Oleh:
Fajar Saputro
Konon, pada akhir abad ke
15 dan awal abad ke 16, tepatnya ketika masa keruntuhan impermium Majapahit—para
pengikut yang masih setia hingga berakhirnya masa kejayaan Majapahit akhirnya lari
dan berpencar ke berbagai wilayah Nusantara: prajurit lari ke Bali, para Kesatria
dan Punggawa memilih lari ke arah utara dan selatan, sedangkan Empu lari ke
Madura dan berkumpul dalam sebuah desa yang bernama Aeng Tongtong, Soengenep
(Sumenep). Hingga hari ini, desa itu dikenal sebagai desa penghasil keris.
Pada suatu masa, saya
pernah bingung ketika membedakan antara Pandhe
dan Empu. Untuk menemukan perbedaan
antara keduanya, saya memilih jalan yang berputar-putar.
Begini.
Profesi
tukang kayu, dalam budaya Jawa disebut Undhagi.
Ahli kuningan disebut Gemblak. Ahli tembaga disebut Sayang.
Jlagra adalah seorang yang mempunyai keahlian dalam
bangunan, terutama pada struktur batunya; sederhanya adalah tukang batu. Kundhi adalah pengrajin gerabah, pembuat batu bata, genteng, dan lain-lain.
Pandhe sebutan untuk seorang ahli
besi.
Sedangkan Empu, satu tingkat di atas Pandhe.
Kemampuan Empu dalam
bidang metalorgi, dunia perbesian—dalam konteks khasanah keilmuan Nusantara
yang notabene bukan wilayah penghasil besih (terbesar)--sungguh merupakan pengetahuan
yang sangat ampuh dan misterius. Keris adalah salah satu produknya, merupakan senjata
tusuk yang memiliki kekuatan magi.
Bagaimana tidak, dari
bahannya saja, keris diciptakan dari dua unsur semesta: unsur bumi (pasir besi)
dan langit (meteor). Saya tidak tahu, apakah ini ada kaitannya dengan konsep
‘Ibu Bumi Bapa Angkasa’ yang merupakan simbol kesempurnaan? Yang jelas, hingga
hari ini, sebagian dari masyarakat kita masih percaya bahwa, keris adalah benda
yang memiliki kekuatan supranatural.
Mengapa demikian?
Ya
ndak tau. Tapi, menurut informasi dari salah seorang karib,
cara pembuatan keris mirip dengan—ketika sesorang menggulung dinamo: ditarik
dan diulur. Awalnya, bahan yang berasal dari pasir besi itu dipanaskan dengan
suhu yang sangat tinggi, kemudian dibentuk dengan cara dipukul. Pada saat
proses dipukul-pukul itulah material yang non-metal akan merothol. Setelah itu, masih dalam keadaan suhu yang tinggi, besi
yang dipukul-pukul akan modhot, lalu
dilipat (sehingga menjadi pendek), dipukul lagi, dilipat lagi, dan seterusnya.
Pada proses itulah, keris memiliki kandungan elektro-magnetik. Dan, ditambah
dengan bahan meteor—yang secara nature
memiliki komposisi kimia tertentu, selain akan menjadi yoni (motif atau sret-sret
berwarna putih pada badan keris), tidak mustahil jika keris dapat mengacaukan
sistem medan elektromagnetik yang berada diluar dirinya—oleh budaya dijuluki
sebagai daya (baca: kekuatan).
Pada tahun 1930,
meminjam M. C. Ricklefs dalam bukunya yang berjudul: Mengislamkan Jawa; bahwa
tahun tersebut merupakan masa depresi ke-2 (depresi pertama adalah tahun 1830,
yakni perang Diponegoro) di mana banyak sekali problem-problem ekonomi yang
membuat sebagian penduduk Madura merantau ke Surabaya. Ketika itu, Surabaya
merupakan kota industri yang dipersiapkan untuk mem-backup kepadatan lalulintas perdagangan Batavia yang notabene sebagai
pusat industri. Sedangkan empu yang berkumpul di Madura tadi, tak luput dari
dampak krisis ekonomi. Akhirnya mereka merantau ke Surabaya, beralih profesi
sebaga reparasi bus, reparasi kereta, dan lain-lain—yang tentu masih berkaitan
dengan dunia perbesian.
Kemudian, pada masa
berakhirnya masa kolonilaisme, dan terjadi nasionalisasi di segala bidang, di sinilah
cikal-bakal motif perdagangan besi-besi tua itu. Misalnya, kasus Perusahaan Pelayaran Kerajaan
Belanda: K.P.M (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) yang didirikan pada tahun
1888 untuk melayani pelabuhan-pelabuhan besar, juga pulau-pulau kecil untuk
keperluan pemerintahan dan kepentingan kolonial Belanda menghubungkan
pulau-pulau di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, dan secara resmi K.P.M
digantikan oleh PELNI, perusahan (dengan nama) baru itu tidak berhasil menyamai
kesuksesan K.P.M. Ditambah keterbatasan kemampuan memelihara, dan keterbatasan sparepart, maka jadilah ia besi-besi tua
yang kemudian dilirik oleh orang Madura sebagai sebuah peluang bisnis.
Pada perkembangannya,
laiknya rantai makanan, bisnis besi tua pun secara alamiah membentuk rantai
bisnisnya sendiri. Bayangkan saja nasi tumpeng; bagian paling atas adalah
pabrik, lalu di bawahnya adalah para saudagar besi tua. Di bagian ini, klas
saudagar besi masih dibagi lagi menjadi: A1, A2, dan A3. Dan, di bawahnya lagi adalah
pengepul, atau tukang rosok. Sedangkan bagian paling bawah adalah para
pemulung. Ketika kesadaran ‘rosok’ terwariskan kepada banyak orang, maka
muncullah sistem ‘Bank Sampah’. Dan, secara otomatis rantai bisnis besi tua
ditambah satu gandul lagi.
Pertanyaannya adalah,
apakah para pedagang besi tua ini adalah para empu dalam versi yang non-spiritual, laiknya pandhe yang wawasan metalorginya menyublim dalam bentuk yang lain?
Tentu saja jawabannya tidak. Atau, kita ambil jalan tengahnya: tidak tahu.
Justru yang lebih mengganggu
pikiran saya adalah: siapakah Madura, jauh sebelum Majapahit dan
kerajaan-kerajaan lain? Dugaan sementara, saya kira Madura adalah kerajaan
Pringgadani. Yakni sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja muda berkumis lebat
bernama Gatotkaca, yang ototnya kawat dan yang paling pentingan adalah tulangnya
bessi, dik, bessi....
Itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar