seluruh gardu bergambar Soekarno dan Kepala Banteng. Dan setelah situasi menjadi stabil, warga keturunan cenderung tinggal di perumahan-perumahan elite dengan sistem keamanan yang ketat. Gardu digunakan oleh security hanya sebagai tempat berjaga, tanpa melibatkan warga untuk ronda atau siskamling. Sedangkan di area padat penduduk, warga kelas menengah ke bawah, gardu kerap beralih fungsi: dikontrakkan untuk dijadikan tempat cukur rambut, rumah sewa, sekolahan TK, dan lain sebagainya—otomatis jarang sekali ada kegiatan ronda yang dilakukan warga secara bergantian.

Komunikasi merupakan salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia yang berfungsi sebagai  kontrol lingkungan, adaptasi, dan transformasi warisan sosialisai.  Bergesernya fungsi alun-alun dan gardu hingga dewasa ini, membuat kebutuhan ruang untuk berkomunikasi—pindah ke tempat lain yang hari ini dijadikan pusat kerumunan: cafe, dan warung kopi. Dua tempat ini sejatinya sama secara fungsional, tetapi berbeda kasta kerna segmen pangsa pasarnya. Dari perbedaan itu, maka cafe yang notabene untuk strata ekonomi “khusus” dibekali peralatan dan perlengkapan tertentu: tempat yang bersih, lokasi yang nyaman, peralatan yang modern, ruang yang dingin, dan free wifi.

Berbeda cafe, berbeda pula dengan warung kopi. Kebetulan, saya lahir di Surabaya dari kalangan klas menengah ke bawah. Surabaya secara teritori terletak di wilayah pantai (paling) utara di mana pantura terkenal dengan racikan kopinya yang khas dengan rasa yang cukup keras. Maka tidak heran jika di Surabaya—warung kopi tumbuh subur hampir di setiap lokasi dengan sebutan ‘GIRAS’. Konon, giras adalah akronim dari ‘legi-keras’—diambil dari karakter kopi yang dimilikinya. Dan di tempat inilah para kaum laki-laki berkumpul dan menghabiskan waktu luang dengan variasi usia yang beragam: tua, dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Profesi pendatang juga macam-macam: ustadz, tukang kredit, debt collector, montir, mahasiswa hingga pelajar. Tema yang dibicarakan tidak tentu, tergantung siapa yang ingin menceritakan persoalan yang sedang dihadapinya: bisa tentang keluarganya, tetangganya, atasannya, gurunya, pacarnya, sampai masalah agama. Budaya nongkrong di warung kopi kemudian disebut cangkruk, yang berarti duduk di warung kopi dengan waktu yang cukup lama. Di sinilah keakraban terjalin, informasi dikumpulkan kemudian menyebar ke seluruh penjuru. Bisa dikatakan, warung kopi adalah pusat informasi bagi setiap warga.

Kemudian, kekira tahun 1998, saya pindah ke daerah Gresik. Di tempat baru saya ini juga memiliki budaya warung kopi. Tapi warung kopi di Gresik agak lain, dia merepresentasikan sebuah erotisme: kopi pangku. Kata ‘pangku’ secara harafiyah berarti duduk di atas paha. Jadi, yang dimaksud dengan ‘kopi pangku’ adalah warung kopi, bisa dikatakan remang-remang, yang banyak dikunjungki oleh sopir-sopir. Konsep warung kopi ini menjadi viral kerna menawarkan sesuatu yang berbeda, yakni pelayan perempuan genit dan fasilitas karaoke. Ramailah dia didatangi pengunjung-pengunjung. Tak hanya sopir, kini kopi pangku sudah bisa diakses oleh umum.

Sudah jamaknya, apa-apa yang populer di kalang menengah ke atas, dalam hal ini adalah cafe, akan ditiru oleh klas di bawahnya dengan kwalitas yang minimal. Maka, laiknya jamur, warung kopi kini bermunculan di mana-mana, dan hampir dapat ditemui di manapun tempat. Warung kopi gaya baru menggabungkan beberapa konsep: cafe, giras, dan kopi pangku. Hari ini, warung kopi di radius tempat tinggalku mesti memiliki fasilitas wifi, dan karaoke. Mereka bersaing dengan ugal-ugalan, dan meninggalkan tradisi juga ruh warung kopi itu sendiri.

Kenapa demikian?

Bisa kita lihat di warung-warung kopi, semua pengunjungnya tidak ada yang bercengkerama, ngobrol, diskusi, atau apalah—kegiatan yang bersifat komunal. Mereka justru lebih memilih berasyik-masyuk dengan gadget masing-masing, jikapun ada satu atau dua orang yang ngobrol, itu dapat dipastikan sedang membahas status teman facebooknya. Kalau tidak internetan game online, mereka karaoke—curhat malu-malu yang disampaikan melalui lagu.

Taek!

Ya, ini adalah budaya taek!

Jika ruang-ruang publik dipenuhi oleh orang-orang “autis” semacam ini, bagaimana kita sebagai bangsa bisa bersatu? Lha, wong ngobrol saja ndak pernah?! Kita tentu tidak bisa melawan arus massa yang menginginkan kecanggihan gadget, tapi apa iya harus di semua tempat? Ada warnet game online yang kini sudah menggusur eksistensi rental PS dan warnet pra-game online, dan telk*m corner. Apakah di semua tempat kita harus internetan?


Kembalikan marwah warung kopi ke posisi semula! Biarkan dia tetap menjadi gelanggang komunikasi bagi setiap warga dan pusat informasi seperti dulu. Jangan biarkan warung kopi mengalami hal yang sama seperti gardu dan alun-alun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar